Sunday, June 13, 2010
(1) Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi
Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi (1)
Minggu, 30/05/2010 14:07 WIB
Oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Sebelum berbicara mengenai pandangan imam al-Qurthubi terhadap ilmu kalam (Teologi Islam), maka alangkah baiknya jika saya paparkan terlebih dahulu tentang definisi ilmu kalam, agar kita dapat memiliki gambaran mengenainya walaupun hanya secara global.
Definisi ilmu kalam:
Ada beberapa definisi ilmu kalam yang sebagiannya kami sebutkan diantaranya:
Dalam kitab al-Mawaaqif karangan al-Iiji(1), dia sebutkan bahwa definisi ilmu kalam adalah: “ ilmu yang mampu mengukuhkan akidah agama dengan mendatangkan berbagai hujjah dan menolak tuduhan. Dan yang dimaksud dengan akidah adalah apa yang dituju oleh keyakinan tanpa mengikut sertakan amal perbuatan, dan agama yang dinisbahkan kepada agama Muhammad saw(2).
Sedangkan filosof Islam al-Farabi mendefinisikannya sebagai, “ kekuatan yang membuat manusia mampu untuk membela berbagai pendapat dan perbuatan yang spesifik yang telah dijelaskan oleh Sang pembuat agama (Allah), dan menolak segala pandangan yang bertentangan dengannya”(3).
Kedua definisi ini menarik perhatian bahwa al-Iiji dan al-Farabi telah menjadikan ilmu kalam sebagai pembela atau penolong akidah islam tanpa membedakan antara berbagai aliran yang ada di dalam islam. Dan di sisi yang lain, kita mendapati Ibnu Khaldun membatasi definisi ilmu kalam hanya sekedar sebagai pembela akidah berdasarkan keyakinan ulama salaf dan ahli sunnah, dengan tanpa mengikut sertakan aliran kalam yang lainnya, seperti mu’tazilah dll.
Dia berkata, “ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai hujjah mengenai akidah keimanan dengan dalil aqli, dan menjawab para pembuat bid’ah dalam akidah yang menyimpang dari aliran ulama salaf dan ahli sunnah”(4).
Definisinya ini sependapat dengan definisi imam al-Ghazali yang berbunyi, “ sesungguhnya yang dituju oleh ilmu kalam adalah menjaga akidah ahli sunnah, dan memeliharanya dari pengrusakan yang dilakukan oleh para pembuat bid’ah”(5).
Dari berbagai definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip dasar ilmu kalam adalah untuk menjaga dan memperkuat akidah dengan cara mengemukakan berbagai dalil aqliah (logika), bukannya untuk menciptakan atau menubuhkan akidah dalam hati orang mu`min.
Maka tugas ilmu kalam adalah menjelaskan akidah dan menopangnya dengan berbagai dalil logika, serta membedakannya dari berbagai akidah lain yang menyimpang dari agama. Di samping itu bertujuan untuk menjawab tuduhan yang dimunculkan oleh penganut agama bukan islam.
Pendapat mereka ini dapat dibagi kepada dua kelompok:
Yang pertama:
Sebagian ulama berpendapat haram hukumnya menggeluti ilmu kalam. Ini adalah pendapat Ibnu Qutaibah, al-Khaththabi, empat imam mazhab (Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali), serta beberapa ulama yang lainnya. Menurut golongan ini, dalil bagi pengharaman menggeluti ilmu kalam adalah:
1- Beberapa ayat al-Qur,an dan hadits Nabi saw. Dan di antara ayat-ayat al-Qur`an yang menunjukkan pelarangan untuk melakukan perdebatan dan pertengkaran dalam perkara agama serta larut dalam perkara yang samar adalah firman-Nya swt:
((هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ، فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِه)ِ) – آل عمران : 7 –.
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya”. (Ali Imran: 7).
Firman Allah:
((مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا)) – غافر :4 –.
Yang artinya: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”. (al-Mu`min: 4).
Firman Allah:
((يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ)) – النساء : 59 –
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah”. (an-Nisaa`: 59).
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa beliau bersabda,
(( تَفَكَّرُوْا فِي آلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِي ذَاتِهِ فَتَهْلَكُوْا ))
Yang artinya, “ berfikirlah kalian mengenai berbagai kenikmatan Allah, dan janganlah kalian berfikir mengenai dzat-Nya karena kalian akan binasa”(6),(7).
2- Para sahabat tidak pernah menggeluti ilmu ini meskipun mereka adalah orang-orang yang paling tahu mengenai agama ini. Karena para sahabat faham dengan apa yang dituntut oleh keimanan yang berupa kepercayaan yang mutlak, serta penerimaan yang sempurna terhadap semua teks-eks al-Qur`an mengenai akidah yang diturunkan dari sisi Allah, atau hadits-hadits yang datang dari Rasulullah saw. tanpa mengajukan berbagai pertanyaan yang mengandung kecurigaan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai sifat Allah yang mengandung unsur kesamaran,kelalaian dan ta`wil.
Pengarang Syarhu al-‘Aqidati ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-Barr bertanya-tanya, “ bagaimana orang yang tidak menerima al-Kitab dan sunnah dapat berbicara mengenai dasar agama, sedangkan dia hanya menerimanya dari perkataan si Fulan. Jika dia mengklaim bahwa dia mengambilnya dari Kitab Allah, sedangkan dia tidak menerima penafsiran Kitab Allah dari hadits-hadits Rasulullah saw., juga tidak mau melihatnya, juga tidak mau mengambil apa yang dikatakan oleh para sahabat dan para tabiin, yang disampaikan kepada kita oleh orang-orang yang dapat dipercaya”(8).
Imam asy-Syafii juga berkata, “ semua ilmu yang selain al-Qur`an tidak berguna, kecuali ilmu hadits dan fikih, yaitu suatu ilmu yang di dalamnya ada perkataan, yang diberitahukan kepada kami. Sedangkan ilmu yang selain itu adalah bisikan setan”(9).
Imam Syafii mencela ilmu kalam. Bahkan dia menjadikan orang yang mempelajari ilmu kalam sebagai orang yang melakukan dosa yang paling besar. Dia berkata, “ masih lebih baik seorang hamba yang bertemu Allah Azza Wa Jalla dengan membawa semua dosa yang selain dosa kemusyrikan kepada Allah dari pada dia menemui-Nya dengan membawa ilmu kalam”. Maka menurut pendapatnya ilmu kalam menempati posisi setelah kemusyrikan dari segi besar dan beratnya dosa.
Imam asy-Syafii memiliki prasangka yang negatif terhadap ilmu kalam, serta terhadap keburukan hasilnya. Maka dia berkata untuk memperingatkan manusia agar jangan mempelajarinya, “ seandainya manusia mengetahui berbagai hawa nafsu yang terdapat di dalam ilmu kalam, niscaya mereka berlari menghindarinya bagaikan larinya mereka untuk menghindari singa”.
Dia juga memberikan fatwa agar memukuli orang yang menggeluti ilmu kalam dengan cambuk. Lalu orang tersebut dibawa keliling di berbagai kabilah dan suku. Dan dia katakan, “ini adalah balasan orang yang meninggalkan al-Kitab dan sunnah dan mempelajari ilmu kalam”(10).
Ini adalah sekelumit perkataan dan dalil yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat haram menggeluti ilmu kalam.
Catatan kaki:
[1] Dia adalah Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghaffar bin Ahmad al-Iiji, yang dijuluki dengan nama ‘Adhaduddin, yang merupakan seorang ulama yang ikut andil dalam ilmu-ilmu logika, al-Maa’ani dan bayan, nahwu, dan fikih. Dia dilahirkan di Iij, tempat yang berada di sekitar Syiraz pada tahun 680 H, dan meninggal dunia di dalam penjara yang terletak dekat dengan tempat kelahirannya Iij, pada tahun 756 H. Di antara kitab karangannya adalah, al-Mawaaqif Fi Ilmi al-Kalam, ar-Risaalatu al-‘Adhudiyyah Fi al-Wadh’i, lih, Thabaqaatu asy-Syaafi’iyyah al-Kubraa, as-Subki: 10/46, al-Badru ath-Thaali’, asy-Syaukani: 1/326, ad-Duraru al-Kaaminah, Ibnu Hajar: 3/110.
[2] Kitab al-Mawaaqif, al-Iiji, hlm 31, Dar al-Jail, Beirut, cet 1, 1997, editor: Dr. Abdurrrahman Umairah.
[3] Ihshaa`u al-‘Uiluum, editor: Dr. Utsman Amin, hlm 131.
[4] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm 458, Dar al-Qalam, Beirut, cet 5, 1984 M
[5] al-Munqidz Min adh-Dhalaal, al-Ghazali, hlm 13, editor: Sa’ad Karim al-Faqqi.
[6] HR. al-Haitsami dalam Majma’u az-Zawaa`id: 1/81, juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Awsath. Dalam sanad hadits ini terdapat Waazi’ bib Naafi’ yang periwayatannya ditinggalkan.
[7] Al-Bayaadhi, al-Isyaaraat, hlm 20.
[8] Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah: 1/221, Mu`assasah ar-Risalah, Beirut, cet 11, 1997 M, editor: Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Syu’aib al-Naa`uth.
[9] Lih, Syarhu al-‘Aqiddati ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-‘Izz: 1/18, Thabaqaatu as-Subki: 1/297, Shawnu al-Manthiq Wa al-Kalaam, as-Suyuthi, hlm 147.
[10] Ihyaa`u Uluumi ad-Diin, Abu Hamid alp-Ghazali: 1/95, Dar al-Ma’rifah Li ath-Thibaa`ah Wa an-Nasyr, Beirut.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment