Mampukah Sunni dan
Syiah Berdamai?
Associate Professor DS53. BA (al-Azhar), MA &
PhD (Dar Olum Cairo Univ). Department of Akidah and Religion Studies. Islamic
Science University of Malaysia (USIM)
- 27/03/15 | 13:09
| 08 Jumada al-Thanni 1436 H
dakwatuna.com – Dunia pernah dikejutkan dengan
251.000 dokumen yang dibocorkan oleh Wikileaks. Hingga saat ini, kira-kira
1.824 dokumen ditayangkan kepada khalayak yang dimuat dalam laman webnya.
Kemudian disebarkan oleh beberapa majalah seperti El Pais, The Guardian,
New York Times Der Spiegel, dan lain-lain. Dokumen-dokumen itu menayangkan
situasi umat Islam yang sedang menghadapi permasalahan besar dan serius. Negara
Islam digambarkan saling bersahabat, tetapi di balik itu saling menikam dari
belakang. Hal ini menunjukkan hilang kepercayaan sesama negara Islam. Di samping
itu, umat Islam berada dalam arena penjajahan modern, yaitu penjajahan
pemikiran. Kandungannya adalah pemikiran Barat, manakala hasil produknya adalah
liberal dan sekular. Pemikiran ini melanda beberap intelektual Islam yang
menghasilkan produk di negara-negara Arab. Ia dikenali sebagai al-’almaniyyun
atau Islam liberal. Ini adalah persoalan dan masalah yang perlu diberikan fokus
Asya’irah, Syiah, Salafi, Wahabi, Khawarij dan Muktazilah dalam mencari
penyelesaian.
Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam
tanpa menghiraukan aliran sekiranya kita merenungkan ucapan Imam At-Thahawi:
وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ
الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَالَمْ يَسْتَحِلُّهُ
“Kami tidak mengkafirkan seseorang dari
umat Islam selama ia tidak menghalalkan dosa yang dibuat”.
Maksudnya, tidak perlu saling mengkafirkan
antara umat Islam, karena itu adalah urusan Allah swt bukan manusia. Masalah
takfir (kafir-mengkafir) berat karena berkaitan dengan urusan surga dan neraka.
Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri ataupun kelompok masing-masing
mengenai kepastian untuk ke surga.
Mudah-mudahan, pemikiran Ahli Sunnah dan
Syiah dapat disatukan dalam wujud membela Islam. Ini adalah tujuan mulia dan
utama demi menciptakan kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara Islam.
Namun, tidak mungkin dalam wujud penyatuan kepercayaan. Sebab perbedaan antara
Ahli Sunnah dan Syiah melebihi batas penelitian ilmiah dan membawa kepada sifat
fanatik. Sifat seperti ini tidak pernah menyelesaikan masalah, bahkan
mengeruhkan masalah yang ada. Sikap fanatik ini menyebabkan kemunduran
kajian-kajian teologi Islam sehingga kandungan kitab-kitab klasik (kutub
at-turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman dan hinaan. Imam Yahya bin Muaz
berpesan:
إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّهُ،
وَإِنْ لَمْ تُفْرِحُهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ
“Kalau engkau tidak sanggup membantu orang
lain, jangan merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghiburkan orang lain,
jangan membuatk dia sedih. Sekiranya engkau tidak sanggup memuji orang lain,
jangan mencelanya”.
Dalam etika beragama, Islam mengajarkan
supaya tidak memaksa orang lain. Tugas kita hanya menyampaikan, bukan memaksa
golongan lain menyertai golongan kita, sebagaimana ayat Allah Swt.:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ الْغَيّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّـاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ
اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَانفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam agama (memasuki
Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(Surah Al-Baqarah, ayat 256)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ
أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat”. (Surah Hud, ayat 118)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي
الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا
مُؤْمِنِينَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?. (Surah Yunus,
ayat 99)
Tidak salah berbeda pendapat, asalkan
perbedaan itu tidak membawa kepada permusuhan. Kita boleh menganggap golongan
lain yang bersalah, namun tidak boleh mencela dan mencaci. Kita perlu menanamkan
sikap toleransi bukan ta’ashub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya
memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Utamakan
agama bukan mazhab dan golongan.
Untuk melahirkan kedamaian antara sunni
dan syiah, maka sebaiknya mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Sunni dan Syiah
sama-sama memiliki kebenaran dan kesalahan (khilaf), oleh karena itu, sebaiknya
masing-masing golongan memelihara kebenaran yang dimiliki dan membuang
kesalahan sikap yang ada khususnya hal-hal yang bernuansa “Takfir”, atau
sekurang-kurangnya jangan saling menjajah dan mempengaruhi golongan lain, yang
Islamnya Sunni biarkanlah mejadi muslim Sunni sepanjang hayat, begitupun
sebaliknya yang sudah Syiah silahkan amalkan ideologi yang diyakini.
2. Masalah umat
Islam saat ini adalah isu murtad, atau sekurang-kurangnya keterbelakangan dunia
Islam dari berbagai aspek kehidupan, politik, ekonomi, sains dan teknologi.
Inilah tantangan dan cobaan utama, sehingga wajib menjadi perhatian bagi Sunni
dan Syiah. Bukan justru mengulang sejarah hitam masa lampau seperti perang
“Jamal” & “Shiffin” (sebuah wilayah di antara Kufah dan Syam). Di tempat
itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Tidak perlu mengulang sejarah ini khususnya di negara-negara Islam
di Asean. Biarkanlah ia menjadi sejarah masa lalu, dan kita harus menciptakan
sejarah baru Islam dengan kemajuan sains dan teknologi.
3. Sesungguhnya
Syiah saat ini mempercayai bahwa Alquran yang ada sekarang ini atau mushaf
Utsmani adalah benar dan mereka beramal dengannya. Dan inilah yang mendorong
ulama Syiah bernama al-Sayyed Murtadha al-Ridhawi membuat sebuah buku khusus
untuk membantah pandangan-pandangan ulama Syiah yang tidak mengakui mushaf
Utsmani. Bahkan dari segi judul, dengan jelas beliau mencantumkan “al-Burhan
‘Ala ‘Adami Tahrif Alquran” yang bermakna peniadaan penyimpangan Alquran
(Mushaf Utsmani). Dan sebagai bukti yang lain, di Iran orang Syiah membaca dan
memperdengarkan ayat Alquran yang sama dengan sunni yang dikenal dengan Mushaf
Utsmani, di samping itu Alquran inilah yang dipertandingkan dalam peringkat
internasional di Iran, baik dalam Musabah Hifdzi Alquran (Hafalan Alquran)
ataupun Musabaqah Tarannum (Lagu Alquran).
Dalam sejarah Taqrib (rekonsiliasi) atau
sebuah usaha damai dan pendekatan antara mazhab sunni & Syiah, dalam hal
ini syekh Mahmud Syaltut (mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah
memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh
Imamiyah). Dan fatwa secara tidak langsung memberikan sebuah kenyataan bahwa
syiah Imamiah tidaklah sesat. Dan yang menarik dari fatwa ini, tidak ditemukan
atau ditulis dalam empat kitab besar beliau, namun dimuat oleh majalah “Risalah
al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959 yang dikeluarkan oleh lembaga
pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kaherah. Oleh karena itu ada berbagai penilaian
ulama tentang fatwa yang dikeluarkan oleh beliau ini. Dan Prof. Dr. Yusuf
al-Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian
adanya fatwa tersebut. Akan tetapi walau bagaimanapun penafsiran ini dapat
disangkal, sebab dalam arsip ditemukan teks asli ucapan fatwa dalam majalah
“Risalah al-Islam”:
قِيْلَ لِفَضِيْلَتِهِ: إِنَّ بَعْضَ
النَّاسِ يَرَي أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ لِکَى تَقَعُ عِبَادَاتُهُ
وَمُعَامَلاَتُهُ عَلَى وَجْهٍ صَحِيْحٍ أَنْ يُقَلِّدَ أَحَدَ الْمَذَاهِبِ
الأَرْبَعَةِ الْمَعْرُوْفَةِ وَلَيْسَ مِنْ بَيْنِهَا مَذْهَبُ الشِّيْعَةِ
الإِمَامِيَّةِ وَلاَ الشِّيْعَةِ الزَّيْدِيَّةِ، فَهَلْ تُوَافِقُوْنَ فَضِيْلَتَکُمْ
عَلَى هَذَا الرَّأْيِ عَلَى إِطْلاَقِهِ فَتَمْنَعُوْنَ تَقْلِيْدَ مَذْهَبِ
الشِّيْعَةِ الإِمَامِيَّةِ الإِثْنَا عَشَرِيَّةِ مَثَلاً. فَأَجَابَ
فَضِيْلَتُهُ: “إِنَّ الإِسْلاَم َلاَ يُوْجِبُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أَتْبَاعِهِ
اِتِّبَاعَ مَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ بَلْ نَقُوْلُ: إِنَّ لِکُلِّ مُسْلِمٍ الْحَقُّ
فِي أَنْ يُقَلِّدَ بَادِيءَ ذِي بَدْءٍ أَيْ مَذْهَبٍ مِنَ الْمَذَاهِبِ
الْمَنْقُوْلَةِ نَقْلاً صَحِيْحاً وَالْمُدَوَّنَةُ أَحْکَامِهَا فِي کُتُبِهَا
الْخَاصَّةُ، وَ لِمَنْ قَلَّدَ مَذْهًباً مِنْ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ أَنْ
يَنْتَقِلَ إِلَي غَيْرِهِ أَىّ مَذْهَبٍ کَانَ وَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِ فِي شَيْءٍ
مِنْ ذَلِكَ.”إِنَّ مَذْهَبَ الْجَعْفَرِيَّةِ اَلْمَعْرُوْفُ بِمَذْهَبِ
الشِّيْعَةِ الإِمَامِيَّةِ الاِثْنَا عَشَرِيَّة مَذْهَبٌ يَجُوْزُ التَّعَبُّدُ
بِهِ شَرْعًا كَسَائِرِ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ. فَيَنْبَغِي
لِلْمُسْلِمِيْنَ أَن يَعْرِفُوا ذَلِكَ، وَأَن يَتَخَلَّصُوْا مِنَ
الْعَصَبِيَّةِ بِغَيْرِ الْحَقِّ لِمَذَاهِبٍ مُعَيَّنَةٍ، فَمَا كَانَ دِيْنُ
اللهِ وَمَا كَانَتْ شَرِيْعَتُهُ بِتَابِعَةِ لِمَذْهَبٍ، أَوْ مَقْصُوْرَةً
عَلَى مَذْهَبٍ، فَالْكُلُّ مُجْتَهِدُوْنَ مَقْبُوْلُوْنَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى
يَجُوْزُ لِمَنْ لَيْسَ أَهْلًا لِلنَّظْرِ وَالاِجْتِهَادِ تَقْلِيْدُهُمْ،
وَالْعَمَلُ بِمَا يُقَرِّرُوْنَهُ فِي فِقْهِهِمْ، وَلاَ فَرْقَ فِي ذَلِكَ
بَيْنَ الْعِبَادَاتِ وَالْمُعَامَلاَتِ”.
Artinya: “Beliau ditanya: Tuan Yang Utama,
sebagian orang berpendapat bahwa wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti
salah satu dari empat mazhab yang terkenal agar ibadah dan muamalahnya benar
secara syar’i, sementara Syiah Imamiah bukan salah satu dari empat
mazhab tersebut, begitu juga Syiah Zaidiyah, apakah Tuan Yang Utama
setuju dengan pendapat ini dan melarang mengikuti mazhab Syiah Imamiyah
Ithna ’Asyariyah misalnya? Beliau menjawab: Islam tidak menuntut seorang
Muslim untuk mengikuti salah satu mazhab tertentu. Sebaliknya kami
katakan: setiap Muslim punya hak mengikuti salah satu mazhab yang telah
diriwayatkan secara sahih dan fatwa-fatwanya telah dibukukan. Setiap orang
yang mengikuti mazhab-mazhab tersebut boleh berpindah ke mazhab lain,
dan ia nya bukan suatu kesalahan. Mazhab Ja’fari, yang juga dikenal
sebagai Syiah Imamiyah Ithna ‘Asyariyyah (Syiah Dua Belas Imam) adalah mazhab
yang dari segi syarak (agama) adalah harus untuk diikuti dalam ibadah
sebagaimana mazhab Sunni lainnya. Kaum Muslim wajib mengetahui hal ini, dan
sebolehnya menghindarkan diri dari prasangka buruk terhadap mazhab tertentu
mana pun, karena agama Allah dan Syari’atnya tidak pernah dibatasi pada
mazhab tertentu. Para mujtahid mereka diterima oleh Allah Yang Mahakuasa, dan
dibolehkan bagi yang bukan-mujtahid untuk mengikuti mereka dan menyepakati
ajaran mereka baik dalam hal ibadah maupun muamalah (kira bicara)”.
