Saturday, May 12, 2012
KERANCUAN AKIDAH SYI’AH
KERANCUAN AKIDAH
SYI’AH
DR. Kamaluddin
Nurdin Marjuni
Senior Lecturer
Head Programme of
Da'wah and Islamic Management
Islamic Science University of Malaysia
Aqidah adalah salah satu masalah pokok dan utama dalam Islam,
dan yang penting dalam pembahasan tauhdi ini adalah dengan adanya jiwa tauhid
dalam hati, maka akan terbentuklah berbagai motivasi, dengan kekuatan tauhid
maka seseorang akan takut hanya kepada Allah Swt, bekerja lillah ta’alah bukan
untuk atasan, penilaian-penilaian manusia tidak dihiraukan, melainkan yang
ditakutkan adalah penilaian Allah di akhirat kelak. Dengan jiwa dan semangat tauhid,
seseorang memiliki keberanian yang hebat untuk menghadapi cobaan, tantangan dan
rintangan hidup.
Namu melihat kegencaran dan semaraknya
gerakan syi’ah di bumi Indonesia tercinta dan negara Asean lain, penulis merasa
terpanggil untuk membentengi akidah Ahlu Sunnah yang merupakan akidah yang
telah membumi sekian lamanya dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat
Islam di di Nusantara.
Artikel ini memaparkan tentang kerancuan pemikiran akidah syi’ah, dipaparkan
secara perbandingan, yaitu membandingkan perbedaan yang terjadi antara akidah
Ahlu Sunnah dan akidah Syi’ah. Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama bahwa Sunnah dan syi’ah berbeda tentang asas atau
pilar agama Islam atau dasar Iman dan Islam. Kalau menurut pandangan Ahlu
Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar agama yang biasa
disebut sebagai rukun agama "Arkaan ad-Din”. Dan rukun ini memiliki
konsekwensi yang fatal kalau ditinggal atau tidak dilaksanakan, yang
menyebabkan suatu perkara yang dilakukan menjadi tidak sah.
Berawal dari beberapa
komentar singkat tentang pandangan dan penilaian tentang perbedaan akidah Ahlu
Sunnah dan akidah Syi’ah, seperti pandangan bahwa ”Perbedaan
sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan
bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”.
Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah
substansial”.
Ucapan-ucapan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi,
baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku
ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi
dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR.
Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”.
Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang
terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan
perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki
dan Syafi’i”[1].
Dan baru-baru ini muncul fatwa yang penuh dengan kontroversi yang dikatakan
oleh mufti Mesir, syekh Ali Jum’ah bahwa “Tidak ada perbedaan antara
Syiah dan Sunni”. Atau “Perbedaan yang terjadi antara Sunnah
dan Syi’ah bukan disebabkan faktor politik, melainkan hanyalah perbedaan
memahami teks dan sumber-sumber penetapan hukum (istinbat)”[2].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian. Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya
perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini
biasa terjadi dalam persaudaraan”[3]
Untuk menyikapi pandangan para ulama seperti yang dipaparkan di atas, maka
penulis ingin mengulas tentang hakikat pemahaman aqidah Sunnah dan Syi’ah, dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran
hepotesa-hepotesa tersebut.
Sebagai
perbandingan pertama, kita memulai dengan membahas masalah rukun Islam antara
sunnah & syi’ah:
Perbezaan
Rukun Islam :
Sunnah dan
syi’ah berbeza tentang pilar agama Islam. Kalau menurut pandangan Ahlu Sunnah,
Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar agama yang biasa disebut
sebagai rukun agama "Arkaan ad-Din”. Dan rukun ini memiliki konsekwensi
yang fatal kalau ditinggal atau tidak dilaksanakan, yang menyebabkan suatu
perkara yang dilakukan menjadi tidak sah. Sebab makna rukun itu sendiri adalah,
sesuatu yang merupakan sebagian daripada suatu perkara yang karena
kewujudannya maka wujudlah perkara itu, manakala sekiranya ia tidak wujud, maka
tidak wujudlah perkara itu”. Contohnya perkara niat dalam shalat, niat
merupakan rukun wujudnya shalat, jika seorang shalat tanpa disertai dengan niat
maka shalatnya tidak sah.
Dalam agama Islam
ada dua rukun yang mesti dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku dirinya
beragama Islam, rukun tersebut adalah rukun Islam dan rukun Iman.
Rinciannya adalah sebagaimana berikut:
Golongan sunnah berpendapat bahwa rukun Islam setelah mengucapkan dua
kalimat syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4)
Haji. Landasan bagi pendapat Sunni ini adalah hadits
berikut ini:
عَنْ
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ
الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. (رواه الترمذي ومسلم ).
“Dari
Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab r.a berkata : Saya mendengar
Rasulullah saw bersabda : Islam dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada tuhan yang
berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan berpuasa di bulan
ramadhan”. (Riwayat Turmuzi dan Muslim).
Dari hadits di
atas dapat dipahami bahwa seseorang yang
ingin memeluk agama Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih
dahulu, sebab syahadah adalah asas ajaran Islam. Syahadat diibaratkan sebagai
kunci dan pilar utama untuk menjadi seorang muslim. Syahadat pertama menuntut
orang tersebut bertauhid atau meng-esa-kan Allah swt, dan syahadat yang kedua
merupakan pengakuan bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah swt. Pilar yang
kedua adalah, bagi seseorang yang mengaku beragama Islam diwajibkan menunaikan
shalat lima waktu
dalam sehari semalam, yaitu: shalat dzuhur,
ashar , maghrib , isya, dan subuh. Pilar yang ketiga menuntut seseorang
muslim mengeluarkan zakat dalam jumlah yang telah ditentukan kadarnya. Pilar
yang keempat adalah, bagi seorang muslim diwajibkan melaksanakan ibadah puasa
di bulan ramadhan, dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa,
dimulai dari sejak terbitnya fajar sehingga terbenamnya matahari. Dan pilar
terakhir adalah, kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah
al-Mukarramah sekali dalam seumur hidup.
Inilah
tiang agama yang mesti dilakukan oleh setiap umat Islam menurut pandangan
golongan sunni.
Sedangkan bagi
masalah keimanan yang merupakan suatu keyakinan yang dipercayai dengan sepenuh
jiwa dan hati oleh pemeluk agama Islam, maka bagi golongan sunni, seorang
muslim diwajibkan mempercayai enam rukun iman, yang terdiri dari: (1) Iman
kepada Allah, (2) para malaikat, (3) kitab-kitab, (4) para rasul, (5) hari
kiamat, serta (6) qadha & qadar. Dalil yang diajukan oleh sunni mengenai
keenam rukun iman ini adalah sebagi berikut:
(أَنْ تُؤْمِنَ
بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ،
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) (رواه مسلم والبخاري).
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, malaikat,
kitab-kitab-Nya, para rasul, dan hari akhirat, dan engkau beriman mengenai
Qadar (takdir), baik dan buruknya".
(آمَنَ الرَّسُولُ
بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ
وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ
وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ)
(البقرة، 285).
“Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.
(Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan
yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan:"Kami dengar
dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali". (Q.S. al-baqarah: 285).
Sedangkan
golongan syi’ah berbeda dengan sunnah mengenai pembagian rukun Islam. Bahkan
antara aliran-aliran syi’ah sendiri saling berbeda pandangan dalam hal ini.
syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun agama ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2)
Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Walayah. Sebagaimana beberapa riwayat yang
disebutkan oleh al-Kulaini dalam kitabnya "Ushul al-Kafi":
عَنْ
أَبِي جَعْفَر u قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: عَلَى الصلاَةِ
وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْوِلاَيَةِ، وَلَمْ يُنَادَ بِشَيْءٍ
كَمَا نُوْدِيَ بِالْوِلاَيَةِ".
“Dari Abu
Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; yaitu mendirikan shalat,
menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan walayah, dan tidak ada
satu pun daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru (keras) sebagaimana
seruan yang
diberikan kepada walayah”[4].
وعَنْ أَبِي جَعْفَر u قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ،
عَلَى الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْوِلاَيَةِ، قَالَ
زَرَارَة: فَقُلْتُ: وَأَىُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَفْضَل، فَقَالَ: اَلْوِلاَيَةُ
أَفْضَل لِأَنَّهَا مِفْتَاحُهُنَّ، وَالْوَلِيُّ هُوَ الدَّلِيْلُ
عَلَيْهِنَّ".
“Dari Abu
Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; mendirikan shalat, menunaikan
zakat, melaksanakan haji, puasa ramadhan, dan walayah. Zararah bertanya kepada
Abu Ja’far: manakah rukun yangh terbaik di antara rukun-rukun tersebut?. Abu
Ja’far menjawab: Walayah adalah rukun yang terbaik, sebab walayah merupakan
kunci dari semua rukun agama, dan Wali (Imam) adalah penunjuk atas kesemua
rukun tersebut”[5].
عَنْ
عُجْلاَن أَبِي صَالِحْ قَالَ: قُلْتُ لِاَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم:
“أَوْقِفْنِي عَلَى حُدُوْدِ الاِيْمَانِ، فَقَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ الله وَأنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَالِإقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ
مِنْ عِنْدِ اللهِ وَصَلاةُ الْخَمْسِ وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ شَهْرِ
رَمَضَان وَحَجُّ الْبَيْتِ وَوِلاَيَةُ وَلِيِّنَا وَعَدَاوَةُ عَدُوِّنَا
وَالدُّخُوْلُ مَعَ الصَّادِقِيْنَ”.
“Dari ‘Ujlan Abu Shalih, ia bekata: Saya meminta penjelasan dari
Abu Abdillah tentang batasan-batasan iman, ia menjawab bahwa iman adalah
:“Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, dan Beriqrar (mengakui) segala yang datangnya
dari Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan
haji, percaya kepada Walayah, dan memerangi musuh-musuh, dan berhimpun bersama
orang-orang yang benar (jujur)”[6].
Bila
diperhatikan riwayat terakhir di atas, syi’ah Imamiyah menjadikan ucapan dua
kalimat syahadat sebagai bahagian dari rukun iman, sementara sunnah
menjadikannya sebagai rukun Islam.
Adapun
bagi syi’ah Isma'iliyah Bathiniyah, rukun Islam ada 7. Hal ini dinyatakan
dengan tegas oleh salah seorang ulama Syi’ah Isma’iliyah, yaitu al-Qadhi
an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aa`im al-Islam". Kitab tersebut
mensinyalir bahwa rukun Islam ada 7 perkara, yaitu: (1) Walayah, (2)
Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad. Adapun
teksnya adalah sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي جَعْفَر أَنَّهُ قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى سَبْعِ دَعَائِمٍ :
اَلْوِلاَيَةُ، وَهِيَ أَفْضَلُهَا، وَبِهَا وَبِالْوَلِيِّ يُوْصِلُ إِلَى
مَعْرِفَتِهَا، وَالطَّهَارَةُ، وَالصَّلاَةُ، وَالزَّكَاةُ، وَالصَّوْمُ،
وَالْحَجُّ، وَالْجِهَادُ".
“Dari Abu
Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas tujuh perkara; Walayah, dan walayah
adalah rukun terbaik dari rukun lainnya, sebab dengan wali (imam) seseorang
dapat mengenal rukun-rukun Islam, kemudian Thahara (kesucian), mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan berjihad”[7].
Jadi, syi’ah
Imamiyah dan syi’ah Isma'iliyah sepakat bahwa walayah (imamah) adalah
rukun yang paling utama dari rukun yang lainnya.
Dari beberapa
riwayat yang diketengahkan oleh syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dapat
dilihat bahwa dua kalimat syahadat tidak dimasukkan dalam rukun Islam mereka.
Sedangkan sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam pertama dan yang paling
utama. Sementara bagi syi’ah walayah (imamah) adalah salah satu rukun agama dan
rukun Iman yang paling mendasar dan paling utama dibanding rukun-rukun lainnya.
Sehingga salah seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer yang bernama syekh
Amir Muhammad al-Qazawayni menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa yang
mengingkari kepemimpinan imam Ali, maka sungguh telah gugur keimanannya”[8].
Di samping itu
berkaitan dengan kalimat syahadat, terkadang syi’ah menambahkan sebutan imam
Ali sebagai wali Allah, sehingga teks syahadat versi mereka berbunyi:
"أَشْهَدَ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ
عَلِيًّا وَلِيُّ اللَهِ"
“Saya bersaksi
bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad
utusan Allah, dan Ali adalah wali Allah”.
Namun perlu
disebutkan, bahwa as-Sayyid al-Murtadha, yang merupakan salah seorang ulama
terkemuka Syi’ah pada abad ke lima
Hijriah mengharamkan penyebutan azan yang ditambahkan dengan kalimat "Ali adalah wali
Allah", yaitu yang berbunyi “أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا
وَلِيَّ الله ”. Seorang
cendikiawan Syi’ah Imamiyah yang netral dan moderat bernama DR. Musa al-Musawi
menilai bahwa sebenarnya penambahan ini tidak mendasar dan keliru. Ia muncul
setelah Ghibah al-Kubrah pada tahun 329 Hijriah. Bahkan menurutnya, seandainya
imam Ali masih hidup saat ini, dan mendengarkan penambahan nama beliau dalam
azan, maka niscaya beliau akan memberikan hukuman “Had” kepada pelantun azan
tersebut[9].
Tentunya pernyataan ini merupakan suatu usaha untuk menuju penetralan dan
penjernihan aqidah yang dilakukan oleh sebagian intelektual modern dari
kalangan Syi’ah.
Bahkan terkadang
lafadz Nabi Muhammad-pun dihilangkan dari kalimat syahadat. Seperti riwayat di
bawah ini:
عَنْ
أَبِي جَعْفَرْ قَالَ: "لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةَ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَالْوِلاَيَة".
“Ketika Talqin,
bacakanlah kepada mayat-mayat kalimat syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan walayah (Ali wali Allah)”[10].
Di tempat lain,
syi’ah menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 132, 137, yang berbunyi:
(قُولُواْ آمَنَّا
بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى
وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ
مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ
فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ) –البقرة: 136، 137-.
“Katakanlah (hai
orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada
kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak
cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika
mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada
dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Bagi syi’ah, lafadz (فَإِنْ
آمَنُواْ), bermaksud, mereka umat
manusia, sedangkan lafadz (بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ), adalah imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para
imam-imam lainnya. Jadi maksud ayat ini adalah keimanan seorang mu’min harus
melalui dan mengikuti serta sesuai dengan keimanan para imam-imam syi’ah[11].
Inilah gambaran
tentang konsep keimanan kepada Allah swt yang diyakini oleh golongan syi’ah.
Tentang
Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang pada asalnya sifat-sifat tersebut
hanya dimilki Allah semata-mata, oleh Syi’ah diyakini bahwa nama-nama serta
sifat-sifat tersebut dilabelkan juga untuk para imam-imam syi’ah. Hal ini dapat
dilihat ketika al-Kulaini meriwayatkan sebuah pentafsiran daripada ayat
al-Qur’an:
(ولِلَّهِ
الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا) -الآعراف، 180-.
“Hanya
milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul
husna itu”. (Q.S. al-A’raaf: 180). Dari Abu Abdillah, ia mengatakan: “Kami dan
asma al-husna tidak akan menerima amalan seorang hamba kecuali dengan
pengetahuan kami (izin kami)”[12].
Dalam kitab-kitab
Syi’ah yang lain disebutkan:
"نَحْنُ
وَجْهُ اللهِ نَتَقَلَّبُ فِي الأَرْضِ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ، وَنَحْنُ عَيْنُ
اللهِ فِي خَلْقِه"
“Kami (para imam)
adalah wajah Allah, kami beredar di muka bumi di antara kamu, dan kami (para
imam) adalah mata Allah untuk hambaNya”[13].
Ibnu Babwaih
menafsirkan firman Allah swt:
(كُلُّ شَيْءٍ
هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ) –القصص، 88-.
“Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”. (Q.S. al-Qashash: 88).
Dengan demikian,
dari uraian di atas dapat dilihat dengan
jelas bahwa syi’ah menambahkan rukun Islam dengan Imamah (politik). Dan hal ini
ditegaskan kembali oleh syekh Muhammad Husein al-Ghitah yang merupakan seorang
ulama syi’ah Imamiyah kontemporer, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya
mazhab Syi’ah (imamiyah) menambahkan rukun Islam (Ahlu Sunnah), yaitu Imamah”[16].
Teks
ucapan ini merupakan pengakuan bahwa syi’ah memang sengaja menambahkan rukun
Islam supaya berbeda dengan rukun Islam yang diyakini oleh kalangan sunnah.
Kemudian
untuk rukun iman yang lainnnya, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab,
para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar, akan penulis jelaskan satu
persatu secara singkat di bawah ini.
Malaikat:
Termasuk
bagian dari rukun iman yang disepakati oleh sunnah dan syi’ah adalah beriman
kepada malaikat-malaikat Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
(آمَنَ الرَّسُولُ
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ
وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ
وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ).
“Rasul telah
beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul
rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat".
(Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali" (QS. Al-Baqarah : 285).
Namun yang
menjadi masalah di sini adalah adanya bentuk penafsiran-penafsiran atau
interpretasi dan pemahaman yang berbeda antara sunnah dan syi’ah. Misalnya,
dari segi asal penciptaan malaikat dan tugas malaikat. Bagi sunnah, malaikat
diciptakan dari cahaya (semata), sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ
نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ".
Dari ‘Aisyah, ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "malaikat diciptakan dari cahaya,
jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari sesuatu
yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian" [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2996].
Namun syi’ah
berpendapat lain, dan menegaskan bahwa penciptaan malaikat berasal daripada
cahaya imam Ali[17].
Di samping itu syi’ah mengatakan bahwa ada di antara malaikat yang kerja dan
tugasnya hanya untuk menangisi kuburan imam Husain dan berbolak balik
menziarahi kuburannya sehingga hari kiamat. Dan menurut mereka jumlah para
malaikat adalah sebanyak 4000[18].
Sementara dalam ideologi sunnah, tidak ditemukan pemahaman bahwa terdapat
segerombolan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menangis di atas kuburan
imam Husain.
Bagi
syi’ah, malaikat Jibril di samping bertugas sebagai pembawa wahyu Ilahi, Allah
juga menugaskannya sebagai pelayan bagi para imam-imam syi’ah, sebagaimana
riwayat yang disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
(إِنَّ
جِبْرَائِيْل دَعَا أَنْ يَكُوْنَ خَادِمًا لِلْأَئِمَّةِ، قَالُوا: فَجِبْرِيْلُ
خَادِمُنَا).
“Sesungguhnya
malaikat Jibril meminta untuk menjadi pelayan para imam, maka para imam
menjawab: Jibril adalah pelayan kami”[19].
Asumsi ini tidak
diterima oleh sunnah. Sebab malaikat Jibril yang biasa disebut sebagai
“ar-Ruuh” menurut aqidah sunnah tugasnya hanyalah sebagai pembawa wahyu, dan
hanya melayani Nabi Muhammad saw, sesuai dengan firman Allah:
(نَزَلَ بِهِ
الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ) –الشورى: 193،
194-.
“Dia dibawa turun
oleh Ar-Ruuh Al-Amin (Jibriil), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi
salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” )QS. Asy-Syu’raa’ : 193-194(.
Di dalam ayat
lain disebutkan:
(تَنَزَّلُ
الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ) –القدر:
4-.
“Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruuh (Jibriil) dengan ijin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan” )QS. Al-Qadar : 4(.
Kitab-Kitab:
Kepercayaan
kepada kitab-kitab merupakan rukun iman yang ketiga. Kesemua ajaran-ajaran
agama disampaikan oleh malaikat dan dicatatkan di dalam kitab-kitab dan suhuf.
Dan jumlah kitab-kitab suci tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya.
Namun sekalipun tidak diketahui secara pasti jumlah kitab-kitab tersebut, yang
jelas setiap rasul dibekalkan dengan kitab suci masing-masing.
Silang
pendapat antara sunnah dan syi’ah pada masalah ini sangat tajam. Sunnah
meyakini bahwa dalam agama Islam kitab yang diturunkan Allah swt kepada ummat
Islam adalah al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan pendapat ini
disetujui oleh syi’ah. Atau dengan kata lain, sunnah dan syi’ah sepakat dan
sekata bahwa pedoman ajaran agama Islam adalah kitab al-Qur’an yang dibekalkan
oleh Allah untuk Nabi Muhammad saw. Namun, perselisihan tajam terjadi ketika
kalangan syi’ah berasumsi bahwa al-Qur`an yang dipegang oleh sunnah, yaitu
(Mushaf Utsmani) tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan
yang berupa penambahan dan pengurangan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits
terkemuka syi’ah Imamiyah, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini:
”dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata:”Sesungguhnya al-Qur’an yang
dibawa oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“[20].
Pada tempat lain,
disebutkan juga teks berikut:
عَنْ
أَبِي بَصِيْر، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ... : "وَإِنَّ
عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم، قُلْتُ (أَيْ قَوْلُ
الرَّاوِي): وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمْ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ
فِيْهِ مِثْلُ قرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاَثُ مَرَّاتٍ مَا فِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ
حَرْفٌ وَاحِدٌ".
Dari Abi Bashir,
ia berkata, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf
Fathimah, Abu Bashir bertanya: apakah Mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah)
berkata: ”yaitu Mushaf yang 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf
kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al- Qur’an kalian”[21].
Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan
bahwa al-Qur’an yang dimiliki oleh ahlu sunnah telah mengalami perubahan besar
dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan[22].
Bahkan
dalam riwayat lain disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
"مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم مَا فِيْهِ شَيْءٌ
مِنْ كِتَابِ اللهِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أُلْقِي عَلَيْهَا"
“Sesungguhnya
isi kandungan Mushaf Fathimah adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan
kepadanya (Fathimah) ”[23].
Kesemua
teks-teks riwayat di atas tidak memerlukan penjelasan lebih dalam dan rinci,
sebab sudah sangat jelas maksudnya, bahwa terdapat mushaf yang diturunkan
khusus untuk Fathimah.
Dalam
kitab “Dalaai`l an-Imamah” terdapat riwayat yang menggambarkan isi dan
kandungan daripada mushaf Fathimah, di antaranya adalah hal-hal ghaib. Seperti
pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi dan akan terjadi
sampai hari kiamat kelak, bilangan jumlah malaikat, siapa saja utusan Allah,
nama-nama para Imam syi’ah (dua belas imam), sifat-sifat penghuni surga dan
neraka, jumlah orang yang akan berjaya masuk di dalam surga dan neraka, serta
banyak lagi hal-hal lain[24].
Riwayat
seperti ini sangat banyak ditemui dalam kitab-kitab syi’ah yang masuk dalam
katagori autentik “al-Mu’tabarah”, seperti: “Bashaa`ir ad-Darajaat” karangan
Ibnu al-Farruukh as-Shaffar, “Amaali as-Sudduuq”, karangan Ibnu Babwaih
al-Qummi dll.
Tentunya ilustrasi-ilustrasi ghaib
yang tersebut dalam kitab-kitab di atas adalah sesuatu yang tidak masuk logika.
Sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mampu bercerita kepada ummatnya tentang
hal-hal demikian, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah swt;
(قُل
لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا
أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ) –الأنعام:50-
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan
kepadaku. Katakanlah:"Apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”. (Q.S. al-An’aam: 50).
Di
samping itu, syi’ah Imamiyah berasumsi bahwa masing-masing kedua belas imam
mendapatkan suhuf (lembaran-lembaran) tersendiri[25],
sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab “Ikmaal ad-Din”:
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ:
"إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْزَلَ عَلَى اثْنَى عَشَرَ خَاتِمًا،
وَاِثْنَى عَشَرَ صَحِيْفَةً، اِسْمُ كُلَّ إِمَامٍ عَلَى خَاتِمِهِ، وَصِفَتِهِ
فِي صَحِيْفَتِهِ"
“Sesungguhnya
Allah swt menurunkan (membagikan) cincin kepada dua belas imam, dan bagi
tiap-tiap imam dua belas diberikan lembaran masing-masing, dan pada setiap
cincin tersebut tertulis nama imam, sedangkan sifatnya tersebut dalam lembaran”[26].
Dengan
demikian, pada dasarnya syi’ah mengakui adanya kitab suci selain al-Qur’an yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai “Mushaf Fatimah”. Dan Allah
membagikan shuhuf (lembaran-lembaran) kepada setiap imam yang dua belas.
Bagi
sunnah keotentikan mushaf dan shuhuf ini merupakan sebuah tanda tanya besar.
Sebab bagi sunnah al-Qur’an dan Hadits sudah cukup untuk dijadikan pedoman
hidup bagi ummat, sesuai dengan firman Allah swt:
(وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ) -النحل،89-
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl:
89).
(مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ) -الأنعام، 38-
“Tiadalah Kami alpakan (lalaikan)
sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
(QS. Al-An’aam: 38).
Rasulullah saw juga bersabda:
(تَرَكْتُ فِيْكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ
نَبِيَّهِ)
“Saya
meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama
berpegang teguh kepadanya, yaitu: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya
(Hadits)”. (Muwatta’ Imam Malik, no: 2618).
Sebagai catatan, perlu diperhatikan
bahwa sebagian ulama syi’ah (minoritas) baik klasik ataupun kontemporer[27] ada yang menyanggah keyakinan
bahwa al-Qur’an yang di tangan sunnah tidak orisinil. Dalam artian lain, mereka
mengakui bahwa Mushaf Utsmani tidak
ada penyimpangan atau penyelewangan dalam isi kandungannya. Ulama tersebut
adalah, imam at-Thuusi, imam at-Tabrisi, as-Syarif al-Murtadha, Adnan
al-Bahraani, Syekh al-Qummi, syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar dan syekh Kasyif
al-Ghita’[28]. Sedangkan mayoritas ulama syi’ah tetap tidak
mengakui Mushaf Utsmani[29].
Sunnah
menilai bahwa pengakuan sebahagian ulama syi’ah terhadap mushaf Ustmani
bermotifkan “Taqiyyah”, alias bukan sikap hakiki mereka. Sikap ini mereka ambil
hanya untuk meredakan pertikaian antara sunnah dan syi’ah. Namun menurut hemat
penulis, sebaiknya usaha demikian dari pihak syi’ah kita tanggapi secara
positif, atau dengan kata lain bersifat baik sangka “Husnu ad-Dhan” terhadap
mereka. Yang artinya kita merespon baik pandangan golongan minoritas ulama
syi’ah Imamiyah di atas. Alangkah baiknya kalau kita mencari persamaan dan
memperkecil ruang perbedaan?
Bahkan
DR. Musa al-Musawi (intelektual syi’ah) menegaskan, bahwa yang berpendapat
adanya “Tahrif” atau penyelewengan dalam mushaf utsmani adalah golongan
minoritas syi’ah dan bukannya mayoritas. Dan beliau sendiri meyakinkan kita
bahwa imam al-Khu’i dalam kitab tafsirnya “al-Bayan” telah menafikan sendiri
unsur “Tahrif” yang ditujukan pada mushaf “Utsmani” oleh ulama-ulama syi’ah
lain, dan yang berpendapat demikian
sebenarnya hanyalah orang-orang yang
lemah akal pikirannya[30].
Tapi
walau bagaimanapun, pihak sunnah menilai bahwa masalah “Tahrif” adalah
pandangan mayoritas golongan syi’ah. Seperti yang ditegaskan oleh syekh
adz-Dzahabi dalam bukunya “al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an”[31].
Rasul-Rasul
Kepercayaan kepada para rasul adalah
pilar keempat dari rukun iman, berdasarkan firman Allah swt:
(فَآمِنُوا بِاللهِ
وَرُسُلِهِ) -النساء، 171-.
"Maka berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya" (Q.S. an-Nisaa’).
Allah swt
mengutus para rasul-Nya untuk menjelaskan
dan membimbing umat ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya. Di samping itu, Allah
menjanjikan pahala khusus bagi siapa saja yang mempercayai para rasul Allah,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
(وَالَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ
وَلَمْ يُفَرِّقُواْ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُوْلَـئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ
أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً) -النساء، 152-.
“Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di
antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. an-Nisaa’: 152).
Point ini
disepakati bersama antara sunnah dan syi’ah, namun dalam sisi lain terjadi
silang pendapat yang mendasar, yaitu apabila syi’ah berusaha untuk menyamakan
para rasul dengan Imam-imam syi’ah. Mereka berpandangan bahwa imamah atau walayah
adalah masalah agama yang paling penting, dan setaraf dengan kenabian, dari
segi kesempurnaan diri (insan kamil). Mereka memiliki mu’jizat, ma’sum
(terpelihara dari dosa dan noda), dan sifat lainnya yang sebenarnya hanya layak
disandang oleh seorang nabi dan rasul, namun syi’ah Imamiyah dan syi’ah
Isma’iliyah ikut melekatkan sifat-sifat tersebut pada imam-imam mereka. Bahkan
mereka meyakini bahwa imam-imam syi’ah mendapatkan wahyu juga seperti halnya
nabi dan rasul, seperti yang tertulis di kitab “Biharul al-Anwar”:
“إن الأئمة عليهم
السلام لا يتكلمون إلا بالوحي”
“Sesungguhnya para imam tidak berbicara kecuali dengan
landasan wahyu”[32].
Teks di atas
sangat jelas menunjukkan bahwa para imam syi’ah mendapatkan wahyu dari Allah
swt. Bahkan bagi mereka, para imam lebih tinggi derajatnya di banding para
nabi. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Babwaih dalam kitabnya “I’tiqaadaat”[33],
yang kemudian ditegaskan oleh al-Majlisi dengan mengatakan:
"اِعْلَمْ
أَنَّ مَا ذَكَرَهُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِ نَبِيِّنَا وَأَئِمَّتِنَا
صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ عَلَى جَمِيْعِ الْمَخْلُوْقَاتِ، وَكَوْنِ
أَئِمَّتِنَا أَفْضَلُ مِنْ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ ..."
"ketahuilah
sesungguhnya apa yang telah disebutkan oleh dia (Ibnu Babwaih) rahimaullah,
tentang kemuliaan Nabi kita dan para Imam kita (shalawatullah ‘alaihim) melebih semua makhluk lain. Dan kedudukan
para imam kita lebih mulia dibandingkan seluruh nabi, hal ini tidak dapat
diragukan lagi kebenarannya bagi siapa saja yang mengetahui berita-berita para
imam[34].
Begitu juga
dengan perihal mu’jizat (miracle), yaitu suatu keadaan atau peristiwa luar
biasa yang dialami atau dilakukan oleh nabi atau rasul atas izin Allah swt.
Mukjizat ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran agama atau berfungsi sebagai
senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang menentang dan tidak mau menerima
ajaran yang dibawa oleh seorang nabi.
Yang menarik
perhatian sunnah dalam masalah ini adalah, di dalam kitab-kitab syi’ah banyak
disebutkan bahwa para imam-imam syi’ah dibekali juga dengan mu’jizat seperti
halnya para nabi dan rasul. Bahkan ulama syi’ah mengambil perhatian besar dalam
masalah mu’jizat dengan munculnya berbagai ragam kitab yang membahas dan
membicarakan tentang mu’jizat-mu’jizat para imam, seperti, kitab “’Uyuun
al-Mu’jizaat” karya Husain bin Abdul Wahab. Di antara mu’jizat imam yang
disebutkan dalam kitab tersebut adalah, para imam mampu menghidupkan orang
mati, dapat berkomunikasi dengan hewan dan mengetahui hal-hal yang telah
terjadi dan apa yang akan terjadi[35].
Juga kitab “Yanaabii’ al-Ma’aajiz”, yang ditulis oleh Hasyim al-Bahrani. Bahkan
dia menulis dua kitab mengenai hal ini. Selain kitab di atas adalah kitab
“Madinah al-Ma’aajiz”. Dalam kedua kitab tersebut disebutkan bahwa imam
mengetahui apa saja keadaan dan peristiwa yang terjadi di langit maupun di bumi[36].
Dan hal inipun ditegaskan oleh salah satu ulama kontemporer imamiyah, yaitu
Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’ dalam bukunya “Ashlu as-Syi’ah wa Ushuliha”[37].
Perlu
diindikasikan di sini bahwa syi’ah Zaidiyah yang merupakan salah satu golongan
besar dalam syi’ah, telah berusaha maksimal mungkin menepis dan mengcounter
propaganda syi’ah Imamiyah dalam masalah mu’jizat dan kenabian. Sebab menurut
syi’ah Zaidiyah, adalah suatu hal yang mustahil menganalogikan imamah dengan
kenabian (nubuwwah). Alasannya adalah, karena kenabian memiliki berbagai
argumentasi dan bukti yang menunjukkan kenabian mereka. Sikap syi’ah Zaidiyah
terhadap polemik ini layak untuk diperhitungkan, karena syi’ah Zaidiyah menolak
secara mentah-mentah pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat mencapai
derajat kenabian. Bahkan imam Ali ra yang juga disepakati oleh syi’ah Zaidiyah
sebagai pemimpin yang paling layak dibandingkan
khalifah lainnya, menurut pandangan mereka tidak sampai kepada tahap
derajat kenabian[38].
Imam
Asy’ari dari pihak sunnah menilai secara objektif pandangan tentang kelebihan
antara nabi dan imam. Beliau berpendapat, bahwa sebenarnya syi’ah Imamiyah dalam masalah ini terbagi
kepada tiga golongan:
1) Sebagian
berpendapat bahwa nabi lebih mulia daripada imam, dan imam lebih mulia daripada malaikat.
2) Ada yang berpendapat
bahwa imam lebih mulia dibandingkan nabi dan malaikat.
3) Sedangkan
golongan yang ketiga ini menilai bahwa malaikat dan nabi lebih mulia daripada
imam[39].
Sebenarnya, di
samping ketiga pandangan di atas, terdapat lagi satu asumsi lain yang
dicetuskan oleh syekh al-Mufid –seorang ulama syi’ah- bahwa imam lebih mulia
dibanding dengan nabi, kecuali para nabi yang masuk dalam golongan “Ulul
al-Azmi”[40].
Hari
Kiamat.
Kepercayaan kepada hari kiamat dan alam akhirat, yaitu
menerima hakikat bahwa alam ini akan musnah suatu ketika nanti dengan sekelip
mata. Dan pada masa itu, semua manusia yang telah mati akan dibangkitkan
kembali untuk mempertanggungjawabkan semua amalan-amalan yang mereka lakukan
tatkala hidup di alam dunia. Kemudian Allah swt akan membalas amal-amal
tersebut balasan yang seadil adilnya. Oleh karena itu kiamat dalam agama Islam
dinamakan dengan berbagai sinonim, seperti: hari kiamat, hari kebangkitan, hari
pembalasan, hari pengadilan, dan hari penghitungan[41].
Perlu
diperhatikan di sini, bahwa kepercayaan akan hari kiamat bukan saja ada dalam
agama Islam, juga ada dalam agama lain, seperti: kristen dan yahudi, yang
merupakan agama-agama langit “al-Adyan as-Samawiyah”[42].
Bahkan kepercayaan kepada kewujudan hari kiamat juga ditemukan dalam agama atau
kepercayaan kuno seperti, Persia ,
Mesir kuno, Yunani, dan lain-lainnya yang mempercayai adanya hari kiamat.
Perbedaan mereka terletak pada cara menilai kebangkitan manusia apakah dengan
ruh dan jasad atau dengan ruhnya saja tanpa jasad. Jadi perkara hari kiamat ini
merupakan kepercayaan umum yang diyakini oleh setiap manusia. Sehingga pada
zaman modern ini para sutradara film berlomba-lomba membuat filem tentang hari
kiamat, seperti filem End of Days, Stigmata, Knowing dan yang terbaru 2012.
Kita menghargai nilai film-film ini mengenai kepercayaan mereka tentang akan
terjadinya hari kiamat, adapun penentuan waktu dan kandungannya tentu tidak
boleh kita yakini, sebab perkara ini adalah rahasia ilahi. Seperti dalam filem
2012, ramalan kiamat berlaku dibuat berdasarkan kalendar suku maya yang
berdomisili di republik Guatemala
(Amerika tengah).
Sunnah ataupun syi’ah
sepakat tentang hari kiamat. Namun ada beberapa hal yang tidak dapat diterima
oleh pihak Sunnah, seperti: perkara hisab (penghitungan dan pembalasan amalan).
Syi’ah dengan ideologinya mengatakan bahwa yang akan menghisab amal seseorang
di hari kiamat adalah para imam, merekalah yang akan bertugas dan mengatur
segala-segala bentuk penghitungan. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Ushul
al-Kafi di bawah ini:
(الآخِرَةُ
لِلإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ، وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ
لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ)
“Perkara
akhirat berada di tangan imam, ialah yang akan menguruskan segala-galanya di
akhirat sesuai keinginannya, ia berbuat demikian atas lisensi Allah”[43].
Lebih
unik lagi, dalam kitab-ktab syi’ah diceriterakan bahwa sekiranya bukan karena
imam, maka tidak diciptakan surga dan neraka, dan Allah menciptakan surga dari
cahaya Husain[44].
Dan soal pertama yang akan ditanyakan di hari kiamat adalah tentang kecintaan
seseorang dan kesetiaannya terhadap Ahlu Bait[45].
Di samping itu, penduduk Qum tidak melalui
proses hisab sebagaimana orang awam, seperti melewati titian (shirat) dan
timbangan (mizan). Dan penduduk Qum akan
dihisab dari dalam kubur masing-masing, setelah itu dibangkitkan dan langsung
dibawa menuju Surga, dan di Surga disediakan pintu khusus bagi mereka[46].
Ini
sebagian dari paparan dan rentetan ideologi-ideologi syi’ah tentang kejadian
dan peristiwa yang akan berlaku di hari kiamat. Dan syi’ah meyakini bahwa
urusan managemen surga dan neraka diserahkan sepenuhnya kepada para imam. Mulai
dari kebangkitan dari kubur, melewati titian, menjalani proses timbangan, dan
yang terakhir keputusan seseorang akan masuk surga atau neraka berada di tangan
para imam. Namun dalam pandangan sunnah, perkara masuk surga dan neraka adalah
berada di tangan Allah semata, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah
bin Shamith, ia berkata, Rasululllah saw bersabda,
(مَنْ شَهِدَ أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ
وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ
الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ)
“Barangsiapa
yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah Yang tiada
sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat)
bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya
kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersaksi pula bahwa) surga adalah
benar adanya dan nerakapun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya kedalam
surga betapapun amal yang telah diperbuatnya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Qadha dan Qadar
(Takdir).
Takdir
merupakan rukun iman terakhir yang wajib diyakini oleh umat Islam. Dan dalam
pembahasan ini terdapat dua kata yaitu qadha dan qadar. Kedua istilah ini
serupa tapi tak sama, sebab keduanya mempunyai makna yang berbeda. Dari segi
etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Maturidi bahwa qadha diartikan
sebagai keputusan, sedangkan qadar diartikan sebagi ketentuan[47]. Sedangkan dari segi terminologi, qadar adalah
takdir Allah sejak zaman azali, sedangkan qadha` adalah hukum Allah mengenai
sesuatu ketika sesuatu itu terjadi . Oleh karena itu, kalau Allah menetapkan
terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan, maka itulah yang dinamakan
qadar. Dan ketika telah datang masa waktu terjadinya sesuatu yang telah
ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan qadha’. Dengan demikian qadar
wujud lebih dulu dibanding qadha, sebab qadha menyusul di belakang setelah
adanya qadar.
Bila
kita teliti dalam permasalahan takdir, syi’ah cenderung kepada pandangan
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia,
tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang
dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru[48].
Di sinilah titik perbedaan antara pandangan sunni dan syi’ah dari satu
sisi, dan di sini jugalah titik persamaan antara syi’ah dengan Mu’tazilah.
Sunni yang diwakili oleh dua golongan besar,
yaitu: Asy’ariah dan Maturidiyah, berkeyakinan bahwa Allah menciptakan
perbutan manusia, dan manusia yang melakukan perbutan yang Allah ciptakan
tersebut[49].
Di samping itu
perlu disebutkan di sini bahwa golongan sunni, syi’ah dan mu’tazilah sama-sama
mengkritik pandangan golongan Jabariah (Fatalisme), yang berasumsi bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai
daya, dan tidak mempunyai pilihan. Punulis tidak perlum memaparkan lebih jauh tentang
masalah ini, karena silang pendapat dalam masalah ini tidak begitu jauh antara
satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam artian, polemik antara sunni
dan syi’ah dalam masalah ini tidak berakibat fatal, seperti halnya polemik pada
rukun-rukun iman yang lain.
1)
Khalifah
diwasiatkan secara nash dan bersifat turun temuran.
2)
Imam adalah
terpelihara dari dosa dan noda, alias bersifat ma’shum.
3)
Meyakini adanya
raj’ah (kebangkitan kembali)[50].
4)
Memaki para
sahabat Nabi dan ummahatul mukminin.
5)
Menghalalkan nikah Muta'h.
6)
Menolak ijma’
& qiyas. (dalam masalah ini terjadi perdebatan intern antara sesama syi’ah
sendiri. Yaitu antara dua kelompok: al-Akhbariyyun
(al-Nashiyyun, al-Muhadditsun), dan kelompok al-Ushuliyyuun
(Madrasah ar-Ra’yi, Madrasah at-Ta’wil).
7)
Tidak menerima
hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Sunnah.
Tentunya masih banyak lagi permasalahan selain yang
penulis sebutkan di atas.
Apabila menoleh
ke sejarah Islam, imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan
perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke
berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat lahirnya konflik antar sekte
Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut
tampuk kepemimpinan. Dalam istilah syi’ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan
istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah). Sedangkan pada zaman modern
saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri`asah). Dalam pandangan politik syi’ah
dikatakan bahwa imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan
kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul
dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), dimana iman seseorang tidaklah
sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, mesti diyakini bahwa
Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw yang sah dengan penunjukan langsung dari
Nabi saw (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara
dengan kedudukan Nab saw. Oleh sebab itu, syi’ah dalam setiap kasus
berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
Dengan demikian
konsep imamah dijadikan sebagai rukun agama oleh seluruh penganut dan golongan
syi’ah. Sementara ahlu sunnah menjadikan imamah hanya sebatas sebuah kajian
fiqh saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, imamah itu adalah
pangkat atau jabatan yang ditentukan oleh Allah swt, oleh karena itu posisi
imam itu mereka samakan dengan posisi Nabi. Dan kalau Nabi dipilih langsung
olehi Yang Maha Kuasa, maka imam dipilih oleh Nabi Muhammad saw. Dan pilihan
beliau jatuh kepada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait.
Jika demikian, dapat kita katakan bahwa syi’ah secara tidak langsung
memasukkan sistem pemerintahan teokrasi dalam Islam dan peradaban bangsa
Arab. Dan berdasarkan konsep imamah ini, maka umat tidak berhak memilih seorang
imam, karena pemilihan imam merupakan ketentuan Ilahi.
Mereka menggunakan banyak landasan. Hampir
semua ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan
kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll mereka interpretasikan sebagai konsep
Imamah. Seperti firman Allah swt:
(يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ
مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً) -النساء: 59-.
"Hai orang-orang
yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. an-Nisaa`: 59).
Ayat"
Yaa
ayyuhallazdina amanu ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut
mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah para imam-imam syi’ah dan
keturunannya. Dan pendapat ini disepakati oleh seluruh golongan syi’ah yang
terbesar, yaitu: syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah[51].
Begitu juga halnya dengan Akhbar (hadits), seperti wasiat Rasulullah saw pada
saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’. Yaitu manakala Rasulullah saw
mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan
sebagai khalifah sepeninggalku[52].
Namun, kalau kita
renungkan dengan teliti ucapan-ucapan Rasulullah saw dalam haji Wada’,
sebenarnya tidak ada dalam ucapan dan penyebutan Rasulullah saw mengenai
khilafah, melainkan beliau hanya menyebutkan tentang kebaikan, keutamaan
(afdaliyah) imam Ali terhadap apa-apa pengorbanan yang telah disumbangkan
kepada umat Islam ketika itu. Oleh karena itu, syi’ah merasa tidak cukup puas
untuk menjadikan peristiwa Ghadir Kham sebagai argumentasi mereka, sehingga
mereka berusaha mencari dalil-dalil lain yang boleh menguatkan keyakinan mereka[53].
Dan untuk menguatkan peristiwa ini, salah seorang ulama syi’ah Imamiyah
bernama Abdul Husain Ahmad al-Amini
mengarang sebuah buku sebanyak 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa
as-Sunnah wa al-Adab). Dan periwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari
kalangan mereka sendiri, karena bagi syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah,
hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’shum dalam
semua tingkatan.
Setelah memaparkan bentuk-bentuk perbedaan keyakinan, kepercayaan (ideologi)
dan politik yang dianut oleh masing-masing golongan sunnah dan golongan syi’ah
Imamiyah, maka kita boleh menilai secara objektif tentang pandangan
bahwa “Tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni” atau “Perbedaan
hanya sedikit dan bersifat furu’iyah bukan asas”. Menurut hemat penulis, pandangan ini
sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi)
terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah.
Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah
bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir
dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti
saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?. Kalau
beda tipis kenapa ada gerakan syiahisasi di kalangan sunnah?. bukankah bagus
kalau masing-masing berjalan sesuai akidah keyakinan sendiri tanpa menjajah
ideologi golongan lain?.
Pemaparan di atas
telah membuktikan bahwa perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat fundamental.
Di mana golongan sunnah berpendapat bahwa rukun Islam
setelah mengucapkan dua kalimat syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1) Shalat, (2)
Puasa, (3) Zakat, (4) Haji.
Sedangkan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun Islam
ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Walayah.
Dan dalam rukun Islam mereka tidak disebutkan tentang syahadat, namun perkaran
syahadat disebutkan dalam rukun iman.
Adapun Syi’ah
Isma’iliyah mereka meyakini lebih banyak lagi rukun Islam, yaitu: (1) Walayah,
(2) Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad.
Semoga dengan tulisan ini dapat
memberikan pemahaman yang jelas, tentang kerancuan aqidah syi’ah, sehingga kita
dapat beraqidah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, para Sahabat
dan Tabi’i Tabi’in yang mengikuti jejak langkah beliau dari waktu ke waktu,
zaman ke zaman sehingga saat.
[9] Lihat usaha-usaha beliau dalam menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah
pada bukunya yang berjudul “as-Syi’ah wa at-Tasyayyu’”.
[12] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/143-144.
[13] Tafsir al-‘Iyaashi, 2/42. al-Majlisi, Bihaar al-Anwaar, 94/22. an-Nuuri
at-Thabrisi, Mustadrak al-Wasaail, 1/371.
[14] Ibnu Babwaih, at-Taudih, hal 149.
[15] Lihat rinciannya pada buku penulis, Mauqif az-Zaydiah wa Ahli as-Sunnah
min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, hal: 185-190, Darul Kutub
al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[20] Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan
kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah).
[21] Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[22] Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab
Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an,
hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[23] Biharul Anwar, 26/42.
[24] Muhammad Ibnu Jarir bin Rustum at-Thabari, Dalaail al-Imamah, hal:
27-28.
[25] Suhuf bentuk jama’ dari
Shahiifah, artinya lembaran, memiliki beberapa sinonim dalam bahasa Arab,
yaitu: Waraqah, Ruq’ah, Tirsun dan Qirthaasun. Lihat: DR. Kamaluddin Nurdin
Marjuni, kamus “Syawarifiyyah”, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 368.
[26] Riwayat ini disebutkan di berbagai kitab-kitab Syi’ah, lihat:
al-Kulayni, al-Kaafi, 1/527-528. Ikmaal ad-Din, Ibnu Babwaih al-Qummi, hal:
301-304.
[27] al-‘Allamah As-Sayyid Ali al-Husaini al-Milani (intelektual syi’ah
kontemporer) mengarang sebuah buku yang berjudul “ عدم تحريف القرآن” yang artinya: Tidak ada
penyelewengan al-Qur’an. Buku ini dicetak oleh Markaz al-Abhats al-‘Aqadiyyah. Sebuah pusat kajian
syi’ah di Iran .
[29] Lihat ketegasan ulama-ulama syi’ah tentang “Tahrif” dalam
tafsir “as-Shaafi”, imam al-Faidh al-Kaasyaani, tafsir “al-‘Iyasyi” imam al-‘Iyasyi.
[33] Ibnu Babwaih, I’tiqaadaat, hal 106-107.
[34] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 26/297.
[35] Husain bin Abdul Wahab, ‘Uyuun al-Mu’jizaat, hal, 17- 57.
[36] Hasyim al-Bahrani, Yanaabi’ al-Ma’aajiz, hal: 35-37. Madinah
al-Ma’aajiz, hal 9-16.
[37] Lihat pada buku tersebut di atas hal: 58.
[38]
Untuk penjelasan rinci tentang kritikan syi’ah Zaidiyah terhadap syi’ah
Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dalam masalah ini, dipersilahkan membaca buku
penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa
Falsafatuh, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[39] Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islamiyyin, 1/120.
[40] Al-Mufid, Awaail al-Maqaalat, hal 42-43.
[42] Perlu disebutkan bahwa dalam kitab perjanjian lama hari kiamat
dinafikan, sedangkan dalam perjanjian baru hari kiamat diakui. Lihat kajian:
DR. Mohd Ali al-Khuli, al-Islam wa an-Nashraniyah, hal: 6, Darul Fala,
Yoradania, 2000.
[44] Lihat: Ibnu Bahwaih, al-I’tiqaad, hal: 106-107. As-Sayyid Hasyim
al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[45] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 27/79.
[46] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar,
60/215-218.
[47] Lihat: Maturidi, kitab at-Tauhid, hal: 305-307.
[48] Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal: 324.
[49] Untul Lebih jelasnya: lihat buku penulis: al-Mazahib al-‘Aqaaidiyah
al-Islamiyah, Universiti Sains Islam Malaysia , 2010.
[50] Hakikat Raj’ah diperselisihkan oleh syi’ah Imamiyah, lihat buku
penulis, al-Aqidah al-Islamiyah Fi Dhau` ad-Dirasat al-Kalamiyah, hal: 35-60.
[51] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni: al-Firaq as-Syi’iyah
wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha, hal: 63-68, Universiti
Sains Islam Malaysia ,
2009.
[52] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/324. al-Qadhi an-Nu’man, al-Azjuuza
al-Mukhtarah, hal: 71.
[53] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni,
Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha,
hal: 323-397, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment