Tuesday, June 26, 2012

PH.D VIVA VOCE/Aref Ahmad El Tahir El Teer (Libya) - مناقشة الدكتوراه


DATE: JULN 26, 2012
PH.D VIVA VOCE
مناقشة الدكتوراه

Student:

DR. Aref Ahmad El Tahir El Teer (Libya)

Title: 

حقوق الإنسان السياسية بين الإسلام والإعلانات الدولية


دراسة مقارنة وتطبيقية على القوانين والتشريعات الليبية



Supervisor:
DR.   Kamaluddin Nurdin Marjuni
(Senior Lecturer & Head Programme of Da’wah and Islamic Management - USIM)

Co-Supervisor:
DR. Mohd Rumaizuddin Ghazali
(Senior Lecturer – USIM)

Members of the Committee Viva Voce
- Prof. Dato’ DR. Mohammad Haji Alias  (Professor & Dean – Center For Graduate Study - USIM)

- Prof. DR. Zulkipli Abd Ghani (Professor & Dean – Faculty of Leadership and Management – USIM)

- Prof. DR. Siti Rugayah Hj. Tibek (Professor -  UKM)

- DR. Yasmin  Hanani Mohd Safian (Senior Lecturer & Deputy Dean – Faculty of Syariah and Law – USIM)






Saturday, June 23, 2012

Penyakit Zahir & Batin/Tazkirah Jum'at FKP-USIM


PENYAKIT ZAHIR & BATIN
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Head Programme of Da'wah and Islamic Management
Islamic Science University of Malaysia
01/06/2012

Kesehatan adalah modal paling utama dalam hidup ini, kita mampu melakukan sesuatu dan berbagai macam aktifitas, karena kita memiliki suatu nikmat yang paling besar yaitu nikmat kesehatan. Namun terkadang manusia baru merasakan betapa pentingnya kesehatan tatkala kesehatan bermasalah, menurun atau hilang dari dirinya. Seseorang baru merasakan pentingnya keberadaan telinga kalau sudah tuli. Seseseorang baru merasakan peranan gigi dan betapa indahnya gigi itu kalau sudah ompong. Seseseorang baru menginsafi tentang pentingnya rambut kalau sudah botak. Seseorang baru merasakan pentinganya warna hitam rambut manakala ia sudah menjadi putih. Seseorang baru merasakan nikmatnya mata kalau ia diserang kebutaan. Secara ringlkasnya, sepanjang anggota badan ini lengkap dan berfungsi, dalam kondisi on dan tidak off, maka kita sering melupakan bahwa sebenarnya itu semua adalah nikmat dan anugerah Allah swt. Di dalam al-Qur'an telah dikatakan
لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد

Maknanya: Sepanjang hamba itu bersyukur, maka Aku akan menambahkan nikmat tersebut. Namun kalau ia ingkar tidak pandai mensyukurinya, maka niscaya azabKu amat pedih, na'uzubillah min zalik.
Ini adalah janji Allah.
Begitulah kesehatan ini menjadi modal asas dan utama dalam kehidupan kita. Setiap pagi kita bangun dan terus pergi bekerja di fakulti yang kita cintai ini. Kemudian yang bekerja sebagai pensyarah akan masuk dalam kelas mengajar, dan yang bertugas di bagian pentadbiran akan mengurus apa saja yang menjadi tugasnya. Kesemuanya dapat berjalan lancar hanya karena satu factor, yaitu adanya modal kesehatan.
Nah lawan dari sehat adalah sakit. Manusia itu terdiri dari dua unsur atau dua elemen, yaitu jasmani dan rohani. Namun sayang seribu sayang, terkadang manusia hanya sibuk memperhatikan aspek zahiriyah yaitu jasmani. Dalam satu hari kita mandikan jasmani kita dua atau tiga kali, kemudian kita belikan pakaian, kita tutup badan kita dengan sempurna, kita belikan pakaian yang mahal-mahal, comel, cantik dan menawan hati siapa yang melihatnya, bukan hanya sampai disitu saja bahkan ditambah lagi dengan parfum dan wangi-wangian yang serba harum, ditambah dengan segala aksoseris yang nampak di mata, dengan tujuan semata-mata hanya untuk menutup dan memperindah pandangan orang terhadap luaran jasmani kita. Dan yang menjadi pertanyaan: pernahkah kita memikirkan keindahan rohani kita, pernahkah berpikir bagaimana mempercantik hati kita. Adakah ada saat-saat tertentu dalam kehidupan kita yang kita khususkan untuk memperelok batin dan jiwa kita? Kita hiasai hati dengan jiwa yang sabar, tawadhu'. Kita kosongkan hati kita dari berbagai sifat-sifat mazmumah yang dibenci dan dimurkai oleh Allah swt, seperti sikap sombong, bongkak, congkak, angkuh dan saudara-saudaranya. Kita kosongkan hati kita dari rasa dengki, hasud, iri hati dan saudara-saudaranya. Dan sebaliknya kita isi hati kita dengan sifat-sifat mahmudah atau yang sifat yang dipuji Allah, sikap lembut, sikap toleran, lapang dada dan sebagainya.
Begitu juga kalau kita berbicara tentang penyakit. Kita akan sibuk kalau kita diserang penyakit zahir, seperti sakit gigi, sakit kepala, dan penyakit lainnya. Kita tidak mungkin tinggal diam menghadapi penyakit zahir yang menimpa kita. Kita akan berobat ke dokter spesialis, tidak kisah walaupun beratus atau beri-ribu ringgit akan kita keluarkan,
Imam Ghazali membagi penyakit  kepada dua bagian, pertama penyakit zahir dan kedua penyakit batin atau rohani. Dan perbezaan antar dua penyakit ini adalah:
1)    Penyakit zahir banyak pakarnya, penyakit cancer ada dokternya, penyakit jantung ada dokternya, bahkan penyakit kulitpun ada dokternya. Sedangkan penyakit batin atau rohani dokternya hanyalah agama dan kemauan yang kuat serta azam yang tinggi dari orang yang berpenyakit hati tersebut untuk mengobati dirinya. Oleh karena itu penyakit batin tidak mempunyai pakar dan tidak memiliki dokter. Pernahkah tuan-tuan dan puan-puan mendengar dokter pakar penyakit sombong, pakar dalam penyakit hasud, pakar dalam penyakit kedekut, dengki dan iri hati?. Dan kalau ada tolong sharing, sebab sayapun teringin tahu penyakit dalaman hati saya.  Jadi penawar bagi penyakit rohani adalah agama saja, yaitu melalui riyadhah atau pelatihan rohani yang ditawarkan oleh agama. Firman Allah: ألا بذكر الله تطمئن القلوب
2)    Penyakit zahir dapat dideteksi dan dilacak oleh orang yang memiliki penyakit tesebut, contohnya orang yang yang sakit-gigi akan mengetahui kalau dirinya sedang sakit gigi. Orang yang sakit kepala akan tahu kalau dirinya sedang mengalami pening. Namun yang aneh kalau penyakit batin, bagi orang yang memiliki penyakit ini ia tidak merasa kalau dirinya berpenyakit rohani, dan justru orang lainlah yang mampu mendeteksi atau melihat bahwa orang tersebut memiliki penyakit sombong, iri hati, hasud, dengki, bakhil bin kikir. Oleh karena itu terkadang ada orang kerjanya setiap hari berusaha semaksimal mungkin dan bersusah payah mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain, padahal dia sendiri tidak terlepas dari sifat yang ia cari pada diri orang lain. Orang yang sombong akan menganggap kalau kesombongannya itu adalah sesuatu wajar dan biasa saja, orang yang kikir akan menganggap sifat ini biasa saja, dengan alasan inikan sikap penghematan. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah bersabda:
طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس
Oleh karena itu, sayyidina Umar bin Khattab ketika melakukan meeting atau perjumpaan sering bertanya kepada orang tentang dirinya: “wahai saudaraku kau lihat saya ini ada sifat sombong atau tidak? Saya ini kikir apa tidak? Apakah engkau melihat ada tanda-tanda iri hati, hasad dan dengki pada diri saya atau tidak ada? Seperti inilah perangai Umar bin Khattab yang selalu meminta rakan-rakannya untuk menilai hatinya dan perilakunya.
Kalau kita, jangankan bertanya dengan orang lain mengenai perangai kita, bahkan jika ada orang menilai kita sebagai orang yang sombong maka kita anggap penilaiannya itu sebagai suatu ajakan untuk berperang.
Oleh karena khalifah Umar berkata "MANUSIA YANG BERAKAL IALAH MANUSIA YANG SUKA MENERIMA DAN MEMINTA NASIHAT ORANG LAIN"
3)    Kesan penyakit zahir hanya di dunia saja. Makanya kita kadang mendengar bahwa si fulan meningga dunial akibat terkena serangan jantung, darah tinggi, cancer, dll. Sedangkan di akhirat nanti penyakit zahir ini tidak ada kesannya. Maksudnya, penduduk neraka nanti kalau ditanya kenapa kamu masuk neraka, jawabannya tidak mungkin dia berkata oh saya masuk neraka karena saya berpenyakit cancer, darah tinggi, dan jantung.
Sedangkan kesan penyakit rohani akan merusak kehidupan dunia dan kehidupan akhirat seseorang. Dalam kehidupan dunia, orang yang memiliki sifat sombong bin angkuh, hasud, tukang menadu domba, pasti akan dikucilkan dari pergaulan sekeliling. Dan di akhirat tentu kesan penyakit hati ini akan jauh lebih dahsyat.  Neraka menanti, menunggu, dan meng-alu alukan kedatangannya. Betapa tidak, dalam hadits Nabi saw dikatakan:
إياكم والحسد فإن الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطث
Yang artinya:
“Berhati-hatilah kalian dengan sifat hasad. Sesungguhnya sifat hasad membinasakan semua kebaikan sebagaimana halnya api membinasakan kayu bakar”.
Iri hati seseorang kepada orang lain, menandakan ia ingin seperti orang tersebut, namun ia tidak mampu sepertinya, dan hakikatnya ia orang yang tidak mengakui adanya takdir ilahi.
(وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا)
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (an Nisa’: 32)
Imam Ghazali mengenal pasti tujuh punca penyakit hasad, yaitu:
1) Perasaan Permusuhan dan Kebencian

2) Merasa Diri Mulia

3) Takabbur

4) Merasa takjub dengan diri sendiri

5) Takut Terlepas Sesuatu Tujuan dan Habuan

6) Ghairah Menjadi Ketua dan Mencari Populariti

7) Busuk Hati

         Hadirin sekalian, bagi insan yang bersih hatinya dari sifat hasad dan dengki, ia akan masuk syurga. Dan untuk mengakhiri tazkirah ini, ada baiknya kalau kita menyimak sejenak wasiat seorang sufi, dalam rangka mengobati penyakit hati tersebut.

قال الإِمَام يَحْيَى بن مُعَاذ: "لِيَكُنْ حَظ الْمُؤْمِنِ مِنْكَ ثَلاَثَة: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّهُ، وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ".
Imam Yahya Bin Mu'az berpesan:"Tigaperkara dalam adab pergaulan seorang mu’min:
1) Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (bagi manfaat), maka janganlah merugikan dia.
2) Dan kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (bagi senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah).
3)kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka janganlah mencelanya".

Wallah A'lam 

Friday, June 22, 2012

أفعال العباد عند المعتزلة

أفعال العباد عند المعتزلة
الدكتور/ كمال الدين نور الدين مرجوني
رئيس قسم الدعوة والإدارة الإسلامية
جامعة العلوم الإسلامية الماليزية
تتعلق هذه المسألة بالأصل الثاني من الأصول الخمسة للمعتزلة وهو "العدل" حيث يرى المعتزلة أن أفعال العباد مخلوقة لهم، وليست من خلق الله، بل ولا يقدر على خلقها عند بعضهم، إذ هو سبحانه لا يقدر على الظلم ولا يريده لأنه لا يحبه ولا يرضاه، ومن ثَم أوجبوا على الله تعالى أن يفعل الصالح للعباد، كذلك فالعباد وحدهم قادرون على إدراك الخير والشر والحسن والقبح بالعقل دون الشرع، إذ في الأشياء ذاتها قبح وحسن ذاتي، ومن ثم فهم محاسبون ومعاقبون على أفعالهم، ورد الشرع بذلك أم لا. فالله على هذا الأصل -أي العدل- عند المعتزلة لا يخلق أفعال العباد، ولا يحب الفساد، بل إن العباد يفعلون ما أمروا به وينهون عما نهوا عنه بالقدرة التي جعلها الله لهم وركبها فيهم، وأنه لم يأمر إلا بما أراد ولم ينه إلا عما كره، وأنه ولي كل حسنة أمر بها، بريء من كل سيئة نهى عنها، لم يكلفهم ما لا يطيقون ولا أراد منهم ما لا يقدرون عليه. أو بتعبير آخر أن العدل عند المعتزلة معناه أن الله لا يفعل الظلم. يقول القاضي عبد الجبار مبينا معنى العدل: " أن أفعاله -أي الله- كلها حسنة، وأنه لا يفعل القبيح، ولا يخل بما هو واجب عليه"([1]).
ولما كان الإنسان يأتي أفعالا فيها ظلم كالسرقة، والكذب، والقتل، فإن هذه الأفعال لا يمكن أن تنسب إلى الله، لا يمكن أن يكون هو خالقها. وإذن فيجب أن تنسب إلى الإنسان وحده. لذلك قرروا بأن الإنسان يخلق أفعاله. وله حرية الإرادة وقدرة على الفعل وبالتالي مسئوليته عن ما يفعل. وفي ذلك يبين القاضي عبد الجبار بأن المراد بالعدل هو أن أفعاله كلها حسنة، وأنه لا يفعل القبيح، ولا يخل بما هو واجب عليه([2]). فالمعتزلة ينزهون الله تعالى عن فعل القبيح، حتى أنهم نفوا أن يكون خالقاً لأفعال العباد لما فيها من القبيح([3]). كما ينزهونه تعالى عن الإخلال بما هو واجب عليه .
وبناء على هذا ، فإنهم يرون أن الله سبحانه وتعالى لا يفعل القبيح بوجه من الوجوه، وكما أنه لا يفعله ، فكذلك لا يريده.
          والجدير بالذكر أن البحث في العدل عند المعتزلة هو بحث في أفعال الله وأفعاله تأتي بعد إثباته وإثبات صفاته، وعلى ذلك فمجيء العدل بعد التوحيد لأنه ينبني عليه. يقول القاضي عبد الجبار: "وأما الأصل الثاني من الأصول الخمسة، وهو الكلام في العدل، وهو كلام يرجع إلى أفعال القديم تعالى، وما يجوز عليه وما لا يجوز، فلذلك أوجبنا تأخير الكلام في العدل عن الكلام في التوحيد…"([4]) .
واستدل المعتزلة على قولهم بأنه تعالى لا يريد القبيح بأدلة من النقل والعقل. وقد بين القاضي عبد الجبار هذه الأدلة فقال: "إن كتاب الله المحكم يوافق ما ذكرناه من القول بالتوحيد والعدل"([5]) . ثم أورد بعض الآيات مستدلاً بها على أن الله لا يريد القبيح، كقوله تعالى: ]وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ[ -سورة البقرة، الآية: 205-، وقوله تعالى : ]وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ( -سورة الزمر: 7-، ثم أكَّد بأن: " هذه الآيات تدل على أنه تعالى لا يريد الفساد، ولا يحبه، سواء كان من جهته أو من جهة غيره…"([6]). وفي موضع آخر علق القاضي عبد الجبار قول الله تعالى: ]وَمَا اللهُ يُرِيْدُ ظُلْماً لِلْعِبَادِ[ -سورة غافر، الآية: 31 -. "إن قوله (ظلماً) نكرة، والنكرة في النفي تعم، فظاهر الآية يقتضي أنه تعالى لا يريد شيئاً مما وقع عليه اسم الظلم"([7]).
          إذن، فإن المعتزلة يرون أن الله تعالى لا يفعل القبيح، كالظلم، بل أفعاله كلها حسنة، وأنه لا يخل بما هو واجب عليه، ثم إنهم يرتبون على قولهم إن الله لا يفعل القبيح: القول بأن العبد هو الخالق لأفعاله، لأن منها ما هو الحسن، ومنها القبيح، فلو كان الله خالقها لكان فاعلاً للقبيح. وأما الدليل العقلي الذي استدل به المعتزلة على أنه تعالى لا يريد القبيح فقال القاضي: "إن إرادة القبيح قبيحة"، ثم علل ذلك بقوله: "إن إرادة القبيح إنما تقبح لكونها إرادة للقبيح بدليل أنها متى عرف كونها على هذه الصفة عرف قبحها"([8]) . فالعدل عند المعتزلة إن دل على شيء فإنه يدل على إنكار القدرة العامة، لأن الله -في رأيهم- لا يقدر على خلق أفعال العباد، كيف يخلقها ثم يعذب العصاة، ويثيب المطيعين، وإذا ثبت أن الله هو الذي خلقها فكيف يعذب عليها ؟ فلم يخلقها الله، ولا يقدر الله على ذلك، وليس لله قدرة على أفعال العباد، وليس الله عندهم على كل شيء قدير، وقدرة العبد عندهم تغلب قدرة الله – تعالى الله عن قولهم–، وعندهم أنه لا يقدر أن يهدي من يشاء، ولا يضل من يشاء، ولا يعطي من يشاء، ولا يمنع من يشاء، كل هذا عندهم يسمونه عدلاً. فحسن الأفعال وقبحها، والثواب عليها والعقاب يعرف بالعقل. وهذا ما أكد عليه أبو الهذيل العلاف، حيث قال: " يجب على المكلف قبل ورود السمع … أن يعرف الله تعالى بالدليل من غير خاطر، وإن قصر في المعرفة استوجب العقوبة أبداً، ويعلم أيضاً حُسن الحَسن، وقُبح القَبيح، فيجب عليه الإقدام على الحسن كالصدق والعدل، والإعراض عن القبيح، كالكذب والفجور"([9]).
وأورد الإمام الغزالي رأي المعتزلة في هذه المسألة فقال: "ذهب المعتزلة إلى أن الأفعال تنقسم إلى حسنة وقبيحة، فمنها ما يدرك بضرورة العقل، كحسن إنقاذ الغرقى والهلكى، وشكر المنعم، ومعرفة حسن الصدق وقبح الكفران ... ومنها ما يدرك بنظر العقل كحسن الصدق الذي فيه ضرر وقبح الكذب الذي فيه نفع، ومنها ما يدرك بالسمع كحسن الصلاة وسائر العبادات، وزعموا أنها متميزة بصفة ذاتها عن غيرها بما فيها من اللطف المانع من الفحشاء الداعي إلى الطاعة، ولكن العقل لا يستقل بدركه …."([10]). ويعد ابن حزم هذا القول أي العدل أصل ضلالة المعتزلة، ذلك جمهورهم قالوا: وجدنا من فعل الجور في الشاهد كان جائرا، ومن فعل الظلم كان ظالما، ومن أعان فاعلا على فعله، ثم عاقبه عليه كان جائرا عابثا، قالوا: والعدل من صفات الله تعالى، والظلم والجور منفيان عنه، لقوله تعالى: ]وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ[ -سورة فصلت، الآية: 46-، وقوله تعالى: ]وَمَا ظَلَمُوْنَا وَلَكِنْ كَانُوْا أَنْفًُسهُمْ يَظْلِمُوْن[ -سورة البقرة، الآية: 57- ونحو ذلك. والجدير بالأشارة إلى أن بن حزم يوافق المعتزلة في أن الله عدل لا يجور ولا يظلم، ولكنه يخالفهم في معنى الظلم والجور، وفيما يقعون فيه من خطأ منهجي، إذ يقيسون الغائب على الشاهد، فيبين أن عقولهم حكمت على الله تعالى بأنه لا يحسن منه إلا ماحسنت عقولهم، وأنه يقبح منه تعالى ما قبحت عقولهم. وهذا هو تشبيه لله بخلقه، وهو خطأ وضلال، فضلا عن أنه يتعارض مع دعوتهم إلى التنزيه، وإنما الحق هو أن كل ما فعله الله أي شيء كان فهو منه تعالى حق وعدل وحكمة، وإن كان بعض ذلك منا جورا وسفها([11]).
          إذن، فإن الأفعال عند المعتزلة قد ثبت قبحها والعقاب عليها عقلاً، كما ثبت حسنها والثواب عليها عقلاً ما عدا العبادات.
وقد تفرَّعتْ عن مشكلة العدل الإلهي أيضا مشكلة إنسانية وهي تتعلق بمشكلة الجبر والاختيار، فهل أفعال العباد مخلوقة لهم، فتكون راجعة إلى اختيارهم المحض أم أنها ترجع القدرة الإلهية، وبذلك ينتفي مبدأ الاختيار؟.
أجاب المعتزلة بأن أفعال العباد محدثة منهم، وأنهم هم المحدثون لها، يقول القاضي عبد الجبار: "اتفق كل أهل العدل على أن أفعال العباد -من تصرفهم وقيامهم وقعودهم حادثة- من جهتهم، وأن الله عز وجل أقدرهم على ذلك، ولا فاعل لها، ولا محدث سواهم، وأن من قال إن الله سبحانه خالقها ومحدثها، فقد عظم خطؤه، وأحالوا حدوث فعل من فاعلين"([12]).
واستدلوا على ذلك بقوله تعالى: ]الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لاَ ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ[ -سورة غافر، الآية: 17-، وقوله تعالى: ]كُلّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ[ -سورة المدثر، الآية: 38-، وقوله تعالى: ]لَهُ مُعَقّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوَءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مّن دُونِهِ مِن وَالٍ[ -سورة الرعد، الآية: 11-، وقوله تعالى: ]الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقاً مّا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمََنِ مِن تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ[ -سورة الملك، الآية: 3-، قالوا: والتفاوت هو من جهة الخلقة أو من جهة الحكمة، ولا يجوز التفاوت من جهة الخلقة لما عليه المخلوقات من نظام، والمراد هو التفاوت من جهة الحكمة، وأفعال العباد لا يصح أن تكون من جهة الله تعالى لاشتمالها على التفاوت، لأن في خلقة المخلوقات من التفاوت ما لا يخفى، فليس إلا أن المراد به التفاوت من جهة الحكمة على ما قلناه، وإذا ثبت هذا لم يصح في أفعال العباد أن تكون من جهة الله تعالى لاشتمالها على التفاوت وغيره([13]). وقالوا عن قوله تعالى: ]وَقُلِ الْحَقّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ[ -سورة الكهف، الآية: 29-، ففيه تفويض الأمر إلى اختيارنا([14]). وأولوا قول الله تعالى: ]خَالِدِيْنَ فِيهَا مَا دَامَتِ السّمَاوَاتُ وَالأرْضُ إِلاَّ مَا شَآءَ رَبُّكَ إِنّ رَبَّكَ فَعّالٌ لِّمَا يُرِيدُ[ -سورة هود، الآية: 107-، فالمراد به أنه تعالى فاعل لما يريده من فعل نفسه، ولا يجوز غير هذا، لأن الآية وردت مورد الامتداح، ولا مدح في أن يكون فاعلا لأفعال العباد وفيها القبائح([15]).
واستدلوا كذلك على ما ذهبوا إليه من إثبات قدرة العبد على أفعاله بأدلة عقلية، فقالوا إننا نفصل بين المحسن والمسيء، ونحمد المحسن على إحسانه، ونذم المسيء على إساءته، وهذا يعني نسبة أفعالهم إليهم([16]). وأضافوا بأن تصرفاتنا وقعت بحسب قصودنا ودواعينا وانتفاؤها بحسب كراهتنا مع سلامة الأحوال، فلولا أنها محتاجة إلينا ومتعلقة بنا، وإلا لما وجب ذلك فيها([17]). وأن أفعال العباد فيها ظلم وجور، وهذا لا يصح على الله تعالى([18]).
هكذا يُؤكِّد المعتزلةُ على قدرة الإنسان على أفعاله وأعماله، وأن الله لم يخلق أفعال العباد.
ولقد قسَّم المعتزلة أفعال العباد إلى قسمين: أفعال مباشرة، وأفعال متولِّدة. فأما الأفعال المباشرة: فاتفقوا على أنها مخلوقة للعباد. وأما أفعال المتولِّدة: فاختلفوا فيها. يقول القاضي عبد الجبار: "اتفق كل أهل العدل على أن أفعال العباد من تصرفهم، وقيامهم، وقعودهم، حادثة من جهتهم، وأن الله عز وجل أقدرهم على ذلك، ولا فاعل لها ولا محدث سواهم، وأن من قال أن الله سبحانه خالقها ومحدثها، فقد عظم خطؤه. وأحالوا حدوث فعل من فاعلَيْنِ([19]).
          وقد أكَّد القاضي عبد الجبار أن أفعالنا واقعة على حسب قصدنا، فوجب أن تكون خلقاً لنا وفعلاً لنا، قالوا: وبيان ذلك أن الواحد منا إذا أراد أَنْ يقومَ قامَ، وإذا أراد أَنْ يقعدَ قعد، وإذا أراد أَنْ يتحَرَّك تَحرَّكَ، وإذا أراد أن يسكن سكن، وغير ذلك، فإذا حصلت أفعاله على حسب قصده ومقتضى إرادته، دل على أن أفعاله خلق له وفعل له ([20]). وأن أفعال العباد غير مخلوقة فيهم، وأنهم المحدثون لها، وتحريرها: هو أن هذه التصرفات يجب وقوعها بحسب قصودنا ودواعينا، ويجب انتفاؤها بحسب كراهتنا وصرفنا ، مع سلامة الأحوال، إما محققاً وإما مقدراً ، فلولا أنها محتاجة إلينا ومتعلقة بنا، وإلا لما وجب ذلك فيها"([21]). وفي موضع آخر صرح القاضي عبد الجبار بأن الإنسان هو خالق أفعاله وموجدها ومحدثها على الحقيقة لا المجاز، وإن القدرة التي أحدثها الله تعالى فيه تجعله وحده قادرا على إيجاد هذه الأفعال وإتيانها بحسب قصده ودواعيه، سواء ما يصدر منها عنه مباشرة أو بطريق غير مباشر مما هو على سبيل التولد"([22]).

وبهذا أكَّد المعتزلة على حرِّية الإنسان في الأفعال التي تصدر منه مباشرة ولا خلاف في إسناد ذلك الفعل للإنسان. أما بالنسبة للأفعال المتولدة، وهي الأفعال التي تقع بسبب مني وتحل في غيري، أو هي الفعل الذي أوجبت سببه، فخرج غير أنه لا يمكنني تركه، وقد يقع في نفسي أو في غيري، أو الفعل الذي يقع على سبيل الخطأ دون القصد والإرادة إليه، فهو بذلك فعل يحصل بتوسط آخر، فقتل الطفل قد تم بتوسط السهم، كأن يرمي الرامي بسهم فيقتل طفلا عن طريق الخطأ. وقد عرف المعتزلة أفعال التولد -كما يقول الإسكافي-: "وأفعال التولد: هي كل فعل يتهيأ وقوعه على الخطأ دون القصد إليه أو الإرادة له، فهو متولد، وكل فعل لا يتهيأ وقوعه إلا بقصد ، ويحتاج كل جزء منه إلى تجدد عزم وإرادة له، فهو خارج من حد التولد داخل في حد المباشرة". وعلى سبيل المثال: الألم  الحادث عند الضرب، والألوان الحادثة عند الضربة، ومثل انحدار الحجر الحادث عن طرحه، والإدراك الحادث عن فتح البصر، وما أشبهها من المسببات غير المقصودة.
والسؤال المطروح هو ما موقف المعتزلة من هذه الأفعال -أي أفعال المتولدة-؟
-       الموقف الأول: بالنسبة للجانب الطبيعي لهذه الأفعال -أي علاقة السبب بالمسبب- فلا خلاف بين المعتزلة على أن هذه الأفعال تقع من فاعلها ولا خلاف على أن السبب موجب للمسبب عند المعتزلة.
-       والموقف الثاني: أما بالنسبة للجانب الخلقي ومدى مسؤلية الإنسان عن هذه الأفعال، فاختلف المعتزلة في ذلك إلى عدة أقوال:
1)     ذهب العلاف إلى أن كل ما تولد عن فعله مما تعلم كيفيته فهو فعله، وذلك كالألم الحادث من الضرب ، وأنه قد يفعل في نفسه وفي غيره بسبب يحدثه في نفسه، أما اللذة والألوان والطعوم فذلك أجمع فعل الله سبحانه.
2)     وقال بشر بن المعتمر إنه يصح من الإنسان فعل الألوان والطعوم والروائح والرؤية وسائر الإدراكات، أي أن هذه الأفعال متولدة من الإنسان.
3)     ذهب النظام إلى أن المتولدات ليست فعلا للإنسان، ذلك لأنه كان يقول بأنه لا فعل للإنسان إلا الحركة، وأنه لا يفعل الحركة إلا في نفسه، أما الألوان والطعوم والأرايح والأصوات فهي أجسام لطيفة، والإنسان لا يفعل الأجسام.
4)     ذهب معمر إلى أن الإنسان لا يفعل في نفسه حركة ولا سكونا، وأنه يفعل في نفسه الإرادة والعلم وأنه لا يفعل في غيره شيئا.
5)     ذهب ثمامة اللأشرس إلى أن المتولدات لا فاعل لها، وأنه لا فعل للإنسان إلا الإرادة، وأن ما سواها حدث لا من محدث.
6)     قال الجاحط إن المتولد يقع من الإنسان على سبيل الطبع ، وليس باختيار له، وليس يقع منه فعل باختيار سوى الإرادة.
7)     ولقد عارض القاضي عبد الجبار القول بأن الأفعال المتولدة تحدث بالطبع، وأن هذا القول كقول أصحاب الطبائع، وأيضا من جعل المتولدات حدث لا محدث له، لأنه لا فرق بين بعضها والبعض في الاحتياج إلى محدث وفاعل([23]). وقال بإضافة هذه الأفعال للإنسان، وذاك لأن ذات السبب ذات منفصلة عن السبب، حادثة مثله، فكما أن السبب يضاف إلى الفاعل فكذلك المسبب، فيجب أن تستوي الحوادث في كونها مضافة إلى الفاعل، وإن كانت تختلف كيفية، ففيها ما يتعلق به بلا واسطة، كالمبتدأ (يقصد الفعل المباشر) وفيها ما لا يتعلق به إلا بواسطة وهو المتولّد([24]).
          ويذكر الإمام الأشعري رأي المعتزلة في أفعال المتولّدات بأنها تضاف للإنسان على سبيل المجاز، ولا يحاسب عليها إذا كان لا يستهدف الشر أو الخطأ([25]).
ويلاحظ أن استقصاء المعتزلة للبحث في مسؤولية الإنسان عن هذه الأفعال المتولدة ونسبتها إليه هو انعكاس لقولهم بمسؤولية الإنسان عن أفعاله، وهم معذورون بالنسبة لاختلافهم في الفعل المتولد، فلا زالت أحكام فوانيننا المعاصرة لا تقول برأي قاطع بصدد الإصابة أو القتل الخطأ، ويتراوح الحكم بين البراءة وتخفيف العقوبة([26]).
وعلى أية حال، فإن أفعال العباد -الأفعال المباشرة- عند المعتزلة تحصل بحسب قصودهم أي أن وقوع الكسب من الخلق على حسب القصد منهم لا غير. والقول بهذا -في زعمهم- تأكيد للعدل الإلهي. فجعلوا العبد حرا مختارا يفعل ما يشاء ويختار، ويدع ما يشاء دون تدخل من أي قوة خارجية.
ويبدو أن المعتزلة في ظاهر قولهم أقرُّوْا بحرية الإرادة الإنسانية، ولكن الحقيقة أن هذا القول انتقاص لمشيئة الله المطلقة، وإقرار بمشاركة الإنسان لله تعالى في خلقه وإحداثه لما يوجد ويحدث في هذا العالم من أمور. ذلك لزعمهم بأن الأفعال ليست مخلوقة لله، فلا هو صانعها ولا محدثها، وإنما هو خالق للجواهر أو الأجسام فقط، أما الأعراض على اختلافها فلا يوصف بالقدرة عليها ولا تنسب إليه في حدوثها، ذلك أن من هذه الأعراض ما يوجده الإنسان ويحدثه بإرادته وقدرته مثل الأكوان والاعتمادات والتأليفات، والأصوات، والآلام، ومنها ما يكون للأجسام بطبائعها مثل الطعوم والروائح والحرارة والبرودة والرطوبة واليبوسة والشهرة والنفرة والحياة والقدرة والفناء([27]).


Thursday, June 7, 2012

NO SYI'AHISASI لا تشييع

NO SYI'AHISASI 
 لا تشييع 
(Renungan Masa Depan Umat Islam)
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Head Programme of Da'wah and Islamic Management
Islamic Science University of Malaysia
"PERSETERUAN POLITIK -SYI'AH VS SYI'AH & TANGGAPAN SUNNI-"
Universitas Sains Islam Malaysia, 2009. ISBN: 978-983-2950-93-b.
     Satu lagi isu yang sangat sensitif dan krusial dalam Islam adalah perbedaan prinsip-prinsip antara sunnah dan syi’ah yang terjadi sejak berabad-abad silam. Isu ini sebenarnya isu klasik, namun tidak pernah berakhir sampai saat ini, sehingga menjadi sebuah teka-teki. Selain bertentangan secara politik, sunnah dan syiah juga kemudian bertentangan secara teologis yang merupakan jurang pemisah antar agama.
    Perlu diketahui bahwa aliran-aliran syi’ah saling berbeda pandangan dalam perincian ideologi, namun kesemuanya bersepakat bahwa Imam Ali r.a. adalah orang yang paling berhak menjadi pemimpin negara setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Aliran Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’iliyah merupakan tiga aliran syi’ah yang paling menonjol, paling besar, dan paling banyak memiliki pengikut dibandingkan dengan aliran-aliran syi’ah yang lainnya. Akan tetapi ketiga golongan syi’ah yang terbesar ini saling menyalahkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan antara satu aliran dengan aliran yang lain, yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam aqidah, terutama lagi perbedaan pandangan dalam permasalahan politik. Dan di antara semua aliran syi’ah, maka syi’ah Isma’iliyah merupakan aliran yang paling banyak dikecam dan dikeritik oleh umat Islam dari berbagai aliran pemikiran, baik dari golongan Ahlu Sunnah mahupun dari golongan Syi’ah lain, sebab aqidah mereka keluar daripada aqidah Islam. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah secara terang-terangan mengatakan bahwa Syi’ah Isma’iliyah dari sisi luar menampakkan keislaman, tapi pada hakikatnya dalam hati mereka menyembunyikan kekufuran yang nyata, bahkan mereka dianggap tidak menganut syariat agama apapun.
     Buku ini membahas tentang pergolakan antara syi’ah Zaidiyah dengan syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah di samping syi'ah Imamiyah  dari berbagai sisi pemikiran, yaitu: Aqidah, Falsafah, dan Politik.

موقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتهادار الكتب االعلمية،  بيروت - لبنان، 2009م
ISBN: 9782745162557
Polemik Akidah Filsafat 
"Syi'ah vs Syi'ah & Kritikan  Sunni"

Buku tersebut dalam koleksi Harvard University Libraries

          http://hollis.harvard.edu/?q=author%3A%22kamal+al-din+nur+al-din%22

          Keistimewaan buku ini adalah membahas mengenai pemikiran kebatinan dari perspektif syi’ah yang tergolong sebagai salah satu ideologi pemikiran yang paling berbahaya, yang dapat mengancam keutuhan agama islam dari semenjak zaman dahulu sampai sekarang, sebab pemikiran kebatinan ini tidak mempunyai dasar ataupun akar agama. Juga melalui pembahasan dalam buku ini kita dapat mengetahui mengenai kedekatan aliran syi’ah Zaidiyah dengan pemikiran Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah pada beberapa permasalahan agama, baik dari segi aqidah, falsafah dan politik. di samping itu buku ini memberikan gambaran sejauh mana perselisihan aliran-aliran syi'ah dalam permasalahan agama. 

     Sebagai renungan dan analisa selama mengkaji aqidah Syi'ah & Sunnah, dapat disimpulkan bahwa:

- Tidak semua pandangan Sunnah benar dan tepat.
- Tidak semua pandangan Syi'ah salah dan keliru.




Namun:
-  Kebenaran Sunnah lebih banyak daripada kesalahan.
- Kekeliruan Syi'ah lebih banyak daripada kebenaran, bahkan unsur kesesatan terdapat dalam sebahagian ajaran syi'ah Imamiah Itsna 'Asyariah.Adapun ajaran syi'ah Isma'iliah, semua golongan teologi Islam dari Ahli Sunnah bahkan dari kalangan syi'ah sendiri (Imamiah dan Zaidiah) menilai bahwa golongan tersebut dalam kategori "kafir". Adapun syi'ah Zaidiah, golongan ini dekat kepada Ahlu Sunnah wal Jama'ah.


Tapi:
- Kebenaran yang hakiki di tangan Allah semata.
- Manusia hanya berusaha mencari sebuah kebenaran. 

Usulan Dan Cadangan:
     Sebagai usulan dan cadangan demi melahirkan kedamaian dan persatuan Islam,  maka sebaiknya mengikut langkah-langkah berikut:

1) Syi'ah & Sunnah sama-sama memiliki kebenaran dan kesalahan (khilaf), oleh karena itu, sebaiknya masing-masing golongan memelihara kebenaran yang dimiliki dan membuang kesalahan sikap yang ada khususnya hal-hal yang bernuansa TAKFIR, atau sekurang-kurangnya jangan saling menjajah dan mempengaruhi golongan lain, yang Islamnya Sunni biarkanlah mejadi muslim Sunni sepanjang hayat, begitupun sebaliknya yang sudah Syi'ah silahkan amalkan ideologi yang diyakini.

2) Masalah umat Islam saat ini adalah isu murtad, atau sekurang-kurangnya  keterbelakangan dunia Islam dari berbagai aspek kehidupan, politik, ekonomi, sains dan teknologi, inilah tantangan dan cabaran utama, sehinggga wajib menjadi perhatian bagi Syi'ah & Sunnah. Bukan justru mengulang sejarah hitam masa lampau seperti perang "JAMAL" DAN "SHIFFIN" (sebuah wilayah di antara Kufah dan Syam). Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, tidak perlu mengulang sejarah ini khusunya di negara-negara Islam di Asean. Biarkanlah ia menjadi sejarah masa lalu, dan kita cipta sendiri sejarah baru Islam dengan kemajuan sains dan teknologi. 
        Dengan demikian dapat dikatakan, Bahwa perang Jamal sebenarnya memberikan kesan dan pengaruh besar terhadap perpecahan umat Islam dikemudian hari, sebab perang inilah yang membawa kepada peperangan-peperangan lain, yaitu perang Shiffin, Nahrawan, Karbala dll, dengan kata lain sekiranya tidak ada perang Jamal, maka tidak akan terjadi perpecahan Islam kepada Islam Sunni dan Islam Syi’ah. 

Harapan:
No syi'ahisasi dikalangan masyarakat Sunnah.

Wallahu A'lam
Sila baca lebih lanjut artikel di bawah:
NETRALISASI HUBUNGAN SUNNAH  & SYI’AH
نشأة الفرق وتفرقهادار الكتب االعلمية،  بيروت - لبنان، 2011م
ISBN: 9782745172464
Perpecahan Teologi Islam

Buku tersebut dalam koleksi Pennsylvania University Libararies
http://dla.library.upenn.edu/dla/newbooks/record.html?id=NEWBOOKS_5425582&rotation=0&detail=detailed

Wednesday, June 6, 2012

لمحة عن علم الكلام

لمحة عن علم الكلام
الدكتور/ كمال الدين نور الدين مرجوني
رئيس قسم الدعوة والإدارة الإسلامية جامعة العلوم الإسلامية الماليزية
المقدمة:
إن أكثر المظاهر الفكرية في العصر الأموي نشأة علم الكلام، وقد نشأ هذا العلم لأسباب عدّة، منها: أسباب داخلية وأخرى خارجية. أما الأسباب الداخلية فتبدو من ثلاثة أوجه وهي:
1)    تعرض القرآن بجانب دعوته إلى التوحيد لأهم الفرق والمذاهب والديانات والمعتقدات التي كانت شائعة ومنتشرة في عهد النبي e فرد عليهم وفند أقوالهم، فكان طبيعياً أن ينتهج علماء المسلمين منهج القرآن في الرد على المخالفين للإسلام.
2)    كان المسلمون في العصر الأول في إيمان كامل وخالص من الجدل، ولما فرغ المسلمون من الفتوحات، واستقروا أخذوا ينظرون ويبحثون، فاستتبع هذا اختلاف وجهة نظرهم فاختلفت الآراء والمذاهب. وقد أشار الإمام الغزالي إلى هذا قائلا: "لما نشأتْ صنعةُ الكلامِ وكَثُرَ الخوضُ فيه ... تَشَوَّقَ المتكلمون إلى مجاوزة الذبِّ عن السنةِ بالبحث عن حقائق الأمور، وخاضوا في البحث عن الجواهر والأعراض وأحكامها ... "([1]).
3)    خلافهم في المسائل السياسية كان سبباً في الخلاف الديني، وأصبحت الأحزاب فِرَقاً وأحزابا دينية لها رأيها: فحزب "علِيّ " تكوّن منه الشيعة، ومن لم يرضَ بعليٍّ t تكوَّن منهم الخوارج، ومن كره خلاف المسلمين كوّن فرقة المرجئة. ومن هنا كان الخصام السياسي نقطة انطلاق لتكوين مذهب عقدي متعدّد في الإسلام، وذلك لأن الخلاف السياسي ما لبث أن تحوّل إلى خلاف عقدي.
وأما الأسباب الخارجية فيمكن حصرها في ثلاثة أوجه وهي:
1)    دخل أُناسٌ إلى الإسلام وكانوا من ديانات مختلفة كاليهود والنصارى والمجوس والصائبة والبراهمة، وغيرها وقد أظهروا أحكام شرائعهم في لباس دينهم الجديد.
2)    جعلتِ الفِرقُ الإسلامية الأولى وخاصة المعتزلة همَّهَا الأوَّلَ الدِّفاعَ عن الدّينِ، والرد على المخالفين ، وكانت البلاد الإسلامية مُعَرَّضَةً لكل الآراء والديانات المختلفة والمتباينة، يحاول كل فريق تصحيح رأيه وإبطال رأي غيره، وقد تَسَلَّحَتِ اليهوديةُ والنصرانيةُ بالفلسفة فدرسها المعتزلة ليستطيعوا الدفاع بسلاح يُمَاثِلُ سلاحَ الهاجِ.
3)    حاجة المتكلمين إلى الفلسفة اضطرتهم إلى قراءة الفلسفة اليونانية والنطق والتكلم في شأنها والرد عليها.
إذن، فإنَّ الاحتكاكَ الثقافي واللقاء الحضاري بين المسلمين وغيرهم من الفرس والروم والهند، وكذلك الاتجاهات الحزبية والتعصبات القبلية كلها تُعَدُّ من دوافع نشأة علم الكلام. ولقد خاض المتكلمون في أمرين أساسيين هما: الإلهيات والطبيعيات. ففي الإلهيات بحثوا في صفات الباري وأفعاله وقدرته وعلمه وإرادته، إلى جانب البحث في مسائل القضاء والقدر والبعث والمعاد والنشور. وهذه المباحث سُمِّيَتْ بـ "جليل الكلام". ثم تَطَوَّرَ هذا العلم ببحث في أشياء العالم كلها: المادة، وصفاتها، وتحولاتها، وتفاعلاتها، والحركة، والسكون، والمكان، والزمان، والثقل، والممانعة، والوجود، والعدم وغير ذلك من الصفات الطبيعية والظاهرية، فخرجوا برؤيةٍ شاملةٍ قامتْ على جملة مبادئٍ وأُسسٍ عقليةٍ. وقد سُمِّيَتْ هذه المباحث فيما يُعرف بالأمور الطبيعية بـ ،"دقيق الكلام"([2]).
واختصار القول إِنَّ عِلْمَ الكلامِ لم ينشأ في الإسلام نتيجةَ سببٍ بِعَيْنِهِ، وإنما هو نتاجُ أسبابٍ متضامنةٍ، وعوامل متضافرة اقتضتْ وجوده على الصورة التي نراه عليها في تاريخ الفكر الإسلامي، فهناك عوامل منبعثة من داخل الجماعة الإسلامية ذاتها كالخلاف حول بعض النصوص الدينية، مما أَدَّى إلى اختلاف وجهات النظر في تفسير العقائد، والخوض في مشكلات عقائدية نظرية لم يعرفها الجيل الأول من المسلمين، وكالخلاف السياسي الحادث حول مسألة الإمامة، وهو الخلاف الذي أَدَّى إلى ظهور الفِرَقِ، وهو وإنْ كان سياسيًّا في منشئه إلا أنه تطوَّرَ فأصبحَ متعلِّقًا بالعقائد، وهناك عوامل وافدة من خارج الجماعة الإسلامية، أعانتْ على وجود علم الكلام وازدهاره وذلك مثل الاتقاء بحضارات وديانات وعقائد أخرى([3])
وعلى أية حال، فإن علم الكلام نشأ أول ما نشأ للدفاع عن العقيدة والدين، ثم ما لبث أَنْ تَحوَّلَ إلى أداة تستخدمه الفرق والطوائف والتيارات للدفاع عن آرائها واتجاهاتها. وبعد أَنْ كانتْ أدلتُه عقلية في خِدْمَة عقائد القرآن وآياته أصبح القرآن وآياته أداة في يد تلك التيارات والفرق والطوائف تطوعه لنصرة آرائها واتجاهاتها. الأمر الذي جعل طوائف غير قليلة من العلماء ترفضه وتشك في جدواه، وتطعن فيه –كما يتضح فيما بعد- في الحديث عن موقف العلماء من علم الكلام.

وبعد اختصار الحديث عن نشأة علم الكلام، فنعرض تعريفات لعلم الكلام ، نذكر بعضها على سبيل المثال لا الحصر، ففي كتاب (المواقف) للإيجي([4])، ذكر تعريف علم الكلام بأنه: "علم يقتدر معه على إثبات العقائد الدينية بإيراد الحجج ودفع الشبه، والمراد بالعقائد ما يقصد به نفس الاعتقاد دون العمل، وبالدينية المنسوبة إلى دين محمد"([5]). ويقصد الإيجي من هذا التعريف كما بَيَّنَهُ السيد الشريف الجرجاني أن إثبات العقائد على تحصيلها إشعار بأن ثمرة الكلام إثباتها على الغير، وبين العقائد يجب أن تؤخذ من الشرع ليعتد بها حتى ولو كانت مما يشتغل فيه . فالاعتقاد : كقولنا " الله عالم قادر سميع بصير"، فهذه تُسَمَّى اعتقادية وأصلية. والعمل كقولها " الوتر واجب، والزكاة فريضة، وهذه تُسَمَّى عملية وفرعية.
ويتلخص لنا من كلام الإيجي والجرجاني ثلاثة أمور:
1)    إن علم الكلام يشمل كلام أهل السنة وكلام المخالفين.
2)    إن العقائد يجب أن تؤخذ من الشرع.
3)    عدم التقليد في الأمور العقائدية.
وقريب من هذا التعريف، عرَّفَهُ الفارابي([6]) بأن علم الكلام هو: "مَلَكَةٌ يَقْتَدِرُ بها الإنسانُ على نصرةِ الآراء والأفعال المحدودة التي صرَّحَ بها واضع الملة، وتزييف كل ما خالفها بالأقاويل"([7]).
          ويلفت النظر في هذين التعريفين أن كلا من الإيجي والفارابي قد جعل الكلام يقوم على نصرة العقيدة الإسلامية دون تمييز بين الفرق الإسلامية، ومن ناحية أخرى نجد ابن خلدون([8]) يحصر التعريف في نصرة الاعتقادات على مذهب السلف وأهل السنة ويخرج باقي الفرق، فيقول: (هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية، والرد على المبتدعة المنحرفين في الاعتقادات عن مذاهب السلف وأهل  السنة) ([9]).
وهذا يوافق ما ذهب إليه الغزالي([10]) فيقول: (وإنما  المقصود  منه –علم الكلام– حفظ عقيدة أهل السنة، وحراستها عن تشويش أهل البدعة)([11]). وهذا هو التعريف المشهور الذي عَبَّرَ عنه أَغْلَبُ مَنْ يشتغلون بهذا العلم.
أما التفتازاني فقد عَرَّفَ علمَ الكلاَمِ بأنَّه: "العلم بالعقائد الدينية عن الأدلة اليقينية" ([12]) . وهذا التعريف يختلف عن التعريف الأول من حيث تحديده وعدم الشمول، وقد أشار إلى هذا الشيخ مصطفى عبد الرازق بأن تعريف الإيجي شمل بجانب العقائد الإسلامية كلام المخالفين، بينما التفتازاني قد خصص الكلام بِمَا عُلِمَ من الدين قطعًا يقينيًا ([13])
ومن هذه التعريفات السابقة يمكننا أَنْ نستخْلصَ أَنَّ مبدأَ علمِ الكلامِ أسَاسُهُ حفظ العقيدة وإثباتها عن طريق الأدلة العقلية، وليس إنشاء العقيدة في قلب المؤمن، فهو بذلك يقوم بتوضيح العقيدة، وشرحها، وتدعيمها بالأدلة العقلية، وتمييزها عما يغايرها من عقائد وأصول منحرفة عن الدين، والرد على الشبه التي يوردها أصحاب الديانات المخالفة للإسلام. إذن، فقد جاء علم الكلام ليواجهَ جُمْلَةً من التحديات والإشكالات التي واجهت العقلَ المسلمَ على مستوى العقيدة.
وعلى هذا يمكننا القول بأَنَّ لعلمِ الكلاَمِ دورًا إيجابيًّا في إثبات صحة العقيدة بالعقل، وذلك أنه قد يحتاج بعض الناس إلى الأدلة العقلية على إثبات وجود الباري – سبحانه وتعالى – خاصة في عصرنا الحالي، لأن اشتغالهم بالنظر الطويل في الأمور الدقيقة جعلهم يرفضون كل معرفة لا تأتي بهذه الطريقة، فكلما كان الدليل أو البرهان أدق، وأوضح وأطول، كان أنفع لهم، لأنهم اعتادوا على ذلك، فإن كان الدليل قليل المقدمات لم يقنعوا بذلك. لذلك رأينا أن علماء الكلام لم يكونوا يستدلون فقط بالعقل على العقائد، وإنما كانوا يستدلون بالنقل أيضاً وكتبهم مليئة بالآيات والأحاديث ولكنهم في الحوار مع غير المسلمين لابد أن يستخدموا العقل في ذلك. ومن هنا، يقوم منهج المتكلمين على دعامتين أساسيتين هما العقل والنقل.
والجدير بالذكر أن اختلاف المذاهب العقائدية في القضايا العقدية ليس في لب العقيدة، ولكنه في مسائل فلسفية لا تمس لب العقيدة، وهي قضايا الوحدانية والصفات الإلهية، وأفعال العباد بين الجبر والاختيار، وكَوْنَ القرآنِ مخلوقًا أو غير مخلوقٍ، وقضايا السمعيات كرؤية الله تعالى كونها رؤية العين أو القلب وغيرها.
أسماء علم الكلام ومنهجه
          اختلفتْ أقوال العلماء في سبب تسمية هذا العلْم بـ "علم الكلام"، فيرى ابن خلدون أن التسمية بنيت "إما على ما فيه من المناظرة على البدع ، وهي كلام صرف ، وليست براجعـة إلى عمل، وإما لأن سبب وضعه والخوض فيه هو تنازعهم في إثبات الكلام النفسي"([14]). ويذكر التفتازاني في كتابه "شرح العقائد النسفية أن التسيمة بعلم الكلام لـ : "كثرة الخوض في المباحث العقدية وغلبة الكلام فيها لمنافحة الخصوم حملتا كتاب مقالات الفرق على تسمية هذه المباحث بالكلام"([15]) . ونُفضِّل ما ذكره ابن خلكان عن سبب هذه التسمية بأن أول خلاف وقع في الدين كان في كلام الله عز وجل أمخلوق أم غير مخلوق، فتكلم الناس فيه، فسمى هذا النوع من العلم كلاما واختص به([16]). وهذه التسمية هي متأخرة لكن قبل ذلك كان الكلام حول أصول الدين أو مسائل التوحيد، فقد ذكر أستاذي الدكتور مصطفى حلمي أن الصحابة تكلموا في أصول الدين([17]). وفي رواية أن الرسول e سئل عن بدء الخلق وكذلك سئل عن بشرية عيسى، فقد روى البخاري ومسلم أن الرسول صلى الله عليه وسلم شرح بعض مسائل أصول الدين لوفد بني تميم، ثم لوفد اليمن قائلا: "اقبلوا البشرى يا أهل اليمن، إذ لم يقبلها بنو تميم، فقالوا: قد قبلنا يا رسول الله ، جئناك نسألك عن هذا الأمر، فقال الرسول صلى الله عليه وسلم كان الله ولم يكن شيء غيره، وكان عرشه على الماء، وكتب في الذكر كل شيء، وخلق السماوات والأرض"([18]). وما رواه مسلم أن الرسول e قال: "لا يزال الناس يسألونكم عن العلم حتى يقولوا هذا: الله خلقنا فمن خلق الله ، فمن وجد من ذلك شيئا فليقل آمنت بالله" ([19]) . ويُعَدُّ المعتزلة أوّلَ من أطلق علم الكلام على المباحث العقائدية، فلقَّبها المشتغلون به بالمتكلمين، ويظهر أن الجاحظ من أوائل المستخدمين لهذا الاصطلاح، حيث إنه يكثر من استعماله في كتبه ورسائله، ومن ذلك قوله: "فإن كان الخطيب متكلما تجنب ألفاظ المتكلمين، كما أنه إن عبر عن شيء من صناعة الكلام واصفا، أو مجيبا أو سائلا، كان أولى الألفاظ به ألفاظ المتكلمين، إذ كانوا لتلك العبارات أفهم، وإلى تلك الألفاظ أميل، وإليها أحن، وأشغف، ولأن كبار المتكلمين ورؤساء النظارين كانوا فوق أكثر الخطباء، وأبلغ من كثير من البلغاء ([20]) .
ولعلم الكلام أسماء متعددة ومتنوعة يصعب للباحث حصرها، ذلك لاختلاف تصورات العلماء عنها، بل يسمي بعلم النظر والاستدلال لكثرة المناظرة فيه، وفيما يلي بعض أسماء هذا  العلم:
 علم الفقه الأكبر
ويعد الإمام أبو حنيفة النعمان (تـ 150هـ) أول من نسب هذا الاسم لعلم الكلام، وقد حرصت أتباعه على إذاعة هذه التسمية والعمل على شهرتها، وهذا يرجع إلى شهرة كتاب الإمام في هذا العلم وهو المسمى بـ "الفقه الأكبر" ، وقام بعض أتباعه وأنصار مذهبه الفقهي بشرح هذا الكتاب، ونذكر على سبيل المثال: الإمام الماتريدي في كتابه بعنوان واضح: "شرح الفقه الأكبر"، وكذا شرحه الملا علي القاري الحنفية وسماه "منح الروض الأزهر". وشرحه محيي الدين محمد بن بهاء الدين المتوفى : سنة 956 هـ, وجمع فيه: بين الكلام والتصوف وسماه : "القول الفصل ". وشرحه الشيخ أكمل الدين, وسماه "الإرشاد". ونظمه أبو البقاء الأحمدي في ثلاث وعشرين من رمضان سنة 918 هـ، وسماه "عقد الجوهر نظم نثر الفقه الأكبر". وكذلك نظمه: إبراهيم بن حسان الكرمياني المعروف: بشريفي المتوفى: سنة 1016 هـ.
ويرى الشيخ أبو زهرة أن نسبة الفقه الأكبر رواية حماد بن أبي حنيفة إلى أبي حنيفة ليست موضع إجماع من العلماء، كما يرى أن به بعض الموضوعات التي لم تكن مثارة آنذاك، مثل: كرامات الأولياء، والتفرقة بينها وبين ما يجري على أيدي الكفار، كما يذكر أن ترتيب أبي حنيفة للراشدين جاء في الفقه الأكبر على غير ما اشتهر عن أبي حنيفة حيث قدم عثمان على علي ([21]). ولكننا نرجح نسبة الفقه الأكبر للإمام أبي حنيفة لتوافق أكثر ما جاء فيه مع الكتب الأخرى لأبي حنيفة، وما نقله عنه أبو جعفر الطحاوي الحنفي. وأما ما ذكره الشيخ أبو زهرة، فمن وجهة نظرنا أنه يحتمل أن يكون أبو حنيفة قد غير بعض آرائه حسب علم وصل إليه من أدلة وجدت([22]).
علم أصول الدين
ويبدو أن هذه التسمية أكثرها دقة وشهرة واستعمالا، ققد ألَّف علماء الكلام كتبا كثيرة تحت عنوان هذه التسمية، رغم اختلاف مذاهبهم الكلامية، ومما يدل على ذلك كتاب لمؤسس المذهب الأشعري بعنوان: "الإبانة عن أصول الديانة"، وشرح ابن بطة العكبري الحنبلي (تـ387هـ) هذا الكتاب بعنوان: "الإبانة على أصول السنة والديانة" ولعل المؤلف أضاف التسمية بأصول السنة يهدف إلى بيان أن هذا العلم مُقَيَّدٌ بالسنة النبوية، وليس مجرد علم كلام بحت، وكتاب لعبد القاهر البغدادي الأشعري (تـ439هـ ) بعنوان: "أصول الدين"، وكتاب للقاضي أبو يعلى الفراء الحنبلي (تـ 458هـ) بعنوان: "المعتمد في أصول الدين"، وكتاب لإمام الحرمين الجويني الأشعري بعوان: "الشامل في أصول الدين"، وكتاب للإمام الغزالي بعنوان: "الأربعين في  أصول الدين"، وكتاب لأبي المعين النسفي الماتريدي بعنوان: "التمهيد في أصول الدين"، وكتاب للإمام الرازي الأشعري: "الأربعين في أصول الدين".
علم التوحيد
ويسمى علم التوحيد لأنه يدور بصورة جوهرية حول الكلام عن وحدانية الله سبحانه  وتعالى في الذات والصفات وفي الربوبية والألوهية.  وفي شرح العقائد النسفية يسميه التفتازاني علم التوحيد والصفات، حيث يقول: "العلم المتعلق بالأحكام الفرعية – أي العملية – يسمي علم الشرائع والأحكام، وبالأحكام الأصلية أي الاعتقادية يسمى علم التوحيد والصفات ([23]) . وقد جعل الشيخ محمد عبده هذا الاسم عنواناً لكتابه في العقيدة "رسالة التوحيد". وقبل ذلك ألف المتكلم المعروف الماتريدي 333هـ كتاباً في الكلام سمّاه "علم التوحيد".
ويغلب على علم الكلام في القرون من الثاني إلى الرابع الهجري البحث في فهم الإيمان وإدراك مضمون العقيدة وتحديد المعاني الغامضة التي وردت في الكتاب والسنة، وبعد القرن الرابع الهجري بدأت مهمة علم الكلام تتركز في توكيد جانب الدفاع عن الإسلام، ويرجع الفضل في ذلك الاتجاه إلى الحملة التي قام بها الحنابلة ضد علم الكلام إذ قال الإمام أحمد في المناظرة التي جرت بينه وبين ابن أبي دؤاد في حضرة المعتصم قال: " لست أنا صاحب الكلام وإنما مذهبي الحديث " ([24]). وفي هذا ألف ابن قدامة كتابا للرد على المتكلمين بعنوان: "تحريم النظر في كتب أهل الكلام كتاب فيه الرد على ابن عقيل "، إذ كان ابن عقيل أباح علم الكلام وتأويل الآيات المتشابهات.
          وكان الأشعري من أوائل الذين ردّوا على دعوى الحنابلة في ذم علم الكلام والنهى عن الخوض فيه، فلقد تناول هذه المسألة في كتاب له بعنوان "رسالة في استحسان الخوض في علم الكلام".
          ولأهمية هذا العلم ومكانته في الثقافة الإسلامية، قام عدد من العلماء بتأريخ هذا العلم، فكتبوا في هذا  الصدد بعناوين متعددة: "المقالات، و الملل والنحل، والفرق"، ككتاب "المقالات" للكعبي، وكتاب "المقالات" للقاضي عبد الجبار المعتزلي، وكتاب "مقالات الإسلاميين" للأشعري، وكتاب "الفرق بين الفرق" للبغدادي، وكتاب "المقالات والفرق" للقمي الشيعي الإثنى عشري، وكتاب "الفصل في الملل والأهواء والنحل" لابن حزم، وكتاب "الملل والنحل" للشهرستاني، وكتاب "الملل والنحل" لأحمد بن يحيى المرتضى الزيدي.
ويلاحظ صاحب كتاب "تاريخ الفلسفة العربية" أن علم الكلام بالمعنى الذي نفهمه اليوم يشابه علم اللاهوت عند النصارى([25])أي علم العقائد النصرانية، وهو نظام من التفكير الديني يقتصر في معناه، بسبب نشأته وشكله، على النصرانية وحدها. وتاريخ اللاهوت هو تاريخ الفكر النصراني نفسه، الذي حاول باستمرار أن يوفق بين العقائد الدينية ومقتضيات الفلسفة والعلم. وموضوعات علم اللاهوت النصراني الرئيسية هي: الله، الإنسان، العالَم، الخلاص، البعث، الحساب، فهذه الموضوعات تقابل علم الكلام في الإسلام.
          ولا يخفى على أحد أن كل علم من العلوم لا بد له من مبادئ، يقيم عليها قوانينه، وهذه المبادئ قد تكون مسلمات ومصادرات، وقد تكون بديهيات، وقد تكون مبرهنات.  ومن يختلف علم الكلام عن الفلسفة في أن الكلام خاص بدين معين فهو جدل يدور حول أصول دين بعينه، ولكن الفلسفة تبحث عن الحقيقة على وجه العموم.
          ومن حيث المنهج، فيبدأ علم الكلام من مسلمات عقائدية يفترض صحتها أي أن المتكلم يبدأ من قاعدة معترف بها، ثم يتلمس الطرق التي تؤدي إلى إثبات هذه القاعدة، أما الفيلسوف فإنه يبدأ من درجة الصفر أي من قواعد المنطق الأساسية والمقدمات البديهية ويتدرج منها إلى النتائج مستخدما منهجا عقليا صرفا.
          فمثلا يسلم المتكلم بوجود الله ووحدانيته، ولكنه يحاول إقامة الأدلة على وجوده لمواجهة الخصوم والدفاع عن العقيدة، أما الفيلسوف فإنه لا يسلم بأي شيء عند البداية ويحاول البرهنة على وجود الله فهو قبل إقامة الدليل على وجوده لم يكن يسلم بهذا الوجود أصلا([26]).
إن الفلسفة لا تعتمد إلا على التعقل في جميع المسائل المبحوثة فيها، لكن علم الكلام يعتمد على التعقل تارة و على النقل و التعبّد أخرى، و بعبارة أخرى فان علم الكلام أسلوبه التلفيق بين العقل و النقل، أما الفلسفة أسلوبها الاعتماد الكلي على العقل و الأدلة العقلية. فمثلاً يعتمد علم الكلام في مسائل الإمامة على النقل فقط، ولإثبات المعاد يعتمد على التعقل و النقل و التعبد.
إذن، فالفرق بينهما، أن علم الكلام ينطلق من النص القرآني، أما الفيلسوف فيحتج بالبراهين العقلية. لأن الفيلسوف قد لا ينطلق من الدين لكي يثبت ما يريد, فمجاله هو العقل والبراهين العقلية، أما علم الكلام فلا يوجد إلا بدين يندرج تحته.
وأما الغاية التي يرمي إليها المتكلمون الذين يقررون التوحيد في كتب الكلام والنظر فهي إثبات وحدانية الخالق، وأنّه لا شريك له. وأما الفلسفة فتهدف إلى الكشف عن الحقيقة، وتحدد مجال بحثها بمبادئ الوجود وعلله، والكون والإنسان من غير تقيُّد بمسلَّمات معينة.
ومن موضوع علم الكلام وقضاياه يتولد التعريف بعلمائه، وهم: الباحثون المؤمنون الذين يحاولون دائما، من أجل توضيح العقيدة الإسلامية، وتركيزها ودفع الشبهات عنها، إخضاع البرهان المنطقي، والدليل العقلي، لما يعتقدون أنه حقٌّ وصواب، سندهم في ذلك توجيه العقل بالنص، وتأييد النص بالعقل المؤمن، وبذلك فهم ينطلقون من الإيمان إلى المعرفة، ومن المعرفة إلى عمق الإيمان، ثم إلى اليقين. وبهذا فهم يخالفون الفلاسفة غير المؤمنين الذين ينطلقون من لا شيء، ويتمادون في الانطلاق إلى حيث لا نهاية حسب رأيهم، والفلاسفة المؤمنون الذين يعتمدون على العقل اعتمادا كلّيا، ويقدمونه على العقل، وأن كان هذا المنحى استهوى المعتزلة ومنه جاءت مغالاتهم([27]).
ومن هنا نجد اختلافاً بين منهج الفيلسوف ومنهج المتكلم. فالفيلسوف يبدأ من مبادئ المنطق الأساسية والمقدمات البدهية وفقاً لمنهجه، ويتدرج منها إلى النتائج مستخدمًا منهجًا عقليًا صرفاً. في حين أن المتكلم ينطلق من مسلَّمات معينة جاء بها الدين عن الله تعالى وصفاته وصلة الله عز وجل بهذا الكون والإنسان وفقاً لما جاء به الشرع الموحى به.
          وبعد ترجمة ونقل كتب الفلسفة اليونانية في الإلهيات والطبيعيات والأخلاق، مزج المتكلمون موضوعات العقائد الإسلامية، وبعض موضوعات الفلسفة مع استخدام مصطلحات الفلاسفة، ثم خاضوا بعد ذلك في مسائل هي أقرب إلى الفلسفة منها إلى العقائد، كالبحث في الجواهر والأعراض وأحكامها، وطبائع الموجودات([28]). وكان المعتزلة من المتكلمين الذين ولعوا بهذه الاصطلاحات الفلسفية، وقد أشار إلى ذلك الشهرستاني: "طالع شيوخ المعتزلة كتب الفلاسفة حين فسرت أيام المأمون، فخلطوا مناهجها بمناهج الكلام، وأفردوا لأنفسهم علما يسمى بعلم الكلام، إما لأن أظهر مسألة تكلم فيها المتكلمون وتقاتلوا عليها في مسألة علم الكلام، فسمي النوع بإسمها، وإما لمقابلتهم الفلاسفة في تسميتهم فنا من فنون علمهم بالمنطق ([29]). وأما السبب الذي دفع المتكلمين إلى مزج موضوعات الكلام بموضوعات الفلسفة هو الرد على الفلاسفة فيما خالفوا الشريعة، يقول سعد الدين التفتازاني: "ثم لما نقلت الفلسفة إلى العربية، وخاض فيها الإسلاميون، حاولوا الرد على الفلاسفة  فيما خالفوا الشريعة، فخلطوا بالكلام كثيرا من الفلسفة ليتحققوا مقاصدها، فيتمكنوا من إبطالها، وهلم جرا، إلى أن أدرجوا فيه معظم الطبيعيات والإلهيات، وخاضوا في الرياضيات، حتى كاد لا يتميز – أي علم الكلام – عن الفلسفة لو لا اشتماله على السمعيات([30]).
  
الأصول المنهجية لعلم الكلام


للمتكلمين أصول في تناول قضايا الدين أبرزها ثلاثة أصول: وهي تقديم العقل على النقل مطلقا كما هي منهج المعتزلة والزيدية، أو عند التعارض كما هو واضح عند الأشاعرة و الماتريدة، وأما النصوص الشرعية فهي عندهم أدلة لفظية لا تفيد اليقين([31]).

ومن هنا فإنهم يرون أن العقل هو المنطلق الأساسي الذي يجب أن يصدر عنه إثبات مسائل العقيدة، ومن أهمها إثبات الصانع وأسمائه وصفاته. فاعتمد المتكلمون في الاستدلال على وجود الله تعالى على أساس حدوث هذا العالم، واحتياجه إلى محدث هو الله تعالى، لهذا بذلوا جهدا كبيرا في إثبات حدوث العالم، والرد على من قال بقدمه. وقد سلكوا في ذلك طرقا متعددة، حصرها صاحب المواقف في أربع طرق، فقال: "قد علمت أن العالم إما جوهر أو عرض، وقد يستدل بكل واحد منهما ، إما بإمكانه أو بحدوثه، فهذه وجوه أربعة:

-       الأول: الاستدلال بحدوثه الجواهر: وهو أن العالم حادث، وكل حادث فله محدث.
-       الثاني: بإمكانها: وهو أن العالم ممكن، لأنه مركب وكثير، وكل ممكن فله علة مؤثرة.
-       الثالث: بحدوثه الأعراض، مثل ما نشاهد من انقلاب علقة، ثم مضغة، ثم لحما ودما، إذ لا بد من مؤثر صانع حكيم.
-       الرابع: بإمكان الأعراض : وهو أن الأجسام متماثلة، فاختصاص كل بما له من الصفات جائز ، فلا بد في التخصيص من مخصص له"([32]).
ويشرح المتكلمون طريق الحديث، فيقولون بأن العالم مركب من جواهر فردة وأعراض، وأن الأعراض لا تبقى زمانين متتالين، وإنما يطرأ عليها التغيير والتحول فهي حادثة، والجواهر لا تتعرى عن الأعراض التي هي ملازمة لها، وما دامت الجواهر لا تنفك عن الأعراض فهي حادثة بحدوثها، لأن ما لا يخلو عن الحوادث فهو حادث([33]). وما دام العالم مكونا من الجواهر والأعراض -وقد ثبت حدوثها- فالعالم حادث، وإذا ثبت أن العالم حادث كان لا بد له من محدث يخرجه من حيز العدم إلى حيز الوجود.
ونلاحظ أنهم يقدمون بكل هذه المقدمات ليدللوا على قضية اعتبرها القرآن الكريم قضية فطرية في الإنسان، ولا يخفى أن الاستدلال بهذه المقدمات قد كلف أصحابه جهدا كبيرا، إذ لزمهم أن يطيلوا البحث في إثبات الجوهر، وفي إثبات الأعراض وأنها حادثة، ثم في إثبات لزومها للجوهر، كل ذلك ليتم لهم إثبات حدوث العالم بكل ما فيه. ولا شك أن هذا المسلك مع ما عليه من مآخذ واعتراضات مسلك شاق يصعب تصوره على المتخصصين فضلا عن الجمهور، وفيه من الطول، والخفاء ، واللبس، والإبهـام مالا يخفى، فلا يصلح لأن يجعل سبيلا لتحصيل أشرف المطالب وهو الإيمان بالله تعالى. ومن هنا انتقد هذه الطرق كثير من المفكرين منهم: ابن رشد (تـ 595هـ) في كتابه "مناهج الأدلة"، والإمام ابن تيمية (تـ 727هـ) في كثير من كتبه وبالأخص كتابه "درء تعارض العقل والنقل"، وتلميذه ابن قيم الجوزية في كتابه "مدارج السالكين" وغيرهم من العلماء الأجلاء.
فأبطل ابن تيمية هذه الطريقة في الاستدلال على وجود الله، وبين أنها سبب في كل ما التزم المتكلمون من متناقضات في الصفات الإلهية وغيرها، وقد التزموا لأجلها نفي صفات الله مطلقا أو بعضها، والقول بخلق القرآن، وإنكار رؤية الله تعالى في الآخرة، وعلوه على عرشه، إلى أمثال ذلك من اللوازم الباطلة التي التزموها ([34]) .
أما الصوفية فطرقهم ليست نظرية – أي غير مركبة من مقدمات ونتائج – وإنما يزعمون أن المعرفة بالله سبحانه وتعالى وبغيره من الموجودات شيء يلقى في النفس عند تجردها من العوارض الشهوانية، وإقبالها بالفكرة على المطلوب، ويحتجون بظواهر من الشرع، مثل قوله تعالى: )وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمَ اللهُ( -البقرة: 283-، وقوله تعالى: )وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ( -العنكبوت: 69-. ومن هنا يرى الصوفية -كما يحدثنا الإمام الغزالي- أن التوحيد من علم المكاشفة، وأنه بحر خضم لا ساحل له، وله أربع مراتب: تبدأ باللسان، ثم القلب، ثم الكشف، وأخيرا الفناء، حيث لا يرى الموحد في الوجود إلا الله، ويحذر من الخوض في هذه المرتبة الأخيرة([35]). ولهذا تختلف نظرة الصوفية للتوحيد عن غيرهم، فالعامة يعبرون عن إيمانهم بإثبات الوحدانية لله بنفي الشريك والشبيه، أما المتكلمون والفلاسفة فيتناولون التوحيد من الناحية النظرية في الغالب، بينما الصوفية ينظرون إلى التوحيد على أنه تجربة دينية حية، ومن ثم اتجهوا إلى البحث عن معرفة حقيقته وحكمته. ذلك في رأيهم أن التوحيد كمبدأ روحي، يتصل بحرية الإنسان وتحريره من القيود الحسية، ليترقى في المعراج الروحي أو المقامات، منطلقا إلى الحق المطلق([36]). وقد انتقد ابن رشد هذه الطريقة الصوفية بأنه إن سلِّم وجودها فهي ليست عامة، ولو كانت هي المقصودة بالناس لبطل النظر، ولكان وجودها بالناس عبثا. والقرآن الكريم إنما هو دعاء إلى النظر والاعتبار، والتنبيه على طرق النظر([37]).
وعلى أية حال، فإن العقل والنقل لا يتعارضان، وكذلك بين الأدلة النقلية بعضها بعضا، فلا تعارض بين الكتاب والسنة من ناحية، ولا تعارض بين الأحاديث النبوية فيما بينها من ناحية. يقول الشاطبي: "إنه لا تضاد بين آيات القرآن، ولا بين الأخبار النبوية، ولا بين أحدهما مع آخر، بل الجميع على منهج واحد، ومنتظم إلى معنى واحد"([38]). وقد أصاب ابن تيمية في دحض القول بوقوع التعارض بين العقل والنقل في كتابه الضخم "درء تعارض العقل والنقل"  وتابعه ذلك تلميذه ابن قيم الجوزية، حيث قال: "إن معارضة الوحي بالعقل ميراث عن الشيخ أبي مرة – أي إبليس -، فهو أول من عارض السمع بالعقل وقدمه عليه، فإن الله لما أمره بالسجود لآدم، عارض أمره بقياس عقلي ... ثم تتبعه الفلاسفة والجهمية ومن تأثر بهم من المتكلمين"([39]). وأوضح ابن القيم في موضع آخر أن القائلين بوقوع التعارض بين العقل والنقل، إنما وقعوا في ذلك نتيجة جهلين عظيمين: جهل بالوحي، وجهل بالعقل([40]). 
موقف العلماء من علم الكلام
          لقد سجَّل علماء المسلمين -قديماً وحديثاً- موقفهم تجاه علم الكلام والمتكلمين ، فمنهم من يعارض علم الكلام والمتكلمين فنقدوا مناهجهم وشددوا التنكير عليهم وعدوهم من الخارجين عن منهج القرآن في إثبات العقائد، وقد اتفقت آراؤهم جميعا حول خطورة وجود المتكلمين – والفلاسفة من باب أولى – حيث إنهم كانوا وبالا على حركة التفكير الإسلامي الأصيل النابع من القرآن والسنة، وأن علم الكلام زاد من الأفكار التي أوغلت في تشكيك المسلمين. ومنهم من يناصر علم الكلام والمتكلمين ويذكرون فيها الخيرات والفوائد المتنوعة منها: معرفة أصول الدين معرفة علمية قائمة على أساس من الدليل و البرهان. والقدرة على إثبات قواعد العقائد بالدليل والحجة . والقدرة على إبطال الشبهات التي تثار حول قواعد العقائد.
هذا، وأرى من المناسب أن أذكر أقوال بعض العلماء في علم الكلام وحكم الاشتغال به، ويمكن إرجاع أقوالهم إلى  رأيين، وهما:
الرأي الأول:
ذهب عدد من العلماء إلى القول بجواز الاشتغال بعلم الكلام، كابن عساكر، والبياضي، والغزالي، وغيرهم. واستدلوا بأدلة منها:
إن الأدلة التي استدل بها الأصحاب ليست على العموم، فالمنهي عنه  في الآيات والأحاديث إنما الجدال والمراء الذي لا يتأتى به الفائدة، أما المناظرة لإظهار وجه الصواب من الخطأ فلا يمنع منها.
ويقول الإمام البياضي: " فأما المناظرة فيه على وجه إظهار الحق فلا كراهية فيه، بل هي المأمور به في قوله تعالى: )وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ( -النحل: 125-، وفي موضع آخر يقول الغزالي: "وإنما مقصوده – علم الكلام – حفظ عقيدة أهل السنة، وحراستها عن تشويش أهل البدعة، فقد ألقى الله – تعالى – إلى عباده على لسان رسوله عقيدة هي الحق، على ما فيه صلاح دينهم ودنياهم. كما نطق بمعرفته القرآن ، ألقى الشيطان في وساوس المبتدعة أمورا مخالفة للسنة فلا حا جة بها، وكادوا يشوشون عقيدة الحق على أهلها، فأنشأ الله تعالى طائفة من المتكلمين، وحرك دواعيهم لنصرة السنة بكلام مرتب يكشف عن تلبيسات أهل البدع المحدثة، على خلاف السنة  المأثورة، فمنه نشأ علم الكلام وأهله "([41]).
إن الصحابة لم يشتغلوا بهذا العلم، واكتفوا بما ورد في الكتاب والسنة ، لأن المكابرة، وإثارة الشكوك، وتمويه الحقائق بشبه تلبسها لباس الحق في العقيدة، لم تكن ظاهرة حينذاك، فهي إذا لم تكن  في حاجة إلى هذا العلم، لمقارعتها ومجادلتها بالأدلة العقلية لإثبات العقائد.
وقد أشار إلى هذا الكلام أحد المتكلمين بما ينسب إلى أبي حنيفة رضي  الله عنه:" وأصحاب رسول الله e إنما لم يدخلوا فيه  لأن مثلهم كمثل قوم ليس بحضرتهم من يقاتلهم فلا يتكلفون  السلاح، ونحن قد ابتلينا  بمن يطعن علينا، فلا يسعنا  ألا نعلم من المخطئ منا ومن المصيب ؟ وألا نذب عن أنفسنا ... "([42]).
وهذا الفريق يرى أن علم الكلام هو أعلى مرتبة في العلوم ... إذ موضوعه أعم الأمور وأعلاها، وغايته أشرف الغايات وأجداها  ودلائله يقينية يحكم بها صريح العقل ... وقد تأيدت بالنقل وهي الغاية في الوثائق وهذا هي جهات شرف العلم  لا تعدوها ... فهو إذن أشرف العلوم ([43]). وفي موضع آخر صرح الآمدي أهمية علم الكلام فقال: "وأشرف العلوم إنما هو العلم الملقب بعلم الكلام" ([44]) . وقال الجاحظ: "لولا مكان المتكلمين لهلكت العوام من جميع الأمم"([45]) .
ويرى  الألوسي ضرورة استخدام الحجج العقلية في إثبات  العقيدة كما بينه في تفسيره لقوله تعالى: )وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ( -البقرة: 165–: "وفي الآية إثبات الاستدلال بالحجج العقلية، وتنبيه على شرف علم الكلام وفضل أهله، وربما أشارت إلى شرف علم الهيئة، ومن الناس من يتخذ من دون الله أندادا) بيان لحال المشركين بعد بيان الدلائل الداله  على توحيده"([46]).
الرأي الثاني:
وذهب بعض العلماء إلى تحريم الاشتغال به مطلقا، كابن قتيبة، والخطابي، والأئمة الأربعة وغيرهم. واستدلوا على ذلك بأدلة منها:
وتمسك القائلون بالتحريم بالأدلة من الكتاب والسنة، ومن الآيات الدالة على النهي عن الجدال والمراء في الدين والخوض في المتشابهات من نحو قوله سبحانه وتعالى: )هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ( -ل عمران: 7–، وقوله تعالى: )مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا( –غافر: 5-، وقوله تعالى: )يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ( -النساء: 59-، وروي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: (تفكروا في آلاء الله ولا تفكروا في ذاته فتهلكو ...)([47])([48]).
ومنها أن الصحابة لم يشتغلوا بهذا العلم مع أنهم أعرفهم بهذا الدين، وبذلك فهم الصحابة كلَّ ما طُلِبَ منهم الإيمان به تصديق جازم، وتسليم كامل لجميع نصوص العقيدة من آيات منزلة من عند الله أو أحاديث واردة عن رسول الله e، دون أن تثار لديهم أية تساؤلات مريبة حول آيات وأحاديث الصفات من تشبيه، أو تعطيل، أو تأويل .
ومن هنا يتساءل شارحُ الطحاوية ابن أبي العز قائلا: " وكيف يتكلم في أصول الدين من لا يتلقاه من الكتاب والسنة، إنما يتلقاه من قول فلان، وإذا زعم أنه يأخذه من كتاب الله، لا يتلقى تفسير كتاب الله من أحاديث الرسول، ولا ينظر فيها، ولا فيما قاله الصحابة والتابعون لهم بإحسان، المنقول إلينا عن الثقات النقلة "([49]).
وفي هذا يقول الإمام الشافعي: "كل العلوم سوى القرآن مشغلة ، إلا الحديث وإلا الفقه في الدين،  العلم ما كان فيه قال: حدثنا، وما سوى ذالك وسواس الشياطين"([50]) . ويذم الإمام الشافعي علم الكلام، حتى إنه يجعل الاشتغال بعلم الكلام من أعظم الكبائر، فيقول: " لأن يلقي الله عز وجل العبد بكل ذنب ما خلا الشرك بالله خير من  أن يلقاه بشيء من  علم الكلام"، فهو يلي الشرك من حيث عظم الذنوب وأشدها ... والشافعي كان سيء الظن بعلم الكلام وبسوء نتائجه فقال محذرا من الاشتغال به: " لو علم الناس ما في الكلام من الأهواء لفروا منه فرارهم من الأسد"، وأفتى بأن يُضْرَبَ أصحاب الكلام بالجريد ... ويطاف بهم في القبائل والعشائر، ويقال : هذا جزاء  من ترك الكتاب والسنة وأخذ الكلام " ([51]) .
وأورد البيهقي في كتابه "مناقب الشافعي" معاقبة الإمام الشافعي لمن اشتغل بعلم الكلام: "حكمي في أهل الكلام أن يُضرَبُوا بالجريد، ويحملوا على الإبل، ويطاف بهم في العشائر، ينادي عليهم: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة، وأَقْبَلَ على الكلام ([52]) . ويقول ابن تيمية: "إن الشافعي من أعظم الناس ذَمًّا لأهل الكلام، ولأهل التغيير، ونهيا عن ذلك، وجعلا له من البدعة الخارجة عن السنة، ثم إن كثيرا من أصحابه عكسوا الأمر حتى جعلوا الكلام الذي ذمه الشافعي هو السنة وأصول الدين الذي يجب اعتقاده وموالاة أهله، وجعلوا موجب الكتاب والسنة الذي مدحه الشافعي هو البدعة التي يعاقب أهلها"([53]). وقد روى الحافظ ابن الجوزي في كتابه "مناقب الإمام أحمد بن حنبل" بإسناده إلى الإمام أحمد عنه قال: "لست بصاحب كلام، ولا أرى الكلام في شيء من هذا إلا ما كان في كتابه الله أو حديث رسول الله e أو عن أصحابه، فأما غير ذلك فإن الكلام فيه غير محمود([54]) . وقال الأوزاعي: "إذا أراد الله بقوم شراً ألزمهم الجدل ومنعهم العمل"([55]).
وفي العصر المعاصر جاء سيد قطب مُبَيِّنًا خطأ منهج المتكلمين فقال: "اشتغل الناس بالفلسفة الإغريقية وبالمباحث اللاهوتية التي تَجَمَّعَتْ حول المسيحية والتي تُرْجِمَتْ إلى اللغة العربية، ونشأ عن هذا الاشتغال الذي لا يخلو من طابع الترف العقلي، انحرافات واتجاهات غربية على التصور الإسلامي الأصيل، حتى وجد بين المفكرين المسلمين مَنْ فُتِنَ بالفلسفة الإغريقية، فحاولوا إنشاء علم الكلام على نسق المباحث اللاهوتية مَبْنِيَّةً على منطق أرسطو، ولما كانت هناك جفوة أصلية بين منهج الفلسفة ومنهج العقيدة، فقد نشأ من هذه المحاولات تخليط كثير، شاب صفاء التصور الإسلامي، وصغر مساحته وأصابه بالسطحية. ذلك مع التعقيد والجفاف والتخليط، مما جعل مباحث علم الكلام غريبة غربة كاملة على الإسلام "([56]).



هذا موجز الأقوال والأدلة التي تمسك بها القائلون بتحريم الاشتغال بعلم الكلام.
والحقيقة –كما يرى الإمام الغزالي– أن علم الكلام تارة يجر منفعة وتارة يجر مفسدة، فينتفع به حين يكون استعماله سليما، وهو عند دفع شبهات خصوم الدين، وأما عند إثارة الشبهات فمضرة لا جدوى فيه، ومما يدل على  ذلك قوله: " إن فيه – علم الكلام – منفعة وفيه مضرة فهو باعتبار منفعته في وقت الانتفاع حلال أو مندوب إليه أو واجب كما يقتضيه الحال وهو باعتبار مضرته في وقت الاستضرار ومحله حرام، أما مضرته فإثارة الشبهات وتحريك العقائد، وإزالتها عن الجزم "([57]).
          والجدير بالذكر هنا موقف الإمام الشوكاني المتميز من علم الكلام، حيث يرى أنه من المستحسن التعمق في القرآن والسنة قبل الاشتغال بعلم الكلام، ونصح طالب العلم في كتابه (أدب الطلب) بدراسة هذا العلم بعد إتقانه لعلم أصول الفقه، والتفسير، والحديث، وقال: "فإنه إذا فعل كل هذا عرف الاعتقادات كما ينبغي، وأنصف كل فرقة بالترجيح أو التجريح على بصيرة، وقابل كل قول بالقول أو الرد على حقيقة ... على أنه يتعلق بذلك فائدة وزيادة بصيرة في علوم أخرى، كعلم التفسير، وعلم تفسير الحديث، فإذا بلغت إلى ذلك علمت ما في العلم بهذا الفن من الفائدة"([58]). ولكن بعد تجربته مع علم الكلام يقرر أن هذا العلم في النهاية يؤدي إلى الحيرة، وقال: "واعلم أني عند الاشتغال بعلم الكلام، وممارسة تلك المذاهب والنحل، لم أزدد بها إلا حيرة، ولا استفدت منها إلا العلم بأن تلك المقالات خزعبلات، فقلت إذ ذاك مشيرا إلى ما استفدته من هذا العلم:
          وغاية ما حصلته من مباحثي           ومن نظري من بعد طول التدبر
        هو الوقف ما بين الطريقين حيرة                فما علم من لم يلق غير التحير
        على أنني قد خضت منه غماره          وما قنعت نفسي بدون التبحر"([59]) .
          وعلى أية حال –من وجهة نظرنا– أن علم الكلام هو العلم الذي يحتل مكانة هامة بين العلوم الإسلامية، بوصفه أحد العلوم التي قامتْ أساسا للدفاع عن العقيدة الإسلامية في مواجهة الشبهات التي أثارتها الطوائف والأديان غير الإسلامية. حتى لا يمنعنا القول بأن علم الكلام على مدى تاريخه الطويل يتسع أحيانا ليفسح مقدارا أكبر من العناية والاهتمام للرد على المخالفين للإسلام وعقيدته. فغايتهم من تأويل القرآن هو الدفاع عن العقيدة الإسلامية، وتنـزيه المولى عز وجل عن كل  نقص وعن كل تشبيه، ووصفه بالكمال المطلق. بالإضافة إلى ما ذكره ابن تيمية أن: "السلف لم يذموا جنس الكلام، فإن كل آدمي يتكلم، ولا ذموا الاستدلال والنظر والجدل الذي أمر الله به رسوله، والاستدلال بما بينه الله ورسوله، بل ولا ذموا كلاما هو حق، بل ذموا الكلام بالباطل، وهو المخالف للكتاب والسنة، وهو المخالف للعقل أيضا، وهو الباطل، فالكلام الذي ذمه السلف هو الكلام الباطل، وهو المخالف للشرع والعقل، ولك كثيرا من الناس خفى عليه بطلان هذا الكلام"([60]).
وفي موضع آخر يقول ابن تيمية: "والسلف إذ ذموا أهل الكلام، وقالوا: علماء الكلام زنادقة وما ارتدى أحد بالكلام فأفلح، فلم يريدوا به مطلق الكلام، وإنما هو حقيقة عرفية فيمن يتكلم في الدين بغير طريقة المسلمين"([61]) . كما أنه أشار إلى الفرق بين منهج المتقدمين من أهل الكلام ومتأخريهم، بأن المتقدمين يخلطون بأصول من الكتاب والسنة بخلاف أكثر متأخريهم، فإنهم لم يذكروا إلا الأصول المبتدعة، وأعرضوا عن الكتاب والسنة وجعلوهما إما فرعين أو آمنوا بهما مجملا أو خرج بهم الأمر إلى نوع من الزندقة([62]) .
          والجدير بالذكر هنا أنه قد رجع العديد من أئمة المتكلمين إلى عقيدة السلف في إثبات الصفات وغير ذلك، ونهوا عما أحدثوه من قبل من كلام في دقائق العقيدة، وأعلنوا التوبة منه والرجوع عنه.
          وفي هذا يقول الرازي في وصيته التي وردت في كتاب (عيون الأنباء): "ولقد اخترت الطرق الكلامية، والمناهج الفلسفية فما رأيت فيها فائدة تساوي الفائدة التي وجدتها في القرآن العظيم، لأنه يسعى في تسليم العظمة والجلال بالكلية لله تعالى ، ويمتنع عن التعمق في إيراد المعارضات والمناقضات. فلهذا أقول: كل ما ثبت بالدلائل الظاهرة من وجوب وجوده، ووحدته وبراءته عن الشركاء في القدم والأزلية، والتدبير والفعالية ، فذاك هو الذي أقول به وألقى الله به ... والذي لم يكن كذلك أقول ديني متابعة محمد سيّد المرسلين"([63]) .  وقال في كتابه أقسام اللذات الذي صفه في آخر عمره:
نهاية إقدام العقول عقال                      وغاية سعي العالمين ضلال
وأرواحنا في وحشة من جسومنا              وحاصل دنيانا أذى ووبال
ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا              سوى أنْ جمعنا فيه قيلَ وقالوا
فكم قد رأينا من رجالٍ ودولة                 فبادوا جميعاً مسرعين وزالوا
وكم من جبال قد علا شرفاتها                 رجال فزالوا والجبال جبال([64]).
وفي موضع آخر يقول الرازي: "لقد تأملت الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية فما رأيتها تشفي عليلاً، ولا تروي غليلاً " وعاد إلى الطريقة القرآنية، وضرب مثلاً بمنهج القرآن في الصفات: " ورأيت أقرب الطرق طريقة القرآن ، أقرأ في الإثبات: )اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَي( -طه: 5-، )إِلَيْهِ يَصْعُدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ( -فاطر: 10- . وأقرأ في النفي: )لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُ( -الشورى: 11-، )وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْماً( -طه: 110 -، ثم قال: "من جرَّب مثلَ تجربتي عَرَفَ مثلَ معرفَتِي" ([65]).
ومن أقوال إمام الحرمين الجويني: "يا أصحابنا لا تشتغلوا بالكلام، فلو عرفت أن الكلام يبلغ بي ما بلغ ما تشاغلتُ به"، " لقد جربت أهل الإسلام وعلومهم، وركبْتُ البحر الأعظم، وغُصْتُ في الذي نهوا عنه، كل ذلك في طلب الحق، والهرب من التقليد، والآن قد رجعْتُ عن الكل إلى كلمة الحق، عليكم بدين العجائز، فإن لم يدركني الحق بلطيف بره، فأموت على دين العجائز، ويختم عاقبة أمري عند الرحيل بكلمة الإخلاص، فويل لابن الجويني"([66]). "والذي نرتضيه رأيا وندين الله به عقلا إتباع سلف الأمة، فالأولى الإتباع، وترك الابتداع([67]). وقد ذكر ابن تيمية توبة الجويني: "وها أنا أموت على عقيدة أمي، وروي على عقيدة عجائز نيسابور"ثم علق ابن تيمية على ذلك القول: "ولهذا يقول مثل هؤلاء: عليكم بدين العجائز، فإن تلك العقيدة الفطرية التي للعجائز، خير من هذه الأباطيل، التي هي من شِعَبِ الكُفْرِ والنفاق، وهم يجعلونها من باب التحقيق والتدقيق"([68]). أما أبو حامد الغزالي، فإنه لم يجد له مغنى في – الكلام –، وكان ذلك مما بعثه على الرجوع في آخر عمره إلى ما كان يرغب عنه، ويرى أنه لا شيء فيه، فأقبل على حفظ القرآن، وسماع الصحيحين، فيقال أنه مات وصحيح البخاري على صدره، ولكنه توفي قبل أن يظهر أثر ذلك في كتبه. وقد ذكر الغزالي الكلام والخلاف فيه: "فاسمع هذا ممن خبر الكلام، ثم قلاه بعد حقيقة الخبرة، والتغلغل فيه إلى درجة المتكلمين، وجاوز ذلك ... وتحقق أن الطريق إلى حقائق المعرفة من هذا الوجه مسدود"([69]). وفي موضع آخر قال: "وإذا تركنا المداهنة لصرحنا بأن الخوض في هذا العلم حرام، لكثرة الآفة فيه"([70]).
          ويقول متكلم آخر أبو الوفا ابن عقيل تـ (513هـ) لبعض أصحابه: "أنا أقطع أن الصحابة ماتوا وما عرفوا الجوهر والعرض، فإن رأيت أن تكون مثلهم فكن، وإن رأيت أن طريقة المتكلمين أولى، فبئس ما رأيتَ ...، وقد أفضى الكلام بأهله إلى الشكوك، وبعضهم إلى الإلحاد، تشم روائحه من فلتات كلامهم ... ولقد بالغت في الأصول طول عمري، ثم رجعت القهقري إلى مذهب المكتب" ([71]) .
          وأما عن مؤسس المذهب الأشعري (أبو الحسن الأشعري)، فالحقيقة أنه رجع بنفسه عن منهج الكلام وعن اعتقادات الأشاعرة، وأقر بانتسابه إلى مذهب الحق الذي يمثله إمام أهل السنة أحمد بن حنبل في عصره وصنف كتابه الأخير على هذا المذهب وهو "الإبانة عن أصول الديانة".
وهذا الشهرستاني يضرب على الوتر نفسه، ويقرر أنّه لم يجد عند الفلاسفة والمتكلمين بعد طول بحث إلا الحيرة والندم حيث يقول :
لعمري لقد طُفْتُ المعاهدَ كلَّها       وسيَّرْتُ طرفي بين تلك المعالم
فلم أر إلا واضعاً كف حائر          على ذقن أو قارعاً سن نادم
ثم قال : "عليكم بدين العجائز ، فإنه أسني الجوائز"([72]).
          فكل هؤلاء الأئمة هم مِنْ أجلِّ أئمة المتكلمين من الأشاعرة، قد ذكروا طريقتهم السابقة، ولو أنها كانت الحق لما زيفوها، وأبانوا عوارها ونقصها، وجعلوا في خاتمة عمرهم يتبرؤون منها … فياليت المحْدَثين من المنتسبين لفكرهم والمقلدين لهم يعتبرون بهذه الحال.
          أما عن متكلمي المعتزلة، فإنه لم يعرف عن أحدهم أنه تاب وأناب، وما هذا إلا لإيغالهم في الباطل، وعدم توجه نياتهم لطلب الحق أصلاً، وأنهم رؤوس البدعة، والمنشؤون لها.
وقال ابن أبي الحديد – وهو من شعراء الشيعة – توفي سنة ( 655هـ) :
سافر فيك العقول فما                  ربحت إلا عنا السفر
رجعت حسري وما وفقت                     لا على عين ولا أثر
     وقال أيضا :
طَلَبْتُ جاهداً خمسين عاما                         فلم أحصل على برد اليقين
فهل بعد الممات بك اتصال            فأعلم غامض السر المصون([73]).
          ويحسم موقفنا من علم الكلام الشروط التي وضعها الإمام القرطبي -رحمه الله-، حيث إنه وضع شروطا لجواز الاشتغال بعلم الكلام، منها: أن يكون مستهدفا للدفاع عن العقيدة الإسلامية، وأن يكون الجدال والمناقشة فيه لإظهار الحق، وأن لا يؤدي تعلمه إلى تقبيح من أخذ بالأثر([74]). وأما أقوال المعارضين بصفة عامة وموقفهم من علم الكلام، يمكننا القول إنهم يغفلون دوافع نشأة علم الكلام وتطور الفكر الإسلامي، التي أدت إلى نشأته من إثبات العقيدة الإسلامية والدفاع عنها وتوضيحها بأدلة عقلية، وأما استخدامهم للمصطلحات الكلامية، فإنها من ضروريات العلم، وذلك من أجل فهم العلم وتفسيره، لأن كل علم له مصطلحاته الخاصة كعلم أصول الفقه والتفسير والحديث وغير ذلك. بالإضافة إلى أنه لا يجوز المصارحة بعلم الكلام إلى عوام الناس.


([1])  الغزالي، المنقذ من الضلال، ص 13.
([2])  لمزيد من التفصيل راجع كتاب "تبسيط العقائد الإسلامية" للشيخ حسن أيوب، صفحة: 72 وما بعدها.
([3])  انظر: د. أبو الوفا التفتازاني، علم الكلام وبعض مشكلاته، ص 6-7، مكتبة القاهرة الحديثة، بدون تاريخ.
([4]) هو عبد الرحمن بن أحمد بن عبد الغفار بن أحمد الإيجي، ولد بإيج من نواحي شيراز بعد ثمانين وست مائة، ومات سنة 756هـ، انظر: الشوكاني، 1/326. ابن احجر، الدرر الكامنة 3/110.
([5]) الإيجي، كتاب المواقف، ص 31 .
([6]) هو أبو نصر محمد بن محمد بن طرخان بن أوزلغ الفارابي، وهو فارسي الأصل، أول الفلاسفة الكبار في الإسلام، يعرف بالمعلم الثاني وأول من جمل المنطق اليوناني تاما منظما إلى العرب، ولد في بلدة وسيج قرب فاران، على نهر سيحون من بلاد الترك سنة260هـ، وتوفى في دمشق سنة 339هـ.
([7] ) الفارابي، إحصاء العلوم، ص 131، تحقيق: د. عثمان أمين.
([8]) هو عبد الرحمن بن  محمد بن محمد بن محمد بن الحسن ابن خلدون الإشبيلي، ولي الدين أبو زيد، أديب مؤرخ اجتماعي، توفى سنة 808هـ من كتبه، المقدمة، العبر، طبيعة العمران، انظر: نفح الطيب 1/147، أبجد العلوم للقنوى 1/147، نيل الإبتهاج، ص 169.
([9] ابن خلدون، المقدمة، ص 358.
([10]) هو محمد بن أحمد الطوسي الغزالي، زين الدين حجة الإسلام، أبو حامد متكلم صوفي فقيه أصولي، توفى سنة 505هـ، من كتبه: إحياء علوم الدين، المستصفى في أصول الفقه، انظر: ابن خلكان، وفيات الأعيان، 4/216-219. الذهبي، سير أعلام النبلاء، 9/322.
([11])  الغزالي، المنقذ من الضلال، ص 13.
([12])  سعد الدين التفتازاني، شرح المقاصد، 1/177.
([13]) مصطفى عبد الرازق، تمهيد لتاريخ الفلسفة، ص 263 .
([14])  ابن خلدون، المقدمة، ص 565 .
([15])  انظر: التفتازاني، شرح العقائد النسفية، ص 11 من الكتاب .
([16])  ابن خلكان ، ط1/1948م، وفيات الأعيان ، ص 687.
([17]) د. مصطفى حلمي، 1984م، قواعد المنهج السلفي، ص 40، 46، دار الدعوة بالاسكندرية، مصر.
([18]) صحيح البخاري 9/24 كتاب التوحيد (وكان عرشه على الماء) وكتاب بدء الخلق. وجاء في تلخيص مسلم للقرطبي 1/90 للفظ آخر باب الإيمان.
([19])  مسند ابن حنبل، 2/387.
([20]) الجاحظ، البيان والتبيان، 1/139.
([21]) محمد أبو زهرة، أبو حنيفة ، ص 171.
([22]) انظ : د. أبو اليزيد أبو زيد العجمي ، الفقهاء وبحوث العقيدة الإسلامية، ص 91 وما بعدها ، دار الهداية ، القاهرة، 1985م .
([23])سعد الدين التفتازاني، شرح العقائد النسفية، ص 100.
([24]) أحمد بن يحيى ابن المرتضى ، طبقات المعتزلة ، ص 125.
([25]) حنا الفاخوري وخليل الجر، تاريخ الفلسفة العربية، 1/170.
وأورد القس جيمس أَنِس تعريف علم اللاهوت قائلا بأنه: "علمٌ يبحث عن الله وصفاته وشرائعه وأعمال عنايته، والتعاليم التي يجب أن نعتقدها، والأعمال التي يجب أن نقوم بها. وهو قسمان: وَحْييٌّ، وطبيعي. ولعلم اللاهوت أربعة أقسام: 
(1) الثيولوجيا: ويبحث عن الله وصفاته. ويشمل كل ما يعلّمه الكتاب في وجود الله، وصفاته، والتثليث، وعلاقة الله بالعالم في قضائه وأعمال الخليقة وعنايته بها.
(2) الأنثروبولوجيا: ويبحث في الإنسان. ويشمل كل ما يعلّمه الكتاب عن أصل الإنسان، وطبيعته، وحالته قبل السقوط، وعن سقوطه، وماهية الخطية وما أحدثته خطية آدم في نفسه وفي نسله.
(3) السوتيريولوجيا: ويبحث في الخلاص. ويشمل كل ما يعلّمه الكتاب عن شروط خلاص الإنسان من تجسُّد الفادي، وأنه إله وإنسان معاً، وعمله، وعمل الروح القدس في تخصيص الفداء للمؤمنين وتجديدهم وتبريرهم وتقديسهم، ووسائط النعمة.
(4) الإسخاتولوجيا: ويبحث في الآخرة، ويشمل كل ما يعلّمه الكتاب عن حالة النفس بعد الموت، وفي القيامة، ومجيء المسيح ثانيةً للدينونة العامة، ونهاية العالم، والسماء وجهنم.
وقد زاد بعضهم قسماً خامساً وسمّوه «الإكليزيولوجيا» وهو يبحث في الكنيسة، ويشمل تعليم الكتاب في ماهية الكنيسة وصفاتها وحقوقها ونظامها.
وقد بنينا كتابنا هذا على مبادئ ثابتة، نذكر منها: 
(1) إن الكتاب المقدس موحى به من الله، وإنه الدستور الوحيد المعصوم للإيمان والعمل.
(2) إن محور علم اللاهوت هو المسيح وعمله.
(3) إن الخلاص كما يقدِّمه الإنجيل هو من الله، بنعمة مجانية وبوسائط إلهية يستخدم الله البشر لإجرائها، غير أن فعلها العظيم هو بواسطة الروح القدس الذي ينير القلب ويجدّده ويقدسه.
(4) غاية المعرفة الدينية هي إصلاح الجنس البشري وبنيانه في الأخلاق والقداسة والسيرة اللائقة والخدمة الخيرية للعالم، وكل ذلك لمجد الله. راجع: القس جميس أنس، علم اللاهوت النظامي، ص 1 – 52، راجعه ونقَّحه وأضاف إليه: القس منيس عبد النور .
نقلا عن http://www.answering-islam.org/Arabic/Books/Theology/index.html

([26]) انظر: د. محمد علي أبو ريان، 1973م، تاريخ الفكر الفلسفي في الإسلام، ص 134.
([27]) انظر: إبراهيم بن حسن بن سالم، 1993م، قضية التأويل في القرآن -بين الغلاة والمعتدلين-، 2/140.
([28])  انظر: د. أبو الوفاء العنيمي التفتازاني، علم الكلام وبعض مشكلاته، ص 23 - 24 .
([29])  الشهرستاني، الملل والنحل، 1/32 – 33 .
([30])  سعد الدين التفتازاني، شرح العقائد النسفية، ص 17  .
([31]) وسنتحدث بالتفصيل عن مناهج المتكلمين في الفصل الأول، وذلك حينما نتحدث عن كل المذاهب العقائدية.
([32]) الإيجي، كتاب المواقف، ص 266، الموقف الخامس، طبعة عالم الكتب، بيروت، لبنان .
([33]) انظر: الباقلاني، الإنصاف، ص 27 – 28، طبعة عالم الكتب، 1407هـ، بيروت، لبنان، تحقيق: عماد الدين أحمد حيدر. الإسفراييني، التبصير في الدين، ص 153-154، طبعة عالم الكتب، 1403هـ، تحقي : كمال يوسف حوت.
([34])  انظر: ابن تيمية، درء تعارض العقل والنقل، 1/89، 176، 225، طبعة درا الكتب العلمية، 1405هـ . وكتاب آخر لابن تيمية، النبوات، ص 60 وما بعدها، طبعة دار الكتب العلمية، 1402هـ .
([35]) الغزالي، إحياء علوم الدين، 4/240-242.
([36]) راجع: د. كرم أمين أبو كرم، 1997، العبادة عند محي الدين بن عربي، دار الأمين، القاهرة .
([37]) انظر: ابن رشد، مناهج الأدلة، ص 150.
([38])  الشاطبي، الاعتصام، 2/130 .
([39]) ابن قيم الجوزية، الصواعق المرسلة، 3/998.
([40])  ابن قيم الجوزية، الصواعق المرسلة، 4/1207.
([41])  الغزالي، المنقذ من الضلال، ص 13.
([42])  البياضي، إشارات ، ص 22.
([43])  الإيجي، كتاب المواقف، ص 41.
([44])  الآمدي، غاية المرام، ص 3.
([45])  الجاحظ، الحيوان ، 4/206، مطبعة الحلبي، القاهرة، ط2/بدون تاريخ ، تحقيق : عبد السلام هارون.
([46]) الألوسي، تفسير روح المعاني، 2/33 .
([47])  أخرحه الهيثمي في مجمع الزوائد (1/81)، رواه الطبراني في الأوسط، وفيه وازع بن نافع وهو متروك.
([48])  انظر: البياضي، الإشارات، ص 20.
([49]) ابن أبي العز،/1997م، شرح العقيدة الطحاوي، 1/221، مؤسسة الرسالة، بيروت، تحقيق: د. عبد الله بن عبد المحسن التركي وشعيب الأرناؤوط.
([50])  انظر: ابن أبي العز، شرح العقيدة الطحاوية، 1/18. طبقات السبكي (1/297). السيوطي، صون المنطق والكلام، ص 147.
([51] ) الغزالي، إحياء علوم الدين، 1/95.
([52])  انظر: البيهي، 1391هـ، مناقب الشافعي، 1/462.
([53])  ابن تيمية، الاستقامة، 1/15.
([54])  انظر: ابن الجوزي، 1962م، مناقب الإمام أحمد بن حنبل، ص 70 – 156.
([55]) اللالكائي، شرح أصول اعتقاد أهل السنة، 1/145.
([56]) سيد قطب، ط7/1980م، خصائص التصور الإسلامي ومقوماته، ص 11- 13 باختصار، دار الشروق، مصر.
([57]) الغزالي،  قواعد العقائد، ص 99.
([58]) الشوكاني، أدب الطلب ومنتهى الأرب، مكتبة الساعي، الرياض، تحقيق : محمد عثمان الخشت، بدون تاريخ.
([59]) الشوكاني، التحف في مذاهب السلف، ص 10، ضمن الرسائل السلفية، دار الكتب العلمية، 1348هـ.
([60]) ابن تيمية، الفرقان بين الحق والباطل، ص 110، ضمن الرسائل، طبعة محمد علي صبيح ، القاهرة.
([61]) ابن تيمية، مجموع الفتاوى، 12/460 -461.
([62]) راجع: ابن تيمية، درء تعارض العقل والنقل، 1/44 -46. مجموع الفتاوى له، 10/366 – 367.
([63])  عن القائد في تصحيح العقائد، ص 74.
([64]الرازي، كتاب اعتقادات فرق المسلمين، ص 23.
([65]ابن تيمية، الفتوى الحموية الكبر ، ص 7.
([66]) ابن الجوزي، تلبيس أبليس،  ص 85.
([67]) الجويني، ط1/1398هـ، العقيدة النظامية، ص 32 – 33، مطبعة دار الشباب، مصر، تحقيق : أحمد حجازي.
([68]) ابن تيمية، ط1/1392هـ، بيان تلبيس الجهمية، 1/122، مطبعة الحكومة السعودية بمكة المكرمة، تحقيق : محمد بن عبد الرحمن بن قاسم .
([69]) الغزالي، إحياء علوم الدين، 1/97.
([70]) الغزالي، ط1/1381هـ، فيصل التفرقة بين الإسلام والزندقة، ص 90، مطبعة الحلبي.
([71]) ابن الجوزي، تلبيس إبليس، ص 84 -85. عبد الرحمن بن شهاب الحنبلي، ذيل طبقات الحنابلة، 3/152، دار المعرفة، بيروت – لبنان، بدون تاريخ .
([72]الشهرستاني، نهاية الإقدام في علم الكلام، ص  3 -  4.
([73]) ابن الوزير اليمني ، الروض الباسم ، 2/167.
([74]) لمزيد من التفصيل عن رأي الإمام القرطبي في دراسة علم الكلام، فراجع رسالتنا للماجستير بعنوان "مسائل الاعتقاد عند الإمام القرطبي"، مؤسسة العليا، القاهرة، 2006م.