Sampai saat ini ulama masih tidak
mendapatkan gambaran yang jelas dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian,
apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syiah atau
tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari
kitab-kitab induk Syiah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi
yang tulus ikhlas “Lillah Ta’aala” untuk memperbaiki (menetralisir) hubungan
Sunni dan Syiah ketika itu dengan tujuan menyatukan keutuhan dan persatuan
Islam?
Pada hakikatnya, fatwa di atas yang
dikeluarkan pada 6 Julai 1959 dari Rektor Universitas al-Azhar sifatnya
ijitihad pribadi. Sebab beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan
silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya
menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk
menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk
menghormati mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling
menghargai. Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab
selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah
“Pihak Sunni sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan menginginkan
persahabatan dan bukan perbalahan, pertengkaran dan perseteruan”.
Sebagai pertanyaan, bukankah pihak Syiah
sendiri yang melarang penganutnya beribadah menurut mazhab Sunni? Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Sayyid Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama Syiah yang
disegani oleh penganut Syiah. Ia tegas melarang penganut Syiah beribadah dengan
cara mazhab selain mazhab Ahlulbait[1]. Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa
tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling
mendekatkan mazhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya
beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual
sunni dipakai oleh Syiah, dan Syiah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan
oleh Sunni, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Sebagai catatan penting dalam menilai
akidah syiah Imamiah, bahwa pada dasarnya mayoriti ulama Al-Azhar[2] menilai mereka sesat dan bukannya
kafir sebagaiamana penilaian ulama di Arab Saudi yang bermazhabkan Wahabi[3]. Salah satu buku kontemporari Wahabi yang
nyata-nyata mengkafirkan Syiah Imamiah adalah (Usul Mazhab al-Syiah al-Imamiah
al-Itsna’asyariah, Mesir, Dar al-Riza, 1994), dikarang oleh Prof. Dr. Nasser
Ali al-Qafari, buku ini asalnya adalah tesis PhD di King Saud University. Dan
buku ini direspon oleh beberapa ulama kontemporari Syiah Imamiah, seperti ktab
(al-Rad ala Kitab Usul Mazhab al-Syiah al-Imamiah al-Itsna’asyariah) dikarang
oleh Dr. Abdul Qadir Abdul Samad, Beirut, Dar al-Wihdah al-Islamiah, 2002), dan
kitab (Ma’a Dr Nasser al-Qafari fi Usuli Mazhabihi Haula al-Sunnah wa
Ruwaatiha, Qum-Iran, Nasyr al-Faqaahah) dikarang oleh shekh Abu al-Fadl
al-Islami.
Intelektual Syiah Imamiyah Antara
Ekstremisme Dan Moderasi
Untuk menilai Syiah Imamiah secara
objektif, ada baiknya dijelaskan dan dibentangkan dalam buku ini tentang
perselisihan penafsiran masalah-masalah agama dalam puak Syiah Imamiyah. Sebab
didapati bahwa ternyata dalam jenis Syiah sendiri terjadi perdebatan yang
mendalam antara mereka sendiri, bahkan sampai kepada tahap dan peringkat
klimaks yaitu saling menyesatkan antara satu sama lain, bahkan kadang diakhiri
dengan sikap saling kafir mengkafirkan.
Oleh karena itu sejauh bacaan penulis,
bahwa memang dalam Syiah terjadi pergesaran pemahaman dan penafsiran terhadap
agama. Dan hal ini dapat dilihat dari segi sikap ulama mereka terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan pemikiran Ghulat (Ekstrim) atau dalam bahasa yang
sederhana yaitu “pemikiran melampau”. Pemikiran ini mengarah kepada keyakinan
yang mengandung unsur yang biasanya aneh dan ajaib yang sering dilekatkan
kepada pribadi para imam-imam mereka, khususnya imam Ali as. Seperti keyakinan
bahwa imam Ali adalah pembawa awan di langit, petir adalah batuknya, kilat
adalah cambuk atau senyumnya, bahkan beliau mampu menghidupkan orang mati.
Kesimpulannya, banyak riwayat-riwayat aneh yang dilekatkan kepada para imam-imam.
Imam adalah “al-Badrul Munir”, “al-Siraj al-Zahir”, al-Nur al-Zati’”. Imam
adalah tiangnya bumi, tanpa imam maka bumi akan hancur. Imam mengetahui hal-hal
ghaib, bahkan mereka tahu bila akan mati, dan kematian bagi imam adalah
pilihan, di mana imam kalau tidak mau mati makan Allah tidak akan mematikannya.
Imam mengetahui banyak bahasa([4]).
Dan masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan lainnya. Dan kesemua pemikiran
tersebut merupakan bentuk ekstremisme jauh dari agama dan akal yang sehat.
Seperti riwayat yang menyatakan bahwa Fatimah tidak mengalami menstruasi
sebagaimana wanita-wanita lain di dunia([5]).
Riwayat-riwayat Syiah di atas jelas
menunjukkan pemahaman yang sangat ektrim, yang sangat jauh dari akal pikiran
sehat. Namun yang menjadi persoalan dan pertanyaan, apakah semua ulama Syiah
Imamiyah membenarkan dan meyakini riwayat-riwayat di atas?
Untuk melihat objektivitas perkara ini
secara mendalam, maka saya akan nukilkan ucapan-ucapan dan pandangan para tokoh
dan ulama mereka ketika menghadapi riwayat-riwayat ekstrim seperti yang telah
disebutkan di atas.
Pertama: Pandangan Ulama Moderat Syiah
Imamiyah.
Dapat dijumpai beberapa pernyataan dari
pada ulama-ulama mereka yang nampaknya menyalahi segala bentuk pemahaman dan
penafsiran yang bersifat ekstrim, Syekh al-Mufid (ulama teologi Imamiyah) mengatakan:
“Pandangan bahwa para imam Syiah dapat mengetahui hal-hal ghaib adalah tidak
benar, sebab Allah saja yang maha tahu segala perkara-perkata ghaib, dan
pendapat inilah yang mu’tamad dalam mazhab Syiah Imamiyah, kecuali mereka yang
menyimpang yaitu mereka yang ekstrim (Ghulat)” ([6]).
Imam al-Ridha menyatakan sifat-sifat asas imam: “Dilahirkan dan melahirkan,
sehat dan sakit, ketawa dan menangis, makan dan minum, kencing dan buang air
besar, hidup dan mati, dikuburkan dan diziarahi, lupa dan lalai, gembira dan
sedih dll” ([7]).
Syekh Saduq menukilkan ucapan Syekh Abu
Ja’far dalam kitab “al-I’tiqaadat fi Diin al-Imamiyah”: “Bagi kami Syiah
ektsrim sungguh telah kafir, dan mereka sebenarnya lebih bahaya dari pada kaum
Yahudi, Nasrani, Majusi, golongan Qadariah dan Hururiah (Khawarij), serta semua
ahli bid’ah yang dapat menyesatkan umat” ([8]).
Syekh al-Mufid menegaskan bahwa: “Mereka
-Pengikut Syiah ekstrim- adalah kafir, imam Ali sendiri memerintahkan untuk
membunuh dan membakar mereka, para imam Syiahpun telah menyatakan kekafiran
mereka dan keluar dari ajaran agama Islam” ([9]).
Syekh al- Tusi menyatakan bahwa: “Para
periwayat dan hadits-hadits ekstrim tidak dapat diterima, sebab perawinya cacat
dan dan merupakan hadits-hadits palsu, oleh karena itu riwayat mereka ditolak
disisi Syiah Imamiyah” ([10]).
Seorang ulama Syiah Imamiyah kontemporer
bernama syekh Ja’far Subhani menafikan kebenaran riwayat-riwayat ekstrim dalam
kitab-kitab Syiah Imamiyah ([11]).
Kedua: Pandangan Ulama Ekstrim Syiah
Imamiyah.
Setelah memaparkan pandangan ulama Syiah
Imamiyah yang moderat dan mengecam periwayatan yang bernuansa ekstrim, maka
selanjutnya penulis nukilkan pandangan-pandangan yang dianut oleh ulama eksrim
imamiyah.
Ibnu Babwaih menjelaskan bahwa sebenarnya
maksud sujudnya para Malaikat kepada Nabi Adam adalah bertujuan sujud karena
cahaya para imam-imam Syiah ([12]).
Imam Khumaini menyatakan satu bentuk sikap
ekstrim bahwa sesunggunya derajat para imam Imamiyah tidak dapat dicapai oleh
Malaikat dan Nabi ([13]).
Apapun penilaiannya, ulama di Mesir hanya
menyesatkan Syiah Imamiah, seperti dinyatakan dalam sebuah tesis Master yang
ditulis oleh sheikh Taha Ali al-Sawah yang bertajuk: “Mauqif Al-Azhar Al-Sharif
min Al-Syiah al-Itsna ‘Asyariah” diterbitkan oleh Darul Yusri, Kaherah tahun
2010, tesis ini sengaja ditulis untuk menghimpun pandangan ulama-ulama Al-Azhar
tentang syiah Imamiah, dan berkesimpulan bahwa ulama Al-Azhar menganggap syiah
Imamiah tergolong dalam aliran sesat. Kesesatan ini adalah sebagai sikap balik
dari pada pandangan syiah Imamiah yang lebih awal menyesatkan, melaknat dan
mengkafirkan para sahabat Rasulullah saw. Dan tentunya ini suatu hal yang wajar
-tatkala Sunni menyesatkan Syiah Imamiah- sebab Syiah Imamiah sendiri yang
memulakan hal tersebut, ibarat pepatah mengatakan “Kalau ada asap, tentu ada
api”, oleh karena itu “Tiap-tiap sesuatu ada asal mulanya”. Dan yang paling
perlu diingat bahwa Abu Bakar, Umar bin Khatab, Uthman bin Affan dan lainnya
adalah para sahabat yang mulia di sisi Nabi Muhammad saw. Beliau pernah ditanya
oleh sahabat mengenal mengenai insan yang baik dan mulia, dan beliau menjawab:
“قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ،
ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ”
“ yang hidup sezaman denganku, kemudian
manusia yang setelah mereka, kemudian manusia yang seterusnya[14].
Beliau juga bersabda:
“اَللهُ اَللهُ فِي أَصْحَابِي، لاَ
تَتَّخِذُوْهُمْ غَرْضًا بَعْدِي، فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أُحِبُّهُمْ،
وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِغَضْبِي أَبْغَضُهُمْ، وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي،
وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللهَ، وَمَنْ آذَى اللهَ يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ”
“Allah, Allah, pada para sahabatku, jangan
engkau jadikan mereka tujuan setelah kematianku. Barang siapa yang mencintai
mereka (sahabat), maka dengan cintaku aku cintai mereka. Dan barang siapa yang
membenci mereka (sahabat), maka dengan rasa benciku aku benci mereka. Dan
barang siapa yang menyakiti mereka (sahabat) berarti dia telah menyakiti aku,
dan orang yang menyakiti aku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barang
siapa yang menyakiti Allah berarti Dia hampir mengambilnya”[15].
Inilah usaha yang dilakukan untuk
mendekatkan mazhab Sunni dan Syiah, seperti mendirikan “Darul Taqrib Baina
al-Mazahib al-Islamiyah” [pusat pendekatan antara mazhab Islam] dan menerbitkan
majalah Risalah Al-Islam di Mesir. Pendirinya terdiri dari perwakilan Sunni dan
Syiah. Pihak Sunni diwakili oleh Syekh Mustafa Al-Maraghi, Syekh Muhammad
Syaltut dan Syekh Mustafa Abdul Raziq. Adapun dari kelompok Syiah diwakili oleh
Sayyid Muhammad Husain Kasyif Al-Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah dan Sayyid
Syarafuddin Al-Musawi. Kemudian, didirikan berbagai pusat pendekatan lain,
seperti Muassasah Ahli Bait li Al-Fikri Al-Islami di Jordan. Pada
tahun 1984, didirikan Muassasah Al-Imam Al-Khuu’i li At-Taqrib Baina Al-Mazahib
Al-Islamiah. Selain itu, ada banyak usaha ilmiah lainnya dalam mendekatkan
kedua golongan ini melalui seminar-seminar nasional dan internasional yang
diadakan di berbagai negara Islam.
Namun semua usaha itu tidak efektif
sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sikap saling memburukkan dan saling
mengkafirkan semakin meningkat.
Langkah untuk mendekatkan Sunni-Syiah
sudah dihentikan. Oleh karena itu, perlu dibangunkan kembali
aktivitas-aktivitas dan pintu penyelesaian lain. Contohnya, mengaktifkan sikap
toleransi antara mazhab. Sebab perbedaan antara Sunni dan Syiah sangat
fundamental dengan perbedaan yang menonjol pada ajaran masing-masing.
Imam Hasan Al-Banna dalam usaha
menyelaraskan hubungan Sunni dan Syiah, berkata:
نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ،
وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ
“Kita bekerjasama dalam perkara yang kita
sepaham, dan saling memaafkan satu sama lain dalam perkara yang kita
perselisihkan”.
Pesan ini lebih kepada sikap toleransi,
bukan pendekatan mazhab. Walaupun golongan Sunni dan Syiah adalah Islam, namun
kandungan mazhab keduanya berbeda antara satu sama lain.
Sulit membedakan antara penganut Islam
Sunni dan Syiah. Sekiranya Sunni mengakui Alquran dan sunnah adalah pegangan
hidup dan asas seorang Muslim, Syiah pun demikian. Jika ada orang non-Muslim
menghina Alquran dan sunnah, reaksi keras akan timbul dari keduanya. Contohnya,
perancangan hari pembakaran Alquran sedunia oleh sebuah gereja Dove World
Outreach Center di Gainesville, yang dirancang oleh pendeta Terry Jones. Sunni
dan Syiah menentang keras sehingga usaha pembakaran pun akhirnya berhasil
digagalkan.
Namun, jika diteliti perbedaan dari segi
akidah, kedua-keduanya sulit disatukan. Sunni dan Syiah perlu mengadakan dialog
untuk tasamuh (toleransi), bukan untuk taqarub (pendekatan).
Sikap toleransi berarti tidak saling tuduh-menuduh, menghancurkan, dan
kafir-mengkafirkan. Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir, semua perkara itu adalah al-musykilat
az-zaaifah, yaitu permasalahan palsu, sebab tidak ada timbal-balik ketika usaha
taqrib tidak membuahkan hasil kepada umat. Oleh karena itu, kedua-duanya perlu
dibiarkan berkembang dengan normal dan tidak saling memaksakan akidah
masing-masing.
Lebih buruk lagi sekiranya sifat saling
menjatuhkan terjadi dalam golongan Ahlu Sunnah, yaitu antara aliran Asya’irah,
Maturidiah, Salafiah dan Wahabiah. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama
perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama penganut.
Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan berdebat, maju
bersama-sama bukan mundur bersama-sama. Hindari menjajah golongan sendiri,
cukuplah kita dijajah oleh non-Muslim yang belum selesai hingga kini karena
sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Sekiranya kedua golongan Ahli Sunnah dan
Syiah saling bersikap ta’ashub (fanatik), maka akan menghasilkan
konflik dalaman. Setiap golongan merasa benar. Akhirnya bukan menambahkan
perbaikan malah mengeruhkan perbedaan, sehingga terlupa agenda peningkatan
status sosial umat. Sepatutnya, setiap aliran menghentikan perbincangan yang
menjurus kepada pengkafiran karena dikhawatirkan timbul konflik dalam agama.
Hanya Allah sahaja yang mengetahui
kekafiran umatnya. Oleh sebab itu konflik dalam dunia Islam sebaiknya
diselesaikan dengan sikap toleransi dan saling menghormati.
[1] Muhamad Husein Fadhlullah,
Masa’il Aqadiyah, hal: 110.
[2] Di antaranya: Shekh Hasanain
Muhammad Makhluf (mantan Mufti Mesir), Shekh Muhammad ‘Arfah (anggota Lembaga
Ulama Senior dan mantan ketua divisi Bimbingan dan Penerangan), Shekh Jaddul
Haq Ali Jaddul Haq (mantan Mufti Mesir dan Grand Syaikh Al-Azhar), Shekh Mohd
Sayyid Tantawi (mantan Mufti Mesir dan Grand Syaikh Al-Azhar), Shekh Athiyah
Shaqer (ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Dr. Abdul Mun’im An-Namir (Wakil Shekh
Al-Azhar dan mantan Menteri Waqaf Mesir).
[3] Persoalan kafir-mengkafirkan
adalah isu penting dan menjadi kontroversi antara aliran Wahabi dan para
penentangnya. Ia menjadi isu yang mengisi pemikiran Islam sejak berabad-abad
lamanya. Golongan Khawarij dikatakan golongan yang mula-mula sekali
mengkafirkan ahli Qiblat, iaitu mereka yang masih lagi solat menghadap qiblat.
Kemudian diikuti pula oleh puak-puak Islam lain, seperti golongan Wahabi.
Lihat: Dr. Hersi Mohamad Hilole, Wahabi Sesatkah Mereka, 83. Malaysia, PTS
Millennia SDN. BHD, 2012.
[4] Teks riwayat dalam Ushul Kafi,
1/373:
عن علي بن جعفر عن أخيه أبي الحسن عليه
السلام قال: “إن فاطمة عليها السلام صديقة شهيدة، وإن بنات الأنبياء لا يطمثن”.
Sementara dalam kitab yang sama terdapat
riwayat lain yang menyalahinya:
عن أبي عبد الله عليه السلام قال: “كان بين
الحسن والحسين عليهما السلام طهر، وكان بينهما في الميلاد ستة أشهر وعشرا”.
Riwayat jelas dan nyata bahwa Fatimah juga
mengalami menstruasi.
[5] Teks riwayat dalam Ushul Kafi,
1/373:
عن أبي عبد الله أن الحسن قال: “إن لله
مدينتين، إحداهما بالمشرق والأخرى بالمغرب، وفيها سبعون ألف ألف لغة … وأنا أعرف
جميع تلك اللغات”.
Riwayat menyebutkan bahwa imam Hasan
mahir dalam semua bahasa manusia.
[6] Awaail al-Maqaalat, hal 77.
[7] ‘Uyun Akhbar al-Ridha, 1/193,
Muassasah al-A’lamy, Beirut-Lebanon, 1404H.
[8] Al-I’tiqaadat fi Din
al-Imamiyah, 71, 72.
[9] Awaail al-Maqaalat, hal 238.
[10] ‘Iddat al-Ushul, hal 351,
Muassasah Aal al-Bait, Qum.
[11] Buhuuts fi al-Milal wa
al-Nihal, 7/10, Muassasah al-Shadiq, Qum, 1416H.
[12] Teks ucapan Ibnu Babwai dalam
kitabnya “Kamal al-Din wa Tamam al-Ni’mah” 1/13:
“السر في أمره تعالى الملائكة بالسجود لآدم
واستعباد الله عز وجل الملائكة بالسجود لآدم تعظيما له … وذلك أنه عز وجل إنما
أمرهم بالسجود لآدم لما أودع في صلبه عليه السلام من أرواح حجج الله تعالى”. ويراد
به (الأئمة).
[13] Tek ucapan imam Khumaini dalam
bukunya “al-Hukumah al-Islamiyah” hal 52, 53:
“فإن للإمام عليه السلام مقاما محمودا ودرجة
سامية، وخلافة تكوينية تخضع لولايتها وسيطرتها جميع ذرات هذا الكون، وإن من
ضروريات مذهبنا أن لأئمتنا مقاما لا يبلغه ملك مقرب ولا نبي مرسل، وبموجب ما لدينا
من الروايات والأحاديث، فإن الرسول الأعظم صلى الله عليه وآله وسلم، والأئمة عليهم
السلام كانوا قبل هذا العالم أنوارا، فجعلهم الله بعرشه محدقين، وجعل لهم من
المنزلة والزلفى ما لا يعلمه إلا الله … وقد ورد عنهم أن لنا مع الله حالات لا
يسعها ملك مقرب، ولا نبي مرسل، ومثل هذه المنزلة موجود لفاطمة عليها السلام”.
[14] Diriwayatkan oleh Muslim dalam
kitab Shahihnya, Kitab Fadha`il ash-Shahabah, bab Fadhlu ash-Shahabah allazina
Yalauwnahum, no 4600, dengan sanad Abdullah bin Mas’ud.
[15] Diriwayatkan oleh at-Tirmizy
dalam Sunan-nya, Kitab al-Manaqib An Rasulillah, bab: Fiman Sabba
Ashabin-Nabiyy, no 3797, dengan sanad Abdullah bin Mughaffal.
dakwatuna.com | 2007 - 2015 | Right
to copy | Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel pada situs ini
dengan menyebutkan URL sumbernya. Powered by Wordpress.
0 komentar:
Post a Comment