Saturday, August 23, 2014
SYEKH SYA’RAWI DAN MODERASI ISLAM
SYEKH SYA’RAWI DAN MODERASI ISLAM
Profesor Madya. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Head of Department Akidah and Religion Studies
Universiti Sains Islam Malaysia
USIM
Beliau adalah seorang pakar tafsir kontemporer yang
gigih menerapkan prinsip syariah dalam kehidupan sehari-hari. Beliau lahir pada
tanggal 15 April 1911 M di kampung Daqadus desa Mid Ghamr, Daqhliyyah (salah
satu bagian wilayah di Mesir). Beliau wafat pada tanggal 17 juni 1998 M. Ayahnya
adalah seorang pedagang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Pendidikan Sya’rawi dimulai dari menghafal
al-Qur’an dari seorang syaikh di kampungnya iaitu Syekh Abdul Majid
Pasha. Beliau menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 11 tahun, kemudian Ia
masuk sekolah dasar (Ibtidaa’i) di al-Azhar, Zaqaziq tahun 1926 M. Lalu, dia
melanjutkan sekolah menengah pertama (I’daadi) di al-Azhar, dan tamat
Tsanawiyyah pada tahun 1932 M. Syaikh Sya’rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa
Arab, Universita Al-Azhar pada tahun 1937 M, dan tamat S1 (BA) pada tahun 1941
M.
Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di ma’had
al-Azhar Tanta, ma’had Alexandria, ma’had Zaqaziq. Beliau juga mengabdikan
ilmunya di luar negri (sebagai dosen) kurang lebih 16 tahun:
1) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari
1944 hingga 1950.
2) Al-Jazair (4 tahun) dari 1966 hinga 1970).
3) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari
1970 hingga 1976.
Nama beliau mulai mencuat dan dikenal luas ketika menjadi
seorang da’i pada tahun 1973 M tepatnya pada program pengajian halaqah di
televisi Mesir yang dikenal dengan program “Nur ‘Ala Nur”.
Pada tahun 1976 M, beliau dipercayakan oleh presiden
Anwar Sadat untuk menjadi menteri Auqaf (menteri agama) Mesir. Namun
jabatan tersebut tidak sampai selesai dan hanya 2 tahun saja beliau
mengundurkan diri, sebab ketika itu beliau dengan tegas menolak usulan
undang-undang keluarga yang bertentangan dengan ajaran syari’at Islam.
Pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Syekh Sya’rawi wafat
di usia 87 tahun dan jasadnya dimakamkan di Mesir.
Beliau memang sangat unik, sebab beliau adalah seorang
ulama tidak menulis buku tapi memeliki puluhan bahkan ratusan buku yang telah diterbitkan,
beliau tidak menulis karena meyakini bahwa kalimat lisan lebih tajam dari
tulisan, sebab dakwan lisan/ceramah dapat didengar langsung dari narasumber
asli. Di samping itu beliau yakini bahwa tidak semua orang mampu membaca, oleh
karena prinsip ini, tumpuan dakwahnya fokus kepada penyampaian ceramah dan
pengajian.
Syekh Sya’rawi menjalani kehidupan sufi sebagai
bentuk kerendahan diri (tawadhu’). Dalam ruang kerjanya hanya ada sajadah dan
al-Qur’an. Namun demikian, pemikiran beliau logis dan kontekstual.
Kepiawaiannya mentafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dan
tempat, sehingga beliau mampu memahamkan al-Qur’an kepada jama’ahnya dengan
muda berdasarkan realita kehidupan kontemprorer.
Tentunya tidak
asing lagi bahwa kitab yang monumental dan penuh manfaat yang ditinggalkan oleh
beliau untuk umat Islam pada saat ini, adalah Khawati Sya’rawi atau di kenal
dengan nama “Tafsir Al-Sya’rawi”, dalam muqaddimah tafsirnya, beliau menyatakan
bahwa: “Hasil renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti tafsiran
al-Qur’an, melainkan percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang
mukmin saat membaca al-Qur’an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan,
sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah Saw, karena kepada
beliaulah al-Qur’an diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia isi ajaran
al-Quran dari dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan umatnya saat ini.
Adapaun rahasia al-Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena
kondisi sosio intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya.
Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan
merusak puing-puing agama, bahkan memalingkan umat dalam jalan Allah SWT.
Salah satu
pandangan moderat beliau yang merupakan hasil usaha pemikiran moderasi Islam dan
bertujuan sebagai sifat “toleransi sosial” adalah ketika beliau menafsirkan
sebuah ayat al-Qur’an dalam surah al-Israa’ ayat 110:
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah (wahai Muhammad): Serulah nama
"Allah" atau nama "Ar-Rahman", yang mana sahaja kamu
serukan (dari kedua-dua nama itu adalah baik belaka); kerana Allah mempunyai
banyak nama-nama yang baik serta mulia, Dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. al-Israa’:
110.
Beliau berkata: “Kalau
sekiranya mengeraskan suara dilarang dalam shalat, maka tentunya meninggikan
suara setinggi-tingginya lebih dilarang dalam agama, seperti menggunakan alat
pengeras suara “Microfon”, sebab perbuatan ini akan mengganggu orang
disekeliling, bukankah Allah telah nyatakan dalam al-Qur’an:
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka hendaklah kamu semua mendengarnya
dan diam, mudah-mudahan kamu semua beroleh rahmat”. al-A’raf: 204
Ketika anda mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an
menggunakan microfon, maka anda secara tidak langsung memaksakan dan mewajibkan
diam bagi orang yang mendengarkan bacaanmu, sehingga anda akan membuatkan
mereka terganggu, dan jika mereka tidak diam mendengarkan bacaanmu maka anda
akan menyeret mereka dalam perbuatan dosa (disebabkan tidak mendengar bacaanmu),
bukan itu saja, bahkan anda akan merusak aktiviti orang lain, kemungkinan
mereka pada waktu yang sama sedang atau ingin membaca al-Qur’an juga, atau
beristighfar, atau bertasbih ataupun shalat. Bagaimana boleh amalan anda yang hanya
dianggap mandub dalam syari’at, mampu memaksa dan mengatur amalan orang lain. Sungguh
perbuatan ini tidak boleh dilakukan, oleh karena itu janganlah sekali-kali
mengganggu ketenangan orang lain, biarkan mereka bebas dengan urusan sendiri
untuk berbuat amalan nawafil dan sebagainya, dan jangan menjadi orang yang
digambarkan dalam al-Qur’an (Merasa Baik Perbuatannya, Sementara Tidak
Demikian):
قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka sudah berbuat sebaik-baiknya”. Al-Kahfi :103.
Bagi pandangan beliau, amalan-amalan di atas memang
tidak memiliki dasar dalam ajaran syari’at Islam, bahkan beliau nyatakan dengan
contoh realita di masyarakat modern saat ini dan berkata dengan tegas: “seperti
orang yang menyalakan microfon sebelum masuknya shalat subuh, ia membaca beberapa
bacaan nasyid yang tiada dasar dalam agama, akibat perbuatannya, orang
disekeliling menjadi terganggu, orang yang sakitpun tidak merasai ketenangan, sesungguhnya
orang seperti itu sebenarnya tidak sama sekali memiliki rasa toleransi dan tidak menghiraukan
keadaan sekelilingnya, sampai kapankah hal ini berlaku? Sampai kapankah ia
sadar tentang hal ini, sementara perbutannya justru menganggu ketenangan
manusia, nahkan dapat merusak amalan ibadah orang lain? ...
Sila rujuk:
Tafsir al-Sya’rawi jilid 14/halaman 8815.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment