AJARAN SESAT DALAM ALIRAN TEOLOGI ISLAM
(bagian II)
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Di samping posisi beliau sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga menduduki jabatan sebagai pemimpin Negara, sehingga ketika beliau wafat komuniti masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara. Permasalahan ini sampai mengganggu prosesi pemakaman beliau, dan mereka mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka pada saat itu.
Selanjutnya, muncul persoalan ‘Khilafah’, yaitu soal pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai kepala Negara. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad saw., dan diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman r.a. timbul pertikaian di antara sesama umat Islam yang mengakibatkan berlakunya peristiwa pembunuhan Usman bin Affan, khalifah yang ketiga.
Peristiwa pembunuhan Usman menimbulkan munculnya perseteruan antara Mua’wiyah dan Ali, di mana pihak Mu’awiyah menuduh pihak Ali sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga berlanjut dalam memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Mu’awiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.
Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.
Hal ini menandakan bahwa persoalan teologis dalam Islam berawal dari masalah politik, sehingga memberikan pengaruh dan kesan besar terhadap perpecahan umat Islam, bahkan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan sosial masyarakat. Dan terkadang masyarakat itu sendiri ikut langsung terlibat di dalam ranah politik, sehingga berbagai kalangan dan tingkatan sosial di masyarakat bersaing untuk menjadikan pilihan politiknya berkuasa.
Dalam perkembangan seterusnya, masalah politik meningkat menjadi masalah teologi [1]. Dan peningkatan ini bersifat negatif, sebab membuat percampuran antara politik dan ideologi yang semestinya harus dipisahkan. Efek yang timbul dan nyata dari perkembangan tersebut adalah antara sesama penganut agama Islam saling menyalahkan dan menyesatkan, bahkan mengkafirkan. Keadaan ini membuahkan hasil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab aqidah (ideologi) yang tadinya murni, dan bertujuan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang, mengembangkan persaudaraan Islam (Ukhuwah al-Islamiyah), akibat pengaruh politik justru menjadi sebaliknya. Keimanan menjadi rapuh, ketaqwaan semakin melemah, tali persaudaraan menjadi terputus, akibat berbagai masalah serta problema yang dimunculkan oleh keadaan yang tidak dapat dibendung.
Sebagai contoh yang nyata, peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi tekanan penguasa kepada beliau untuk mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluq, namun dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah.
Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan komitmen yang tinggi dalam hati Imam Ahmad bin Hambal maka pada akhirnya aqidah kaum muslimin terselamatkan dari tekanan dan pemaksaan penguasa yang menggunakan landasan ideologi Mu’tazilah.
Dan yang menarik perhatian adalah ketika ada seseorang yang berkata kepada imam Ahmad bin Hambal: “Semoga Allah menghidupkan engkau di atas Islam”, maka beliau menjawab : “dan sunnah.” Ia berucap seperti itu karena ia mengerti bahwa umat Islam telah berpecah dalam berbagai firqah, sekte dan kelompok, maka ia melengkapi doanya dengan kata “dan sunnah”, yang maksudnya, ia dihidupkan di atas Islam dan sunnah yang tidak dicampuri oleh berbagai macam bid’ah, termasuk di dalamnya politik.
Inilah contoh yang jelas ketika politik dan aqidah dicampuradukkan dan dipolitikkan. Dan dari sini dapat dikatakan jika tidak terjadi perpecahan politik di kalangan umat Islam niscaya kesatuan dan persatuan akan tercapai.
Namun perlu diingat bahwa ajaran sesat atau penyelewengan akidah ini bukanlah suatu masalah dan problematika baru, melainkan telah muncul sejak sebelum wafat Nabi Muhammad saw, di mana telah muncul beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai nabi selepas Rasulullah saw. Dan mereka menyebarkan ajaran-ajarannya kepada umat Islam pada masa itu. Seperti yang tercatat dalam sejarah Islam, yaitu seseorang yang bernama Musailamah, yang kemudian diberi gelaran sebagai al-Kazzab, Thalhah al-Asady dari Kabilah Bani Asad, dan al-Aswad al-Anusi di Yaman.
Perlu disebutkan bahwa para sahabat Nabi Muhammad saw, menerima ajaran aqidah dari Rasulullah saw dengan penuh ketaatan dan lapang dada (Sam’atan wa Tha’atan), oleh karena itu, tidak pernah sedikitpun terlintas di dalam hati para sahabat problema aqidah. Meskipun mereka terkadang bertanya kepada Rasulullah saw tentang permasalahan agama, tapi hanya sekedar untuk mendapatkan petunjuk dan penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
Dalam hal ini, Ibu Abbas r.a berkata: ”Saya tidak pernah menemukan suatu kaum yang lebih baik dari pada para sahabat Rasulullah saw, sebab mereka hanya bertanya kepada Rasulullah saw seputar al-Qur’an, seperti: masalah hukum haid, haji, dan anak yatim, dan mereka bertanya demi mendapatkan manfaat belaka”[2].
Syeikh Thasy Zadah menegaskan hal tersebut: ”Sesungguhnya para sahabat di masa Rasulullah masih hidup di tengah-tengah mereka, di bangun atas satu kesatuan aqidah, karena Rasulullah memang berada di sekeliling mereka dan berinteraksi langsung dengan mereka, sehingga Rasulullah menghilangkan dari diri mereka segala yang berbau sesat, ragu dan momok (khayalan)”[3]
Disebutkan dalam buku-buku sejarah sekte-sekte teologi islam, bahwa asas ajaran sesat pada awal kemunculannya dipelopori oleh tiga golongan, yaitu: Khawarij yang muncul pada tahun 37 Hijriyah, Syi’ah dan Qadariyah. Dan ketiga golongan ini kemudian berkembang pesat sehingga sebagian golongan-golongan teologi islam dihinggapi penyakit kesesatan.(Bersambung)
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
BA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)
Senior Lecturer
Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA
Catatan:
[1] Disebutkan dalam Encyclopedia Britannica bahwa golongan Syi’ah (sebagai pendukung imam Ali), pada awalnya merupakan partai politik (Harakah as-Siyasiyyah) kemudian berkembang menjadi gerakan Islam (Harakah al-Islamiyah). (vol.20) (Chicago، William Benton، 1968) p.393. gerakan Islam inilah yang dikenali kemudian sebagai “al-Firaq al-Islamiyah”, “al-Firaq al-Kalamiyah” dan “at-Tayyarat al-Kalamiyah”, dan berbagai ragam istilah lainnya.
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-I’lam, 1/71.
0 komentar:
Post a Comment