Friday, January 15, 2010
KONSEP TA'WIL SYI'AH BATHINIYAH & PENGARUHNYA TERHADAP HERMENEUTIKA
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Masalah ta’wil adalah masalah penting dalam studi keislaman. Ta’wil merupakan salah satu metode penafsiran teks untuk memahami kandungan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia mendapatkan tempat, posisi dan perhatian khusus para ulama. Oleh karena itu tidak sedikit ulama yang membahas masalah ini. Bahkan karya-karya mereka banyak diberi judul dengan kata-kata ta’wil, seperti ulama tafsir terkenal imam at-Thabari yang menulis tafsirnya dengan judul “Jaami’ al-Bayaan ‘An Ta’wil Ayaat al-Qur’an”, juga Imam al-Maturidi (pendiri mazhab teoligi Maturidiyah) yang menulis tafsirnya dengan judul “Ta’wiilaat Ahli Sunnah”, serta Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Arabi yang memiliki buku yang mempunyai judul yang sama yaitu: “Qanun at-Ta’wil”. Mereka semua ini adalah para ulama klasik.
Pada masa kontemporer sekarang inipun tidak ketinggalan para sarjana-sarjana islam dari berbagai disiplin ilmu keislaman melahirkan karya-karya yang membahas masalah ta’wil, seperti DR. Husain Shaleh yang mengarang buku dalam masalah kebahasaan yang diberi judul “at-Ta’wil al-Lughawi fi al-Qur’an”, dan DR. Muhammad as-Sayyid al-Jalayand yang membahas tentang metodologi ta’wil Imam Ibnu Taimiyah dan mengkomparasikannya dengan pandangan ulama lainnya dalam masalah dan seluk beluk ta’wil dalam bukunya yang berjudul “Imam Ibnu Taimiyah Wa Qadhiyyah at-Ta’wil”.
Saat ini ta’wil sedang digemari dan digandrungi oleh para intelektual Arab dan orientalis, dengan menggunakan berbagai propaganda terminologi baru, yaitu: “Hermeneutika”, yang dibangun atas spekulasi logika, dan diekspos besar-besaran oleh beberapa pemikir islam modernis, seperti: Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abid al-Jabiri, Abdullah al-‘Arawi, Husain Marwah, Muhammad Sa’id al-‘Isymawi, Jabir ‘Ashfur, Ahmad Sa’id Adunis dan lain-lain. Namun, sangat disayangkan mereka menyelewengkan artian, makna dan tujuan daripada ta’wil, sehingga banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan interpretasi agama yang sangat tidak relevan dengan ajaran-ajaran Islam. Mereka berdalih bahwa proses interprestasi yang dilakukannya hanya semata-mata untuk mengkaji ulang agama, memperbaharui pemikiran agama dan menyegarkan pemahaman. Sebagian mereka berasumsi bahwa al-Qur’an itu diturunkan untuk satu kaum dan generasi tertentu saja yang pada akhirnya memerlukan interpretasi yang baru dan segar.
Mengingat pentingnya masalah ta’wil tersebut, maka artikel ini sengaja ditulis dengan tujuan melacak dan menelusuri pengaruh metode ta’wil Syi’ah Bathiniyah terhadap pemikiran liberal yang akhir-akhir ini semarak di dunia timur tengah atau negara-negara Arab, seperti Mesir, Suria, al-Jazair dan libanon.
Faktor utama yang memotivasi penulis untuk membahas masalah ini adalah melihat adanya fenomena dari kedua gerakan tersebut -Syi’ah Bathiniyah dan Liberal- untuk melakukan penyesatan dan pengrusakan (sabotase) aqidah Islam. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan usaha preventif agar tidak terpukau dengan wacana pemikiran liberal atau sekuler yang akhir-akhir ini menyibukkan umat Islam di dunia Arab dan Islam, khususnya di Indonesia. Di samping itu merupakan peringatan (tazkirah) akan hakikat dan bahayanya ta’wil Bathiniyah yang dipopuleritaskan oleh gerakan sekuler yang dikenal di Indonesia dengan sebutan “islam liberal”, dan di negara Arab dikenal dengan sebutan “al-‘Almaniyah”.
Namun sebelum penulis menguraikan pembahasan ini lebih jauh, perlu diindikasikan sebelumnya bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk memojokkan gerakan liberal, apalagi memvonis bahwa gerakan sekuler atau liberal adalah pecahan atau kontinuitas dari gerakan Syi’ah Bathiniyah. Sebab hipotesa demikian mustahil dibuktikan kebenarannya. Karena salah satu prinsip dasar ajaran Syi’ah adalah meyakini adanya Imamah, atau dengan kata lain mempercayai dan mengkultuskan seorang imam, pemimpin atau tokoh tertentu dengan sepenuh hati “sam’atan wa tha’atan”, tunduk dan patuh terhadap doktrin-doktrin yang disodorkan atau ditawarkan oleh imam. Hal ini tidak akan pernah ditemukan sama sekali dalam wacana pemikiran sekuler atau liberal. Bahkan sebaliknya, di mana kaum sekuler sangat anti dengan pengkultusan, apapun bentuk dan rupanya.
Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah. Dan bahkan dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah . Hal tersebut disebabkan oleh karena ajaran-ajaran Syi’ah Bathiniyah sangat kontroversial dan melenceng dari kemurnian ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama dari berbagai kalangan yang disebutkan di atas –golongan Sunni ataupun Syi’ah- sepakat berpendapat bahwa mereka keluar dari Islam alias (kafir). Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui gencarnya studi kritik terhadap filsafat dan aqidah Bathiniyyah .
Untuk sekedar memberikan gambaran umum “General Outlines” mengenai Syi’ah Bathiniyah, dalam etimologi bahasa arab lafadz (batin) adalah lawan kata daripada (zahir). Dan (batin) merupakan salah satu nama Allah SWT. yang artinya Allah Maha Tahu tentang segala rahasia. Adapun menurut terminologi, Bathiniyyah adalah salah satu aliran Syi’ah yang dikenal dengan penamaan asal (al-Isma’iliyyah), dan ia merupakan salah satu aliran Syi’ah yang terbesar selain Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Oleh karena itu ulama Syi’ah Zaidiyah sendiri secara jelas mendefinisikan Bathiniyah -sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama Syi’ah Zaidiyah, yaitu: Imam Ahmad bin Sulaiman (wafat 566) dalam buku teologinya yang terkenal (Haqaa,iq al-Ma’rifah fi Ilmi al-Kalam)-: “Bathiniyah dinisbahkan kepada Syi’ah Isma’ilyah. Mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya kufur. Dan mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin.
Senada dengan definisi diatas, Ibnu al-Jauzi mengatakan dalam bukunya yang berjudul (Talbiis Ibliis): “Bathiniyah adalah suatu kaum yang bertopengkan agama Islam, dan berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin. Al-Bathiniyah itu sendiri adalah golongan Syi’ah Isma’ilyah yang penamaannya dinisbahkan kepada imam Muhammad bin Ismail bin Ja’far".
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Bathiniyah adalah Syi’ah Isma’iliyah. Adapun dalam perkembangannya, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah sering kali bertukar dan berganti nama, bergantung kepada tempat dimana ia muncul dan menetap. Seperti di Iraq dan di Bahrain dikenal dengan nama “al-Qaramithah”, di Khurasan dikenal dengan nama “at-Ta’limiyah”, di Mesir dikenal dengan nama “al-Fathimiyah”, di Syam (Suria,Yordan, Lebanon dan Palestina) dikenal dengan dua penamaan yaitu “an-Nushairiyah” dan “ad-Duruz”, dan khusus di Palestina terdapat penamaan lain yaitu “al-Baha,iyah”, di India dengan nama “al-Bahra”, di Yaman dengan nama “al-Yamiah” disamping penamaan aslinya “al-Isma’ilyah”, di daerah-daerah Kurdi dengan nama “al’Alawiyah”, di Turki populer dengan nama “al-Bakdasyiah), dan di negara selain Arab dikenal dengan nama “al-Babiyah”. Namun mereka sendiri sebenarnya merasa lebih puas dan senang dengan penamaan aslinya, yaitu “al-Isma’iliyah”, sebagaimana yang ditegaskan oleh tokoh ulama mereka yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H) dalam bukunya yang berjudul “Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadhil”.
Perlu di sebutkan juga bahwa Ibnu Taimiyah tatkala menyebutkan perkataan golongan Bathiniyah secara absolut (mutlak) dalam berbagai kitabnya, seperti “Dar Ta’arud al-Aql wa an-Naql”, “Minhaaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, ia tidak membatasi artian dan penisbahan Bathiniyah kepada Syi’ah Isma’iliyah saja, melainkan meliputi seluruh golongan yang berkeyakinan bahwa syari’at atau teks-teks al-Qur’an itu mengandung makna lahir dan batin, seperti yang diyakini oleh para Ahli Tasawwuf, Filsafat, dan golongn Jahmiyah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa standarisasi Ibnu Taimiyah dalam pemakaian istilah Bathiniyah terlihat pada bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan kepada teori lahir batin, yang dalam perkembangannya gaya penafsiran tersebut didukung penuh oleh pemikir-pemikir sekuler atau liberal. Sebagaimana yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini.
Sejauh observasi penulis, ada tiga pengaruh atau kesan metodologi ta’wil Bathiniyah terhadap Hermeneutika yang dipropagandakan oleh kaum sekuler dan liberal, yang daripadanya kita dapat melihat sejauh manakah pengaruh tersebut pada pemikiran liberal dalam memahami, menterjemahkan dan memainkan ajaran-ajaran agama melalui interpretasi mereka terhadap teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Yang pertama: melalui teori lahir batinnya al-Qur’an dan Sunnah. Yang kedua: Ta’wil liar yang tidak sesuai dengan gramatikal bahasa Arab. Yang ketiga: Penyesatan aqidah. Untuk lebih jelasnya mari kita mencoba melihat kebenaran hipotesa ini dalam uraian berikut:
A. Teks al-Qur’an dan Sunnah Mengandung Makna lahir (eksplisit) dan Batin (implisit).
Teori lahir dan batin merupakan asas utama bagi pemahaman aqidah syi’ah Ismal’ilyah Bathiniyah dan Syi’ah Imamiyah. Dengan melalui teori tersebut lahirlah konsep Ta’wil yang tidak beraturan dan tidak dilandasi oleh kaedah apapun. Melihat pentingnya teori tersebut dalam syi’ah Isma’iliyah, Paul E. Walker –Guru besar di Universitas MacGill- dalam bukunya “Hamdi ad-Din al-Kirmani”, mengamati bahwa teori lahir dan batin adalah masalah esensial, oleh karena itu sangat ramai diperbincangkan oleh aliran syi’ah, baik syi’ah Isma’Iiyah ataupun syi’ah Imamiyah. Dan teori ini selanjutnya dikenal dengan slebutan lain, yaitu: “al-Mutslu wa al-Mamtsul”. Di mana mereka memposisikan lahir itu sebagai “al-Mutslu”, sedangkan batin diposisikan sebagai “al-Mamtsul”. Teori ini digunakan oleh syi’ah Isma’ilyah untuk memahami segala wujud alam langit dan bumi, dan dijadikan sebagai standar interpretasi dalam menegakkan dan membela kepercayaan yang mereka anut dan yakini sepenuhnya. Di samping itu, mereka juga mengistilahkan teori tersebut dengan dua istilah lain, yaitu: “at-Tanzil wa at-Ta’wil”, juga: “al-Ilmu wa al-‘Amal”.
Untuk mengetahui lebih jauh implementasi teori lahir dan batin yang diagung-agungkan oleh syi’ah Isma’ilyah, penulis menukil perkataan salah satu filosof syi’ah Isma’ilah yang bernama Abu Mu’ayyan al-Marwazi yang populer dengan sebutan akrabnya “Nashir Khasru” (wafat sekitar 470 H): “Sebagaimana halnya alam dunia ini tersusun dari empat unsur, yaitu: panas, dingin, kering dan lembab, maka alam agamapun demikian, ia tersusun dari empat unsur juga, yaitu: Kitab (al-Qur’an), Syari’at, Ta’wil dan Tauhid” . Dengan landasan perumpamaan (analogy) tersebut, syi’ah Isma’Iiyah berasumsi bahwa syari’at itu mengadung dua makna, yaitu: makna lahir dan makna batin.
Di tempat lain, salah satu filosof syi’ah Isma’illiyah moderat yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H), yang berasal dari negara Yaman, mendefinisikan hakikat makna lahir dan batin, ia berkata: “Jika penganut aliran syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah mengatakan: Qur’an itu mengandung dua makna, yaitu lahir dan batin, maka maksudnya tidak lain adalah makna lahir itu adalah amalan perbuatan manusia yang sifatnya syari’at (furu’iyah), seperti: mengucapkan dua kalimat syahadat, melakukan ritual shalat, menunaikan zakat, puasa dan haji, serta berjihad. Adapun makna batin dalam pengertian mazhab kami, maksudnya adalah pengetahuan batin, seperti: mengetahui eksistensi sesuatu, elemen-elemen dan hakikatnya, dan hal ini tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, serta hanya dapat dicapai melalui ilustrasi dan imajinasi jiwa dan akal manusia, contohnya dalam permasalahan tauhid, kenabian, balasan dan siksaan di hari kemudian. Dan hal itu hanya bisa diketahui oleh sebagian manusia, yaitu para imam-imam syi’ah”.
Dari penuturan filosof syi’ah Isma’Iiyah diatas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan makna lahir adalah segala bentuk perbuatan dan amalan manusia yang berkaitan dengan furu’iyyyah syari’at (fiqh). Sedangkan makna batin merupakan inti atau esensi agama yang tidak nampak oleh pancaindera manusia. Namun hal itu dapat diketahui, dideteksi dan dicapai oleh para imam-imam mereka saja.
Dalam konteks yang sama, Ja’far bin Mansur (wafat 347 H), yang juga merupakan salah satu ulama syi’ah Isma’liyah, bahkan termasuk tokoh terkemukan syi’ah Isma’ilyah di Yaman, mendefinisikan lebih detil definisi makna lahir dan batin, baginya: “Makna batin adalah hakikat agama Allah yang tercatat dan dimiliki oleh para Waliyullah (imam-imam syi’ah). Sedangan makna lahir adalah syari’at-syari’at agama dan semisalnya. Dengan demikian, agama merupakan ruh dan jiwa bagi syari’at. Sedangkan syari’at merupakan jasmani bagi agama. Sebab jasmani tidak dapat hidup tanpa adanya ruh. Dengan sebab keberadaan ruhlah jasmani itu dapat hidup. Begitupun sebaliknya, tanpa adanya jasmani, ruh tidak dapat hidup. Sebab jasmani merupakan tempat hidupnya ruh. Sama halnya dengan lahiriyah syari’at, ia tidak dapat tegak tanpa keberadaan batin, sebab batin itu adalah cahaya dan hakikatnya, dan batin itulah yang menegakkan syari’at” .
Sebagi catatan, teori lahir dan batin dapat ditemui juga dalam konsep ilmu Tasawwuf. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya konsep tersebut merupakan hasil adopsi dari sy’iah. Secara khusus konsep ini akan ditemukan pada tasawwuf yang bercorak filsafat (at-Tasawwuf al-Falsafiy), yang memiliki beberapa orang tokoh seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dll. Begitu juga halnya dengan salah seorang ulama terkemuka tasawwuf at-Tustari yang dalam kitab tafsirnya dengan jelas menekankan adanya makna lahir dan batin bagi teks Qur’an, ia berkata: “Makna batin itu merupakan hasil pemahaman seseorang dalam menela’ah isi kandungan al-Qur’an, dan makna batin itulah yang merupakan makna yang sebenarnya (hakiki) . Dengan demikian, teori lahir dan batin merupakan masalah penting dan utama bagi ahli Tasawwuf dalam merumuskan permasalahan ma’rifat .
Dari beberapa penjelasan ulama Syi'ah Isma’ilyah di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sangat meyakini adanya makna lahir dan batin bagi teks-teks al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dan bagi mereka makna lahir bukanlah inti dari al-Qur’an, melainkan intinya terletak pada pemaknaan batinnya. Dan bagi mereka amalan ibadah syari’at seperti mengerjakan shalat, puasa, haji dll, adalah makna lahir bagi agama, adapun makna batinnya terselubung dan hanya diketahui oleh para imam-imam mereka yang maksum (terpelihara dari noda dan dosa). Alasan mereka, karena imam itu adalah pilihan langsung dari Allah swt., jadi pengangkatan mereka pula langsung dari Allah swt.. Oleh karena itu, setiap imam memiliki kemampuan dan keilmuan yang memadai mengenai segala seluk beluk agama, baik yang sifatnya lahiriyah atau bathiniyah. Dan anehnya mereka berasumsi lebih jauh lagi bahwa alam ghaib bisa diilustrasikan oleh para imam-imam mereka, seperti kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi di alam akhirat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau penganut syi’ah Isma’iliyah meremehkan amalan-amalan syari’at. Sehingga mereka mengatakan bahwa pelaksanaan ibadah shalat hanya perlu dilakukan hanya tiga waktu dalam sehari, yaitu, shalat Maghrib, Isya dan Shubuh, bahkan bila perlu ditinggalkan sama sekali. Alasan mereka, amalan shalat tidak ditentukan waktunya secara detail dalam teks-teks al-Qur’an, melainkan ditentukan oleh Nabi saw., maka sepeninggal Nabi Muhammad saw., Imam Syi’alah yang menjadi penerus beliau untuk menentukan perkara-perkara agama. Dengan demikian, seorang imam boleh membuat sendiri amalan atau syari’at, atau merevisi ajaran-ajaran yang telah ada sebelumnya, dengan cara menambahkan atau mengurangi amalan-amalan yang telah ditentukan oleh Nabi sebelumnya. Hal ini berlaku sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi. Adapun argumentasi mereka mengenai pelaksanaan shalat yang dibatasi hanya tiga waktu dalam sehari adalah, menurut asumsi mereka pelaksanaan shalat asalnya lebih sepuluh kali dalam sehari semalam, kemudian berkurang menjadi lima waktu saja. Di samping itu mereka berargumentasi dengan teks al-Qur’an ayat 78, surah al-Israa`: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) shalat shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)” .
Bila kita kontemplasikan fenomena diatas maka akan jelas ide bahwa segala teks agama mengandung makna lahir dan batin yang disuarakan dan dikonsumsikan oleh gerakan sekuler dan liberal, yang dibawa oleh para pemikir kontemporer di Timur Tengah, adalah sebenarnya ide atau metodelogi Syi’ah Isma’iliyah yang diadopsi dan dikembangkan serta dipopulerkan oleh gerakan sekuler dewasa ini, namun mereka menggunakan slogan lain dalam membahasakan makna lahir dan batin. Kalau Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan istilah “Lahir” dengan lafadz “Makna”, dan “Batin” dengan lafadz “al-Maghza”, sedangkan Ali Harb memakai istilah “al-Maghza dan Ma’na al-Ma’na” untuk makna “Batin”, sementara al-‘Isymawi memilih penamaan “Batin” dengan “al-Jauhar”, adapun Abid al-Jabiri menyebutnya “al-Maqashid”, dan Arkoun membahasakannya lewat istilah “al-Hadaatshah”.
Aneka terminologi di atas kerapkali kita temukan dalam buku yang bercorak sekuler dan liberal, tapi yang terpenting dari sekian banyak terminologi yang diketengahkan oleh para pemikir sekuler tersebut, intinya hanya satu, yaitu melagukan kembali teori (ad-Dzahri wa al-Batin) yang diprakarsai dan diploklamirkan oleh kalangan Syi’ah khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah.
Untuk melihat lebih dekat unsur pemakaian terminologi ini, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash” berpendapat, bahwa segala teks agama tidak mampu memberikan makna hakiki. oleh karena itu, tidaklah patut bagi seseorang berinteraksi terhadap teks-teks agama melalui makna lahiriyah yang tercantum dan tercatat jelas dalam sebuah lafadz. Dan sebaik-baik cara untuk berinteraksi dengan teks al-Qur’an adalah mencari makna batin yang terselubung dan tersembunyi di balik lafadz yang lahir” .
Senada dengan pendapat ini, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash” menegaskan, bahwa untuk memahami inti dari suatu lafadz hendaknya tidak hanya berhenti pada artian lahiriah lafadz tersebut, melainkan harus menelusuri secara mendalam makna batin yang tersembunyi di balik lafadz tersebut” .
Dalam konteks yang sama, Nasr Hamid Abu Zaid tidak ketingggalan dalam masalah ini, ia ikut memastikan bahwa esensi teks al-Qur’an itu terletak pada maknanya dan bukan pada lafadznya . Dan hal senada juga ditegaskan oleh Muhammad Sai’id al-‘Isymawi, dengan terang-terangan ia mengatakan dalam bukunya “Hishad al-‘Aql”: “Sesungguhnya al-Qur’an itu turun berdasarkan makna dan tujuannya –bukan berdasarkan pada lafadznya-“ .
Inilah sederetan dari beberapa penuturan-penuturan dan penegasan-penegasan yang bercorak sekuler yang dikonsumsikan oleh para pemikir liberal di Timur Tengah, lalu diadopsi oleh sekelompok kajian-kajian liberal di Indonesia.
Dengan demikian, dalam asumsi pemikiran sekuler dan liberal hal yang paling utama dalam memahami teks al-Qur’an bukan bergantung pada makna harfiah sebuah lafadz, melainkan makna batin yang terselubung di balik lafadz tersebut. Dan ini merupakan lagu dan ide lama Syi’ah, khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah yang telah muncul pada tahun 250 Hijriah.
Di sinilah letak kesamaan metode penafsiran antara Syi’ah Bathiniyah dengan gerakan sekuler dan liberal, yang keduanya berasumsi bahwa lahiriah suatu teks agama tidak dapat dijadikan patokan pemahaman, sebab ia tidak dapat memberikan suatu makna hakiki.
B. Penggunaan Ta’wil Bebas, Liar dan Spekulatif (Interpretation Uncontrolled).
Bila diamati secara seksama, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah menciptakan gagasan teori lahir dan batin, atau dalam istilah mereka “al-Mutslu wa al-Mamtsul”. Tujuannya adalah, untuk menginterpretasikan teks-teks agama, syariat, baik al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Karena dalam mazhab mereka, ta’wil merupakan pilar, asas dan landasan utama dalam proses pengukuhan sebuah aqidah dan penegakan ideology. Dan inilah dasar yang membadakan Syi’ah Isma’iliyah dengan mazhab-mazhab lain. Di mana mereka dengan penuh keberanian menta’wilkan seluruh teks-teks agama tanpa terkecuali, dengan landasan teori lahir dan batin. Dan sebebarnya hal ini mereka lakukan tak lain dan tak bukan karena mereka tidak menemukan solusi yang tepat untuk mendukung ideologi mereka. Oleh karena itu, mereka sengaja menginterpretasikan seluruh teks-teks agama, baik al-Qur’an ataupun as-Sunnah.
Salah satu tokoh Syi’ah Imamiyah yang bernama Syekh Ja’far Subhani, dalam bukunya “Buhuuts fi al-Milal wa an-Nihal” menegaskan tentang peranan dan urgensi ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah. Ia mengatakan: “Sesungguhnya masalah penta’wilan secara lahiriyah dari suatu teks-teks syari’at merupakan landasan utama dalam ideologi Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, sebab ta’wil merupakan asas dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah. Sehingga bila ta’wil ditiadakan dalam aliran tersebut dan hanya berhenti pada pengertian lahiriyah suatu teks, maka aliran Syi’ah Isma’iliyah tidak berbeda dengan aliran-aliran lainnya. Oleh karena itu, mereka mengimplementasikan ta’wil dalam seluruh permasalahan aqidah ataupun syari’at, terlebih lagi dalam penafsiran Imamah” .
Namun hemat penulis, syekh Ja’far Subhani sebagai tokoh Syi’ah Imamiyah memaparkan bahwa Syi’ah Isma’iliyah tak dapat dipisahkan dari ta’wil, sebenarnya Syi’ah Imamiyah pun demikian. Dalam artian, ta’wil dalam aliran Syi’ah Imamiyah juga mendapatkan tempat yang tinggi, sebab mereka juga menggunakan ta’wil bebas dan liar. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca buku penulis :"Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma'iliyah wa Falsafatuha, Darul Kutub Ilmiyah, Bairut, Lebanon, 2009".
Sebagai pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ta’wil dalam perspektif Syi’ah Bathiniyah? Untuk menjawab, penulis menukil definisi ta`wil yang dipaparkan oleh salah satu tokoh kontemporer Syi’ah Isma’iliyah DR. Arif Tamir, ia mengatakan: “Ta’wil adalah makna batin dari suatu lafadz, atau dimaksudkan juga sebagi symbol dan esensi, di mana hikikat makna suatu lafadz terdapat dalam kandungan lafadz itu sendiri, dan lafadz itu tidak mampu untuk menunjukkan suatu hakikat dan kebenaran” .
Dari definisi di atas dapat digaris bawahi bahwa kaedah ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah merupakan penerapan dari teori lahir dan batin yang telah kita ketengahkan sebelumnya. Sebab menurut asumsi mereka, makna lahir tidak dapat memberikan suatu makna yang hakiki atau kebenaran, oleh karena itu dalam memahami sebuah teks-teks agama seseorang tidak akan mampu memahaminya bila hanya bergantung kepada lahiriyah teks tersebut, melainkan harus menelusuri lebih jauh dan mendalami makna-makan batin yang terkandung dalam setiap lafadz.
Motif inilah yang membuat ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sangat menekankan pentingnya ta’wil dalam mengartikan permasalahan-permasalahan agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi’ah Isma’iliyah Abu Ya’qub as-Sijistani (wafat 353 H): “Barang siapa yang tidak mengerti ilmu ta’wil serta tidak memahaminya secara mendalam, maka ia akan membohongi dan mendustakan al-Qur’an” . Di lain tempat, filosof Isma’iliyah Bathiniyah Abu Mu’ayyan al-Marwazi alias Nasir Khasru berkata: “Ta’wil adalah sebuah kebenaran yang hakiki” . Senada dengan pendapat diatas Ya’qub bin Killis menegaskan lebih jauh bahwa: “Sesungguhnya al-Qur’an itu tidak akan jelas maksud dan tujuannya kecuali jika diiringi dengan ta’wil” .
Namun perlu diperhatikan disini, sebenarnya masalah ta’wil bukanlah suatu hal yang diperselisihkan eksistensinya dalam kajian agama. Bahkan mayoritas ulama dari berbagai aliran teologi dan pemikiran Islam, khususnya aliran Asy’ariah, Maturidiyah, Mu’tazilah dan Syi’ah Zaidiyah, sangat memberikan perhatian, dan menganggap ta’wil itu penting, oleh karena itu mereka sepakat membolehkan ta’wil dalam berinteraksi dengan teks-teks Qur’an. Namun ada batasan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh siapa saja yang ingin menta’wil teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Yaitu: penggunaan ta’wil hanya dibenarkan bagi ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat) saja, dan tidak dibenarkan bagit-ayat yang jelas (Muhkamaat), dan tidak semua ayat-ayat mutasyabihat boleh dita’wilkan atau diinterpretasikan.
Sebagaimana yang dinyatakan dan ditegaskan oleh pakar tafsir dari Andalusia Spanyol Imam al-Qurthubi yang membagi ayat-ayat Mutasyabihat kepada dua kategori, yaitu:
- Pertama, permasalahan-permasalahan yang kandungannya sama sekali tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti: fakta-fakta hari kiamat.
- Kedua, perihal yang dapat diketahui oleh orang-orang berilmu saja “ar-Raasikhuuna fi al-‘Ilmi”, seperti permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah swt.
Dalam pandangan Imam al-Qurthubi, kategori pertama di atas sama sekali tidak dapat diinterpretasikan oleh seseiapapun, sebab berkaitan dengan rahasia alam ghaib. Adapun kategori yang kedua, pemahamannya boleh dibantu dengan ta’wil, asalkan melalui proses penta’wilan yang betul dan diinterpretasikan oleh ulama yang tahu seluk beluk gramatikal bahasa Arab dan ilmu agama lainnya”. Untuk lebih jelasnya silakan membaca buku penulis: "Masaail al-I'tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, Muassasah al-'Alya, Kairo, Mesir, 2006".
Di tempat lain, Imam Syatibi menggariskan kebolehan penggunaan ta’wil dengan dua persyaratan, yaitu:
- Pertama, lafadz yang akan dita’wilkan hendaknya seseuai dengan makna lahiriyah bahasa Arab, atau sesuai dengan arti kata lain yang dipilih dan dikenal dalam bahasa Arab.
- Kedua, makna yang dipilih hendaknya sesuai dengan kebenaran (kenyataan), dengan cara menyesuaikan dan menelusuri teks-teks ayat di tempat lain.
Dengan memenuhi kedua syarat di atas, maka akan nampak jelas kebenaran makna batin suatu lafadz dengan menggunakan ta’wil. Dan hal ini berbeda dengan cara penta’wilan di kalangan Bathiniyah, karena mereka hanya mengandalkan ilmu batin dan sama sekali tidak melihat segi gramatikal bahasa Arab” .
Di sinilah letak kekeliruan dan kesalahan penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, yang diikuti oleh kalangan sekuler dan liberal di Timur Tengah, melalui istilah “Hermeneutika”, di mana penta’wilan mereka tidak didasari dan dilandasi dengan gramatikal bahasa Arab. Di samping itu, mereka tidak membedakan antara ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat) dan ayat-ayat yang jelas (Muhkamat). Bagi mereka, ayat Mutasyabihat dan ayat Muhkamat sama saja dan mesti dita’wilkan. Berdasarkan asumsi tersebut, mereka menta’wilkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an secara batin, tanpa melihat latar belakang posisi ayat tersebut. Dan hal ini terjadi karena tidak adanya standarisasi ta’wil dalam mazhab mereka.
Konsekwensi dari penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah berdampak besar pada beberapa permasalahan syari’at, sebagi contoh:
- Mereka berasumsi bahwa shalat menurut makna batinnnya adalah mengakui para wali Allah. Wali Allah yang dimaksud adalah para Imam-Imam mereka. Oleh karena itu, ketaatan dan kepatuhan kepada Imam hukumnya wajib.
- Ibadah puasa bagi persepsi mereka bukanlah bermaknakan menahan diri dari lapar dan dahaga, melainkan maknanya adalah menyembunyikan segala rahasia Syi’ah Isma’iliyah terhadap orang di luar mazhab Syi’ah Isma’iliyah.
- Begitu juga halnya dengan Ka’bah baitullah al-Haram, mereka ta’wilkan dengan secara sengaja mengalihkan maknanya kepada Imam-Imam yang harus ditaati dan dipatuhi segala perintah dan larangannya, sebab Imam itu adalah hakakat daripada Ka’bah Baitullah al-Haram .
- Dalam surah an-Nur ayat: 36 terdapat perkataan “al-masaajid”, yang dimaksud dengan perkataan “al-Masajid” menurut persepsi mereka adalah para Imam-Imam Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan para Nabi .
- Perkataan “Wa ‘Amiluu as-Shalihat” dalam surah al-Kahfi, ayat 107, bagi mereka adalah mentaati kepemimpinan imam. Sebab menurut keyakinan mereka amal ibadah seseorang baik yang bersifat fardhu atau sunnah tidak akan diterima kecuali bila mereka sudah mentaati para imam mereka yang suci dari noda dan dosa (Ma’sum) .
Perlu diperhatikan bahwa proses interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam aliran Syi’ah Isma’Iiyah Bathiniyah secara general sebenarnya bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh kedudukan para Imam-Imam mereka. Sehingga mereka berasumsi bahwa persoalan ta’wil adalah salah satu mu’jizat para Imam. Dan Imam al-Muntazhar sebagi pucuk pedang segala interpretasi (ta’wil) .
Dari beberapa contoh pena’wilan yang dilakukan oleh Syi’ah Isma’iliyah di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa mereka melakukannya secara liar dan bebas, yang tidak berdasarkan kepada kode etik ta’wil yang semestinya berpedoman kepada gramatikal bahasa Arab, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh filosof Islam Ibnu Rusyd .
Fenomena ta’wil Syi’ah Isma’iliyah dapat dijumpai dalam wacana pemikiran sekuler dan liberal di kalangan intelektual di Timur Tengah, yang mana ta’wil bagi mereka adalah satu-satunya jalan untuk memahami agama secara benar dan pasti. Sebab ta’wil itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil produk bangsa Arab, yang bertujuan untuk mencapai sebuah kebenaran. Hal ini dikatakan oleh pemikir liberal Ali Harb dalam bukunya yang berjudul: “at-Ta’wil wa al-Hakikah” . Dalam irama yang senada Hasan Hanafi berpendapat bahwa penggunaan ta’wil sangat penting ketika ingin memahami suatu teks agama, karena tidak satupun teks yang tidak dapat dita’wilkan. Bahkan teks-teks agama yang sudah jelas maknanya (Muhkamat) tentu ada solusi penat’wilannya .
Tentunya pernyataan ini sama persis dengan pernyataan yang telah diagung-agungkan oleh Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sebelumnya. Bahkan terdapat persepsi yang lebih berani yang datang dari salah satu pemikir liberal yang bernama Thayyib Tizni, ia terang-terangan menafikan adanya ayat-ayat Muhkamat yang jelas dan tidak ada kesamaran di dalamnya. Oleh karena itu tidak aneh kalau para kaum liberal berasumsi bahwa isi al-Qur’an semuanya Mutasyabihat .
Nasr Hamid abu Zaid berargumentasi lebih jauh tentang peranan dan keutamaan ta’wil dalam memahami teks agama. Hal ini dapat dilihat ketika ia mencoba untuk mengkomparasikan antara pemakaian tafsir dan ta’wil, dengan mempersoalkan yang mana lebih utama, tepat dan benar dari keduanya ketika ingin berinteraksi dengan teks-teks agama (al-Qur’an dan Sunnah). Ternyata menurutnya, cara yang paling tepat untuk memahami teks secara mendalam adalah melalui proses ta’wil. Dengan alasan di antaranya, lafadz “tafsir” hanya disebut satu kali dalam al-Qur’an, sedangkan lafadz “ta’wil” disebutkan sebanyak tujuh belas kali, dan ini membuktikan kelayakan ta’wil daripada tafsir . Di samping itu, para pemikir liberal yang diketuai oleh Nasr Hamid Abu Zaid menamakan ta’wil dengan istilah “Hermeneutika” yang dipinjam dari luar Islam dan tidak ada kaitannya dengan istilah agama dan wacana keislaman. Sebab hermeneutika itu sendiri adalah kosa kata filsafat barat, yang juga erat hubungannya dengan interpretasi Bible. Hermeneutika muncul di dalam konteks peradaban Barat, di mana konsepnya didominasi oleh ilmu yang skeptic, oleh karena itu konsep yang mereka tawarkan kepada pembaca bersifat makna. Dan kandungan konsep hermeneutika selalu mengalami perubahan, pergeseran dan perbedaan, bahkan mengalami kontradiktif antara satu teori hermeneutika dengan teori-teori hermeneutika lainnya. Dalam sejarah tercatat bahwa yang mempelopori hermeneutika itu adalah seorang filosof yang beragama Protestan berkembangsaan Jerman beranama: Friedrich Schleiermacher (1268-1834). Baginya, peranan hermeneutika adalah untuk memahami teks sebaik atau lebih baik dari pada pengarang buku . Ide dan gaya serta konsep memahami teks seperti ini sangat bertentangan dengan Islam, karena dapat meragukan teks-teks al-Qur’an, dan akan menghapus kebenaran isi dan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab kebenaran teks agama baik al-Qur’an ataupun as-Sunnah adalah kebenaran mutlak. Dengan demikian, tidak patut hermeneutika dipakai dalam memahami teks-teks agama, dan yang layak adalah memakai konsep Islami yaitu “Ta’wil”.
Untuk mengetahui sejarah penggunaan terminologi Hermeneutika di Timur Tengah, silahkan membaca buku sahabat kami asal Syiriah Damaskus, DR. Ahmad Idris at-Tha'an: "al-'Almaniyyun wa al-Qur'an al-Karim", Darul Ibni Hazam, Riyadh, Saudi Arabiah, 2007, asal buku adalah desertasi Darul Ulum jurusan Filsafat Islam, Universitas Kairo, th 2003, judul aslinya: al-Fikru al-'Arabiy al-Almani wa Mauqifuhu min An-Nash al-Qur'an". Jumlah halaman: +800. Dan hal yang menarik perhatian dari desertasi tersebut, dewan pengujinya terdiri dari DR. Muhammad Imarah dan DR. Hasan Hanafi, sehingga persidangan desertasi berubah menjadi perdebatan ilmiah yang sengit antara dewan penguji, dan dipandu oleh dosen pembimbing desertasi, DR. Sayyid Rizq al-Hajar.
Wa ala kulli hal, yang fatal dari pada teori hermeneutika adalah teori tersebut dilandaskan kepada faham relatifisme. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Jean Grisch bahwa: “Sama sekali tidak dapat ditemukan ta’wil yang mengandung kebenaran, melainkan ta’wil itu beraneka ragam”. Sementara al-Qur’an sebagai kitab suci sifatnya mutlak dan tidak relatif.
Bila kita cermati, kajian-kajian hermeneutika sebenarnya disisipkan secara halus dalam kajian-kajian al-Qur’an melalui terminologi-terminologi, seperti: al-Qira’ah, al-Muqarabah, at-Ta’wil al-Haditsah, at-Ta’wil al-Mu’ashir dan berbagai macam terminologi lain yang sebenarnya bertujuan menyesatkan bukan mencari kebenaran. Bahkan para pemikir liberal di Timur Tengah kerap kali mengesksploitasi terminologi “Ta’wil” yang merupakan terminologIi Islam, sebagai cara atau pancingan untuk mengakui teori Hermeneutika, dengan melalui propaganda, seperti, slogan pembaharuan, menela’ah kembali teks-teks agama, dengan penampilan baru, modern dan kontemporer serta bersifat pencerahan (Enlightenment). Konsekweinsinya, teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang telah tetap dan kokoh pada ayat (Muhkamat), mereka jadikan sebagai sejarah (historical) yang bisa diperbaharui dan dirubah kapanpun dan di manapun sesuai dengan kehendak dan keinginan serta cita rasa individu masing-masing. Oleh karena itu, Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir liberal asal al-Jazair dalam hal ini sangat menyayangkan para ulama tafsir yang enggan memakai penafsiran symbolik (at-Ta’wil ar-Ramzi) yang dipakai oleh para ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan ulama Tasawwuf .
Dengan demikian dapat secara jelas dan nyata, betapa pentingnya peranan ta’wil dalam kajian pemikiran Syi’ah Isma’iliyah dan Liberal, sebab bagi mereka ta’wil adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui esense dan kebenaran ajaran agama.
C. Penyesatan Aqidah Islam.
Berdasarkan pada teori lahir dan batin (ad-Zhahir wa al-Batin), dan ta’wil liar, bebas dan spekulatif, Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah berhasil mengaburkan dan meruntuhkan bangunan sendi-sendi agama, baik aqidah atau syari’at. Dalam masalah tauhid mereka mempunyai terminologi sendiri dalam mengekspresikan “Tauhidullah” yang sama sekali tidak sesuai makna dan tujuannya dengan aliran dan mazhab lainnya. Terminologi yang digunakan oleh mereka ialah: at-Tauhid, at-Tanzih, at-Tajrid. Meskipun istilah tersebut secara general digunakan juga oleh aliran dan mazhab lainnya, akan tetapi makna dan artiannya jauh berbeda. Untuk lebih jelasnya penulis berikan beberapa contoh di bawah ini:
- Pengertian “Tauhid” Syi’ah Isma’iliyah.
Menurut mereka perkataan “at-Tauhid” adalah bermaksud mengetahui dan mengenal lima “Hudud al-Jismaniyah”, dan lima macam “Hudud ar-Ruhaniyah”. Yang dimaksud dengan Hudud al-Jismaniyah dalam kamus Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah adalah: Nabi, penerima wasiat Nabi, Imam, wakil Imam (al-Hujjah), dan pelaksana dakwa (ad-Da’i).
Adapun “Hudud ar-Ruhaniyah” (spiritual dignitaries) adalah: akal as-Sabiq (the precedent intelligence), an-Nafs at-Tali (the follower), malaikat Israfil (al-Jad), malaikat Mika`il (al-Fath) dan malaikat Jibril (al-Khayal) .
Jadi menurut Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah, seseorang tidak dapat dikatakan bertauhid dan beriman kecuali bila ia meyakini dan mempercayai sepenuh hati hal-hal yang tersebut di atas . Sementara tauhid dalam pemahaman mazhab lain secara umumnya adalah pengakuan atau pengiktirapan bahwa Allah swt. adalah Pencipta segala makhluk. Allah itu Esa tidak ada tuhan selain-Nya. Dan Allah swt. tidak dapat diserupakan oleh makhluk-Nya.
- Pengertian “Tanzih” Syi’ah Isma’ilyah.
Bagi Syi’ah Isma’ilyah terminologi “at-Tanzih” maksudnya adalah meniadakan penamaan nama-nama Allah (Asma`ullah) terhadap Pencipta (Allah). Dan nama-nama Allah tersebut dialihkan kepada salah satu “Hudud ar-Ruhaniyah”, yaitu Aqal (aqal as-Sabiq). Sementara Hudud al-Jismaniyah dan Hudud ar-Ruhaniyah keduanya dinamakan Asma`ullah al-Husna” . Pengertian ini berbeda dengan pengertian mazhab lain. Bagi pemahaman Ahlu Sunnah “at-Tanzih” adalah mengakui Asmau`llah, dan tiada yang menyerupakan Allah swt.
- Pengertian “Tajrid” Syi’ah Isma’ilyah.
Syi’ah Isma’ilyah berpendapat bahwa perkataan “at-Tajrid” bermaksud meniadakan sifat-sifat ketuhanan atas seluruh makhluk-Nya. Dan sifat ketuhanan hanya dinisbahkan kepada Pencipta (Allah) . Pernyataan ini kita terima, namun yang kotradiktif di sini adalah tatkala mereka mengakui dan menetapkan sifat ketuhanan hanya milik Allah swt saja., akan tetapi mereka meniadakan nama-nama Allah (Asmau`llah). Sementara yang benar dan hakiki adalah pandangan bahwa Allah swt. adalah sang Pencipta, Tuhan segala makhluk, serta mempunyai sifat-sifat dan nama-nama khusus yaitu Asmau`llah al-Husna.
Dari keterangan diatas, nampak jelas bahwa Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah menafikan seluruh sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah swt. yang tersebut dalam al-Qur’an, seperti: Maha Tahu (al-Alim), Maha Kuasa (al-Qadir), Maha Mendengar (as-Sami’), Maha Melihat (al-Bashir), dan sifat-sifat yang lainnya. Dan mereka berpendapat sifat-sifat tersebut adalah sifat para Malaikat, Nabi, Imam dan wakil Imam, jadi bukanlah sifat yang dimiliki oleh Allah. Dan mereka berargumentasi bahwa hakikat pensucian (at-Tanzih) menuntut penafian tersebut, yaitu menghilangkan segala macam bentuk sifat bagi Allah swt., dan bermaksud Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya, sebab Allah tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata dan tidak dapat diilustrasikan .
Dari bentuk tauhid Syi’ah Isma’iliyah di atas jelas bertentangan dengan aqidah Islam, yang menegaskan keesaan Allah swt., dan menetapkan sifat-sifat dan Asmau`llah. Dan yang lebih fatal lagi, Syi’ah Isma’iliyah mengadopsi pandangan filsafat Yunani tentang proses penciptaan alam semesta yang dikenali dengan teori “Emanasi” yang dalam bahasa arab disebut sebagai “al-Faydh atau as-Shudur”, yang memiliki makna “Pelimpahan dan Pancaran”. Tujuannya adalah untuk memahami hubungan antara Tuhan, alam pluralis dan empiris, di mana proses kejadian alam ini terjadi secara berangsur dan berasal dari satu sumber, yaitu akal creator (al-‘Aql al-Awwal atau al-a’Aql Fa’al). Kemudian darinya lahir jiwa (an-Nafs). Kemudian an-Nafs sendiri menghasilkan berbagai jenis akal dan seterusnya. Jadi, inti dari proses kejadian alama ini terjadi secara gradual pada alam jasmani, yakni jisim mutlak, dan seterusnya berkembang sendiri dengan membentuk perubahan-perubahan dalam perjalanan masa .
Dengan demikian, Syi’ah Isma’iliyah berkeyakinan bahwa Allah hanya sekedar menciptakan akal creator (al-‘Aql al-Awwal). Kemudian akal tersebut berkembang dan berproses dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan sang Pencipta Allah swt..
Untuk melihat lebih jelas lagi penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syi’ah Isma’iliyah, dapat dilihat dari konsepsi mereka tentang alam akhirat, di mana mereka menginterpretasikan segala jenis dan bentuk kehidupan di hari kiamat. Sebab menurut mereka segala bentuk kehidupan di dalam alam akhirat itu hanyalah merupakan contoh saja, demi mendekatkan atau memudahkan pemahaman seseorang tentang keadaan alam akhirat, seperti:
- Surga dan neraka. Secara indrawi bagi mereka surga dan neraka itu adalah seruan mengikuti dakwah atau ajakan para Imam Syi’ah, adapun neraka adalah bermakna penolakan seruan dakwah para imam Syi’ah .
- Hakikat kenikmatan yang ada di alam surga tidak nyata, tidak konkrit dan tidak dapat dirasakan oleh setiap orang, karena hakikat kenikmatan surga itu adalah mengenal dan mengetahui para imam Syi’ah .
- Mukjizat tidak terjadi kepada para Nabi. Sebab mukjizat itu hanyalah merupakan sebuah dongeng semata (Myth), dan Khurafat (Mythology) .
Bila kita renungkan secara seksama, disengaja atau tidak disengaja, fenomena penyelewengan-penyelewangan aqidah Islam yang dilakukan oleh gerakan Syi’ah Isma’iliyah seperti contoh-contoh di atas, dapat kita jumpai juga dalam wacana pemikiran sekuler dan liberal di Timur Tengah. Seperti beberapa konsep tauhid Hasan Hanafi yang merupakan salah seorang tokoh dan pemikir liberal asal Mesir, ia menegaskan bahwa seluruh sifat-sifat Allah, di antaranya: sifat al-Ilmu, al-Qudrah, as-Sam’u dan al-Bashru adalah merupakan sifat-sifat manusia . Kemudian bila Syi’ah Isma’iliyah berani menafikan mukjizat-mukjizat para nabi dan rasul, maka kaum liberalpun demikian, DR Hasan Hanafi secara terang-terangan menafikan mukjizat nabi, dan dia iringi dengan pertanyaan: Apalah arti sebuah mukjizat jika Allah sendiri mampu menciptakan secara langsung tanpa ada munasabah dan moment tertentu. Di samping itu, baginya alam akhirat itu sendiri hanyalah bahagian dari bentuk pengekspresian dan angan-angan serta harapan belaka bagi orang-orang yang hidupnya lemah atau tertindas di alam dunia ini . Ini sebuah fakta nyata bentuk pengingkaran terhadap alam akhirat yang telah lama di propagandakan oleh gerakan Syi’ah Isma’iliyah.
Demikianlah beberapa pengaruh konsep ta’wil Syi’ah -khususnya Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah- terhadap pemikiran sekuler dan liberal di Timur Tengah. Keduanya mempercayai dan meyakini sepenuhnya bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin. Dan lahiriah suatu teks tidak dapat memberikan artian yang hakiki. Oleh karena itu perlu dibantu dengan penta’wilan lebih lanjut agar makna lahir boleh difahami dan dimengerti.
Namun bedanya, kalau menurut Syi’ah Isma’iliyah, pelaku ta’wil adalah khusus bagi para imam-imam mereka tanpa campur tangan orang biasa, begitupula halnya dengan tasawwuf, di mana praktek ta’wil hanya dapat dilakukan oleh para wali-wali “Auliya`ullah”, sementara kaum sekuler dan liberal berpendapat lain, mereka berpendapat bahwa penggunaan ta’wil dapat dilakukan oleh semua kalangan atau siapa saja, dan tanpa ada batasan tertentu. Oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk menginterpretasikan teks-teks agama sesuai apa yang ia kehendaki dan pahami sendiri.
Jadi kesimpulan utama dari tulisan ini dapat digaris bawahi bahwa kajian ta’wil dalam diskursus pemikiran Islam telah diprakarsai oleh golongan Syi’ah Isma’iliyah, dengan menggunakan pendekatan teori “lahir dan batin”, atau dengan penamaan lain “al-Mitslu wa al-Mamtsul”, at-Tanzil wa at-Ta’wil”, al-Ilmu wa al-Amal”. Kemudian, teori dan dan pendekatan tersebut diadopsi oleh ahli tasawwuf dengan mengganti namanya menjadi “al-Haqiqah wa as-Syari’ah”, “al-‘Amm wa al-Khas”. Selanjutnya teori tersebut direproduksi dan dikemas ulang oleh gerakan sekuler dan liberal masa kini di Timur Tengah dengan label yang berbeda-beda dan beraneka ragam terminology, seperti: “al-Lafzh wa al-Ma’na”, al-Lafazh wa al-Maghza”, Ma’na al-Ma’na”, al-Lafazh wa al-Jauhar”, al-Lafazh wa al-Fahm”, al-Ma’na wa al-Maqashid”, at-Turats wa al-Hadatsah”, “ at-Turats wa at-Tajdid”, dan penamaan lainnya yang berkisar tentang pendalaman ta’wil alias Hermeneutika. Namun kita tidak sadar bahwa ternyata trend metode tersebut adalah merupakan hasil pengadopsian dan reproduksi atas gaya ta’wil Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah yang telah muncul pada tahun 250 Hijriah lalu. Dan bedanya hanya terletak pada kemasan dan penamaannya saja, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Ini suatu indikasi betapa besarnya pengaruh gerakan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah terhadap konsep Hermeneutika gerakan sekuler dan liberal saat ini. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sekularisasi dan liberalisasi di Timur Tengah melalui konsep ta’wilnya adalah suatu gerakan yang “repetitive”. Sebab konsep yang di bawa oleh mereka bukanlah konsep baru bagi aliran dan wacana pemikiran dalam studi keislaman. Dan ia merupakan gerakan kuno yang telah berwujud dari dahulu, walaupun muncul dalam tampilan dan gaya yang bercorak modern, dengan melabelkan dan mempropagandakan berbagai macam istilah yang kelihatannya “positif thinking” dan menarik, tapi hakikatnya malah akan menghancurkan agama Islam dari dalam, atau dengan kata lain “MUSUH DALAM SELIMUT”. Denagan kesengajaan mereka menemakan diri sebagai gerakan: rasionalis (al-‘Aqlaniyah), pencerahan (at-Tanwir), kebangkitan (an-Nahdhah), dan terminologi-terminologi lain yang mungkin dapat membuat sebagian orang merasa tertarik dan terpengaruh. Sebab slogan-slogan tersebut mengandung semangat kemoderenan (sprit of the times). Namun pada hakikatnya adalah "Tazwir ad-Din wa al-Afkar".
Wallahu A’lam.
USIM, Malaysia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment