Saturday, November 3, 2012

SEMINAR & BEDAH JURNAL ISLAMIA VOL. VII

SEMINAR & BEDAH JURNAL ISLAMIA VOL. VII
PEMBEBASAN NUSANTARA 
"ANTARA ISLAMISASI DAN KOLONIALISASI"
Gedung Fakultas Hukum
Islamic International University Malaysia (IIUM)
Sabtu, 03/11/2012




PENYERAHAN CENDERA MATA OLEH 
Dr. Syamsuddin Arif 




























Islamisasi Sulawesi Selatan; Peran Ulama dan Raja-Raja
Profesor Madya. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni
* Komentar atas makalah Islamisasi Sulawesi Selatan; Peran Raja dan Ulama, karya Ust. Ilham Kadir, BA. Dipresentasikan pada Seminar dan Bedah Jurnal Islamia Vol. 7, yang diselenggarakan oleh Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI), Sabtu, 3 November 2012, IIUM, Gombak, Selangor, Malaysia
Setiap pemerhati sejarah akan meneliti sebuah peristiwa kecil dalam proses pembentukan sejarah yang besar. Karena setiap peristiwa sekecil apapun akan selalu menjadi “a tremendous trifle”, sebuah kebaikan kecil akan selalu menjadi bagian dari proses kebaikan besar. Begitu pula halnya dengan kejadian-kejadian yang dialami oleh tokoh-tokoh pejuang, ulama di Nusantara.
Artikel Saudara Ust. Ilham Kadir bercerita secara gamblang mengenai sejarah dan perjuangan para ulama Makkassar. Sehingga pembaca bisa langsung mendalami alur-alur perjalanan sejarah para pejuang dan ulama Makassar yang eksis di zamannya. Mulai dari era Belanda, Jepang, sehingga pra kemerdekaan. Dan artikel ini mengupas secara singkat peranan tokoh yang ikut andil pada masa itu dengan susunan kalimat yang mudah dipahami.
Hidup sesungguhnya adalah pengulangan sejarah. Sejarah yang berulang namun dalam edisi berbeda. Pilihannya ada pada kita. Bagaimana kita menyiapkan edisi-edisi tersebut sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman.
Pada masa modern saat ini, pertarungan intelektual tidak hanya sebatas berpidato di atas mimbar, tetapi juga harus memperpanjang bentangan dakwahnya sampai ke alam maya. Tempat para blogger berdebat dan membangun opini. Tempat para facebooker berbagi informasi dll.
Apapun halnya, artikel ini adalah sebuah catatan sejarah masa lampau, yang perlu diambil i’tibar, serta dikenang sepanjang masa, -“BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI JASA-JASA PAHLAWANNYA”- namun jangan sampai mengkeramatkan pahlawan tersebut apalagi menyembahnya, sebab tiada yang ma’sum kecuali Nabi saw. Dalam artian kita harus membaca dan menggali, bukan memuja-muja setinggi langit. Seperti halnya orang Mesir sibuk dan larut memuji catatan sejarah mereka, sehingga berkesimpulan bahwa “Mashr Ummu ad-Dunya”.  Sampai terjadinya revolusi yang menyadarkan mereka tentang betapa ketinggalannya negara yang mereka cintai dibandingkan dengan negara membangun yang lainnya, sehingga mereka bangkit bersama menuntut kebebasan.
Sejarah Islam di Makassar
Dalam artikel disebutkan bahwa, awal kedatangan Islam di Makassar secara terang-terangan di bawa oleh tiga da’i yang berasal dari Minangkabau  yang dikenal dengan Datu’ Tellue, iaitu:
1)     Abdul Qadir (Datuk Ribandang).
2)     Sulung Sulaiman ((Datuk Patimang)
3)     Khatib Bungsu (Datuk ri Tiro).
Peranan Raja-Raja Makassar
Agama Islam resmi diterima di Makassar pada malam jum’at 22/9/1605. Dalam masa 2 tahun, tepatnya 9 November 1607 M penduduk Gowa dan Tallo telah masuk Islam, dan mengadakan shalat jum’at berjama’ah. Pada tahun 1609 M Islam menyebar ke kabupaten lain seperti Sidenreng Rappang dan Soppeng, Lalu selang setahun kemudian (1610 M) disusul oleh Wajo, dan  terakhir adalah kabupaten Bone, tepatnya pada tahun 1611 M.
Perkembangan pesat Islam dapat dilihat pada kepemimpinan Sultan Alauddin yang secara resmi pada tanggal 9/11/1667 M, mengeluarkan dektrit dengan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat.
Tidak lama kemudian, sekitar abad ke 17, penjajah Belanda menjatuhkan kerajaan Islam, ditandai dengan jatuhnya Benteng Sombaopu –sebuah benteng kebanggaan yang dianggap sebagai mercu suar dan kebesaran Raja Gowa- ke tangan Laksamana Cornelis pada tanggal 24 Juni 1669 setelah bertempur selama 1 tahun 2 bulan.
Peperangan demi peperangan terjadi, sehingga membuat raja-raja di Makassar bersatu padu (koalisi Bugis-Makassar) untuk merebut kekuasaan dan mengusir penjajahan, namun kemenangan tetap pada pihak penjajah Belanda pada tahun 1904-1906 M.
Yang perlu dicatat adalah kerjasama Raja dengan Ulama dalam dakwah Islam telah terjalin lama. Disebutkan bahwa Raja Gowa (1936-1946 M) mendirikan Madrasah Islamiyah, bertempat di Jongaya, Gowa. yang berasaskan pendidikan Islam mazhab Syafi’i. Bahkan sebelumnya di wilayah Wajo pada tahun1926-1933 M, La Oddang Datu Larompong, Arung Matoa Wajo ke-47, memerintah Wajo, beliau dekat dengan ulama ketika itu, seperti Hajji Makkatu, KH. Muhammad As’ad, pendiri pesantren “As’adiyah”
Peranan Ulama di Makassar
Selain Datuk Tellue, Syekh Yusuf juga menjadi da’i besar di Makassar dan beliau berdakwah sampai ke Cape Town sehingga wafat di sana pada tahun 1699 M pada usia 73 tahun.
Pengaruh Syekh Yusuf di Afrika Selatan hingga saat ini masih sangat besar. Mantan Presiden Afrika Selatan yang juga pejuang anti-apartheid, Nelson Mandela, menyebut Syekh Yusuf sebagai salah seorang putra Afrika terbaik dan pemberi inspirasi bagi masyarakat setempat. Bahkan pemerintah Afrika Selatan pada tanggal 25 September 2005 lalu menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 1995.
Kewibawaan Ulama di Makassar
Di Makassar ulama diperhitungkan dalam strata sosial, sehingga sangat dihormati dan disegani. Hal ini dikutip oleh ust Ilham Kadir sendiri dari hasil bacaan sebuah buku yang ditulis oleh Andi Mattulada dengan judul “Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan”. Dijelaskan bahwai komponen susunan dan fungsional masyarakat Bugis terdiri dari 5 unsur:
1)     To Mapparenta (Umara).
2)     To Panrita (Barisan Ulama)
3)     To Acca (Barisan Intelektual)
4)     To Sugi (Orang Kaya)
5)     To Warani (Jawara)
Melihat struktur dan strata sosial di Makassar, maka tidak salah kalau peran ulama menjelma sebagai sosok tempat ummat untuk konsultasi kejiwaan (Counseling), dengan menguraikan masalah-masalah agama, akidah dan fiqh serta mu’amalat,  serta persoalan-persoalan yang tidak bisa dijawab oleh akal manusia terutama masyarakat awam, tapi ulama mampu memberikan resepnya dengan pendekatan hati dan keikhlasan sebagaimana yang dilakukan oleh Datuk ri Tiro yang berdakwa di wilayah Tiro Bulukumba yang menganut faham animisme (Mistik). Dalam waktu yang sama Datuk Ribandang dan Datuk Patimang, keduanya menyebarkan dakwah melalui jalur birokrasi, sehingga metode penyampaian dakwah berbeda dengan rakan-rakannya yang lainnya.
Namun dalam konteks kekinian di Indonesia terjadi sebuah budaya “Gado-Gado” atau double Peranan,  terkadang umara merangkap menjadi ulama, dan begitupun sebaliknya ulama berusaha menjadi Umara. Sementara yang sejatinya adalah ulama menjadi penasehat umara saja. Sebab keadaan akan kacau kalau ulama naik taraf ketingkat umara, maka masalah akan timbul “siapa yang menasehati ulama”.
Sekilas Tentang KH. Muhammad As’ad
(AG) H. M. As‘ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu ia digelair Anre Gurutta Puang Aji Sade‘). Ia adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi‘ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.
Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun, AG H. M. As‘ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Dengan berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid‘ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, yang disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan da‘wah Islamiyah kepada mereka. Beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As‘ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu AG H. M. As‘ad, H. Donggala, La Baderu, La Tajang, Asten Pensiun, dan Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349 H/1930 M. Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As‘ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da‘wah Islam. Sejak itulah AG H. M. As‘ad mendirikan madrasah di Mesjid Jami‘ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.
Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As‘ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, mantan mufti besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone. Ia juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle (pendiri Pesantren DDI Makassar). Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh AG H. M. As‘ad itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As‘adiyah sekarang.
AG H. M. As‘ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun. Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalannya yang berupa madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; yaitu  AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Maratan. Pada tanggal 13 Agustus 1999 M, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959 M, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999 M, presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As‘ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As‘ad.
Khatimah:
Betul kata Rasulullah Saw.  (العلماء ورثة الأنبياء) Ulama adalah pewaris para Nabi. Maksudnya hakikat peranan ulama adalah perpanjangan tangan daripara Nabi saw. Dan Indonesia pada dasarnya negeri para ulama, sehingga kalangan sekuler, liberal dan sejarawan non muslim akan kaget tak terkira bila mereka membuka file lembaran-lembaran sejarah nusantara. Karena dalam file-file sejarah kerajaan dan kesultanan Islam yang terbentang dari sabang sampai merauke dipenuhi dengan peran dan pengaruh agama yang dipelopori oleh para ulama Nusantara. Bahkan sebagian dari ulama nusantara tersebut bersaing di peringkat internasional, seperti, Syekh Yusuf Al-Makassari  (w 1699 M), yang dijuluki sebagai Abul Islam di Afrika Selatan. Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani (w 1897 M), yang dimakamkan di Ma’la Saudi Arabia, dan dijuluki sebagai Sayyidul Ulama Hijaz.
Keberadaan mereka merupakan berkah bagi kaum muslimin.  Mereka memiliki jasa yang sangat besar dalam berdakwah dengan menanamkan nilai-nilai keislaman, bukan saja di tanah air, bahkan karya mereka dapat ditela’ah juga di dunia Internasional.  Semua ini merupakan bukti keberhasilan mereka dalam berdakwah dan semua itu telah dicatat rapih oleh sejarah ulama melalui sembangan karya tulis.

0 komentar:

Post a Comment