Thursday, May 27, 2010
KEDEKATAN SYI'AH ZAIDIYAH DENGAN MU'TAZILAH & AHLU SUNNAH
KEDEKATAN SYI'AH ZAIDIYAH DENGAN MU'TAZILAH & AHLU SUNNAH
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Syi’ah Zaidiyah memiliki kedekatan dengan Ahlu Sunnah. Kedekatan tersebut disebabkan karena sebahagian dari sekte Syi'ah Zaidiyah seperti “Shalihiyah dan Batriyah” berpendapat bahwa kepemimpinan itu hendaklah dilakukan secara kontrak dan seleksi (pemilihan umum). Dan mereka menganggap sah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Alasannya, sebab imam Ali sendiri telah melepaskan jabatan tersebut dan menyerahkannya kepada mereka berdua. Di samping itu, tidak pernah terdengar kalau imam Ali menuntut mereka berdua. Itulah sebabnya, Syi'ah Zaidiyah dianggap sebagai golongan Syi’ah yang terdekat dengan Ahlu Sunnah, khususnya pada era awal kemunculannya. Pandangan Syi’ah Zaidiyah sama seperti pandangan ulama salaf, yaitu mengamalkan seutuh-utuhnya sumber hukum asal yaitu: Qur’an dan Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh DR. Ibrahim Madkur, dalam pandangannya, Syi’ah Zaidiyah pada masalah ketuhanan (Uluhiyah) sebenarnya pada era awal pendirian golongan tersebut sangat dekat dengan pandangan Salaf, namun pada perkembangannya -khususnya pengikut Zaidiyah di Yaman- mereka lebih dekat kepada pandangan golongan Mu’tazilah.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa Syi’ah Zaidiyah pada era awal lebih dekat kepada Ahlu Sunnah, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan dan pergeseran, di mana Syi'ah Zaidiyah lebih dekat kepada golongan Mu’tazilah. Oleh karena itu, Syi'ah Zaidiyah pada era kebelakangan memiliki perbedaan dengan Ahlu Sunnah pada dua hal, yaitu:
Pertama:
Adanya Kecenderungan Syi'ah Zaidiyah kepada aqidah Mu’tazilah. Syahrastani menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena imam Zaid pernah berguru dengan pendiri Mu’tazilah, yaitu Washil bin ‘Atha. Namun perkara belajarnya imam Zaid kepada Washil dibantah oleh salah seorang ulama Zaidiyah, yaitu Ibnu al-Wazir al-Yamani, ia mengkritik keras pernyataan Syahrastani dan berkata: “Adapun pernyataan Muhammad bin Abdul Karim bin Abi Bakar, yang dikenal “Syahrastani” dalam bukunya (al-Milal wa an-Nihal), bahwa imam Zaid mengikuti pandangan Washil bi ‘Atha, dan bahkan ia berguru padanya tentang ajaran Mu’tazilah, dan ia ikuti ajaran tersebut, ditambah dengan isu terjadinya debat antara imam Zaid dengan saudaranya imam al-Baqir, kesemua hal tersebut adalah tidak terjadi dan merupakan bohong belaka. Dan hal ini diperkirakan hasil penipuan dan kebohongan Rafidhah (imamiyah)".
Menurut hemat penulis, sebenarnya perkara bergurunya imam Zaid kepada Washil memang terjadi, namun hal ini tidak lantas dijadikan tuduhan bahwa imam Zaid mengikut pandangan Washil, seperti dalam masalah sifat-sifat Tuhan. Ditambah lagi, tidak ditemukannya bukti bahwa imam Zaid berideologikan mazhab Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya, imam Zaid berideologikan mazhab Ahlu Sunnah, dan pengikutnyalah yang berpedomankan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Hal ini ditegaskan sendiri oleh imam Ibnu Taimiyah, dan ia meyakinkan kita bahwa imam Zaid menganut ajaran Ahlu Sunnah, sebagaimana ucapannya: "Tidak semua keturunan Fatimah itu diharamkan dari api Neraka, sebab diantara mereka ada yang baik dan ada pula yang buruk, dan nampaknya mayoritas yang buruk dari keturunan Fatimah adalah dari kalangan Syi’ah Rafidah (Imamiyah). Adapun Syi’ah Zaidiyah yang diprakarsai oleh imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keturunan Fatimah yang baik-baik, mereka ini adalah Ahlu Sunnah dan mereka mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, sebab mereka tidak bermasalah (tidak mengkafirkan) khalifah Abu Bakar dan Umar".
Senada dengan pandangan ibnu Taimiyah, syekh Mahmud Syukri al-Alusi juga menegaskan: ¬"Sesungguhnya imam-imam Ahlu Bait termasuk imam Zaid hakikatnya adalah beraqidah Ahlu Sunnah. Sebab mereka mengikut jejak Ahlu Sunnah dan respek kepada dakwah mereka. Dan para imam Syi’ah pun sejalan dengan Ahlu Sunnah, bagaimana tidak, imam Abu Hanifah dan imam Malik dan imam lainnya, merekapun belajar dari para imam mereka" .
Kecenderungan pengikut Syi’ah Zaidiyah kepada corak pemikiran Mu’tazilah berlarutan dari era imam Zaid sampai kepada era akhir imam Shaleh al-Muqbali (1108H). Dan imam Shaleh al-Muqbali sendiri berpendapat bahwa pengikut Zaidiyah di Yaman adalah pengikut Mu’tazilah dalam segala masalah kecuali masalah imamah (politik). Masalah politik sebenarnya masalah fiqh (furu’yah) bukan masalah aqidah, namun dianggap sebagai masalah aqidah (ushuliyah) oleh para ulama teologi Islam, akibat sengitnya permusuhan yang terjadi di antara mereka.
Di lain tempat, imam Shaleh al-Muqbali mengindikasikan adannya kesesuaian aqidah antara Syi’ah Zaidiyah dengan Mu’tazilah. Adapun dalam masalah fiqh (furu’iyah), sebenarnya Syi’ah Zaidiyah berselisih faham antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang cenderung kepada mazhab Hanafi, dan ada yang lebih berat kepada mazhab Syafi’i. Namun dengan catatan, kecendrungan mereka terjadi hanya karena mereka menemukan kesesuaian dalam salah satu mazhab tersebut bukan karena taqlid kepada imam lain. Dan ada juga diantara mereka yang tidak cenderung ke salah satu mazhab, ini merupakan perkara biasa. Sebagaimana halnya para mujtahidin, mereka senantiasa melakukan ijtihad sendiri.
Dan fenomena keterbukaan diatas menjadikan Syi’ah Zaidiyah mazhab yang elastis dan fleksibel. Maka tak heran kalau didapati beberapa ulama Syi’ah Zaidiyah mengarah kepada Ahlu Sunnah, seperti: Imam Muhammad Ibnu al-Wazir al-Yamani (w 840H), Imam Shalih al-Muqbali (w 1108H), Imam al-Amir as-Shan’ani (w 1182H) dan Imam as-Syaukani (w 1250H), dan perlu diindikasikan bahwa kenderungan Syi’ah Zaidiyah beralih ke mazhab Ahlu Sunnah sangat disayangkan oleh Syekh Ja’far Subhani (tokoh kontemporer Syi’ah Imamiyah), disamping itu ada juga yang cenderung kepada Mu’tazilah, seperti: Imam Yahya bin Hamzah al-‘Alawi (w 749H) dan Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w 840H), dan sebagian dari mereka cenderung kepada Syi’ah Imamiyah, seperti: Imam al-Qasim ar-Rasy (w 246H), Imam Yahya bin Husain ar-Rasy (w 298H), Imam Ahmad bin Yahya bin Husain (w325H), Imam Humaidan bin Yahya (w 656H) dan Imam Ahmad bin Sulaiman (w 566H).
Dan yang menarik perhatian dari fenomena diatas, tedapat beberapa pengikut Mu’tazilah di Bagdad seperti Muhammad Abdullah al-Iskafi dan lainnya, menamakan diri sebagai penganut atau pengikut Syi’ah Zaidiyah.
Dari keterangan diatas, nampak jelas betapa eratnya hubungan persahabatan antara Syi’ah Zaidiyah dengan Mu’tazilah. Secara pribadi terjalin ikatan hubungan persaudaraan antara imam Zaid dan Washil bin 'Atha. Dan hal tersebut dikomentari oleh DR. Sulaiman as-Syawasyi dalam bukunya (Washil bin ‘Atha wa Aaraa,uhu al-Kalamiyah), di mana beliau menyebutkan bahwa Washil bin 'Ata sebagai pendiri Mu’tazilah sebenarnya mempunyai kecenderungan kepada Syi’ah, namun kecenderungan tersebut hanyalah sebatas rasa simpati dan loyal terhadap Ahlu Bait. Dan rasa simpatinya itu tidak sampai kepada tahap ekstrim syi’ah (Ghulat Syi’ah), seperti aliran Sabaiyah, Kaisaniyah, atau gologan Syi’ah ekstrim lainnya. Dan sebenarnya rasa simpati kepada Syi'ah, bukan hanya datang dari kalangan Mu’tazilah atau Washil beserta pengikutnya saja, tetapi rasa simpati juga datang dari beberapa tokoh Ahlu Sunnah, seperti imam al-Hasan al-Bashri, imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam-imam Ahlu Sunnah lainnya. Mereka semua dikenal bersimpati kepada Ahlu Bait dan dan tak setuju dengan perlakuan pemerintahan Umawiyah terhadap golongan Syi'ah. Akan tetapi, rasa simpati yang nampak dari diri Washil bin 'Atha tercermin pada sikap antipatinya kepada pemerintah Umawiyah.
Jadi, dengan adanya ikatan persaudaraan yang terjalin antara imam Zaid dan Washil bin 'Atha membuktikan adanya hubungan erat Ahlu Bait dengannya. Kecuali hubungannya dengan imam Ja’far Sadiq yang tidak terjalin dengan baik.
Kedua:
Masalah Imamah (politik). Ia merupakan pusat perhatian dari semua golongan Syi’ah (Zaidiyah, Imamiyah Itsna’asyariyah, Isma’ilyah Bathiniyah). kesemua golongan Syi'ah menumpukan perhatian kepada imam yang dianggap sebagai ideologi politik mereka. Hal ini terjadi karena beberapa faktor utama munculnya gerakan Syi’ah adalah: keyakinan bahwa imam Ali adalah sebaik-baiknya sahabat Rasulullah, berpegang teguh kepada kepemimpinan Rasulullah dari kalangan Ahlu Bait, dan dalam keadaan dan perkara apapun haruslah berkiblat kepada Ahlu Bait.
Dalam perkembangannya, Syi'ah Zaydiyah sebagai salah satu golongan Syi’ah terbesar, telah melalui beberapa perpecahan, peperangan dan revolusi, namun mereka masih lagi mengikuti teori Imamah, Tapi yang menarik ideologi politik Syi'ah Zaidiyah terlihat sangat berlainan dengan ideologi politik Syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah. Dimana Syi'ah Zaidiyah membangun kembali ideologi politiknya dengan merumuskan beberapa rumusan, seperti: Boleh mengangkat seorang imam sekalipun ada yang lebih baik darinya, pemberlakuan ijtihad, mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, pengangkatan imam bukan dengan penunjukan ilahi (nash). Dan yang terpenting lagi adalah, mereka mengingkari beberapa prinsip dasar syi'ah Imamiyah dan Isma’ilyah, yaitu: keyakinan bahwa para imam adalah ma’sum (terhindar dari ma’siat dan kesalahan), Raj’ah (kebangkitan kembali), Taqiyah (berdakwah dengan jalan rahasia), dan imam Ghaib.
Untuk lebih jelasnya, Imam Yahya bin Hamzah (749H) menjelaskan dasar-dasar mazhab Syi’ah Zaidiyah, ia menegaskan, perbedaan Syi’ah Zaidiyah dengan mazhab Islam lainnya adalah: “barang siapa dalam aqidahnya mengakui masalah ketuhanan, hikmah, janji (alwa’d) dan ancaman (al-Wa’id), membatasi imamah pada keturunan Fatimah, imamah melalui penunjukan ilahi (an-Nash) terahadap tiga imam, yaitu: imam Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husein, imamah ditegakkan atas dasar revolusi (al-Khuruj), maka siapa saja yang mengakui kesemua dasar-dasar di atas maka ketahuilah seseungguhnya ia layak menjadi Syi’ah Zaidiyah”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment