Thursday, December 24, 2009
DISKURSUS TEOLOGI ISLAM
DISKURSUS TEOLOGI ISLAM DALAM PERSPEKTIF IMAM AL-QURTHUBI
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Sebelum berbicara mengenai pandangan imam al-Qurthubi terhadap ilmu kalam (Teologi Islam), maka alangkah baiknya jika saya paparkan terlebih dahulu tentang definisi ilmu kalam, agar kita dapat memiliki gambaran mengenainya walaupun hanya secara global.
Definisi ilmu kalam:
Ada beberapa definisi ilmu kalam yang akan kami paparkan sebagiannya, seperti dalam kitab al-Mawaaqif karangan al-Iiji, dia sebutkan bahwa definisi ilmu kalam adalah: “ ilmu yang mampu mengukuhkan akidah agama dengan mendatangkan berbagai hujjah dan menolak tuduhan. Dan yang dimaksud dengan akidah adalah apa yang dituju oleh keyakinan tanpa mengikut sertakan amal perbuatan, dan agama yang dinisbahkan kepada agama Muhammad saw( ).
Sedangkan filosof Islam al-Farabi mendefinisikannya sebagai, “ kekuatan yang membuat manusia mampu untuk membela berbagai pendapat dan perbuatan yang spesifik yang telah dijelaskan oleh Sang pembuat agama (Allah), dan menolak segala pandangan yang bertentangan dengannya”( ).
Kedua definisi ini menarik perhatian bahwa al-Iiji dan al-Farabi telah menjadikan ilmu kalam sebagai pembela atau penolong akidah islam tanpa membedakan antara berbagai aliran yang ada di dalam islam. Dan di sisi yang lain, kita mendapati Ibnu Khaldun membatasi definisi ilmu kalam hanya sekedar sebagai pembela akidah berdasarkan keyakinan ulama salaf dan ahli sunnah, dengan tanpa mengikut sertakan aliran kalam yang lainnya, seperti mu’tazilah dll. Dia berkata, “ ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai hujjah mengenai akidah keimanan dengan dalil aqli, dan menjawab para pembuat bid’ah dalam akidah yang menyimpang dari aliran ulama salaf dan ahli sunnah”( ).
Definisi ini sependapat dengan definisi imam al-Ghazali yang berbunyi, “ sesungguhnya yang dituju oleh ilmu kalam adalah menjaga akidah ahli sunnah, dan memeliharanya dari pengrusakan yang dilakukan oleh para pembuat bid’ah”( ).
Dari berbagai definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip dasar ilmu kalam adalah untuk menjaga dan memperkuat akidah dengan cara mengemukakan berbagai dalil aqliah (logika), bukannya untuk menciptakan akidah dalam hati orang mu`min. Maka tugas ilmu kalam adalah menjelaskan akidah dan menopangnya dengan berbagai dalil logika, serta membedakannya dengan berbagai akidah dan dasar yang lain yang menyimpang dari agama. Juga untuk menjawab tuduhan yang dimunculkan oleh penganut agama bukan islam.
Berdasarkan hal ini, dapat kami katakan bahwa ilmu kalam memiliki peran yang positif dalam memperkuat kebenaran akidah dengan logika. Karena sebagian manusia membutuhkan dalil yang bersifat logika untuk memperkuat keberadaan Sang pencipta, terutama di zaman sekarang ini. Karena mereka disibukkan dengan penelitian yang panjang dan berbelit-belit dalam berbagai perkara yang spesifik, yang membuat mereka menolak setiap pengetahuan yang datang bukan dengan cara ini (logika).
Di samping itu, dalil atau bukti yang lebih spesifik, lebih jelas, dan lebih panjang lebih bermanfaat untuk mereka, karena mereka terbiasa dengan hal ini. Jika suatu dalil memiliki pengantar yang sedikit, maka mereka tidak dapat diyakinkan dengan dalil tersebut.
Menurut hemat saya, alangkah baiknya jika saya sebutkan terlebih dahulu pendapat beberapa orang ulama mengenai ilmu kalam dan hukum menggelutinya, untuk lebih memperjelas kecendrungan imam al-Qurthubi terhadap suatu pendapat.
Pendapat mereka ini dapat dibagi kepada dua kelompok:
Pertama:
Beberapa orang ulama berpendapat bahwa boleh mempelajari dan mendalami kajian ilmu kalam. Bahkan mereka menggalakkan kajian-kajian teologi, seperti Ibnu ‘Asaakir, al-Bayaadhi, dan al-Ghazali, dan yang lainnya.
Argumentasi yang mereka paparkan bagi dibolehkannya mempelajari ilmu kalam adalah sebagai berikut:
1) Sesungguhnya berbagai dalil yang diajukan oleh pemilik pendapat yang pertama tadi bukan bersifat umum. Yang dilarang dalam ayat dan hadits adalah melakukan perdebatan dan pertengkaran yang tidak mendatangkan manfaat. Sedangkan perdebatan untuk menampakkan wajah kebenaran dari yang salah tidak dilarang.
Imam Al-Bayaadhi berkata, sedangkan perdebatan untuk menampakkan kebenaran tidak dibenci. Bahkan ini adalah yang diperintahkan dalam firman-Nya” ((وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ)) – النحل : 125 – “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (an-Nahl: 125)( ).
Pada tempat lain, Imam al-Ghazali menjelaskan esensi ilmu kalam, dan ia tegaskan bahwa: “ sesungguhnya tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahli sunnah, serta memeliharanya dari pencemaran yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Allah telah memberikan akidah yang berisikan kebenaran melalui lisan Rasul-Nya saw. yang sesuai untuk agama dan dunia mereka. Sebagaimana Dia berikan pengetahuan al-Qur`an kepadanya, maka setan juga melemparkan berbagai perkara yang bertentangan dengan sunnah dalam rasa keragu-raguan para pembuat bid’ah. Dan hampir saja mereka rusak akidah yang benar dari penganutnya. Maka Allah ta’ala membuat sekelompok mutakallimin, dan Dia gerakkan hati mereka untuk membela hadits dengan perkataan yang tersusun, yang menyingkap tipuan ahli bid’ah yang suka membuat-buat perkara yang bertentangan dengan sunnah Nabi saw., oleh karena itu lahirlah ilmu kalam dan penggelutnya”( ).
2) Sesungguhnya para sahabat tidak menggeluti ilmu ini. Dan mereka hanya cukup menyibukkan diri mereka dengan apa yang ada di dalam Kitab dan sunnah; karena berlaku sombong, memancing keragu-raguan, menutupi kebenaran dengan kesamaran yang dipakaikan dengan pakaian kebenaran dalam akidah tidak menjadi suatu fenomena pada saat itu. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan ilmu ini; untuk dijadikan taruhan dan diperdebatkan dengan dalil logika untuk mengukuhkan akidah. Dan salah seorang ahli ilmu kalam telah mengisyaratkan perkataan ini yang kononnya dinisbahkan kepada Abu Hanifah r.a.,” sesungguhnya para sahabat Rasulullah saw. tidak memasuki ilmu ini, karena perumpamaan mereka bagaikan perumpamaan kaum yang tidak ada musuh di hadapan mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan senjata. Sedangkan kami telah dicoba dengan orang yang membuat keragu-raguan terhadap kami. Maka yang dapat kami lakukan hanyalah mengetahui orang yang salah dan yang benar dari kami, dan jangan sampai kita salahkan diri kita”( ).
Kelompok ini menilai bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang memiliki martabat yang paling tinggi di antara ilmu-ilmu yang lainnya. Karena ilmu ini membahas berbagai perkara yang sangat umum dan tinggi. Dan ilmu ini juga memiliki tujuan yang sangat luas dan mulia dengan memiliki berbagai dalil yang dapat diterima oleh logika. Dan dalil logika ini didukung oleh dalil naql yang merupakan dalil yang sangat dapat dipercaya. Dan ini adalah arah kemuliaan ilmu yang tidak dapat ditandingi. Oleh karena itu, ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia( ).
Al-Alusi sebagai pakar tafsir memadang sangat perlunya mempergunakan hujjah yang bersifat logika dalam memperkuat akidah, sebagaimana yang dia jelaskan dalam penafsirannya untuk firman Allah taala,
((وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ)) – البقرة : 165 –
Yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (al-Baqarah: 165).
Dia berkata, “ayat ini merupakan legalitas dalil dengan menggunakan dalil logika, serta peringatan terhadap kemuliaan ilmu kalam, dan keutamaan orang yang menggelutinya. Dan barangkali juga memberikan isyarat kepada kemuliaan disiplin ilmu ini. Dan firman-Nya yang berbunyi, “ dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah”, merupakan sebuah penjelasan bagi kondisi orang-orang musyrik setelah penjelasan berbagai dalil yang menunjukki ketauhidan-Nya”( ).
Imam al-Ghazali memandang bahwa ilmu kalam terkadang memberikan manfaat, dan terkadang memberikan kerusakan. Maka ilmu kalam memberikan manfaat manakala dipergunakan secara benar, yaitu ketika tengah menjawab berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh musuh-musuh agama. Sedangkan ketika dia mengobarkan berbagai tuduhan maka dia datangkan kemudharatan yang tidak ada gunanya sama sekali.
Namun meskipun demikian, Imam al-Ghazali tidak lupa mengingatkan kita tentang adanya sisi negatif daripada ilmu kalam. Beliau berkata: “ Sesungguhnya di dalam ilmu kalam ada manfaat dan ada mudharat. Dia bermanfaat dalam kondisi halal, ataupun sunat, ataupun wajib, sesuai yang dituntut oleh kondisi. Dan dia memberikan kemudharatan ketika dia munculkan kemudharatan, dan tempatnya adalah haram. Sedangkan kemudharatannya adalah memunculkan keragu-raguan, menggoyahkan akidah, dan menghilangkannya dari kepastian”( ).
Kedua:
Sebagian ulama berpendapat haram hukumnya menggeluti ilmu kalam. Ini adalah pendapat Ibnu Qutaibah, al-Khaththabi, imam empat mazhab (Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali), serta beberapa ulama yang lainnya. Menurut golongan ini, dalil bagi pengharaman menggeluti ilmu kalam adalah:
1- Beberapa ayat al-Qur,an dan hadits Nabi saw. Dan di antara ayat-ayat al-Qur`an yang menunjukkan pelarangan untuk melakukan perdebatan dan pertengkaran dalam perkara agama serta larut dalam perkara yang samar adalah firman-Nya swt:
((هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ، فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِه)ِ) – آل عمران : 7 –.
Yang artinya : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya”. (Ali Imran: 7).
Firman Allah: ((مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا)) – غافر :4 –.
Yang artinya: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”. (al-Mu`min: 4).
Firman Allah: ((يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ)) – النساء : 59 –
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah”. (an-Nisaa`: 59).
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa beliau bersabda,
(( تَفَكَّرُوْا فِي آلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِي ذَاتِهِ فَتَهْلَكُوْا ))
Yang artinya, “ berfikirlah kalian mengenai berbagai kenikmatan Allah, dan janganlah kalian berfikir mengenai dzat-Nya karena kalian akan binasa”( ),( ).
2- Para sahabat tidak pernah menggeluti ilmu ini meskipun mereka adalah orang-orang yang paling tahu mengenai agama ini. Karena para sahabat faham dengan apa yang dituntut oleh keimanan yang berupa kepercayaan yang mutlak, serta penerimaan yang sempurna terhadap semua teks-eks al-Qur`an mengenai akidah yang diturunkan dari sisi Allah, atau hadits-hadits yang datang dari Rasulullah saw. tanpa mengajukan berbagai pertanyaan yang mengandung kecurigaan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai sifat Allah yang mengandung unsur kesamaran,kelalaian dan ta`wil.
Pengarang Syarhu al-‘Aqidati ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-Barr bertanya-tanya, “ bagaimana orang yang tidak menerima al-Kitab dan sunnah dapat berbicara mengenai dasar agama, sedangkan dia hanya menerimanya dari perkataan si Fulan. Jika dia mengklaim bahwa dia mengambilnya dari Kitab Allah, sedangkan dia tidak menerima penafsiran Kitab Allah dari hadits-hadits Rasulullah saw., juga tidak mau melihatnya, juga tidak mau mengambil apa yang dikatakan oleh para sahabat dan para tabiin, yang disampaikan kepada kita oleh orang-orang yang dapat dipercaya”( ).
Imam asy-Syafii juga berkata, “ semua ilmu yang selain al-Qur`an tidak berguna, kecuali ilmu hadits dan fikih, yaitu suatu ilmu yang di dalamnya ada perkataan, yang diberitahukan kepada kami. Sedangkan ilmu yang selain itu adalah bisikan setan”( ).
Oleh sebab itu, Imam Syafii mencela ilmu kalam. Bahkan dia menjadikan orang yang mempelajari ilmu kalam sebagai orang yang melakukan dosa yang paling besar. Dia berkata, “ masih lebih baik seorang hamba yang bertemu Allah Azza Wa Jalla dengan membawa semua dosa yang selain dosa kemusyrikan kepada Allah dari pada dia menemui-Nya dengan membawa ilmu kalam”. Maka menurut pendapatnya ilmu kalam menempati posisi setelah kemusyrikan dari segi besar dan beratnya dosa.
Imam asy-Syafii memiliki prasangka yang negatif terhadap ilmu kalam, serta terhadap keburukan hasilnya. Maka dia berkata untuk memperingatkan manusia agar jangan mempelajarinya, “ seandainya manusia mengetahui berbagai hawa nafsu yang terdapat di dalam ilmu kalam, niscaya mereka berlari menghindarinya bagaikan larinya mereka untuk menghindari singa”.
Dia juga memberikan fatwa agar memukuli orang yang menggeluti ilmu kalam dengan cambuk. Lalu orang tersebut dibawa keliling di berbagai kabilah dan suku. Dan dia katakan, “ini adalah balasan orang yang meninggalkan al-Kitab dan sunnah dan mempelajari ilmu kalam”( ).
Ini adalah sekelumit perkataan dan dalil yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat haram menggeluti ilmu kalam.
Respon Imam al-Qurthubi Terhadap Ilmu kalam.
Imam al-Qurthubi dalam hal ini tidak ketinggalan, ia berbicara tentang ulama kalam di berbagai kesempatan dalam pemaparan tafsirnya. Juga dalam berbagai ragam istilah kalam seperti: al-Jauhar (Substance) dan al-‘Ardh (Accident). Bagi Imam al-Qurthubi tidak adal masalah baginya untuk menggunakan istilah-istilah tersebut, sebab al-Qur’an dan sunnah sendiri tidak melarangnya, bahkan memberikan isyarat akan pemakaiannya.
Imam al-Qurthubi merumuskan beberapa syarat bagi dibolehkannya mempelajari dan mendalami ilmu kalam, diantaranya:
1) Bertujuan membela akidah islam. Imam al-Qurthubi memandang bahwa orang-orang yang membela agama, dan membatalkan setiap tuduhan yang merusak dengan menggunakan berbagai terminologi teologi, maka sebenarnya dia menempati derajat atau posisi yang dekat dengan posisi para nabi. Dia berkata, “Barang siapa yang mempergunakan berbagai terminologi para teolog untuk memperjuangkan agama, maka perannya dekat dengan peran para nabi”( ).
2) Debat dan diskusi yang terjadi dalam ilmu kalam bertujuan untuk menampakkan kebenaran. Oleh karena itu imam al-Qurthubi membolehkan debat dan diskusi yang bertujuan untuk menampakkan kebenaran, serta mengajukan dalil bagi kebenaran. Dan ini adalah cara yang ditempuh oleh al-Qur`an dalam melakukan perdebatan untuk memberikan hidayat kepada orang-orang kafir, dan menekan orang-orang yang membangkang. Berbeda dengan perdebatan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikuasai oleh hawa nafsu, dan jenis perdebatan yang seperti ini adalah perdebatan yang batil.
Imam al-Qurthubi mengisyaratkan hal ini dalam penafsirannya terhadap firman Allah taala: (( مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا)) – غافر : 4 –
Yang artinya: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”. (Ghaafir: 4). Dia berkata, “ Allah swt. mencap orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah sebagai orang kafir. Yang dimaksud adalah perdebatan dengan menggunakan kebatilan, dengan cara mempermasalahkannya, dan sengaja menggoyangkan kebenaran, serta mematikan cahaya Allah ta’ala. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala: (( وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ)) – غافر: 5 – “. Yang artinya: “Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu”. (Ghaafir: 5). Sedangkan perdebatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan kesamaran ayat, mencari jalan keluarnya, menuntun para ilmuwan untuk menyimpulkan berbagai maknanya, serta menyanggah para pembuat bid’ah, adalah perbuatan jihad di jalan Allah yang paling besar” .
Dia berkata, “ tidak boleh mengajarkan perdebatan dan hujjah kepada pembuat bid’ah yang dapat dia pergunakan untuk melakukan debat dengan orang-orang yang benar. Juga seseorang tidak boleh mengajarkan musuhnya hujjah yang dapat menyebabkan hartanya terpotong”( ).
3) Mempelajari ilmu kalam jangan sampai membuat orang mencela orang yang berpegang kepada atsar ulama salaf. Oleh karena itu Imam al-Qurthubi mencela para ekstrimis teolog yang mengklaim bahwa kebenaran berada dalam keyakinan teologi mereka, dan bahwa orang lain tidak mencapai kebenaran. Ia tegaskan hal tersebut dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: “ Sedangkan para teolog yang ekstrimis yang mencela jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin yang berpegang kepada atsar salaf, dan mendorong untuk mempelajari kitab-kitab teologi, bahkan mengklaim bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui ilmu kalam dan berbagai terminologinya, maka mereka itu menjadi orang-orang yang tercela”( ).
Jika kita renungi berbagai perkataan serta sikap para penentang ilmu kalam secara umum, maka kita akan dapat berkata, sesungguhnya mereka lupa terhadap motivasi penciptaan ilmu kalam serta perkembangan pemikiran islam yang menyebabkan munculnya ilmu kalam, yang terdiri dari untuk memperkukuh akidah islam, membelanya, dan menjelaskannya dengan dalil logika. Sedangkan penggunaan berbagai terminologi teologi yang mereka lakukan merupakan salah satu tuntutan ilmu ini, demi memahami dan menafsirkan ilmu ini; karena setiap ilmu masing-masing memiliki terminologi khusus, seperti ilmu ushul fiqh, tafsir, hadits, dan yang lainnya.
Berdasarkan hal ini, imam al-Qurthubi berpendapat boleh menggunakan berbagai terminologi teologi yang dapat membawa kepada pemahaman akidah islam yang benar. Terutama menggunakan terminologi yang memiliki berbagai makna di dalam al-Qur`an dan sunnah. Sedangkan perkataan yang bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah tidak dia perbolehkan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “majmu’ Fatawa” berkomentar mengenai hal ini: “Tidak makruh hukumnya berbicara dengan pakar yang mempunyai terminologi sendiri dengan menggunakan terminologi mereka dan bahasa mereka jika memang dibutuhkan dan maknanya benar. Yang dibenci oleh para imam adalah mempergunakannya tanpa dibutuhkan. Maka para ulama salaf dan para imam tidak membenci sebuah perkataan hanya karena di dalamnya terdapat berbagai terminologi yang lahir dari ilmu kalam, seperti kalimat al-jauhar, al-‘ardh, al-jisim, dan yang lainnya. Bahkan karena makna yang terkandung dalam ungkapan ini mengandung kebatilan dan keburukan – dalam dalil dan hukum –tidak menjadi sebab untuk dilarang penggunaannya”( ).
Pengarang kitab Syarhu al-’Aqidah ath-Thahawaiyyah mengungkapkan perkataan yang mirip dengan perkataan imam al-Qurthubi yang baru kami paparkan, “Para ulama salaf tidak membenci orang yang berbicara dengan berbagai terminologi kalimat, seperti: al-jauhar, al-jisim, dan al-‘ardh, serta berbagai kalimat lain yang sejenisnya, hanya karena kalimat ini adalah terminologi yang baru yang mengandung makna yang benar. Akan tetapi, mereka membencinya karena ilmu ini mengandung berbagai perkara yang dusta yang bertentangan dengan kebenaran, juga bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Juga karena mukaddimahnya mencakup kebenaran dan kebatilan, berbagai pertengkaran dan perdebatan, banyak ucapan dan perkataan yang tidak jelas sumbernya. Juga dari berbagai kalimat ini lahir berbagai perkataan yang bertentangan dengan syari’at yang benar”( ).
Pada kesempatan lain, Imam al-Qurthubi berpesan untuk tidak menyampaikan problematika ilmu kalam- yang bersifat intelektual- kepada masyarakat awam. Sebagaimana kata beliau ketika menjelaskan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi: “Berbicaralah kepada manusia apa yang dapat mereka fahami, apakah kalian suka jika mereka tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya”( ): Yang dimaksud oleh hadits ini adalah beberapa jenis ilmu, seperti ilmu kalam, atau ilmu yang pemahamannya tidak dapat dicerna oleh orang-orang awam imam al-Qurthubi menginterpretasikannya bahwa hadits tersebut mengandung istilah-istilah sebagian ilmu, seperti ilmu kalam, atau ilmu yang pemahamannya tidak merata di antara orang awam. Maka ditetapkan bagi seorang ulama untuk berbicara kepada orang awam mengenai apa yang dapat mereka pahami. Dan menempatkan setiap manusia pada posisinya masing-masing”( ).
Dari perkataan imam al-Qurthubi tadi jelaslah bahwa dia tidak mengharamkan mendalami ilmu kalam, serta membolehkan penggunaan terminologinya, apalagi jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Bahkan ia sendiri menggunakan termminologi teologi tersebut dalam beberapa kitab karangannya seperti, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juga dalam kitabnya (al-Asna fi Syarh Asma' Allah al-Husna).
Wallah A'lam.
Malaysia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment