Sunday, May 23, 2010
SYI'AH & RAFIDHAH DARI PERSPEKTIF SEJARAH
SYI’AH & RAFIDHAH DARI PERSPEKTIF SEJARAH
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Istilah "Rafidhah" sering kita dengar di berbagai buku, majalah dan media masa, baik di Timur Tengah ataupun di Negara-Negara Islam, Namun sayangnya terdapat beberapa kekeliruan dalam memahaminya, sehingga ungkapan "Rafidhah" belum begitu dipastikan apakah gelaran tersebut untuk seluruh sekte Syi’ah atau hanya sekte-sekte tertentu saja dalam berbagai aliran Syi'ah?. Untuk menjawab hal ini (hakikat pemakaian istilah "Rafidhah"), maka penulis dalam tulisan ini akan memaparkan asal-usul munculnya "Rafidhah".
Kalau melihat sejarah, penamaan Rafidhah ini erat kaitannya dengan gelaran yang diberikan oleh pendiri syi’ah Zaidiyah yaitu Imam Zaid bin Ali, yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul Malik bi Marwan di tahun 121 H.
Salah seorang ulama Syi'ah Zaidiyah Imam Yahya bin Hamzah 'Alawi (w. 749 H) mendefinisikan Syi’ah Zaidiyah sebagai: "Setiap golongan memiliki doktrin yang dibawa oleh pemimpin masing-masing. Adapun istilah Zaidiyah muncul setelah era Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Semenjak itulah Zaidiyah dikenal sebagai salah satu aliran Syi’ah yang mengatasnamakan nama pemimpinnya".
Jelas dari teks diatas penamaan Syi’ah Zaidiyah dikaitkan dengan Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Zaidiyah merupakan salah satu kelompok Syiah terbesar selain Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah yang masih eksis sampai saat ini. Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H) dalam kitabnya yang terkenal "al-Bahru az-Zahhar" menegaskan, bahwa ada tiga golongan besar Syi’ah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’ilyah (di kenal dengan Syi'ah Bathiniyah).
Sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab klasik yang membahas tentang aliran-aliran Islam menjelaskan bahwa sebenarnya sejarah kemunculan Zaidiyah ditandai ketika Imam Zaid melancarkan revolusi melawan pemerintahan Bani Umayyah, yang didukung oleh lima belas ribu pasukan berasal dari penduduk Kufah di Iraq, di mana hal serupa dilakukan sebelumnya oleh kakek Imam Zaid yaitu imam Hussein bin Ali bin Abi Talib, dan mengalami kegagalan fatal dalam pertempuran di kota Karbala, dengan menewaskan 61 tentara Imam Hussein bin Ali. Namun selanjutnya Imam Zaid tidak menerima kegagalan tersebut, justru ia bersikeras untuk meneruskan revolusi kakeknya dan terus menerus memerangi Bani Umayyah sampai titik darah penghabisan. Maka ia dan bala tentaranya meninggalkan kota Kufah menuju tempat kekuasaan gubernur (Yusuf bin Umar at-Thsaqafi) yang merupakan agen kepala negara ketika itu (Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan) yang berkuasa dari tahun 105 sampai tahun 125 Hijriyah.
Tatkala kedua pasukan tersebut bertemu dan saling berhadap-hadapan, dan sebelum kedua pasukan tersebut memulai peperangan, pasukan imam Zaid yang berasal dari penduduk Kufah berkata kepada Imam Zaid: "Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi Thalib". Imam Zaid menjawab: "bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan lemparan batu dan api".
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid. Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: "kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya". Semenjak hari itu tentara tersebut dikenal dengan nama (Rafidhah) . Mereka inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama golongan Syi’ah Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah.
Peristiwa inilah yang menjadi akar sejarah penggunaan istilah (Rafidhah) bagi golongan syi’ah Imamiyah, yang di tandai dengan penolakan dukungan perang mereka bersama Imam Zaid untuk menghadapi gubernur Iraq ketika itu (Yusuf bin Umar at-Tsaqafi). Sejarah ini dicatat oleh salah satu sejarawan dan ulama Zaidiyah yang bernama Nisywan al-Humairi (w 573H). Dan dia menegaskan bahwa Penamaan Rafidha bagi golongan syi’ah, disebabkan oleh penolakan mereka membantu imam Zaid untuk berpeperang melawan Bani Umayyah. Yaitu, ketika mereka menanyakan sikap Imam Zaid terhadap Abu Bakar dan Umar. Dan ternyata Imam Zaid memberikan tanggapan yang positif terhadap kedua mantan khalifah tersebut) .
Dan kemungkinan besar catatan Nisywan inilah yang membuat salah satu tokoh Mu’tazilah (al-Jahidz) menyimpulkan, bahwa syi’ah sebenarnya terbagi kepada dua golongan saja, yaitu: Syi'ah Zaidiyah dan Syi'ah Rafidhah. Meskipun demikian, dia mengakui kalau masih terdapat golongan lain, namun golongan tersebut baginya tidak terorganisir.
Dari keterangan al-Jahidz nampak jelas bahwa istilah "Rafidhah" menurutnya adalah dua golongan syi’ah, yaitu: Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah dan Ismiliyah al-Bathiniyah.
Hemat penulis, berdasarkan keterangan diatas, sebuah kekeliruan bila memandang perkataan atau istilah "Rafidhah" disamaratakan untuk semua golongan syi’ah tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada salah seorang sejarawan Ahlu Sunnah yang sangat populer yang berasal dari golongan 'Asy'ariah, yaitu Abdul Qahir al-Baghdadi dalam bukunya "al-Farq Baina al-Firaq". Di situ disebutkan: "Golongan Rafidhah setelah wafatnya imam Ali bin Abi Thalib terpecah kepada empat golongan, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah dan Ghulat (ekstrim). Dan anehnya pandangan inipun diikuti oleh al-Isfarayani yang menegaskan kembali bahwa: "Golongan-golongan Rafidhah terbagi kepada tiga, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Kaisaniyah".
Kekeliruan ini diingatkan oleh salah seorang ulama syi’ah Zaidiyah "Ahmad bin Musa at-Thabari". Ia menegaskan bahwa: "Asumsi golongan al-Hasywiyah (Ahlu Sunnah) terhadap syi’ah, mereka menjuluki semua golongan syi’ah dengan satu penamaan, yaitu Rafidhah. Pandangan ini dari segi sejarah tentunya keliru. Sebab yang dimaksud Rafidhah sebenarnya adalah Syi'ah Imamiyah yang merupakan salah satu golongan Syi’a. Mereka menolak untuk menyokong imam Zaid dalam berperang melawan pasukan Umawiyyah, padahal mereka sendiri telah membai'at imam Zaid. Bahkan pada hikikatnya, golongan imamiyah sendiri memiliki beberapa sekte lagi, diantaranya: Syi'ah Qaramithah (Isma'iliyah). Pada kesempatan lain ia menjelaskan bahwa: "Golongan Imamiyah adalah pengikut imam Musa al-Kazhim bin Ja’far Shadiq (Syi'ah al-Itsna'asyariyah), dan pengikut imam Isma’il bin Ja’far Shadiq (Syi'ah al-Isma'iliyah".
Kemudian, imam Shalih al-Muqbali ikut menegaskan juga bahwa syi’ah Zaidiyah bukanlah bagian dari golongan Rafidhah, dan bukan pula golongan Syi’ah ekstim (ghulat). Ia berkata: (Syi’ah Zaidiyah tidak masuk ke dalam golongan Rafidhah. Bahkan juga tidak dapat digolongkan kepada syi’ah ekstrim, karena Syi'ah Zaidiyah memandang baik para sahabat (yang dikafirkan oleh Imamiyah dan Isma'iliyah), seperti: Utsman, Thalhah, Zubair, Aisyah, terlebih lagi kepada dua sahabat Rasulullah, khalifah Abu Bakar dan dan Umar .
Demikianlah asal usul penamaan Rafidhah, yang merupakan gelaran atau julukan yang diberikan oleh pendiri Syi’ah Zaidiyah kepada yang orang-orang yang tidak mau ikut berjuang bersama khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul Malik bi Marwan di tahun 121 H.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment