DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi Saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah Syi'ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan Sunni adalah (al-Khilafah), sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri,asah). Dalam pandangan politik Syi'ah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din) dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, Imam Ali merupakan pelanjut Nabi Saw. yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi Saw. (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab Saw. Oleh sebab itu, Syi'ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
Di sisi lain Sunni menyerukan suksesi berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi dalam memilih kelayakan seorang pemimpin atau presiden.
Yang menarik, terdapat golongan sy’iah yang merupakan bagian sekte Syi'ah yang moderat, yaitu Syi'ah zaidiyah. Sehingga sekte tersebut dikategorikan sebagai sekte yang paling dekat ke Sunni. Karena sekte ini dalam banyak hal tidak sependapat dengan Syi'ah pada umumnya. Mereka tidak setarakan posisi Imam seperti Nabi yang mempunyai sifat 'ismah (terpelihara dari dosa dan noda), dan Syi'ah Zaidiyah menganggap sama kedudukan semua manusia.
Pada tulisan ini, penulis akan memaparkan tiga aliran terbesar Syi'ah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma'liyah. Juga membahas tentang sejarah pendirian, perkembangan dan perpecahan mereka. Disertai juga dengan penjelasan hakikat istilah (Rafidhah) yang sangat identik dengan golongan Syi'ah.
1) Syi’ah ZaidiyahDefinisi Zaidiyah
Salah seorang ulama Syi'ah Zaidiyah Imam Yahya bin Hamzah 'Alawi (w. 749 H) mendefinisikan Syi’ah Zaidiyah sebagai: "Setiap golongan memiliki doktrin yang dibawa oleh pemimpin masing-masing. Adapun istilah Zaidiyah muncul setelah era Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Semenjak itulah Zaidiyah dikenal sebagai salah satu aliran Syi’ah yang mengatasnamakan nama pemimpinnya".
Jelas dari teks diatas penamaan Syi’ah Zaidiyah dikaitkan dengan Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Zaidiyah merupakan salah satu kelompok Syiah terbesar selain Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah yang masih eksis sampai saat ini. Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H) dalam kitabnya yang terkenal "al-Bahru az-Zahhar" menegaskan, bahwa ada tiga golongan besar Syi’ah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’ilyah (di kenal dengan Syi'ah Bathiniyah).
Sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab klasik yang membahas tentang aliran-aliran Islam menjelaskan bahwa sebenarnya sejarah kemunculan Zaidiyah ditandai ketika Imam Zaid melancarkan revolusi melawan pemerintahan Bani Umayyah, yang didukung oleh lima belas ribu pasukan berasal dari penduduk Kufah di Iraq, di mana hal serupa dilakukan sebelumnya oleh kakek Imam Zaid yaitu imam Hussein bin Ali bin Abi Talib, dan mengalami kegagalan fatal dalam pertempuran di kota Karbala, dengan menewaskan 61 tentara Imam Hussein bin Ali. Namun selanjutnya Imam Zaid tidak menerima kegagalan tersebut, justru ia bersikeras untuk meneruskan revolusi kakeknya dan terus menerus memerangi Bani Umayyah sampai titik darah penghabisan. Maka ia dan bala tentaranya meninggalkan kota Kufah menuju tempat kekuasaan gubernur (Yusuf bin Umar at-Thsaqafi) yang merupakan agen kepala negara ketika itu (Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan) yang berkuasa dari tahun 105 sampai tahun 125 Hijriyah.
Tatkala kedua pasukan tersebut bertemu dan saling berhadap-hadapan, dan sebelum kedua pasukan tersebut memulai peperangan, pasukan imam Zaid yang berasal dari penduduk Kufah berkata kepada Imam Zaid: "Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi Thalib". Imam Zaid menjawab: "bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan lemparan batu dan api".
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid. Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: "kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya". Semenjak hari itu tentara tersebut dikenal dengan nama (Rafidhah) . Mereka inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama golongan Syi’ah Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah.
Peristiwa inilah yang menjadi akar sejarah penggunaan istilah (Rafidhah) bagi golongan syi’ah Imamiyah, yang di tandai dengan penolakan dukungan perang mereka bersama Imam Zaid untuk menghadapi gubernur Iraq ketika itu (Yusuf bin Umar at-Tsaqafi). Sejarah ini dicatat oleh salah satu sejarawan dan ulama Zaidiyah yang bernama Nisywan al-Humairi (w 573H). Dan dia menegaskan bahwa Penamaan Rafidha bagi golongan syi’ah, disebabkan oleh penolakan mereka membantu imam Zaid untuk berpeperang melawan Bani Umayyah. Yaitu, ketika mereka menanyakan sikap Imam Zaid terhadap Abu Bakar dan Umar. Dan ternyata Imam Zaid memberikan tanggapan yang positif terhadap kedua mantan khalifah tersebut) .
Dan kemungkinan besar catatan Nisywan inilah yang membuat salah satu tokoh Mu’tazilah (al-Jahidz) menyimpulkan, bahwa syi’ah sebenarnya terbagi kepada dua golongan saja, yaitu: Syi'ah Zaidiyah dan Syi'ah Rafidhah. Meskipun demikian, dia mengakui kalau masih terdapat golongan lain, namun golongan tersebut baginya tidak terorganisir.
Dari keterangan al-Jahidz nampak jelas bahwa istilah "Rafidhah" menurutnya adalah dua golongan syi’ah, yaitu: Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah dan Ismiliyah al-Bathiniyah.
Hemat penulis, berdasarkan keterangan diatas, sebuah kekeliruan bila memandang perkataan atau istilah "Rafidhah" disamaratakan untuk semua golongan syi’ah tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada salah seorang sejarawan Ahlu Sunnah yang sangat populer yang berasal dari golongan 'Asy'ariah, yaitu Abdul Qahir al-Baghdadi dalam bukunya "al-Farq Baina al-Firaq". Di situ disebutkan: "Golongan Rafidhah setelah wafatnya imam Ali bin Abi Thalib terpecah kepada empat golongan, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah dan Ghulat (ekstrim). Dan anehnya pandangan inipun diikuti oleh al-Isfarayani yang menegaskan kembali bahwa: "Golongan-golongan Rafidhah terbagi kepada tiga, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Kaisaniyah".
Kekeliruan ini diingatkan oleh salah seorang ulama syi’ah Zaidiyah "Ahmad bin Musa at-Thabari". Ia menegaskan bahwa: "Asumsi golongan al-Hasywiyah (Ahlu Sunnah) terhadap syi’ah, mereka menjuluki semua golongan syi’ah dengan satu penamaan, yaitu Rafidhah. Pandangan ini dari segi sejarah tentunya keliru. Sebab yang dimaksud Rafidhah sebenarnya adalah Syi'ah Imamiyah yang merupakan salah satu golongan Syi’a. Mereka menolak untuk menyokong imam Zaid dalam berperang melawan pasukan Umawiyyah, padahal mereka sendiri telah membai'at imam Zaid. Bahkan pada hikikatnya, golongan imamiyah sendiri memiliki beberapa sekte lagi, diantaranya: Syi'ah Qaramithah (Isma'iliyah). Pada kesempatan lain ia menjelaskan bahwa: "Golongan Imamiyah adalah pengikut imam Musa al-Kazhim bin Ja’far Shadiq (Syi'ah al-Itsna'asyariyah), dan pengikut imam Isma’il bin Ja’far Shadiq (Syi'ah al-Isma'iliyah".
Kemudian, imam Shalih al-Muqbali ikut menegaskan juga bahwa syi’ah Zaidiyah bukanlah bagian dari golongan Rafidhah, dan bukan pula golongan Syi’ah ekstim (ghulat). Ia berkata: (Syi’ah Zaidiyah tidak masuk ke dalam golongan Rafidhah. Bahkan juga tidak dapat digolongkan kepada syi’ah ekstrim, karena Syi'ah Zaidiyah memandang baik para sahabat (yang dikafirkan oleh Imamiyah dan Isma'iliyah), seperti: Utsman, Thalhah, Zubair, Aisyah, terlebih lagi kepada dua sahabat Rasulullah, khalifah Abu Bakar dan dan Umar .
Terdapat juga pandangan lain dan tak dapat dipertanggung jawabkan keilmiahannya, yaitu asumsi bahwa Zaidiyah sebenarnya bukan golongan syi’ah, melainkan ia salah satu dari aliran pemikiran Mu’tazilah. Dengan alasan: jika ide mengaitkan Zaidiyah dengan Syi’ah atas dasar bahwa pendiri Zaidiyah adalah berasal dari keturunan ahlu bait, maka begitu juga halnya dengan mu'tazilah, sesungguhnya ide pemikiran Mu’tazilah juga muncul dari ajaran ahlu bait. Statemen ini bukan merupakan sesuatu yang aneh dan menimbulkan rasa heran, sebab Washil bin 'Atha sebagai pendiri Mu’tazilah belajar dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyyah yang merupakan ahlu bait.
Di samping itu, Zaidiyah bukan mazhab yang ekstrim dan berlebihan, sebagaimana ekstimnya syi’ah Imamiyah dan Isma'iliyah. Sebagai contoh yang konkrit, kepemimpinan imam Ali dijadikan fokus utama golongan Syi’ah dan membuahkan nilai-nilai yang ekstrim. Dan keekstriman tersebut tidak ditemukan dalam sikap Zaidiyah terhadap imam, di mana Zaidiyah tidak menganggap imam itu ma'sum. Hal ini disebabkan karena Zaidiyah sangat moderat dalam menilai seorang imam, dalam arti lain tidak mengkultuskan imam. Ditambah lagi, Zaidiyah tidak mengkafirkan para sahabat, sebagaimana syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah terang-terangan mengkafirkan mereka.
Di antara ulama yang berpandangan bahwa Zaidiyah adalah salah satu aliran pemikiran Mu’tazilah dan bukan bagian dari golongan Syi’ah adalah, DR. Muhammad Imarah, lalu diikuti oleh Dr. Abdul Aziz al-Maqalih. Keduanya menegaskan bahwa: "(Zaidiyah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Mu’tazilah. Oleh karena itu, tidaklah tepat pandangan para ulama -baik klasik ataupun kontemporer- yang menggolongkan Zaidiyah sebagai bagian daripada syi’ah" . Senada dengan pandangan diatas, Syekh Ali Asfur menafikan Zaidiyah sebagai bagian dari golongan Syi’ah, dengan alasan yang sama juga bahwa Zaidiyah tidak mengatakan imam itu ma’sum (terpelihara dari noda dan dosa) .
Hemat penulis ini merupakan asumsi yang keliru dan perlu di tinjau ulang. Sebab semangat Syi’ah sangat jelas dalam Zaidiyah. Khususnya pada masalah Imamah (politik), di mana mereka mensyaratkan (seperti halnya Imamiyah dan Isma'iliyah) bahwa imam mesti berasal dari keturunan Fatimah. Dan bedanya, kalau Imamiyah dan Isma'iliyah mensyaratkan garis keturunan dari imam Husein saja, sedangkan Zaidiyah berpendapat dari garis keturunan keduanya, yaitu: Hasan dan Husein, (dan hal ini juga yang membuat mereka bertengkar secara interen).
Adapun alasan bahwa Syi'ah Zaidiyah dikenal sebagai golongan yang memiliki pemikiran yang moderat dan tidak ekstrim dibandingkan golongan Syi’ah Imamiyah dan Isma'iliyah. Maka alasan inipun tidak dapat diterima. Sebab, kemoderatan dan keekstriman berpikir merupakan tabi’at tiap golongan dan aliran manapun. Oleh karena itu, tiap-tiap golongan dapat ditemukan kecenderungan moderat dan ekstrim, seperti halnya dalam golongan Syi'ah Zaidiyah. Di sanapun terdapat sekumpulan ulama Zaidiyah yang berpikiran ekstrim yang dikenal dengan golongan (Syi'ah Zaidiyah al-Garudiyah). Rincian pandangan golongan ini dapat dibaca dalam buku penulis tentang teori politik Syi'ah "al-Firaq as-Syi'iyyah wa Ushuuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha" USIM, Malaysia, 2009.
Imam Shalih al-Muqbali di lain tempat menjelaskan tentang adanya unsur moderat dan unsur ekstrim dalam tiap golongan, seperti yang terjadi dalam Syi'ah Zaidiyah. Ia menjelaskan lebih jauh bahwa: "Sebagian dari pengikut Awam Zaidiyah ada yang berpandangan bahwa derajat dan kedudukan seorang imam sama saja dengan kedudukan Nabi … dan hal ini membuktikan bahwa setiap mazhab ada saja unsur bid’ah didalamnya. Bahkan dipenuhi dengan berbagai bid’ah. Dan terlebih lagi kalau orang tersebut hanya mengandalkan kepada akal pikirannya sendiri. Dan yang tepenting serta merupakan realiti bahwa semua mazhab telah berbuat demikian, walaupun dalam sebagian permasalahan saja" .
Juga perlu ditandaskan di sini, bahwa ulama Syi’ah Imamiyah telah menegaskan Zaidiyah sebagai salah satu golongan Syi’ah. Syekh al-Mufid (w 413H) berkata: "Sesungguhnya syi’ah itu ada dua golongan: Imamiyah dan Zaidiyah) . Dan Imamiyah yang dimaksudkan disini adalah: Itsna ‘Asyariah dan Ismal’iliyah".
Pada tempat lain, Syekh Muhammad Husein al-Ghita dalam penjelasannya tentang perbedaan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah dibandingkan syi’ah lain, ia menegaskan: " keistimewaan utama yang dimiliki oleh Syi’ah Imamiyah dibandingkan dengan seluruh golongan dan aliran keislaman yang lain, yaitu keyakinan mereka terhadap imam dua belas. Dan atas dasar meyakini imam dua belas inilah yang membuat penamaan golongan imamiyah dengan nama "al-Itsna ‘Asyariah". Sebab tidak semua golongan Syi’ah meyakini dua belas imam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penamaan Syi’ah mencakupi juga golongan Zaidiyah, Isma’iliyah, Waqifiyah, Fathiyyah dan lain-lain" . Sebagai pelengkap, Nisywan al-Humayri menegaskan pembagian gologan Syi’ah kepada enam sekte, yaitu: (Saba'iyyah, Sahabiyyah, Gharabiyyah, Kamiliyyah, Zaidiyyah dan Imamiyyah) .
Ada pandangan lain dari Al-Malithi. Ia berpandangan, bahwa Mu’tazilah itu sebenarnya adalah bagian dari golongan Syi’ah Zaidiyah. Tentu pandangan ini tak dapat diterima. Sebab tidak dapat dipepertanggunjawabkan keilmiahannya.
Demikianlah asal usul Syi’ah Zaidiyah yang terafiliasi kepada pendirinya imam Zaid bin Ali Zainal Abidin. Dan dikategorikan sebagai salah satu golongan terbesar Syi’ah selain Syi'ah Imamiyah Itsna’asyariah dan Syi'ah Isma’iliyah Bathinyah.
Sekte-Sekte Syi'ah Zaidiyah
Syi’ah Zaidiyah terpecah ke beberapa sekte. Mayoritas sekte tersebut telah pun punah. Dan yang tinggal hanyalah beberapa kumpulan Zaidiyah di utara dan selatan Yaman, Hijaz (Saudi Arabia), dan Emirat Arab (UEA).
Imam Ibrahim Tababa bin Ismail bin Ibrahim bin Hasan at-Tsani adalah pendiri pertama kepemimpinan Zaidiyah di Yaman, dan diakhiri oleh imam terakhir Zaidiyah, yaitu imam Badar Ahmad bin Yahya bin Hamiduddin. Ia berasal dari keluarga Zaidiyah dari keturunan Hamiduddin. Beliau memangku otoritas keagamaan dan politik di Yaman utara. Dan ia diisolasi setelah terjadinya peristiwa kudeta militer. Dan dengan kejadian itu, ia terpaksa meninggalkan Yaman menuju Arab Saudi, dan kemudian ia sekeluarga pindah ke Inggris dan menetap disana.
Para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan jumlah sekte-sekte Syi’ah Zaidiyah, seperti dibawah ini:
1) Menurut Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H), Zaidiyah terbagi kepada dua sekte, yaitu: Garudia dan Batriah .
2) Al-Razi membagi Zaidiyah kepada tiga sekte, yaitu: Garudia, Sulaimaniyah dan Shalihiyyah.
3) al-Noboukhti al-Itsna'asyariyah (w. 332 H) membagi Syi'ah Zaidiyah kepada empat sekte, yaitu: al-Sarhobiyyah (Garudia), al-‘Ajliyyah, al-Butriyyah dan al-Husainiyyah .
4) Imam Yahya bin Hamzah (w. 749 H), membagi Syi'ah Zaidiyah kepada lima sekte, yaitu: Garudia, Shalihiyyah, Butriyyah, ‘Aqbiyyah dan Shahabiyyah.
5) Imam Asy'ari membagi sekte Syi’ah Zaidiyyah kepada enam, yaitu: Garudia, Sulaimaniyyah, Batriyyah, Nu’aimiyyah, Ya’qubiyyah, dan ia tidak menyebutkan nama sekte yang keenam.
6) Imam al-Isfarayeni setuju dengan pembagian imam Asy’ari pada pembagian tiga pertama saja, dan penamaan di ubahnya dengan: Jaririyyah dan Batriyah..
7) Imam Syahrastani setuju dengan ketiga pembagian tersebut, namun ia menggabungkan sekte Shalihiyyah dan Batriyyah dalam satu sekte .
8) Qadhi Abdul Jabbar menyetujui pembagian imam Asy’ari pada ketiga pembagian pertama yaitu: Garudiyyah, Sulaimaniyah dan Batriyyah, dan sisanya adalah sekte Yamaniyyah, Shahibiyyah dan ‘Aqbiyyah .
Dari beberapa fakta diatas, ditambah uraian sejarawan dan ulama, maka dapat disimpulkan bahwa sekte terpopuler Syi’ah Zaidiyah ada tiga. Hal ini dipaparkan oleh salah satu ulama Zaidiyyah, yaitu Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H). Ia menegaskan bahwa: "Syi’ah Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah. Dan konon ada yang membagi sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah. Dan sekte Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah. Jadi ketiga sekte tersebut merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awa. Dan ketiga sekte inipun tidak berafiliasi kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali. Dan mereka hanyalah sekedar penyokong berat imam Zaid ketika terjadi revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid".
Menurut pendapat Dr. Samira Mukhtar al-Laitsi dalam bukunya (Jihad as-Syi’ah), ketiga sekte tersebut merupakan golongan Syi'ah Zaidiyyah di masa pemerintahan Abbasiah. Dan meyoritas dari mereka ikut serta dalam revolusi imam Zaid. Dan ketiga sekte tersebut dianggap paling progresif dan popular serta berkembang pesat pada masa itu. Dan setelah abad kedua, gerakan Syi'ah Zaidiyah yang nampak di permukaan hanyalah sekte Garudiyah. Hal ini disebabkan karena tidak ditemukannya pandangan-pandangan yang dinisbahkan kepada sekte Syi'ah Zaidiyah lainnya. Adapun dalam perkembangannya, para pengikut Zaidiyah Yaman terpecah kepada dua golongan, yaitu: Husainiyah dan Mukhtari’ah Matrafiyah. Sementara Syi'ah Zaidiyah pada abad keempat hijriah yang berdomisili di wiliyah Jail dan Daylam berpecah juga kepada dua golongan, yaitu: Qasimiyah dan Nashiriyah. Dan penamaan keduanya mengikut kepada dua imam mereka masing-masing yaitu: al-Qasim ar-Rasy dan an-Nashir al-Atrusy.
Demikianlah paparan para sejarawan islam tentang denominasi sekte-sekte Syi’ah Zaidiyah yang pada garis besarnya terdiri dari:
1) Zaidiyah Garudiyah.
2) Zaidiyah Batriyah.
3) Zaidiyah Sulaimaniyah atau dikenal sebagai Zaidiyah Jaririyah.
Dan penulis menegaskan kembali bahwa Syi’ah Zaidiyah merupakan golongan Syi’ah yang sangat moderat dan terbuka bagi aliran-aliran lain dalam Islam, di mana Zaidiyah menganggap perlunya kontinuitas ijtihad. Dalam artian, pintu ijtihad harus dibuka selebar-lebarnya. Sebab menurut imam Syaukani: "Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)". Berdasarkan atas pentingnya ijitihad, maka bagi Syi’ah Zaidiyah bertaqlid hukumnya haram bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid, sebab ia diwajibkan untuk melakukan ijtihad demi mencari nilai kebenaran.
Dalam penilaian syekh Abu Zuhrah, Syi’ah Zaidiyah pada hakikatnya memberikan pilihan bebas kepada penganutnya untuk memakai pandangan mazhab-mazhab islam lainnya, dengan cara memilih pandangan yang sesuai dengan bukti atau dalil. Dan dalil tersebut tidak bertentangan dengan pegangan umum yang disepakati oleh Syi'ah Zaidiyah. Dan sikap mereka sebenarnya merealisasikan ucapan para imam-imam mazhab yang mengatakan: “Tidak sah bagi seseorang mememakai pendapat kami, kecuali ia tahu sendiri sumber aslinya (Qur"an dan Sunnah“. Dengan konsep keterbukaan ijtihad inilah yang membuat Syi’ah Zaidiyah kaya akan pandangan dan pemikiran agama. sehingga ada sebagian dari ulama mereka yang ditemukan menganut corak berpikir golongan lain.
Disamping itu, perlu dicatat bahwa Syi’ah secara umum tercatat dalam sejarah politik Islam senantiasa memasang sikap oposisi terhadap pemerintah. Dan cara oposisinya bervariasai antara satu dengan yang lainnya. Kalau Syi’ah Zaidiyah, sikap oposisi mereka secara terang-terangan, atau dalam istilah mereka dikenal dengan “al-Khuruj”. atau frontal, dan bila perlu melakukan revolusi secara besar-besaran. Namun berbeda dengan golongan Syi’ah lainnya (Imamiyah dan Isma’ilyah). Mereka memilih oposisi dengan cara rahasia, alias gerakan bawah tanah (tersembunyi), atau dalam istilah mereka dikenal sebagai “Taqiyah”, atau diam-diam, tak mendeklarasikan diri dan identitas asli.
Syi’ah Zaidiyah Diantara Berbagai Aliran
Syi’ah Zaidiyah memiliki kedekatan dengan Ahlu Sunnah. Kedekatan tersebut disebabkan karena sebahagian dari sekte Syi'ah Zaidiyah seperti “Shalihiyah dan Batriyah” berpendapat bahwa kepemimpinan itu hendaklah dilakukan secara kontrak dan seleksi (pemilihan umum). Dan mereka menganggap sah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Alasannya, sebab imam Ali sendiri telah melepaskan jabatan tersebut dan menyerahkannya kepada mereka berdua. Di samping itu, tidak pernah terdengar kalau imam Ali menuntut mereka berdua. Itulah sebabnya, Syi'ah Zaidiyah dianggap sebagai golongan Syi’ah yang terdekat dengan Ahlu Sunnah, khususnya pada era awal kemunculannya. Pandangan Syi’ah Zaidiyah sama seperti pandangan ulama salaf, yaitu mengamalkan seutuh-utuhnya sumber hukum asal yaitu: Qur’an dan Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh DR. Ibrahim Madkur, dalam pandangannya, Syi’ah Zaidiyah pada masalah ketuhanan (Uluhiyah) sebenarnya pada era awal pendirian golongan tersebut sangat dekat dengan pandangan Salaf, namun pada perkembangannya -khususnya pengikut Zaidiyah di Yaman- mereka lebih dekat kepada pandangan golongan Mu’tazilah.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa Syi’ah Zaidiyah pada era awal lebih dekat kepada Ahlu Sunnah, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan dan pergeseran, di mana Syi'ah Zaidiyah lebih dekat kepada golongan Mu’tazilah. Oleh karena itu, Syi'ah Zaidiyah pada era kebelakangan memiliki perbedaan dengan Ahlu Sunnah pada dua hal, yaitu:
Pertama:
Adanya Kecenderungan Syi'ah Zaidiyah kepada aqidah Mu’tazilah. Syahrastani menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena imam Zaid pernah berguru dengan pendiri Mu’tazilah, yaitu Washil bin ‘Atha. Namun perkara belajarnya imam Zaid kepada Washil dibantah oleh salah seorang ulama Zaidiyah, yaitu Ibnu al-Wazir al-Yamani, ia mengkritik keras pernyataan Syahrastani dan berkata: “Adapun pernyataan Muhammad bin Abdul Karim bin Abi Bakar, yang dikenal “Syahrastani” dalam bukunya (al-Milal wa an-Nihal), bahwa imam Zaid mengikuti pandangan Washil bi ‘Atha, dan bahkan ia berguru padanya tentang ajaran Mu’tazilah, dan ia ikuti ajaran tersebut, ditambah dengan isu terjadinya debat antara imam Zaid dengan saudaranya imam al-Baqir, kesemua hal tersebut adalah tidak terjadi dan merupakan bohong belaka. Dan hal ini diperkirakan hasil penipuan dan kebohongan Rafidhah (imamiyah)".
Menurut hemat penulis, sebenarnya perkara bergurunya imam Zaid kepada Washil memang terjadi, namun hal ini tidak lantas dijadikan tuduhan bahwa imam Zaid mengikut pandangan Washil, seperti dalam masalah sifat-sifat Tuhan. Ditambah lagi, tidak ditemukannya bukti bahwa imam Zaid berideologikan mazhab Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya, imam Zaid berideologikan mazhab Ahlu Sunnah, dan pengikutnyalah yang berpedomankan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Hal ini ditegaskan sendiri oleh imam Ibnu Taimiyah, dan ia meyakinkan kita bahwa imam Zaid menganut ajaran Ahlu Sunnah, sebagaimana ucapannya: "Tidak semua keturunan Fatimah itu diharamkan dari api Neraka, sebab diantara mereka ada yang baik dan ada pula yang buruk, dan nampaknya mayoritas yang buruk dari keturunan Fatimah adalah dari kalangan Syi’ah Rafidah (Imamiyah). Adapun Syi’ah Zaidiyah yang diprakarsai oleh imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keturunan Fatimah yang baik-baik, mereka ini adalah Ahlu Sunnah dan mereka mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, sebab mereka tidak bermasalah (tidak mengkafirkan) khalifah Abu Bakar dan Umar".
Senada dengan pandangan ibnu Taimiyah, syekh Mahmud Syukri al-Alusi juga menegaskan: ¬"Sesungguhnya imam-imam Ahlu Bait termasuk imam Zaid hakikatnya adalah beraqidah Ahlu Sunnah. Sebab mereka mengikut jejak Ahlu Sunnah dan respek kepada dakwah mereka. Dan para imam Syi’ah pun sejalan dengan Ahlu Sunnah, bagaimana tidak, imam Abu Hanifah dan imam Malik dan imam lainnya, merekapun belajar dari para imam mereka" .
Kecenderungan pengikut Syi’ah Zaidiyah kepada corak pemikiran Mu’tazilah berlarutan dari era imam Zaid sampai kepada era akhir imam Shaleh al-Muqbali (1108H). Dan imam Shaleh al-Muqbali sendiri berpendapat bahwa pengikut Zaidiyah di Yaman adalah pengikut Mu’tazilah dalam segala masalah kecuali masalah imamah (politik). Masalah politik sebenarnya masalah fiqh (furu’yah) bukan masalah aqidah, namun dianggap sebagai masalah aqidah (ushuliyah) oleh para ulama teologi Islam, akibat sengitnya permusuhan yang terjadi di antara mereka.
Di lain tempat, imam Shaleh al-Muqbali mengindikasikan adannya kesesuaian aqidah antara Syi’ah Zaidiyah dengan Mu’tazilah. Adapun dalam masalah fiqh (furu’iyah), sebenarnya Syi’ah Zaidiyah berselisih faham antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang cenderung kepada mazhab Hanafi, dan ada yang lebih berat kepada mazhab Syafi’i. Namun dengan catatan, kecendrungan mereka terjadi hanya karena mereka menemukan kesesuaian dalam salah satu mazhab tersebut bukan karena taqlid kepada imam lain. Dan ada juga diantara mereka yang tidak cenderung ke salah satu mazhab, ini merupakan perkara biasa. Sebagaimana halnya para mujtahidin, mereka senantiasa melakukan ijtihad sendiri.
Dan fenomena keterbukaan diatas menjadikan Syi’ah Zaidiyah mazhab yang elastis dan fleksibel. Maka tak heran kalau didapati beberapa ulama Syi’ah Zaidiyah mengarah kepada Ahlu Sunnah, seperti: Imam Muhammad Ibnu al-Wazir al-Yamani (w 840H), Imam Shalih al-Muqbali (w 1108H), Imam al-Amir as-Shan’ani (w 1182H) dan Imam as-Syaukani (w 1250H), dan perlu diindikasikan bahwa kenderungan Syi’ah Zaidiyah beralih ke mazhab Ahlu Sunnah sangat disayangkan oleh Syekh Ja’far Subhani (tokoh kontemporer Syi’ah Imamiyah), disamping itu ada juga yang cenderung kepada Mu’tazilah, seperti: Imam Yahya bin Hamzah al-‘Alawi (w 749H) dan Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w 840H), dan sebagian dari mereka cenderung kepada Syi’ah Imamiyah, seperti: Imam al-Qasim ar-Rasy (w 246H), Imam Yahya bin Husain ar-Rasy (w 298H), Imam Ahmad bin Yahya bin Husain (w325H), Imam Humaidan bin Yahya (w 656H) dan Imam Ahmad bin Sulaiman (w 566H).
Dan yang menarik perhatian dari fenomena diatas, tedapat beberapa pengikut Mu’tazilah di Bagdad seperti Muhammad Abdullah al-Iskafi dan lainnya, menamakan diri sebagai penganut atau pengikut Syi’ah Zaidiyah.
Dari keterangan diatas, nampak jelas betapa eratnya hubungan persahabatan antara Syi’ah Zaidiyah dengan Mu’tazilah. Secara pribadi terjalin ikatan hubungan persaudaraan antara imam Zaid dan Washil bin 'Atha. Dan hal tersebut dikomentari oleh DR. Sulaiman as-Syawasyi dalam bukunya (Washil bin ‘Atha wa Aaraa,uhu al-Kalamiyah), di mana beliau menyebutkan bahwa Washil bin 'Ata sebagai pendiri Mu’tazilah sebenarnya mempunyai kecenderungan kepada Syi’ah, namun kecenderungan tersebut hanyalah sebatas rasa simpati dan loyal terhadap Ahlu Bait. Dan rasa simpatinya itu tidak sampai kepada tahap ekstrim syi’ah (Ghulat Syi’ah), seperti aliran Sabaiyah, Kaisaniyah, atau gologan Syi’ah ekstrim lainnya. Dan sebenarnya rasa simpati kepada Syi'ah, bukan hanya datang dari kalangan Mu’tazilah atau Washil beserta pengikutnya saja, tetapi rasa simpati juga datang dari beberapa tokoh Ahlu Sunnah, seperti imam al-Hasan al-Bashri, imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam-imam Ahlu Sunnah lainnya. Mereka semua dikenal bersimpati kepada Ahlu Bait dan dan tak setuju dengan perlakuan pemerintahan Umawiyah terhadap golongan Syi'ah. Akan tetapi, rasa simpati yang nampak dari diri Washil bin 'Atha tercermin pada sikap antipatinya kepada pemerintah Umawiyah.
Jadi, dengan adanya ikatan persaudaraan yang terjalin antara imam Zaid dan Washil bin 'Atha membuktikan adanya hubungan erat Ahlu Bait dengannya. Kecuali hubungannya dengan imam Ja’far Sadiq yang tidak terjalin dengan baik.
Kedua:
Masalah Imamah (politik). Ia merupakan pusat perhatian dari semua golongan Syi’ah (Zaidiyah, Imamiyah Itsna’asyariyah, Isma’ilyah Bathiniyah). kesemua golongan Syi'ah menumpukan perhatian kepada imam yang dianggap sebagai ideologi politik mereka. Hal ini terjadi karena beberapa faktor utama munculnya gerakan Syi’ah adalah: keyakinan bahwa imam Ali adalah sebaik-baiknya sahabat Rasulullah, berpegang teguh kepada kepemimpinan Rasulullah dari kalangan Ahlu Bait, dan dalam keadaan dan perkara apapun haruslah berkiblat kepada Ahlu Bait.
Dalam perkembangannya, Syi'ah Zaydiyah sebagai salah satu golongan Syi’ah terbesar, telah melalui beberapa perpecahan, peperangan dan revolusi, namun mereka masih lagi mengikuti teori Imamah, Tapi yang menarik ideologi politik Syi'ah Zaidiyah terlihat sangat berlainan dengan ideologi politik Syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah. Dimana Syi'ah Zaidiyah membangun kembali ideologi politiknya dengan merumuskan beberapa rumusan, seperti: Boleh mengangkat seorang imam sekalipun ada yang lebih baik darinya, pemberlakuan ijtihad, mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, pengangkatan imam bukan dengan penunjukan ilahi (nash). Dan yang terpenting lagi adalah, mereka mengingkari beberapa prinsip dasar syi'ah Imamiyah dan Isma’ilyah, yaitu: keyakinan bahwa para imam adalah ma’sum (terhindar dari ma’siat dan kesalahan), Raj’ah (kebangkitan kembali), Taqiyah (berdakwah dengan jalan rahasia), dan imam Ghaib.
Untuk lebih jelasnya, Imam Yahya bin Hamzah (749H) menjelaskan dasar-dasar mazhab Syi’ah Zaidiyah, ia menegaskan, perbedaan Syi’ah Zaidiyah dengan mazhab Islam lainnya adalah: “barang siapa dalam aqidahnya mengakui masalah ketuhanan, hikmah, janji (alwa’d) dan ancaman (al-Wa’id), membatasi imamah pada keturunan Fatimah, imamah melalui penunjukan ilahi (an-Nash) terahadap tiga imam, yaitu: imam Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husein, imamah ditegakkan atas dasar revolusi (al-Khuruj), maka siapa saja yang mengakui kesemua dasar-dasar di atas maka ketahuilah seseungguhnya ia layak menjadi Syi’ah Zaidiyah”.
Dasar-Dasar Politik Zaidiyah
Sekilas tentang perbedaan antara faksi-faksi Syiah dalam masalah Imamah atau politik, terutama Syiáh Zaidiyah, adapun asal-usul politiknya ditandai dengan beberapa hal berikut:
Pertama:
Menurut Syi'ah Zaidiyah boleh mengangkat seorang pemimpin sekalipun ada yang lebih layak darinya. Akan tetapi ide ini bukan aturan umum dalam sekte Syi'ah Zaidiyah, sebab kalau dimutlakkan maka akan gugur konsep revolusi (al-Khuruj). Teori tersebut diperkenalkan oleh Imam Zaid dengan tujuan membenarkan legitimasi Khalifah Abu Bakar, dan menggugurkan gugatan orang yang mencelanya. Oleh karena itu, setelah masa Imam Zaid, maka para pengikutnya mengubah konsep tersebut dengan mewajibkan memilih seorang pemimpin yang paling layak dari sekian calon pemimpin. Dan menurut mereka ada empat kelayakan dan kredibilitas yang mesti ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu:
1) Memiliki keberanian untuk membela agama, dan tidak takut kepada siapapun kecuali Allah Swt.
2) Bersifat Zuhud di dunia ini dan hanya mengharapkan balasan akhirat semata.
3) Faham akan maslahat dan kepentingan rakyat dan agama.
4) Berjuang dengan pedang.
Barang siapa yang memiliki ciri khas diatas maka wajib didahulukan dan diangkat menjadi pemimpin umat.
Kedua:
Pemimpin mesti dari keturunan Fatimah, baik dari garis keturunan Hasan ataupun Husein. Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’ilyah hanya mengakui pemimpin yang berasal dari garis keturunan Husein saja. Oleh karena itu pemimpin negara yang berasal dari keturunan Hasan tidak sah bagi keduanya. Tentunya ini masalah yang pelik dalam pemikiran politik Syi'ah, sehingga menjadi sengketa dan perseteruan utama antara mereka untuk merebut kekuasaan, dengan cara saling memfasikkan dan mengkafirkan satu sama lain hanya karena perbedaan garis keturunan ini.
Namun pada kenyataannya, yang memotivasi Syi'ah Imamiyah dan Isma’iliyah untuk membatasi kelayakan pimpinan dari garis keturunan Husein saja disebabkan karena Imam Hasan mengundurkan diri dari suksesi yang terjadi antara dia dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam sukesesi tersebut, Imam Hasan menyerahkan bulat-bulat tongkat kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan tanpa dilakukan pemilihan. Karena peristiwa inilah yang menjadikan Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah tidak memberikan kesempatan kepada garis keturunan Imam Hasan untuk menjadi pemimpin. Dan dengan peristiwa ini pulalah Syi'ah Isma’ilyah memunculkan teori politik baru yang tidak dikenal sebelumnya oleh aliran Syi'ah lain, yaitu: Imam tetap (al-Imam al-Mustaqir) dan Imam sementara (al-Imam al-Mustauda’). Tujuan teori ini untuk menutupi kekosongan pimpinan dari garis keturunan Imam Ali ra. yang timbul akibat terdapat kecacatan pada urutan suksesi dalam serangkaian imam. Oleh karena itu, dalam asumsi Syi'ah Isma’iliyah Imam Hasan adalah imam sementara sebab ia melepaskan jabatannya.
Ketiga:
Syi'ah Zaidiyah mayoritas berpendapat bahwa imam itu tidak suci (ma’shum) tidak seperti Nabi Saw yang memiliki sifat ma'shum. Dan ini berbeda dengan ideologi Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah yang menegaskan bahwa keseluruhan Imam-Imam Sy’iah suci (ma’shum) dari segala perbuatan dosa kecil ataupun besar, baik yang tersurat ataupun yang tersirat, sengaja atau tidak disengaja. Dan juga mereka harus terbebas dari kesalahan bahkan kelupaan dan kelalaian.
Keempat:
Syi'ah Zaidiyah mensyaratkan keabsahan seorang imam melalui revolusi (al-Khuruj) atau boleh kita istilahkan “revolusi pedang”. Revolusi ini melambangkan perjuangan politik Syi'ah Zaidiyah dengan ketegaran dan ketegasan serta penuh keterbukaan. Berbeda dengan aliran Syi'ah lain, - seperti Imamiyah dan Ismaíliyah- di mana perjuangan mereka dengan cara tersembunyi dan terselubung, atau dikenal dengan konsep (Taqiyyah). Dengan sistem revolusi ini, Syiáh Zaidiyah tidak menjadikan Imam Ali bin al-Husein alias Zainal Abidin masuk dalam rangkaian Imam. Sementara Syiáh Imamiyah dan Ismaílyah menjadikan Ali bin al-Hesein sebagai bagian dari silsilah imam mereka.
Konsep revolusi ini telah dirumuskan oleh pendiri Zaidiyah yaitu Imam Zaid, dan sekaligus diaplikasikan dalam kepemimpinannya sendiri untuk memberontak terhadap ketidakadiklan yang berlaku. Maka ia melancarkan revolusi politik terhadap pengusasa ketika itu, meskipun tindakan revolusi tersebut tidak mendapatkan support dari pihak keluarganya, seperti saudara kandungnya Muhammad Baqir, dan Muhammad bin al-Hanafiah. Kedua-duanya menasehati Imam Zaid mengenai bahaya yang akan dihadapinya bila ia meneruskan revolusi tersebut. Namun ia menolak nasehat tersebut, dan pergi ke luar untuk memberikan contoh kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Tindakan ini mendapatkan reaksi berat dari Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismíliyah. Lalu mereka mengkritisi segala bentuk tindakan revolusi yang dikukan oleh para pengikut Imam Zaid setelah kematiannya.
Dapat dilihat, bahwa sikap revolusioner yang dilakukan oleh golongan Syiáh Zaidiyah dengan sendirinya menunjukkan bahwa seorang pemimpin atau kepala negara bukannya orang yang suci (Ma’shum) dan layak dikultuskan, yang tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Sementara bagi Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismaíliyah malah sebaliknya, Imam adalah simbol kesucian (Ma’shum). Maka sistem politik dan pemerintahan mereka dikenal dengan sistem Teokratis. Dan sistem ini telah dikenal sejak zaman mesir kuno, Yunani dan Rumania. Di mana seorang pemimpin negara dimata rakyat meruapakan simbol agama dan dunia sekaligus. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan dibungkus dengan keagamaan yang terpatri dalam diri seorang raja. Ia dijadikan sebagai kekuasaan absolut yang tidak boleh dipertanyakan dalam bentuk apa pun. Tidak peduli apakah raja tersebut berlaku adil ataupun tidak. Apakah dia bijak,baik atau jahat. Kesemuanya tidak menjadi masalah, sebab keputusan yang dibuatnya menurut asumsi mereka adalah keputusan Ilahi semata. Dan konsep tersebut diadopsi oleh beberapa sistem pemerintahan yang mengaku diri Islam, dalam istilah yang dikenal dengan sistem “Teokrasi”. Padahal agama Islam sendiri tidak demikian sistemnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوْحَى إِلَيَّ أنََمَا إَلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِيْنَ
Yang artinya:
(Katakanlah:"Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya"), -Fushshilat: 6-
Namun sangat disayangkan, penetrasi sistem Teokrasi ini lebih dalam daripada penetrasi sistem agama Islam.
Kelima:
Syiáh Zaidiyah membolehkan adanya dua pemimpin utama dalam masa dan waktu yang sama. Hal ini dibolehkan karena sesuai dengan keperluan zaman. Yaitu meluasnya daerah kekuasaan Islam yang terbentang ketika itu dari wilayah Samarqand sampai Spanyol dan selatan Prancis. Dan pandangan ini berlawanan dengan Syiáh Imamiyah dan Syiáh Isma’ilyah. Karena mereka hanya membolehkan adanya satu Imam dalam setiap masa.
Dari uraian diatas nampak jelas keunikan sistem politik Syiáh Zaidiyah dibandingkan aliran Syiáh imamiyah dan Syi'ah Ismaíliyah. Di mana pengangkatan seorang Imam dilakukan dengan jalan suksesi, yang dalam era politik sekarang dikenal dengan sistem “demokrasi”, yang dilandaskan atas konsep revolusi (al-Khuruj). Hal ini yang memotivasi Syíah Zaidiyah menolak “Taqiyyah,” yaitu perinsip perjuangan politik Syiáh Imamiyah dan Syi’’ah Ismaíliyah yang terselubung dan sembunyi.
Tercatat dalam sejarah politik Islam, Syiáh dari berbagai aliran dan sektenya selalu menjadi partai oposisi, akan tetapi metode yang digunakan oleh masing-masing aliran tersebut bervariasi antara satu sama lain. Syi'ah Zaidiyah memilih oposisi dengan caranya sendiri, yaitu dengan secara nyata dan terang. Namun aliran Syiáh Imamiyah dan Syiáh isma'iliyah lebih memilih berjuang secara rahasia melalui konsepnya “at-Taqiyyah”.
Untuk lanjutan dan rincian mendalam mengenai perseteruan tiga aliran terbesar Syi'ah (Zaidiyah,Imamiyah,Isma'iliyah) dalam masalah politik serta kritikan Sunni, silahkan membaca buku penulis:
" الفرق الشيعية وأصولها السياسية وموقف أهل السنة منها", di cetak oleh Unversiti Sains Islam Malaysia, 2009.
Malaysia
1 komentar:
Panjangnya tulisannya :D
Post a Comment