Monday, April 2, 2012

Mengenal Syi'ah (2)




Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Definisi Imamiah Itsna Asyariyah
Seorang ulama syi'ah modern yang bernama Muhammad al-Husain al-Muzhaffar mendefinisikan syi'ah imamiyah itsna asyariyah sebagai: "orang-orang yang mengakui dua belas imam yang dimulai dari bapak Hasan (imam Ali) sampai kepada  keturunan Hasan"[1]. Teks ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa syi'ah imamiah memiliki karakteristik yang berupa pengakuan mengenai keimaman dua belas imam.
Syaikh Muhammad Jawwad Mughniah juga menegaskan bahwa: " itsna asyariyah merupakan  sebuah julukan yang diberikan kepada kelompok syi'ah imamiyah yang mengakui keberadaan dua belas imam yang ditentukan melalui nama-nama mereka"[2].
Sedangkan asy-Syahrastani dari kelompok asy'ariyah mendefiniskannya sebagai: "orang-orang yang mengakui imamah Ali r.a, setelah kematian Nabi saw melalui teks yang bersifat zahir dan pelantikan secara resmi, bukan dengan cara pemaparan secara sifat, tapi ditentukan secara individu".
Definisi asy-Syahrastani ini dikuatkan dengan pernyataan syaikh Abu Zuhrah yang berbunyi: "sesungguhnya faktor yang menyatukan mereka itu (imamiah) adalah apa yang ditunjukkan oleh penamaan dengan ungkapan imamiah. Mereka berpendapat bahwa para imam tidak ditentukan melalui sifat, sebagaimana yang dikatakan oleh imam Zaid bin Ali r.a, akan tetapi mereka (para imam) ditentukan secara individu. Maka imam Ali ditentukan oleh saw, dan kemudian imam Ali menentukan penerus setelahnya dengan berlandaskan wasiat dari Nabi saw, dan para individu yang ditentukan tersebut dijuluki sebagai para penerima pewasiat"[3].  
Sekte imamiah telah terpecah kepada dua kelompok besar, yaitu: Iitsna Asyariyah[4], dan isma'iliyah bathiniyah. Perpecahan ini terjadi setelah kematian imam Ja'far ash-Shadiq, yang disebabkan oleh perselisihan pengikutnya mengenai siapa yang berhak menyandang jawatan imamah setelah kematiannya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang berhak adalah Musa al-Kazhim yang telah ditentukan secara tekstual oleh imam Ja'far ash-Shadiq. Jadi imamah mesti diserahkan kepadanya meskipun umurnya lebih muda dibandingkan Isma'il yang merupakan abangnya. Penunjukkannya sebagai penyandang jawatan imamah disebabkan oleh dua alasan:

-          Pertama: Isma'il telah meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup.
-          Kedua: Ayah Isma’il yaitu Ja’far Shadiq sebelum meninggal, ia telah mencabut urutan wasiat imamah kepadanya, disebabkan oleh tuduhan bahwa Isma’il telah meminum khamar. Dan tuduhan ini telah membawa kepada penafian ketakwaannya, serta ketidak layakannya untuk memegang tampuk imamah. Oleh karena itu, Musa al-Kazhim (w 183 H) adalah imam yang ketujuh menurut pandangan pengikut kelompok ini yang kemudiannya diberikan julukan sebagai kelompok itsna asyariyah. Kelompok ini menyambungkan imamah setelah al-Kazhim kepada anaknya yang bernama Ali bin Musa (ar-Ridha) (w 203 H), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Muhammad bin Ali (al-Jawwad) (w 220 H), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Ali bin Muhammad (al-Hadi) (w 254 ), kemudian dilanjutkan oleh anaknya al-Hasan bin Ali (al-Askar w 260 H), dan kemudiannya dilanjutkan oleh anaknya Muhammad bin al-Hasan (al-Mahdi w 328 H).
     Jadi, kelompok itsna asyariyah sepakat terhadap urutan imamah yang dimulai dari Ali sampai kepada Ja'far ash-Shadiq. Dan urutan imamah setelah Ali adalah Hasan (az-Zaki), kemudian Husain bin Ali ( Sayyid asy-Syuhada), kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Ali bin al-Husain (Zain al-Abidin), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Muhammad bin Ali (al-Baqir), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Ja'far bin Muhammad (ash-Shadiq), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Musa bin Ja'far (al-Kazhim), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Ali bin Musa (ar-Ridha), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Muhammad bin Ali (al-Jawwad), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Ali bin Muhammad (al-Hadi), kemudian dilanjutkan oleh anaknya al-Hasan bin Ali (al-Askar), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Muhammad bin al-Hasan (al-Mahdi) yang telah ghaib pada tahun 255 H. Dan keghaibannya ini menjadi hujjah mereka bahwa akan datang masa kemunculan al-Muntazhar yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dunia dipenuhi dengan kezaliman dan ketidak adilan[5].   
     Jadi jumlah urutan imamah ini adalah sebanyak dua belas imam, tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karena itu, kelompok itsna asyariyah memiliki karakteristik sebagai suatu kelompok yang meletakkan jumlah imam yang pasti dan tidak berubah. Dan imamah mereka terhenti kepada imam yang kedua belas yang tengah ghaib (menghilang) yang bernama Muhammad bin al-Hasan al-Askar.
       Kelompok ini juga diberikan julukan al-Ja'fariyah, karena berbagai pandangan fiqh mereka bersandarkan kepada pendapat imam Ja'far ash-Shadiq. Menurut pendapat  Ibnu Taimiyah mereka juga diberikan julukan "ar-Rafidhah", disebabkan oleh penolakan mereka terhadap revolusi imam Zaid dan ajakannya untuk menentang wali Iraq pada masa itu yang bernama Yusuf  bin Umar ats-Tsaqafi. Sedangkan Abu Hasan Asy'ari berpendapat lain bahwa penyebab sebenarnya adalah akibat penolakan mereka terhahadap kepimpinan Abu Bakar dan Umar. Dan pengarang kitab "Bihar al-Anwar" memilih untuk menamakan kelompoknya dengan nama ar-Rafidhah. Dalam kitabnya ini (Bihar al-Anwar) dia paparkan empat hadits yang berisikan pujian terhadap penamaan ar-Rafidhah. Bagaimanapun juga, jika disebut kata syi'ah maka yang langsung terlintas di fikiran kita adalah kelompok syi'ah imamiah itsna asyariyah.
    Kelompok yang lain berpendapat bahwa Isma'il adalah yang berhak dan layak untuk memegang tampuk kepemimpinan setelah kematian ayahnya, karena dia adalah anak yang paling besar. Dan kelompok ini kemudiannya diberikan julukan Isma'iliyah bathiniah. Dan kami akan membincangkan mengenai kelompok ini pada pembahasan selanjutnya.
      Dengan demikian, kematian imam Ja'far ra meninggalkan kesan yang besar bagi perpecahan dan perseteruan syi'ah kepada dua kelompok utama, yaitu kelompok imamiah itsna asyariyah –yang merupakan pengikut Musa al-Kazhim-, dan kelompok isma'iliyah bathiniah –yang merupakan pengikut Isma'il-. Dan masing-masing kelompok ini mengklaim bahwa yang berhak mendapatkan jawatan imamah adalah imam-imam mereka.
Sekte-Sekte Dalam Tubuh Syi'ah Imamiah
     Dari kelompok imamiah itsna asyariyah ini lahir berbagai sekte dan aliran, di antaranya adalah: Ushuliyah, Akhbariyah, Syaikhiyah, Kasyfiyah, Kunyah, Karimakhaniyah, dan Qazlabasyiyah. Semua sekte ini bagian  dari kelompok Istna asyariyah, dan prinsip dasar sekte mereka diambil berdasarkan kitab-kitab itsna asyariyah[6]. Dan pada masa sekarang ini kelompok itsna asyariyah terbagi kepada tiga aliran pemikiran utama, yaitu:
- Pertama: al-Akhbariyah.
      Mereka ini adalah orang-orang yang menolak ijtihad. Dan mereka hanya mau mempraktikkan akhbar (hadits). Mereka berpendapat bahwa berbagai akhbar (hadits) yang terdapat dalam empat kitab hadits syi'ah yang terkenal (al-Kafi, at-Tahdzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdhuruh al-Faqih) memiliki sanad yang qath'i, atau memiliki sumber yang terpercaya. Oleh karena itu, sanadnya tidak perlu diteliti lagi. Dan mereka tidak mengakui pembagian hadits kepada shahih, hasan, mautsuq, dha'if, dan sebagainya. Karena mereka melihat bahwa semua hadits hukumnya sahih. Dan mereka mewajibkan untuk bersikap hati-hati ketika merasa ragu terhadap suatu pengharaman, meskipun tidak memiliki maklumat mengenainya secara umum. Dan mereka tidak mengakui dalil aqli (akal) dan dalil Ijma' yang merupakan sumber dalil yang disebutkan di dalam ushul fiqh, dan hanya mengakui dua sumber dalil saja, yaitu dalil al-Qur`an dan dalil hadits. Oleh karena itu, mereka dikenal dengan nama al-Akhbariyah, disebabkan oleh kebergantungan mereka terhadap akhbar (Hadits). Dan mereka berpendapat tidak ada gunanya mempelajari ilmu ushul fiqh, sebab ilmu itu tidak memiliki nilai-nilai kebenaran.
       Di antara ulama yang berasal dari kelompok ini adalah, Ibnu Babawaih pengarang kitab "Man La Yahdhuruh al-Faqih", al-Hurr al-Amili, pengarang kitab "Wasa`il asy-Syi'ah", al-Kasyani, pengarang kitab "al-Wafi", dan an-Nuri ath-Thabrisi, pengarang kitab "Mustadrak al-Wasa`il".
   Kelompok ini boleh dinamakan sebagai "Madrasah al-Hadits (aliran hadits)", dan boleh juga dinamakan sebagai "al-Harakah as-Salafiyah (gerakan salaf)".
   Kemunculan al-Akhabriyah ini dimulai pada permulaan abad kesebelas Hijriyah. Kelompok ini ditumbuhkan oleh syaikh Muhammad Amin al-Astrabadi (w 1033 H), pengarang kitab (al-Fawa`id al-Madaniyah). Dan kelompok ini berkembang dengan pesat pada penghujung abad ke dua belas Hijriyah. Al-Bahrani memberikan komentarnya mengenai pendiri kelompok ini: "dia adalah orang yang pertama membuka pintu kritikan terhadap para mujtahid, dan dia bagi kelompok ini kepada dua bagian, akhbari dan mujtahid"[7].
- Kedua: Ushuliyah.
Mereka ini adalah kelompok itsna asyariyah yang melaksanakan ijtihad. Dan aliran ini bisa juga dinamakan sebagai "madrasah ar-Ra`yi wat-Ta`wil". Di antara ulama aliran ini adalah ath-Thusi, pengarang kitab "al-Istibshar wat-Tahdzib", al-Murtadha yang dinisbahkan kepadanya (atau kepada saudaranya) kitab "Nahj al-Balaghah", syaikh al-Mufid, pengarang kitab "Awa`il al-Maqalat", dan yang lainnya. Dan kubu utama aliran ini terletak di an-Najef[8].  
- Ketiga: Asy-Syaikhiyah.
Kelompok ini didirikan oleh Ahmad bin Zainuddin al-Ahsa`i, pada permulaan abad ketiga belas Hijriyah. Pada masa sekarang ini pengikut kelompok ini tersebar di beberapa negara, di antaranya: Iraq, Kuwait, Ahsaa`, Bashrah, Karaman, dan suatu daerah di Iran yang bernama Tibriz. Kelompok ini terbagi kepada dua aliran, yaitu: ar-Rukniyah, dan al-Kasyfiyah. Dan kedua aliran ini masing-masing memiliki pandangan yang berbeda.
Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor penyebab perpecahan antara aliran ushuli dan akhbari adalah sebagai berikut:
1) Penolakan kelompok akhbari terhadap penggunaan qawa'id ushuliyah yang muncul pada permulaan abad ke-empat hijriyah, disiplin ilmu ini merupakan hasil usaha orang-orang yang hidup sezaman dengan syaikh al-Kulaini, dan ilmu ini menyebabkan ditinggalkannya pengamalan terhadap teks-teks syar'iyah>
2) Penolakan akhbari bahwa upaya para sahabat terdahulu sampai penghujung zaman syaikh ash-Shaduq adalah berdasarkan khabar (hadits) yang sampai kepada mereka melalui periwayatan orang-orang yang terpercaya. Dan mereka mengklaim bahwa pemunculan hukum-hukum selanjutnya adalah berdasarkan khabar (hadits) yang diriwayatkan dari para imam as.
3) Penolakan akhbari terhadap peran yang dimainkan oleh akal dalam memberikan kesimpulan terhadap hukum syari'ah. Dan klaim mereka bahwa penggunaan akal ini menyebabkan terbuangnya hukum syari'ah yang telah diamalkan oleh para ulama terdahulu.  
4) Mereka berpendapat bahwa melakukan suatu amal berdasarkan qawa'id ushuliyah adalah perbuatan bid'ah. Karena perbuatan ini muncul setelah masa ghaibnya imam yang kedua belas, dan karena para sahabat tidak mempergunakannya pada masa keberadaan para imam.
 Perbedaan antara kelompok akhbari dan ushuli dapat kita lihat pada permasalahan hukum merokok. Tidak ada teks al-Qur`an dan hadits mengenai hukum merokok, jadi sikap yang diambil oleh akhbari adalah sikap ikhthiyath (hati-hati), atau mengambil sikap selamat dalam perkara yang hukumnya samar-samar, jadi menurut pendapat kelompok ini merokok memiliki hukum haram yang bersifat samar, tidak jelas dan tidak pasti, jadi kita tidak dapat menetapkan hukum merokok itu apakah haram atau halal?. Sedangkan kelompok ushuli berpendapat bahwa setiap perkara yang tidak ada hukum pengharamannya maka pada asalnya adalah halal. Dasar penghalalannya adalah selama tidak ada nash  yang menyatakan mengenai pengharaman yang halal yang diungkapkan melalui dalil akal dan dalil naql. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi saw: "ada Sembilan perkara yang dimaafkan dari umatku,yaitu: salah, lupa, perkara yang dipaksa untuk melakukannya, perkara yang tidak mampu untuk dilakukan, perkara yang tidak diketahui, perkara yang terpaksa dilakukan, hasad, rasa pesimis, dan rasa curiga terhadap makhluk selama tidak diucapkan dengan lidahnya".
Yang menjadi dalil mereka dalam hadits ini adalah perkara yang tidak diketahui dan tidak sampai penjelasannya kepada manusia maka dianggap sebagai perkara yang tidak dapat dikenakan hukum. Dan semua perkara yang tidak ada nash bagi kehalalannya maka sikap agama dalam perkara ini adalah sikap tawaqquf (abstain). Bagi menguatkan pendapat ini mereka berpegang kepada nash hadits, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw: "perkara halal adalah jelas dan perkara haram adalah jelas, dan yang syubhat berada di antara kedua perkara ini".
Inilah point perselisihan utama di antara kedua golongan ini (akhbari dan ushuli). Dan ada juga berbagai perkara yang mereka perselisihkan berdasarkan point ini, seperti hujjah zahir kitab, dan bahwa pemahaman al-Qur`an didapati melalui orang yang ma'shum dan berdasarkan penjelasan orang yang ma'shum saja. Dan di antara berbagai perkara ini adalah berbagai propaganda yang berkaitan dengan cara pengamalan berbagai hadits yang datang dari mereka. Karena kelompok akhbari mengklaim bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab yang empat bersifat qath'i dari segi sumber periwayatannya dari para imam, selamat, dan tidak ada celanya. Dan mereka berusaha mati-matian untuk membuktikannya. Juga penolakan mereka terhadap pembagian-pembagian hadits yang mucul pada masa penghujung zaman sahabat, dan lebih tepatnya pada masa as-Sayyid ibn Thawus, dan al-'Allamah al-Hully. Ada juga perkara yang lain, seperti penetapan ijma' sebagai hujjah, dalil akal, dan ushul amali, serta yang sejenis dengannya, dan setiap kelompok mengajukan dalil akal dan naql untuk menguatkan klaim mereka.  Akan tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi perkembangan ilmu ushul dan peningkatannya kepada peringkat yang tinggi dan maju sampai saat ini, disebabkan oleh terbukanya pintu ijtihad dalam mazhab ini sepanjang masa dan tahun.
Dari uraian di atas jelas bahwa kelompok ushuli dianggap sebagai aliran mayoritas di antara syi'ah itsna asyariyah pada masa modern. Dan karakteristiknya yang paling menonjol adalah kebergantungannya kepada rujukan-rujukan ushul dalam berbagai permasalahan fikih. Sedangkan kelompok akhbari membatasi pengetahuan mereka dalam bidang hukum-hukum syari'ah berdasarkan hadits-hadits atau riwayat yang datang dari ahlul bait. Dan mereka sebenarnya tidak mengakui istidlal berdasarkan tiga sumber hukum yang lain, yaitu: al-Qur`an, ijma', dan akal. Mereka tidak merujuk langsung kepada al-Qur`an sebagai dalil dengan alasan bahwa al-Qur`an tidak ada yang dapat memahaminya selain para imam ahlul bait, oleh karena itu wajib untuk merujuk kepada hadits-hadits mereka. Mereka juga tidak mempergunakan ijma sebagai dalil, karena menurut mereka ijma adalah bid'ah yang diciptakan oleh ahlu sunnah. Dan mereka juga menolak kemampuan akal yang lurus untuk dijadikan hujjah atau dalil.
Patut disebutkan di sini bahwa perselisihan yang terjadi antara kelompok akhbari dan ushuli sampai ke tingkat pengkafiran di antara mereka, sehingga ada di antara mereka yang berfatwa haram shalat berimamkan orang yang memiliki aliran yang berbeda di antara kedua kelompok ini[9]. Dan ada di antara ulama kelompok akhbari yang tidak mau menyentuh kitab-kitab karangan kelompok ushuli dengan tangannya karena takut terkena najisnya, dan ketika hendak memegangnya maka mereka memegangnya dengan beralaskan kain[10]. Dan al-Astarbazi yang merupakan penganut akhbari telah mengkafirkan beberapa orang ushuli, dan menyifatkan mereka sebagai penghancur agama[11].  Dan al-Kasyani menilai salah seorang dari delapan ulama yang menjadi sumber ushuli sebagai orang kafir[12].            
As-Sayyid Muhammad Hasan Aal ath-Tahliqani menceritakan tentang perselisihan dan permusuhan yang terjadi antara kelompok akhbari dan ushuli, dia bercerita: "maka aku masuk bergaul ke dalam lingkup orang-orang yang berilmu di  kalangan mereka, dan bukan hanya sekedar orang-orang yang berilmu dan memiliki kedudukan yang tinggi saja, bahkan aku juga masuk bergaul ke dalam kelompok orang awam, dan aku saksikan penghinaan terhadap ilmu, dan menganggap remeh nilainya. Dan saking kuatnya sikap fanatik mereka maka mereka menyatakan bahwa tidak sah shalat yang dilakukan oleh al-Bahbani berimamkan orang Bahrani"[13].  Dia meneruskan ceritanya: "orang-orang akhbari bersikap melampau terhadap kelompok ushuli sampai ke tahap yang aneh. Sehingga kami mendengar cerita dari para syaikh dan guru kami serta orang-orang yang berilmu bahwa sebagian ulama mereka tidak mau menyentuh kitab karangan kelompok ushuli dengan tangannya, karena takut terkena najisnya. Dan mereka menyentuhnya dengan beralaskan kain"[14].
Di tempat yang lain, syaikh as-Sayyid ath-Thaliqani menceritakan lebih jauh  mengenai karakter perselisihan antara syiah imamiah akhbariah dan syi'ah imamiah ushuliah : "logat yang mereka pergunakan adalah keras, dan tata bahasa yang mereka pergunakan adalah tajam. Dan kelompok akhbari pada saat itu dipimpin oleh Mirza Muhammad an-Naisyaburi yang dikenal sebagai pengikut kelompok akhbari. Dan kelompok ushuli dipimpin oleh syaikh Ja'far Kasyif al-Ghitha an-Najafi"[15].
Hal ini menyebabkan berkobarnya api pertikaman lidah di antara dua kelompok ini. Maka kelompok akhbari mempergunakan metode syi'ah yang asli. Dan kelompok akhbari telah mencapai puncak sikap ekstrimis, yang menyebabkan jurang perpecahan semakin lebar. Mereka juga telah menanggalkan etika, sikap malu, dan rasa hormat ketika tengah melontarkan kritikan dan jawaban terhadap ulama ushuli. Mereka juga menyerang para ulama dan pembesar ushuli dengan kata-kata cacian, makian, dan hinaan"[16].            
Yusuf al-Bahrani pengarang kitab"al-Hada`iq" berusaha mempersempit jurang perselisihan yang menyebabkan terbongkarnya berbagai skandal dan moral kelompok syi'ah yang selama ini senantiasa tersembunyi. Dia berpendapat: "sesungguhnya yang dapat kami simpulkan setelah meneliti perkara ini dan memperhatikan secara serius berbagai ucapan ulama kita adalah kita tidak perdulikan bab ini, kita tutupinya, dan kita lupakannya. Meskipun hal ini telah dibuka oleh beberapa kaum yang menyebabkan terbuka dengan luasnya ruang pengingkaran dan pengkhianatan, sedangkan hasil yang paling jelas didapatkan adalah celaan dan hinaan terhadap ulama kedua belah pihak, yang bahkan dapat membawa kepada celaan terhadap agama –yang dia maksudkan adalah agama syi'ah-, terutama dari para musuh ketat"[17].
Namun api pertikaian ini padam dalam suatu masa, akibat munculnya kelompok yang merupakan musuh semua golongan syi'ah imamiah, kelompok ini berasal dari syi'ah imamiah akan tetapi dia mempunyai pemikiran yang lain, yaitu pemikiran syaikhi. Mereka ini adalah para pengikut Ahmad bin Zainuddin al-Ahsa`i[18].  Dan gerakan ini dinisbahkan kepada syaikh karena dia mendirikan aliran khusus dalam hikmah dan filsafat yang sejalan dengan hikmah dan filsafat ahlul bait, serta penolakannya terhadap banyak pemikiran yang diadopsi dari para filsafat yunani dan romawi, sedangkan pada hakikatnya mereka adalah pengikut aliran ushuli dalam fiqh. Aliran ini dimunculkan oleh pendirinya pada penghujung pertengahan kedua abad ketiga hijriyah.  Dan pemikiran aliran ini tersebar di banyak wilayah syi'ah, karena pemikiran kelompok ini dekat dengan sumber utama syi'ah imamiah, yaitu ucapan dan tindakan para imam ahlul bait.
Asy-Syaikhiyah mengalami perpecahan kepada dua kelompok baru setelah masa syaikh Ahmad bin Zainuddin al-Ahsa`i, yaitu ar-Rukniyah yang berada di bawah kepemimpinan al-Hajj Muhammad Karim Khan al-Karamani dan al-Kasyfiyah. Dan pada masa abad kesembilan belas hijriyah banyak pengikut asy-Syaikhiyah yang beralih kepada kepercayaan Baha`iyah, hal ini disebabkan oleh penghargaan tinggi yang diberikan oleh kepercayaan Baha`iyah terhadap Syaikh al-Ahsa`i. dan kepercayaan asy-Syaikhiyah sekarang ini terdapat di beberapa Negara teluk[19]. Dengan dibentuknya kelompok syaikhi maka masing-masing kelompok ushuli dan akhbari  mendapati bahwa bahwa al-Ahsa`i telah keluar sebagai seorang pengkhianat[20].
Syaikh Hamid Mubarak berpendapat[21]bahwa aliran ushuli dan akhbari pada masa ini tidak lagi menimbulkan rasa sensitive pada kehidupan keseharian.  Dan para ulama yang hidup pada masanya telah menyaksikan pada masa kecil mereka penghujung rasa sensitifitas ini yang mengiringi kedatangan as-Sayyid Alawi al-Gharifi dari Najef, yang membawa arah ushul yang baru pada Negara Bahrain. Revolusi Iran telah menghapuskan rasa sensitifitas ini setelah revolusi ini mengalami kemenangan, dan kemenangan reformasi sosial agama yang menjadi symbol revolusi Iran ini.
Bagaimanapun juga, sesungguhnya syi'ah imamiah adalah salah satu kelompok syi'ah yang memiliki beberapa nama. Jika mereka disebut dengan nama itsna asyariyah adalah karena disebabkan oleh akidah mereka yang meyakini imamah dua belas imam. Dan jika mereka disebut sebagai imamiah karena disebabkan oleh pendirian mereka yang menjadikan imamah sebagai rukun islam yang kelima. Dan jika mereka disebut dengan nama Ja'fariyah, disebabkan oleh nasab mereka kepada imam Ja'far ash-Shadiq yang merupakan imam mereka yang keenam.
Syi'ah imamiah itsna asyariyah sekarang ini mewakili kelompok mayoritas syi'ah di antara kelompok syi'ah yang utama di dunia ini -seperti syi'ah zaidiyah dan isma'iliah bathiniah. Dan sekarang ini mereka berpusat di Negara Iran, bahkan hampir keseluruhan penduduk Iran, setengah penduduk Iraq, puluhan ribu penduduk Lebanon, serta beberapa juta penduduk India, serta beberapa Negara islam lainnya.        
Prinsip dasar imamiah itsna asyariah
Ada lima prinsip dasar  akidah imamiah itsna syariah, yaitu: tauhid, nubuwah, imamah, keadilan, dan hari kiamat. Selain dari lima prinsip dasar akidah ini,  terdapat juga ideologi tambahan yang boleh juga kita sebut sebagai "dasar mazhab imamiah". Di antara akidah ini adalah: sifat ma'shum, al-Mahdi, Raj’ah, taqiyah, Badaa. Dan kebanyakan prinsip dasar ini terhasil dari terpengaruhnya syi'ah dengan agama-agama selain islam, seperti yahudi, Kristen, dan majusi. Pengaruh-pengaruh ini datang sebagai hasil dari benih yang ditanam oleh beberapa orang yahudi dan para penganut agama lain yang berpura-pura memeluk islam, agar mereka dapat memasukkan berbagai pemikiran yang beracun dan aneh ke dalam akidah islam. Maka seakan-akan dukungan untuk ‘Ali  (tasyayyu') dan ahlul bait hanyalah sekedar tirai untuk mencapai tujuan mereka[22]
  Di samping itu, pengaruh ini merupakan hasil polemik pemikiran yang terjadi antara kaum muslim dengan penganut agama yang lain. DR.Yahya Hashim Farghal menyebutkan bahwa aktifitas Kristen telah dimulai semenjak masa Rasulullah saw. Pendapatnya ini dirujuk kepada dialog yang terjadi antara an-Najasyi dan utusan dari Mekkah, serta dialog antara Rasulullah saw dengan utusan dari Najran[23].
     Ibnu Hazam menyatakan bahwa hakikat kaum yahudi adalah orang-orang yang telah merusak agama Kristen, yaitu manakala Paulus memeluk agama Kristen dan menyatakan ketuhanan al-Masih.  Ibnu Hazam berkata: "ini adalah perkara yang tidak dapat kita nafikan dari mereka. Karena mereka telah melakukan hal itu pada kita dan pada agama kita. Setelah mereka dapat mencapai tujuan mereka, yaitu semenjak Abdullah bin Saba masuk atau menyusup dalam agama Islam yang merupakan seorang yahudi –La’natullah ‘Alaihim- yang bertujuan untuk menyesatkan sebanyak mungkin orang islam. Maka dia profokasi sekelompok orang keji yang  merasa loyal terhadap Ali untuk menyatakan ketuhanan Ali, sebagaimana jalan yang ditempuh oleh Paulus Kristen terhadap pengikut al-Masih as untuk menyatakan ketuhanannya. Mereka itu adalah kelompok bathiniah (aliran kebatinan) sampai sekarang ini"[24]
      Pengaruh yang terbesar ini adalah pemikiran mengenai wasiat dalam masalah imamah, raj'ah, kemunculan al-Mahdi, dan reinkernasi [25]. Dan DR.Abdurrahman Badawi menyatakan bahwa  kelompok al-Kaisaniyah (syi’ah ekstrimis) adalah kelompok islam yang paling pertama menyatakan teori kemunculan al-Mahdi[26].
            Ignaz Goldziher[27] juga menyatakan bahwa dasar pemikiran mengenai kemunculan al-Mahdi yang menyebabkan timbulnya teori imamah, dan  yang karakteristiknya nampak jelas dalam keyakinan mengenai raj'ah bersumber dari  pengaruh keyakinan yahudi dan Kristen[28].
      Namun DR.Muhammad Iqbal memiliki pendapat yang berbeda, dia mengembalikan asal pemikiran al-Mahdi kepada pengaruh pemikiran Majusi[29]. Patut disebutkan di sini bahwa kaum muslim menamakan berbagai agama yang disembah oleh kaum farsi di bawah nama majusi, meskipun mereka dapat merasakan berbagai perbedaan yang terjadi di antara berbagai agama tersebut[30].
    Di antara berbagai aliran majusi yang memiliki pengaruh langsung terhadap syi'ah ekstrimis adalah, Zoroastrianism[31] Manichaeism[32] Mazdak[33].
      Syaikh Muhammad Abu Zuhrah mengungkapkan bahwa syi'ah telah terpengaruh dengan  pemikiran kaum farsi mengenai raj’ah dan pewaris. Dan persamaan di antara mazhab syi'ah dengan system diraja kaum farsi nampak jelas. Dalil yang dia berikan bagi pernyataannya ini adalah golongan farsi merupakan pemeluk syi'ah, dan asal golongan syi'ah pertama berasal dari kaum farsi[34].  Oleh karena itu, berbagai pandangan syi'ah sesuai dengan orang-orang Iran[35]
      Pembicaraan secara terperinci mengenai prinsip dasar mazhab imamiah (sifat ma'shum, al-Mahdi, raj'ah, taqiyah, dan bada`) adalah sebagai berikut.
Pertama: sifat ma'shum.
      Ahlu Sunah dan Syi'ah sepakat meyakini bahwa segenap para Nabi tidak mungkin melakukan kedurhakaan kepada Allah Swt. Para Nabi akan terus berbuat taat dan tidak akan melanggar perintah Tuhannya. Inilah yang dikenal dengan istilah "'Ishmah atau Ma'shum", ia merupakan anugerah Ilahi "Luthf" yang Allah berikan kepada seorang hamba pilihan, dengan anugerah tersebut ia tercegah dari perbuatan dosa dan kesalahan, baik dosa yang disengaja ataupun lupa. Tujuan utama Ishamah adalah penjagaan menyeluruh dari Allah Swt, sebab kedurhakaan justru akan merusak citra dan kesucian para Nabi yang sengaja diutus untuk segenap umat. Apa jadinya bila Nabi durhaka sedangkan dirinya diperintah untuk menyampaikan ketaatan dan kebaikan? Dan apa jadinya bila mereka berdusta sedangkan dirinya diperintah untuk menyampaikan hakikat dan kebenaran? Dengan demikian tentu perkara-perkara negative tidak mungkin Nabi melakukannya (imposible). Namun syi'ah lebih jauh lagi, mereka yakini bahwa sifat ma'shum ini bukan hanya terbatas bagi Nabi melainkan para imam-imam syi'ah pun ikut memiliki sifat tersebut, sehingga antara Syi'ah dan Ahlu Sunnah bercanggah dari hal kema'shuman ini, dan akan dirincikan perdebatan mereka dalam pembahasan tersendiri tentang kema'shuman imam-imam syi'ah.
Kedua: al-Mahdi dan keghaiban[36].
 Sesungguhnya ide keimanan terhadap imam yang tersembunyi atau ghaib ada pada mayoritas kelompok syi'ah. Mereka meyakini kepimpinannya (imamahnya) kekal setelah ketiadaannya karena dia sebenarnya tidak mati, akan tetapi dia bersembunyi dari manusia, dan kemudian dia akan muncul di masa depan sebagai imam al-Mahdi al-Muntazar. Keyakinan kelompok-kelompok ini pada masalah ini tidak berbeda, kecuali pada masalah penentuan imam yang ditakdirkan untuk kembali, sebagaimana halnya perselisihan mereka mengenai penentuan orang yang berhak menjadi imam.
 Di antara kelompok syi'ah yang paling masyhur memiliki keyakinan ini adalah syi’ah Imamiah itsna asyariyah[37], yang berpendapat bahwa Muhammad bin al-Hasan al-Askari menghilang, dan akan kembali sebagai imam al-Mahdi[38]. Sedangkan kelompok islam yang lain mengingkari keyakinan dan pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin al-Hasan, dan bahwa dia menghilang. Pengingkaran ini bukan dari segi kemunculan al-Mahdi pada akhir zaman, karena ini adalah perkara yang diyakini oleh mayoritas kaum muslimin, akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa dia telah dilahirkan dan kemudian menghilang. Jadi permasalahan ini adalah sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Dan meneliti kebenaran serta menghapuskan kebatilan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang yang memiliki pandangan yang objektif yang berdasarkan dalil syar'i, tanpa mengikuti hawa nafsu, jiwa fanatik, dan taklid.    
Keyakinan mengenai menghilangnya al-Mahdi untuk kemudian muncul di akhir zaman adalah hasil adopsi dari keyakinan orang majusi. Mayoritas penganut syi'ah adalah berasal dari farsi, dan agama orang farsi adalah majusi, dan majusi mengklaim bahwa mereka memiliki seorang yang ditunggu-tunggu, yang terus hidup, yang merupakan anak Besytasif bin Yahrasif, namanya adalah Absyawutsin. Dan sekarang ini dia berada dalam sebuah penjagaan yang kuat dari Kharasan dan Cina[39]. Dan seperti inilah inti kepercayaan syi'ah imamiah itsna asyariyah.
Syi'ah imamiah memiliki keyakinan bahwa berita gembira mengenai kemunculan al-Mahdi yang merupakan keturunan Fathimah pada akhir zaman untuk memenuhi dunia dengan kebajikan dan keadilan setelah dunia dipenuhi dengan kezaliman dan ketidak adilan berasal dari Nabi saw, dan bukanlah ide baru yang diciptakan oleh syi'ah[40].  
Pada hakikatnya, hikayat al-Mahdi al-Muntazhar kebanyakannya berasal dari teori filsafat dalam akidah syi'ah, atau legenda yang diceritakan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Bahkan dia adalah teori alternative yang dipergunakan oleh para penganut syi'ah pada masa yang pertama akibat kegagalan teori mereka yang mengatakan bahwa: "suatu umat tidak pernah terlepas dari kewujudan seorang imam pada masa tersebut".
Dalam riwayat al-Kulaini (w329H) dengan sanad dari Abu ja'far as dipaparkan, "jika seorang imam diangkat dari bumi dalam satu jam, maka pengikutnya akan bergoncang sebagaimana laut menggoncangkan mahluk yang hidup di dalamnya"[41].  
Hal ini juga ditegaskan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar yang berkata: "oleh karena itu, suatu masa tidak terlepas dari seorang imam yang harus ditaati yang ditunjuk langsung oleh Allah swt untuk dijadikan pemimpin (imam). Sama halnya manusia disekelilingnya menerima atau tidak menerimanya. Sama ada mereka mendukungnya ataupun tidak mendukungnya, mentaatinya ataupun tidak mentaatinya. Sama ada dia hadir ataupun ghaib dari penglihatan dan pandangan mata manusia"[42].
Syi'ah isma'iliyah bathiniah juga memiliki pandangan yang seperti ini, sebagaimana yang diungkapkan melalui lisan ad-Da'i Ahmad an-Naisaburi al-Bathini, yang menceritakan kepada kita mengenai darurat keberadaan seorang imam dalam setiap masa dan tempat. Dia berkata: "sesungguhnya keberadaan seorang imam adalah suatu perkara darurat yang harus terjadi. Dan sesungguhnya semua syari'at dan hukum bergantung kepadanya. Jadi dia terus senantiasa ada dalam setiap waktu dan masa. Mentaati mereka merupakan suatu kewajiban bagi manusia, kepemimpinan mereka mesti dilaksanakan, dan hukuman yang mereka terapkan ada dan berbilang dalam semua masa dan tempat, untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kerusakan"[43].
Hal ini juga disinyalir oleh al-Wazir Ya`qub bin Kullais al-Bathini (w380H): "sesungguhnya imamah tidak terputus dari dunia walaupun hanya dalam sekelip mata, karena dia adalah hujjah bagi manusia"[44].  
Sedangkan ad-Da'i Abu Ya'qub as-Sajastani al-Bathini (w353H) berkata mengenai tugas seorang imam: "kewajiban keberadaan imam pada semua masa adalah untuk memberikan hidayah kepada manusia dan menjaga agama"[45].
Syi'ah isma'iliyah bathiniah memberikan dalil bagi pendapat mereka bahwa bumi tidak terlepas dari keberadaan seorang imam ma'shum dengan al-Qur`an al-Karim dan hadits Nabi saw. Dalil dari al-Qur`an adalah firmannya Allah swt:
(يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُوْلَـئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتَابَهُمْ وَلاَ يُظْلَمُونَ فَتِيلاً) الإسراء: 71
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS. Al-Israa’ :71)
Dan firman-Nya:
(وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ) الأنبياء: 73
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikanshalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah” (QS. Al-Anbiyaa: 73)
 Juga firman-Nya:
(إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ) الرعد: 7  
"Sesunguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk".   (QS. ar-Ra'd:7). Maka Allah swt menjelaskan bahwa bagi setiap manusia pada setiap masa ada seorang imam yang memberikan hidayah kepadanya ke jalan agama-Nya dan jalan yang lurus dengan perintah Allah. Jadi wajib ada seorang imam bagi manusia pada semua masa dan tempat, yang memberikan petunjuk kepada manusia, baik secara zahir ataupun secara tersembunyi[46].
Sedangkan dalil dari hadits Nabi saw adalah hadits Rasulullah saw yang berbunyi:
(مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)
 "barang siapa yang mati dan tidak mengenal imam pada masanya maka dia mati dalam keadaan jahiliyah"[47]. Hadits ini -menurut klaim mereka- memberikan pengertian bahwa manusia sangat memerlukan keberadaan seorang imam dalam semua masa dan tempat[48].
Sebagaimana mereka memberikan dalil dari al-Qur`an dan hadits Nabi saw, mereka juga memberikan dalil bagi kewajiban imamah dengan berbagai dalil yang berlandaskan logika. Mereka berkata: "sesungguhnya tabiat manusia berbeda, dan hawa nafsu mereka berlainan, sedangkan berbagai peristiwa yang terjadi tidak diketahui dan tidak terbatas, dan tabiat manusia adalah suka mengulur-ngulur dan menyerang, serta menyukai kemenangan dan mengalahkan orang lain, oleh karena itu, dari segi kebijaksanaan mesti ada seorang hakim di antara manusia yang memberikan hukum kepada mereka dalam berbagai peristiwa, sehingga mereka tidak bisa menghindar dari hukumnya, serta tidak melarikan diri dari keputusannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw pada masa hidupnya. Maka Allah swt memberitahukan hal ini dengan firman-Nya: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS. an-Nisaa`: 65). Dan yang dimaksud dengan hakim dalam ayat ini adalah imam. Jadi kesimpulannya, imamah adalah wajib[49].
Namun, syi’ah imamiah dan syi’ah isma'iliyah berselisih pendapat mengenai factor yang menyebabkan mereka memiliki pendapat seperti ini. Syaikh Ja'far Subhani seorang ulama imamiah modern menjelaskan perbedaan di antara mereka dengan ucapannya: "aku berkata: sesungguhnya apa yang dikatakan oleh –syi’ah Isma’iliyah bathiniah- bahwa bumi tidak terlepas dari hujjah Allah yang haq, akan tetapi penyebabnya bukan pada apa yang dikatakan dalam ucapannya mengenai melaksanakan hudud, menjaga ritual, dan mencegah kerusakan; maka sesungguhnya dia melaksanakan juga semua segi wilayah (kekuasaan). Dan dalilnya adalah, seorang manusia yang sempurna adalah tujuan utama dalam penciptaan, dan demi kewujudan manusia yang sempurna tersebut mesti ada kekekalan alam dengan izin Allah swt dan pengakhiran alam demi mencapai tujuan"[50].
Penting untuk kita ketahui, bahwa banyak kelompok yang mengklaim kewujudan al-Mahdi dalam kelompok mereka sepanjang sejarah klasik dan modern. Dan klaim kewujudan al-Mahdi ini mendapatkan respon yang baik di dalam kalangan pengikut mereka, yang biasanya mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah di antara masing-masing kelompok yang mengklaim bahwa al-Mahdi wujud pada kelompok mereka. Di antara gerakan kemunculan al-Mahdi adalah:
-Mahdi al-Jarudiyah. Kelompok ini memiliki keyakinan bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin Abdullah "an-Nafs az-Zakiyah", yang terbunuh pada tahun 45H.
- Mahdi al-Isma'iliyah. Yang memiliki keyakinan bahwa al-Mahdi adalah Isma'il bin al-Imam ash-Shadiq.
- Mahdi al-Qaramithah. Yang memiliki keyakinan bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin Isma'il, dan dia terus hidup di Negara Romawi (Itali).
- Mahdi al-Khawarij. Mahdi al-Khawarij ini hanya diyakini oleh satu kelompok, yaitu al-Yazidiyah yang telah menglami kepupusan.
- Mahdi al-Qahthaniyah. Merupakan suatu kelompok yang berada di Yaman.
-Mahdi al-Maghrib. Namanya adalah at-Tuwizriy, yang muncul pada abad kedelapan. Dan dia mati dalam keadaan terbunuh.
- Mahdi al-Maghrib ats-Tsani. Yang muncul pada penghujung abad kedelapan. Dia menyerang dan membakar kota Marrakesh, maka dia mati dalam keadaan terbunuh.
Ketiga: raj'ah.
Ini adalah akidah yang menyebar dan menyusuf masuk kepada syi'ah imamiah itsna asyariyah melalui beberapa agama kaum farsi, seperti az-Zaradasytiyah. Akidah raj'ah dianggap sebagai salah satu prinsip syi'ah, bahkan termasuk salah satu akidah mereka yang paling terkenal, yang dijelaskan oleh para ulama mereka dalam kitab klasik dan modern, yang berjumlah lebih dari lima puluh karangan[51].
Akidah raj'ah dalam keyakinan imamiah itsna asyariyah berkaitan dengan imam al-Mahdi al-Muntazhar[52].    
Pengertian raj'ah secara lingustik adalah: kembali kepada kehidupan dunia setelah kematian. Maksudnya, kembalinya manusia ke dunia setelah kematian mereka. Al-Jawhari dan  al-Fairuzaabadi berkata: si Fulan mempercayai raj'ah, artinya kembali ke dunia setelah kematian[53].
Pengertian raj'ah menurut syi'ah sama dengan pengertian linguistik. Yaitu, bahwa Allah ta'ala mengembalikan suatu kaum dari kematian ke dunia sebelum terjadi hari kiamat, dalam bentuk asal mereka. Maka Dia muliakan suatu kaum, dan Dia hinakan suatu kaum. Dan Dia menangkan kebenaran di atas kebatilan, orang yang dizalimi atas orang yang zalim. Hal ini terjadi manakala muncul al-Mahdi keturunan Muhammad saw yang memenuhi dunia dengan kebajikan dan keadilan, setelah dunia dipenuhi dengan kezaliman dan ketidak adilan. Maka raj'ah dianggap sebagai fenomena yang menampakkan keadilan ilahi dengan cara menghukum para penjahat di atas bumi yang telah mereka penuhi dengan kezaliman dan peperangan. Dan hanya orang yang tinggi derajat keimanannya yang akan kembali. Atau orang yang mencapai tingkat kerusakan yang paling tinggi. Kemudian setelah itu mereka dikembalikan kepada kematian. Dan seterusnya kepada fase kebangkitan dari kubur, untuk diberikan ganjaran atas pahala mereka, atau diberikan hukuman atas dosa mereka.
Dalam al-Qur`an al-Karim Allah menceritakan mengenai angan-angan orang-orang yang kembali -yang tidak layak untuk kembali dan mereka menerima kemurkaan Allah- agar mereka dikeluarkan kali ketiga dengan harapan mereka mereka dapat memperbaiki diri mereka, maka Allah berfirman:
(قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِّن سَبِيلٍ) غافر: 11
"Mereka menjawab:"Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)". (QS.Ghaafir:11). Syaikh al-Muzhaffar menjelaskan bahwa pendapat yang diambil oleh imamiah berdasarkan riwayat dari ahlul bait bahwa Allah ta'ala mengembalikan suatu kaum dari kematian kepada kehidupan dunia dalam bentuk asal mereka. Maka Dia muliakan suatu kaum dan Dia hinakan kaum yang lain. Dan Dia menangkan orang-orang yang benar dari orang-orang yang batil, dan orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzalimi. Hal ini terjadi manakala al-Mahdi as muncul. Dan yang kembali kepada kehidupan dunia hanyalah orang yang tinggi derajat keimanannya, atau orang yang sangat rusak. Kemudian setelah itu mereka kembali kepada kematian. Dan setelah itu, mereka menjalani fase kebangkitan kebangkitan (an-Nusyur) untuk menerima ganjaran atas pahala mereka, dan menerima balasan atas perbuatan dosa mereka. Allah swt dalam al-Qur`an al-Karim juga menceritakan angan-angan orang yang kembali kepada kehidupan tersebut yang tidak berbuat baik pada masa mereka kembali agar mereka dikembalikan untuk kali yang ketiga dengan harapan mereka dapat berbuat baik pada masa tersebut. Allah taala berfirman:
(قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِّن سَبِيلٍ) غافر: 11
"Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami.Maka adakah suatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)". (QS. Ghaafir:11). Benar, al-Qur`an telah menceritakan mengenai peristiwa kembali ke dunia, dan banyak khabar yang diriwayatkan dari para imam mengenai peristiwa ini. Semua pengikut imamiah –kecuali hanya sebagian kecil dari mereka- yang menta`wilkan raj'ah sebagai kembalinya kekuasaan negara serta amar ma'ruf dan nahi munkar kepada ahlul bait dengan kemunculan imam al-Mahdi al-Muntazhar, tanpa mengembalikan orang-orang tertentu dan menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati[54].
Imamiah itsna asyariyah berpendapat bahwa akidah raj'ah merupakan suatu fenomena keimanan terhadap kekuasaan ilahi. Telah diriwayatkan bahwa Ibnu al-Kawwa` al-Khariji bertanya kepada Amirul Mukminin mengenai perkara raj'ah –dalam satu hadits yang panjang- yang pada penghujungnya adalah: "jangan engkau merasa ragu wahai Ibnu al-Kawwa` mengenai takdir Allah Azza wa Jalla"[55].
Abu ash-Shabah al-Imam al-Baqir ditanya mengenai perkara raj'ah, maka dia menjawab: "itu adalah takdir, dan tidak ada orang yang mengingkarinya kecuali kelompok qadariyah. Itu adalah kudrat maka jangan sampai kamu ingkari takdir tersebut"[56]. Dan jawaban yang diberikan oleh Abdurrahman al-Qashir terhadap pertanyaan mengenai raj'ah adalah seperti jawaban di atas ini[57].
Ada juga dalil-dalil lain yang dipaparkan oleh imamiah itsna asyariyah mengenai raj'ah, seperti firman-Nya swt:
(وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ بَلَى وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً وَلـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ لِيُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي يَخْتَلِفُونَ فِيهِ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ كَفَرُواْ أَنَّهُمْ كَانُواْ كَاذِبِينَ)  النحل: 38-39
"Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:"Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati".(Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. agar Allah menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan agar orang-orang kafir itu mengetahui bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berdusta". (QS. an-Nahl: 38-39).
Syaikh ash-Shaduq, al-Kulaini, Ali bin Ibrahim, dan al-Ayyasyi meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan raj'ah[58]. Dan tidak dapat disembunyikan bahwa mereka tidak mempercayai mengenai perkara kebangkitan, karena mereka bukan bersumpah atas nama Allah, tetapi mereka bersumpah atas nama Lata dan Uzza. Dan sesungguhnya penjelasan terjadi di dunia bukan di akhirat[59].     
Juga firman-Nya swt:
(كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ) البقرة: 28
"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu di kembalikan". (QS. al-Baqarah: 28).
Komentar Ibnu Syahr`aasyub mengenai ayat ini adalah: "ayat ini menunjukkan bahwa di antara raj'ah akhirat dan kematian diselingi dengan kehidupan yang lain. Dan hal ini tidak diingkari karena telah terjadi pada masa yang pertama. Yaitu dalam firman-Nya taala pada kisah bani Israel:
(أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللّهُ مُوتُواْ ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ)  البقرة: 243
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka:"Marilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur". (QS. al-Baqarah: 243).
Juga firman-Nya dalam kisah Uzair dan Armiya:
(أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىَ يُحْيِـي هَـَذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْماً أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ وَانظُرْ إِلَى العِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْماً فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)  البقرة: 259
 "Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata:"Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya:"Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?". Ia menjawab:"Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman:"Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunnya kembali, kemudian Kami mentupnya kembali dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata:"Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. al-Baqarah:259).
Juga firman-Nya dalam kisah Ibrahim:
(وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِـي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن قَالَ بَلَى وَلَـكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءاً ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْياً وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ)  البقرة: 260
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata:"Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati," Allah berfirman:"Apakah kamu belum percaya" Ibrahim menjawab:"Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". Allah berfirman:"(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. al-Baqarah: 260).
Syaikh al-Hurr al-Amili mengomentari ayat-ayat di atas bahwa: "sisi dalil ayat-ayat ini adalah Dia menetapkan bahwa ada dua kali kehidupan. Kemudian setelah itu Dia berfirman: " kemudian kepada-Nya-lah kamu di kembalikan ", yang Dia maksudkan sudah pasti adalah kiamat. Dan huruf athaf –khususnya dengan kata tsamma-adalah jelas menunjukkan mengenai perubahan, maka kehidupan yang kali kedua  berbentuk raj'ah ataupun sebaliknya. Secara globalnya, ayat-ayat ini menunjukkan mengenai terjadinya peristiwa penghidupan kembali sebelum terjadinya hari kiamat[60].
Kelompok Imamiah bertegas untuk menjelaskan perbedaan antara raj'ah dan reinkernasi. Menurut mereka raj'ah adalah sejenis kebangkitan semula secara fisik, yang bermakna kembalinya ruh ke dalam fisiknya yang pertama, sedangkan reinkernasi adalah kembalinya ruh ke fisik yang lain, sebagaimana yang dikenal di dalam idea reinkernasi. Dari sini, perkara raj'ah dianggap sebagai dalil akan terjadinya kebangkitan secara fisik, dan pengingkarannya dianggap sebagai pengingkaran bagi prinsip kebangkitan secara fisik. Hal ini dinyatakan oleh syaikh al-Muzhaffar: "sesungguhnya orang yang mengkeritik perkara raj'ah dan menganggapnya sebagai reikernasi yang batil, sebenarnya tidak bisa membedakan antara makna reinkernasi dan kembali secara fisik. Raj'ah adalah sejenis kembali secara fisik. Sesungguhnya makna reinkernasi adalah perpindahan jiwa dari satu badan ke badan yang lain, yang tidak berkaitan dengan badan yang pertama. Dan makna kembali secara fisik tidak seperti ini. Maknanya adalah, kembalinya badan yang pertama peserta segenap kepribadiannya, dan inilah yang dinamakan raj'ah. Jika raj'ah adalah reinkernasi, maka penghidupan kembali orang-orang yang mati melalui tangan Nabi Isa as adalah reinkernasi. Dan jika raj'ah adalah reinkernasi, maka kebangkitan semula manusia dan penghidupan kembali manusia secara fisik adalah reinkernasi[61].
Di tempat yang lain, Aal Kasyif memberikan isyarat bahwa raj'ah tidak dianggap sebagai salah satu prinsip dasar agama. Hal ini tercermin dalam perkataannya: "kepercayaan terhadap raj'ah dalam mazhab syi'ah bukanlah sesuatu yang wajib, dan pengingkarannya bukanlah suatu yang buruk. Meskipun perkara ini adalah suatu yang darurat bagi mereka, akan tetapi loyalitas terhadap syi'ah tidak bergantung kepadanya. Dan raj'ah ini hanyalah seperti berita ghaib yang lainnya, dan peristiwa di masa datang, dan syarat untuk terjadinya hari kiamat, seperti turunnya Isa as dari langit, dan kemunculan Dajjal"[62].   
Akan tetapi pernyataannya ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh para imam itsna asyariyah yang lainnya. Seperti yang dikatakan: "imamiah telah bersepakat atas kewajiban kembalinya banyak orang mati kepada kehidupan dunia sebelum hari kiamat, meskipun ada perselisihan pendapat di antara mengenai makna raj'ah"[63]. Dan al-Murtadha berkata: "jika telah ditetapkan terjadinya raj'ah dan masuknya dia ke dalam perkara yang telah ditakdirkan, maka jalan untuk membuktikannya adalah ijma' imamiah mengenai terjadinya raj'ah, sesungguhnya mereka tidak berselisih pendapat mengenai perkara ini"[64].
Yang patut diberikan perhatian adalah bahwa syi'ah imamiah berbeda pendapat mengenai hakikat raj'ah. Bahkan ada satu kelompok dari mereka yang mengingkarinya, dan menafikannya secara keras. Perselisihan pendapat mereka ini dipaparkan oleh seorang mufassir imamiah yang bernama ath-Thabrasi dalam kitab "Majma' al-Bayan", yaitu ketika dia tafsirkan firman Allah taala:
(وَيَوْمَ نَحْشُرُ مِن كُلِّ أُمَّةٍ فَوْجاً مِّمَّن يُكَذِّبُ بِآيَاتِنَا فَهُمْ يُوزَعُونَ) النمل: 83
"Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok)".  (QS.an-Naml: 83). Ath-Thabrasi berkata: " ayat ini memberikan dalil mengenai kesahihan raj'ah bagi kelompok imamiah yang meyakininya. Dan sisi dalilnya-menurut klaim mereka- bahwa pada hari ini Allah mengumpulkan sekelompok orang dari tiap umat. Jadi hari kiamat tidak mungkin suatu perkara yang mustahil, karena hari ini semua manusia dikumpulkan, bukan sekelompok manusia dari setiap umat. Berdasarkan firman Allah taala:
(وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَداً) الكهف: 47
" Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka". (QS. al-Kahfi:47), maka ayat ini menentukan bahwa pengumpulan manusia akan terjadi di dunia ini-bukannya di akhirat-.
Sedangkan para ulama imamiah yang mengingkari raj'ah berkata: "sesungguhnya maksud pengumpulan manusia pada ayat ini bermakna pengumpulan manusia pada hari kiamat, bukannya di dalam kehidupan ini. Dan yang dimaksud dengan "fawj" adalah para ketua orang kafir dan musyrik, maka mereka berkumpul untuk melaksanakan hujjah mereka. Dan Muhammad Jawwad Mughniyah menambahkan pernyataan barusan dengan perkataannya:"dan seperti inilah yang dimaksudkan dengan ucapan syaikh ath-Thabrasi bahwa para ulama imamiah tidak memiliki satu kata sepakat mengenai perkara raj'ah"[65]. Sedangkan as-Sayyid Muhsin al-Amin berkata: "raj'ah adalah suatu perkara yang bersifat nukilan, jika betul nukilannya, maka wajib untuk diyakini, dan jika tidak betul maka tidak wajib untuk diyakini"[66].
Syaikh Abu Zuhrah telah memberikan isyarat mengenai perselisihan syi'ah pada perkara raj'ah: "nampak bahwa pemikiran raj'ah dalam kondisi ini bukanlah suatu perkara yang disepakati oleh saudara-saudara kita dari imamiah itsna asyariyah. Bahkan di antara mereka ada sekelompok orang yang tidak meyakininya"[67].
Syaikh al-Mufid menjelaskan bahwa ada dua kelompok manusia yang hidup kembali setelah mati, yaitu:
-          Pertama: orang yang tinggi derajat keimanannya, dan banyak amal perbuatan salihnya. Maka Allah Azza wa Jalla memperlihatkan kepadanya tempat yang benar, memuliakannya, dan memberikan kepadanya apa yang dia impikan daripada dunia.
-          Kedua: orang yang sangat rusak, serta banyak melakukan kezaliman kepada para wali Allah, dan banyak melakukan keburukan. Maka Allah ta'ala  menolong orang yang dizalimi oleh orang ini sebelum kematiannya, dan memenuhi rasa dahaga kemarahan mereka kepadanya akibat perbuatan buruknya. Setelah ini, kedua kelompok ini kembali kepada kemtian, dan selanjutnya menjalani hari kebangkitan, untuk diberikan ganjaran atas pahala, dan diberikan balasan atas dosa[68].
Ulama syi'ah berselisih pendapat mengenai orang yang kembali kepada kehidupan dunia. Sebagian mereka berpendapat bahwa orang yang akan kembali kepada kehidupan dunia hanyalah para imam saja, agar dengan keberadaan mereka Allah dapat mendirikan negara keadilan dan kebenaran. Yang memiliki pendapat seperti ini adalah "az-Zanjani", yang merupakan ulama imamiah modern, dia berkata: "raj'ah adalah ibarat pengumpulan suatu kaum manakala muncul sang pelaksana hujjah as yang terdiri dari para ulama dan pendukung mereka yang telah lebih mati, untuk mendapatkan anugerah ganjaran dukungannya dan pertolongannya untuknya, dengan kemunculan negaranya. Dan suatu kaum yang murupakan musuhnya membalas dendam kepadanya, maka mereka mendapatkan sebagian azab yang berhak untuk mereka dapatkan, dan mereka terbunuh melalui tangan pendukungnya, serta mereka mendapatkan kehinaan dan celaan dengan ketinggian kalimatnya. Jadi menurut pendapat kami, kelompok imamiah itsna asyariyah mengkhususkan raj'ah ini hanya  untuk pengikut imamiah yang mempercayai imam mereka, dan hanya untuk orang-orang yang benar-benar kafi, sedangkan umat yang lain tidak diikut sertakan"[69].   
Ahmad al-Ahsa`i[70] di dalam kitab ar-Raj'ah berkata: "ketahuilah, sesungguhnya raj'ah pada asalnya bermaksud kembalinya orang-orang yang telah mati ke dalam kehidupan dunia, seakan-akan mereka keluar dari dunia dan kembali lagi kepadanya"[71].
Raj'ah menurut mereka hanya untuk para imam, dan para wali mereka yang mempunyai tingkatan keimanan yang paling tinggi, serta para musuh mereka yang mempunyai tingkat kekafiran yang paling tinggi-yang mereka maksudkan dengan musuh di sini adalah para sahabat ra-. Maksud dari pengembalian para musuh ini adalah untuk menampakkan kemuliaan dan kemenangan para imam dan pendukungnya, serta membalas dendam kepada musuh-musuh mereka. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh az-Zanjani di atas tadi. Kepercayaan mereka ini berdasarkan riwayat dan ucapan-ucapan ulama mereka yang terdahulu.
Di antara mereka ada yang menta`wilkan berbagai khabar yang menceritakan tentang raj'ah bahwa maknanya adalah kembalinya negara imam dan kekuasaan amar ma'ruf nahi munkar kepada ahlul bait dengan kemunculan imam al-Muntazhar. Bukannya bermaksud mengembalikan orang-orang tertentu dan menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati[72].
Al-Alusi juga memberikan isyarat kewujudan pendapat yang sama dengan di atas. Dia berkata: "sekelompok imamiah menta`wilkan raj'ah yang disebutkan oleh beberapa khabar sebagai kembalinya daulah, amar ma'ruf dan nahi munkar kepada ahlul bait. Dan bukannya kembali individu, serta menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati"[73]
Keempat: Taqiyah[74].
Yang dimaksud dengan taqiyah adalah sikap yang ditunjukkan dan dizahirkan oleh seseorang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan dalam hati, dengan cara terselindung dan menyesuaikan diri dengan sekitar, demi melindungi jiwa, harta, dan kehormatan. Syaikh al-Mufid mendefinisikannya sebagai: "taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran, menutupi keyakinan, dan mengaburi perbedaan, serta tidak menampakkan pada orang-orang yang bertentangan yang dapat menimbulkan kemudharatan pada agama dan dunia"[75]. Yang dimaksud dengan orang-orang yang bertentangan di sini adalah ahlu sunnah.
Sedangkan syaikh mereka yang bernama al-Bahrani memberikan penjelasan mengenai makna taqiyah: "yang dimaksudkan dengan taqiyah di sini adalah menampakkan sikap sepakat dengan apa yang dianut oleh orang yang bertentangan"[76]. Yang dimaksud dengan orang yang bertentangan adalah ahlu sunnah.
Sedangkan pendapat al-Khumaini mengenai taqiyah adalah: "seseorang berkata perkataan yang berbeda dengan kenyataan, atau melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan neraca syari'at"[77]. Yang dimaksud dengan neraca syari'at adalah syari'at syi'ah.
Dari semua definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa makna taqiyah bagi orang syi'ah adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan hakikat. Dan orang syi'ah diperbolehkan menipu lawannya. Atau dengan ungkapan lain, seseorang menampakkan kepada lawannya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang tersembunyi di dalam dalam dirinya.
Syaikh al-Mufid menjelaskan bahwa taqiyah memiliki hukum fardu dan wajib jika suatu mudharat diketahui secara pasti, jika tidak maka jatuh hukum wajibnya. Teks ucapannya adalah: "sesungguhnya taqiyah boleh dilakukan di dalam agama ketika seseorang merasa jiwanya terancam. Dan juga diperbolehkan ketika seseorang merasa hartanya terancam, atau ketika menghadapi beberapa situasi. Aku berkata bahwa taqiyah terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya fardu, dan terkadang juga hukumnya boleh bukan wajib, dan terkadang penggunaannya lebih baik dibandingkan meninggalkannya"[78].   
Di tempat yang lain, Aal Kasyif al-Ghithaa menegaskan tiga hukum taqiyah, dia berkata: "praktek taqiyah memiliki tiga hukum, terkadang hukumnya wajib jika meninggalkannya menyebabkan kehilangan jiwa secara sia-sia. Terkadang hukumnya adalah rukhshah, yaitu manakala taqiyah ditinggalkan dan menampakkan hakikat merupakan suatu upaya untuk menguatkan dirinya, maka dia harus mengorbankan dirinya dan tidak mempergunakan taqiyah. Yang ketiga, haram mempergunakannya jika penggunaannya menyebabkan tersebarnya kebatilan dan menyelewengkan kebenaran"[79].
Patut diberikan perhatian bahwa taqiyah dengan gambaran yang seperti ini tidak masuk dalam bagian akidah bagi pengikut imamiah, karena dia tunduk kepada tiga jenis hukum, yaitu wajib, haram, dan rukhshah. Oleh karena itu Aal Kasyif al-Ghithaa` mengkritik orang yang mencela syi'ah imamiah dengan prinsip ini, dia berkata: "di antara beberapa perkara dijadikan celaan dan hinaan oleh sebagian orang terhadap syi'ah adalah taqiyah, akibat kejahilan mereka mengenai maknanya, posisinya, dan hakikat tujuannya. Seandainya mereka perhatikan secara teliti dan mendalam serta sabar mengenai hukum taqiyah niscaya mereka akan mengetahui bahwa taqiyah yang dipraktekkan oleh syi'ah  bukan hanya miliki eksklusif syi'ah, namun dia adalah perkara yang darurat bagi akal, sejalan dengan nurani dan insting manusia, dan sesuai dengan dasar-dasar dan inti syari'at islam, yang sejalan dengan akal dan ilmu pengetahuan, saling bantu membantu dan saling bahu membahu"[80].   
Akan tetapi, secara realitanya dalam aliran syi'ah imamiah-sebagaimana yang dipaparkan dalam kitab-kitab klasik mereka-bahwa bagi mereka taqiyah dianggap sebagai salah satu rukun keimanan mereka. Maka tidak dianggap sempurna keimanan seseorang jika dia tidak mempercayai taqiyah. Dan orang yang meninggalkan taqiyah sama dengan orang yang meninggalkan shalat. Dan mereka telah meriwayatkan berbagai hadits dalam kitab utama mereka, di antaranya:
Diriwayatkan dari Ja'far ash-Shadiq bahwa dia berkata:
اَلتَّقِيَّةُ مِنْ دِيْنِ آبَائِي وَلاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ تَقِيَّةَ لَهُ
"taqiyah termasuk agama nenek moyangku, dan tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan taqiyah"[81].
Dan al-Baqir berkata:
أَشْرَفُ أَخْلاَقِ اْلأَئِمَّةِ الْفَاضِلِيْنَ مِنْ شِيْعَتِنَا التَّقِيَّةُ
 "akhlak yang paling mulia pada para imam syi'ah kita adalah taqiyah"[82].
Ibnu Babawiyah berkata:
اِعْتِقَادُنَا فِي التَّقِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرَكَهَا بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
"keyakinan kami pada taqiyah adalah bersifat wajib, orang yang meninggalkannya sama dengan orang yang meninggalkan shalat"[83].
Bahkan mereka menjadikan riwayat hadits ini sebagai ucapan Nabi Muhammad saw yang sebenarnya Nabi sendiri tidak pernah mengucapkannya. Riwayat tersebut dicatatkan oleh al-Majlisi dalam kitabnya “Biharul Anwar”, bunyi lafadz sebagai berikut:
تَارِكُ التَّقِيَّةِ كَتاَرِكِ الصَّلاَةِ
"orang yang meninggalkan taqiyah sama seperti orang yang meninggalkan shalat"[84].
Dari Ja'far, dia berkata:
إِنَّ تِسْعَةَ أَعْشَارِ الدِّيْنِ فِي التَّقِيَّةِ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ تَقِيَّةَ لَهُ
 "sesungguhnya Sembilan bagian agama terdapat pada taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan taqiyah"[85].
Bahkan merena berpendapat bahwa orang yang meninggalkan taqiyah dianggap melakukan dosa  yang tidak dapat diampunkan, yaitu sama setaraf dengan kemusyrikan. Dalam beberapa khabar mereka disebutkan:
يَغْفِرُ اللهُ لِلْمُؤْمِنِ كُلَّ ذَنْبٍ، يَظْهَرُ مِنْهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، مَا خَلاَ ذَنْبَيْنِ: تَرْكُ التَّقِيَّةِ، وَتَضْيِيْعُ حُقُوْقِ الإِخْوَانِ
"Allah mengampuni semua dosa orang mu`min, yang dilakukan di dunia dan di akhirat, kecuali dua dosa, yaitu: meninggalkan taqiyah, dan menyia-nyiakan hak saudara"[86].
            Semua riwayat dan ucapan ini menunjukkan bahwa taqiyah bersifat wajib bagi mereka, dan tidak seperti yang telah diungkapkan oleh syaikh Aal Kasyif al-Ghithaa`.
Perlu juga ditekankan di sini bahwa kelompok syi’ah itsna asyariyah memiliki karakteristik yang tersendiri dibandingkan dengan kelompok-kelompok syi'ah yang lain dalam aktifitas dakwah mereka. Mereka selalu menyeru untuk melakukan pendekatan di antara berbagai mazhab “Taqrib al-Mazahib”, atau lebih spesifik lagi pendekatan antara sunnah dan syi'ah[87]. Maka mereka melaungkan slogan bahwa tidak ada perselisihan pendapat antara sunnah dan syi'ah pada ushul (prinsip dasar), dan yang menjadi perselisihan di antara kedua mazhab ini hanyalah pada permasalahan furu' saja. Yang mengungkapkan hal ini secara terang-terangan adalah ulama terkemuka mereka yang bernama Husein Aal Kasyif al-Ghithaa: "syi'ah adalah salah satu kelompok kaum muslim, dan salah satu mazhab islam yang sepakat dengan umat islam lainnya dalam masalah ushul, dan mereka hanya berselisih pendapat dengan kaum muslim yang lain dalam beberapa masalah furu'"[88]. Pertikaian dan perselisihan di antara aliran  mazhab ini (sunnah dan syi'ah) hanyalah sekedar imaginasi akibat terputusnya hubungan di antara kedua aliran ini dalam masa waktu yang lama[89].
Sedangkan pandangan dari pihak ahlu sunnah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh syaikh Syaltut bahwa perselisihan di antara aliran sunnah dan syi'ah terjadi pada beberapa permasalahan filsafat dan pandangan ilmu kalam yang tidak ada kaitan langsung dengan ushul akidah[90].  
Kelima: al-Badaa` (perubahan).
Ja'far Subhani –seorang pemikir imamiah modern- mengungkapkan bahwa termasuk di antara akidah yang permanen pada syi'ah imamiah adalah pendapat mengenai al-badaa` (kemunculan). Dan para ulama mereka menyatakan bahwa naskh dan al-badaa` adalah dua jenis yang sama. Yang pertama (naskh) terdapat pada naskh syari'at, sedangkan al-Badaa` terjadi pada penciptaan. Kepercayaan terhadap al-badaa` ini sama masyhurnya dengan kepercayaan terhadap taqiyah dan nikah mut'ah[91].
Dipaparkan di dalam Lisan al-Arab: bahwa al-badaa` adalah menjadikan sesuatu dikenal setelah sebelumnya tidak dikenal[92]. Dari paparan ini dapat difahami bahwa pengertian al-badaa` secara lingustik adalah muncul.
Sedangkan definisinya secara epistimologi adalah sebagaimana yang dipaparkan oleh pengarang kitab Nazhariyyah al-Badaa`: "dia telah menyerap beberapa perkara yang mungkin terjadi pada alam penciptaan, yang memiliki keistimewaan dengan kemunculan perubahan, dan pada mulanya beberapa perkara ini nampak konstan seakan-akan berjalan sesuai dengan aturan yang satu, akan tetapi lama kelamaan muncul perubahan padanya"[93].
Syaikh al-Muzhaffar –seorang ulama imamiah- mengakui bahwa pendapat mazhab imamiah mengenai al-Badaa` adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam definisinya secara epistomologi, dan bukan sebagaimana yang didefinisikan secara terminologi. Bahkan mereka menegaskan bahwa pengertian al-Badaa secara terminologi tidak boleh diberikan kepada Allah swt. Karena al-Badaa` dengan pengertian terminologi ini adalah suatu perkara yang mustahil untuk Allah swt, karena mengandung unsur ketidak tahuan dan kekurangan, dan ini adalah perkara yang mustahil bagi Allah swt. Ash-Shadiq as berkata: "barang siapa mengklaim bahwa Allah taala merubah sesuatu berdasarkan rasa menyesal maka menurut pendapat kami orang ini telah kafir terhadap Allah Yang Maha besar". Dia juga berkata: "barang siapa mengklaim bahwa Allah taala menciptakan sesuatu dan tidak mengetahuinya kemarin maka berarti dia telah kafir kepada-Nya"[94].
Secara hakikatnya, ada tiga aliran pemikiran dalam tubuh imamiah mengenai permasalahan ini:
Aliran yang pertama:
Menjadikan perubahan pada yang diketahui bukan pada pengetahuan. Ilmu ilahi bersifat tetap, azali, dan abadi, dan perubahan ini telah diketahui secara azali. Yang memiliki pandangan seperti ini adalah syaikh ash-Shaduq (w381H), syaikh al-Mufid (w413H), dan asy-Syarif al-Murtadha (w436H). mereka memiliki pendapat bahwa al-badaa` sama dengan naskh.
Syaikh ash-Shaduq memberikan dalil bagi kebenaran pendapat bahwa al-badaa menjadikan perubahan pada objek bukan pada pengetahuan. Dengan dalil firman Allah ta’ala:
(يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ) الرعد: 39
"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)". (QS. Ar-Ra`d: 39), apakah Allah hanya menghapuskan perkara yang memang telah ada, dan apakah Dia hanya menetapkan sesuatu yang memang belum ada sebelumnya?[95]. dan di tempat yang lain dia berkata: "al-badaa` adalah tidak seperti yang disangka oleh manusia yang jahil bahwa dia merupakan bentuk penyesalan Allah taala terhadap perkara yang dihapuskan itu. Akan tetapi, kita harus mengakui bahwa Allah Azza wa Jalla melakukan al-badaa`, yang artinya, Dia memulai menciptakan sesuatu pada mahluk-Nya suatu penciptaan sebelum menciptakan yang lain, kemudian Dia hapuskan objek tersebut. Dan Dia mulai dengan menciptakan yang lainnya, atau Dia perintahkan suatu perkara, kemudian Dia larang perintah dan perkara tersebut, kemudian Dia perintahkan seperti perkara Yang telah dia larang sebelumnya. Ini seperti perkara nasakh (menghapus) syari'at, dan memindahkan arah kiblat. Allah hanya memerintahkan suatu perkara kepada hamba-Nya pada suatu waktu karena Dia mengetahui bahwa perkara tersebut baik untuk mereka pada waktu tersebut, dan Dia juga mengetahui bahwa perkara yang baik bagi mereka di waktu yang lain adalah Dia larang mereka untuk melakukan perkara tersebut. Maka orang yang mengakui bahwa Allah Azza wa Jalla bisa melakukan apa yang Dia kehendaki, meniadakan apa yang Dia kehendaki, Dia ciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia dahulukan apa yang Dia kehendaki, Dia akhirkan apa yang Dia kehendaki, dan Dia perintahkan apa yang Dia kehendaki dengan cara yang Dia kehendaki, maka berarti dia telah mengakui prinsip al-badaa`"[96].         
Syaikh al-Mufid menegaskan makna al-badaa`: "aku berkata mengenai makna al-badaa` yaitu seperti yang dikatakan oleh semua kaum muslimin mengenai nasakh dan perkara yang sepertinya, seperti miskin setelah kaya, sakit setelah sehat, dan mati setelah hidup, dan pendapat yang diambil oleh orang yang adil terutamanya mengenai tambahan dan pengurangan pada umur dan rezeki berdasarkan amal perbuatan"[97]
Aliran yang kedua:
Mereka berpendapat bahwa perubahan terjadi pada zat pengetahuan bukan pada zat objek. Namun, orang yang memiliki pendapat seperti ini mempergunakan zahir ta`wil pada pengetahuan itu sendiri. Yang mengambil pendapat ini adalah al-Majlisi (w1110H). Dia berpendapat bahwa ilmu Allah taala terbagi kepada dua bagian:
1)       Ilmu yang dicatat di Lawh al-Mafuzh. Ilmu ini tidak berubah dan tidak berganti.
2)       Ilmu yang dicatat di Law al-Mahw wal-Itsbat. Jenis ilmu ini adalah yang masuk unsur perubahan, dan ilmu inilah yang dinisbahkan kepada al-badaa`[98].
Aliran yang ketiga:
Berpendapat bahwa al-badaa` adalah perubahan pada ilmu tanpa melakukan ta`wil tabiat terhadap ilmu. Ilmu yang berubah ini adalah ilmu mahluk bukan ilmu khaliq. Oleh karena itu, mereka memberikan makna al-badaa` sebagai kemunculan suatu perkara yang tidak dijangka oleh manusia. Yang mengikuti aliran ini adalah syaikh ath-Thusi (w460H).
Bisa kita lihat bahwa pemahaman al-badaa` menurut pandangan aliran yang pertama dan ketiga adalah suatu usaha untuk mensucikan ilmu Allah taala dari pembaharuan, perubahan, dan penggantian. Sedangkan pendapat aliran yang kedua sangat bertolak belakang, karena aliran ini berpendapat bahwa pembaharuan, perubahan, dan penggantian terjadi pada ilmu Allah taala. Yaitu yang memiliki makna muncul setelah tersembunyi, sebagaimana yang dipaparkan dalam firman-Nya:
(وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِن سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ) الزمر: 47
"Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat.Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan". (QS. az-Zumar: 47). Atau memiliki makna, kemunculan pendapat yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana yang dikatakan dalam firman-Nya:
(ثُمَّ بَدَا لَهُم مِّن بَعْدِ مَا رَأَوُاْ الآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ) يوسف: 35
"Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu". (QS.Yusuf:35).   


[1] Al-Muzhaffar, asyi-Syi'ah al-Imamiyyah, hal 7.
[2]  Mughniyah, al-Itsna Asyariyyah Wa Ahli al-Bayt, hal 15, Dar al-Jawad-Dar at-Tayyar al-Jadid, Beirut, cet 4, 1404 H.
[3] Abu Zuhrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, hal 52, kairo, cet Dar al-Fikr. 
[4] Sebenarnya penggunaan istilah ini tidak dijumpai dalam berbagai kitab yang berbicara mengenai kelompok-kelompok islam klasik, al-Qummi (w 299 H atau 301 H) tidak menyebutkanya dalam kitab "al-Maqalat wal-Firaq", begitu juga an-Nawbakhti (w 310 H) dalam kitabnya "Firaq asy-Syi'ah", begitu juga Abul Hasan al-Asy'ari (w 330 H) dalam kitabnya "al-Maqalat al-Islamiyyin". Jadi barangkali orang yang pertama mencetuskan istilah ini dari kelompok syi'ah adalah al-Mas'udi (w 359 H), sedangkan dari kelompok selain sunni adalah Abdul Qahir al-Baghdadi (w 429 H), dia menyatakan bahwa mereka dinamakan dengan penamaan itsna asyariyah disebabkan oleh propaganda mereka bahwa imam al-Muntazhar adalah imam yang kedua belas, yang nasabnya terus bersambung kepada imam Ali r.a. lih al-Baghdadi, al-Farq Bayna al-Firaq, hal 64, DR. Nashir al-Qafary, Ushul Mazhab asy-Syi'ah, 1/127.
[5] Lih, Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 76-77.
[6] Mahmud al-Mallah, al-Aara`u ash-Sharihah, hal 81.
[7] Al-Bahrani, Lu`luah al-Bahrain, hal 117.
[8] Lih, Bahr al-Ulum, at-Taqlid fi asy-Syari'ah, hal 92. Faraj al-Umrani, Ushuliyyin wal-Akbariyyun Firqah Wahidah, hal 19.
[9] Muhammad Jawwad Mughniyah, Ma'a Ulama an-Najaf, hal 74.
[10] Muhammad Aal ath-Thalqani, asy-Syaikhiyah, hal 9.
[11]  Al-Bahrani, Lu`lu`ah al-Bahrain, hal 118.
[12] Al-Bahrani, Lu`lu`ah al-Bahrain, hal 121. Dan untuk lebih terperinci lagi silahkan rujuk: Ushul Mazhab asyi'ah al-Imamiyyah al-Itsna Asyariyah, DR.Nashir al-Qafari, 1/136-147.
[13]  Ath-Thaliqani, Tanqih al-Maqal Fi Ahwal ar-Rijal, 2/85.
[14]  Ath-Tahliqani, Jaami' as-Sa'aadat, 1.
[15]  Ath-Tahliqani, as-Saikhiyyah, hal 39.
[16]  Ath-Tahliqani, as-Saikhiyyah, hal 40.
[17]  Yusuf al-Bahrani, al-Kasykul, 2/387.
[18]  Pemikiran ini kemudian mengkristal melalui usaha muridnya yang bernama Kazhim ar-Rasyti (1259/1843), dan kelompok ini kemudian diberikan nama ar-Rasytiyah. Kelompok ini muncul setelah musnahnya gerakan akhbari akibat terbunuhnya Mirza Muhammad al-Akhbari, tahun 1232/1816 . Arah gerakan ar-Rasyti adalah mengentalkan pemikiran yang sesuai dengan fasa yang dominan pada masa itu. Para penganut gerakan ini diberikan julukan "al-Kasyfiah" yang dinasabkan kepada kasyf dan ilham yang diklaim oleh penganut gerakan ini. Yaitu gerakan yang berdasarkan penelitian secara mendalam terhadap berbagai zahir syari'at, dan klaimnya bahwa dia memiliki kemampuan "kasyf" (mampu melihat perkara yang tersembunyi) sebagaimana yang juga diklaim oleh sekelompok syaikh aliran tasawwuf, mereka juga berbicara dengan ucapan yang sulit untuk difahami.
[19]  Syaikh Muhsin al-Asfour memaparkan bahwa aliran asy-Syaikhiyah yang hidup di beberapa Negara teluk adalah aliran yang tidak lagi memiliki identitas yang jelas. Kelompok ini telah tercemar dan bercampur dengan berbagai aliran pemikiran. Aliran ini beralih menjadi sebuah aliran yang menyucikan keluarga al-Ahqaqi al-Aska`uti yang mendiami Negara Kuwait, dan asal-usulnya berasal dari kota Karman yang terletak di Iran. Banyak dari generasi muda mereka yang menjadi pengikut Muhammad Husain Fadhlullah. Lih, Muntadiyat Madrasah al-Akhabriyyin, ekhbarion.com/vb/showtread. 
[20]  Lih, Rasyid al-Khathami, al-Ushuliyah wal-Akhbariyah Haqiqah Wa Hajm ash-Shara` Baynahum, www.muslim.net.
[21]  Dia adalah Humaid bin Ibrahim bin Nashir al-Mubarak al-Bahrani adalah salah seorang ulama kelompok syi'ah yang paling menonjol di Bahrain. Dia dianggap sebagai salah seorang khatib mimbar al-Husaini yang paling menonjol. Dia juga adalah salah seorang pengajar dalam berbagai forum kelimuan di Bahrain. Dia juga memegang jabatan sebagai qadli setelah kepulangannya dari Qum pada masa 90-an. Pada akhir-akhir ini terbit beberapa hasil karyanya, serta nampak perhatiannya terhadap permasalahan modern. Dia dilahirkan di kampung 'Aali, dan asal-usulnya berasal dari kampung Tubli. Kemudian ayahnya yang bernama syaikh Ibrahim berpindah ke Aali, lalu kembali berhijrah ke kota Qum Iran para permulaan tahun 80-an. Dia berdomisili di kota Qum untuk menimba ilmu. Lih, ar.wikipedia.org. 
[22]  Al-Harakaat al-Bathiniyah Fil-Alam al-Islami, DR.Muhammad Ahmad al-Khatib, hal 36, Maktabah al-Aqsha-Oman dan Alam al-Kutub-Riyadh, cet 2, 1986M. asal buku ini adalah thesis PhD yang diajukan ke bagian akidah dan mazhab-mazhab modern, fakultas Ushuluddin, universitas Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, Riyadh. Di bawah bimbingan Syaikh Zaid bin Abdul Aziz al-Fayyadh.
[23]  DR.Yahya Hashim Farghal, Awamil wa Ahdaf Nasy`ah Ilm al-Kalam, hal 169, Majma' al-Buhuts al-Islamiyah, Kairo, 1392H/1973M.
[24]  Ibnu Hazam, al-Fashl Fi al-Milal wan-NIhal, 1/164.
[25]  Lih, Fajr al-Islam, Ahmad Amin, hal 273, Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, cet 12, 1978M. Nazhariyyah al-Imamah Laday asy-Syi'ah al-Itsna Asyariyah, DR.Ahmad Mahmud Subhi, hal 397, Dar al-Ma'arif ,Kairo. Adab asy-Syi'ah, DR.Abdul Husaib Thaha Humaidah, hal90, Mathba'ah as-Sa'adah, Kairo, cet2, 1968M.
[26]  Lih, Mazahib al-Islamiyyin, 2/815.
Pada hakikatnya kepercayaan mengenai kedatangan al-Mahdi al-Muntazhar yang merupakan ahlul bait pada akhir zaman, dan dia akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman adalah akidah islam yang sama-sama diyakini oleh kelompok syi'ah dan ahli sunnah, akan tetapi mereka berselisih pendapat mengenai orang yang menjadi al-Mahdi ini. Kelompok ahli sunnah berpendapat bahwa dia adalah ahlul bait tanpa menentukan individunya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada al-Mahdi selain Nabi Isa. Akan tetapi mayoriti ahli sunnah berpendapat bahwa al-Mahdi al-Muntazhar  bukan Nabi Isa as. Sedangkan syi’ah imamiah telah menetapkan individu al-Muntazhar yaitu imam terakhir  Muhammad bin al-Hasan al-Askari. Sedangkan menurut syi’ah Bathiniah al-Mahdi adalah Muhammad bin Isma'il bin Ja'far ash-Shadiq, yang merupakan penentu hari kiamat. lih, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun, hal 311. Al-Fikr as-Siyasi Inda al-Bathiniyah Wa mauqif al-Ghazal Minhu, DR.Ahmad Arafat al-Qadhi, hal 91, al-Hay`ah al-Misriyyahal-Aammah lil-Kitab, Kairo 1993M.  asal buku ini adalah thesis Master yang dia ajukan kepada bagian filsafat islamiah, fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo, di bawah bimbingan guru saya Prof.DR.as-Sayyid al-Jalayand, dan guru saya Prof.DR. as-Sayyid Rizq al-Hajar, 1988M. Nazhariyyah al-Imamah laday asy-Syi'ah al-Itsna Asyariyah, DR.Ahmad Mahmud Subhi, hal 398. Al-Imam al-Mahdi al-Muntazhar Bayna an-Nazhariyyah wal-Waaqi', as-Sayyid Adnan al-Bakka`, hal 45, al-Ghudair, Beiru-Lebanon, cet1, 1999M. al-Imamah Wa Qa`im al-Qiyamah, DR.Musthafa Ghalib, hal 303-304, Dar wa Maktabah al-Hilal, Beirut-Lebanon, 1981M.  
[27]  Ignaz Goldziher, adalah seorang orientalis yahudi yang lahir di Hungaria 1850, dan pernah belajar di Universiti al-Azhar. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa Ibrani. Mendapatkan ijazah Doktor di Universiti Leipziq, Jerman dalam usia 19 tahun. Di bawah bimbingan seorang orientalis Jerman yang terkemuka yaitu Heinrich Fleisher.
[28]  Lih, as-Siyadah al-Arabiyyah wasy-Syi'ah wal-Isra`iliyyat Fi Ahdi Bani Umayyah, hal 121-123, penterjemah: DR.Hasan Ibrahim Hasan dan DR.Muhammad Zaki Ibrahim, Mesir, 1934M. al-Aqidah wasy-Syari'ah Fi al-Islam, hal 205, penterjemah: DR.Muhammad Yusuf Musa, Mesir, 1946M.
[29]  Tajdid at-Tafkir ad-Dini fil-Islam, hal 177, terjemah: Abbas Mahmud, Mesir, 1955M.
[30]  Nasy`ah al-Fikr al-Falsafi Fi al-Islam, DR.Ali Sami an-Nasysyar, 1/189.
[31]  Zoroastrianisme, adalah sebuah agama dan ajaran folosofi yang didasari oleh ajaran Zarathustra yang dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster, agama ini berasal dari daerah Persia Kuno atau kini dikenal dengan Iran. Ajaran asasnya adalah menyembah kepada Ahura Mazda atau "Tuhan yang bijaksana"..
[32] Maniisme adalah salah satu aliran keagamaan yang bercirikan Gnostik dan terbesar di Iran. Maniisme dikenal juga dengan sebutan Manikheisme, toko utama aliran ini adalah Manichaesus, ia dilahirkan di desa Mardinu, Babilonia Selatan pada 14 April 216. maniisme muncul antara abad ke 3 dan ke 7.
[33] Mazdakism, adalah agama Persia Kuno, pendirinya meninggal sekitar 524 atau 528, Mazdak sebagai pendiri agama ini adalah seorang pendeta Zoroaster dan merupakan aktivis agama serta mendapatkan pengaruh besae di bawah pemerintahan Sassania Shahanshah Kavadh di Persia, salah satu ajaran utamanya adalah memegang dua prinsip tentang asal alam semesta, yaitu: Cahaya (baik), dan Kegelapan (Jahat). 
[34]  Lih, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, hal 38, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo.
[35]  Lih, al-Khawarij wasy-Syi'ah-al-Mu'aradhah as-Siyasiyyah ad-Diniyyah-. Yulius Falhuzen, hal 146, Dar al-Jayl Lil-Kutub wan-Nasyr, cet 5, 1998M, terjemah: DR.Abdurrahman Badawi.
[36]  Patut untuk diisyaratkan di sini bahwa keyakinan mengenai kewujudan al-mahdi al-Muntazhar, yang berasal dari keturunan ahlul bayt, dan dia akan muncul pada akhir zaman, sehingga dia jadikan dunia dipenuhi dengan kebajikan dan kedilan, setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman, adalah akidah islam yang sama-sama diyakini oleh syi'ah dan ahli sunnah. Akan tetapi mereka berselisih pendapat mengenai siapakah orang yang ditunggu-tunggu ini? Ahli sunnah berpendapat bahwa dia adalah seorang laki-laki dari keturunan ahlul bayt, tanpa memastikan siapakah individu tersebut. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahdi adalah Nabi Isa as. Sedangkan imamiah telah menetapkan al-Mahdi al-Muntazhar sebagai imam yang kedua belas, yang bernama Muhammad bin al-Hasan al-Askari. Sedangkan isma'iliyah bathiniah berpendapat bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin Isma'il bin Ja'far ash-Shadiq. Maka dia adalah penentu hari kiamat, -atau pemilik giliran dan putaran-, al-kawr terdiri dari beberapa giliran yang bisa mencapai tujuh. Maka imam yang ketujuh dalam putaran adalah yang berhak menghisab anggota gilirannya atas berbagai kesalahan yang telah mereka lakukan. Lih, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun, hal 311. Al-Fikr as-Siyasi Inda al-Bathiniyah Wa Mawqif al-Ghazali Minh, DR.Ahmad Arafat al-Qadhi, hal 91, al-Hay`ah al-Mishriyyah al-'Aammah lil-Kitab, Kairo 1993M. Asal buku ini adalah thesis master yang dia ajukan kepada bagian filsafat islam, fakultas Dar al-Ulum, Universitas Kairo, di bawah bimbingan guru saya Prof.DR.Muhammad as-Sayyid al-jalayand, dan guru saya Prof.DR.As-Sayyid Rizq al-Hajar, 1988M. Nazhariyyah al-Imamah laday asy-Syi'ah al-Itsna Asyariyah, DR.Ahmad Mahmud Shubhi, hal 398. Al-Imam al-Mahdi al-Muntazhar Bayn an-Nazhariyyah wal-Waqi', as-Sayyid Adnan al-Bakka`, hal 45, al-Ghudair, Beirut-Lebanon, cet 1/1999M. al-Imamah Wa Qa`im al-Qiyamah, DR.Musthafa Ghalib, hal 303-304, Dar wa Maktabah al-Hilal, Beirut-Lebanon, 1981M.
Jadi, kita bisa mengatakan bahwa keyakinan mengenai al-Mahdi al-Muntazhar adalah suatu perkara yang sama-sama diyakini oleh ahli sunnah dan syi'ah. Dan yang menjadi perselisihan di antara kedua kelompok ini adalah syi'ah menjadikan ide al-Mahdi al-Muntazhar sebagai salah satu prinsip dasar akidahnya, sedangkan ahli sunnah tidak. Ditambah lagi dengan syi'ah zaidiyah yang berpendapat bahwa pemahaman al-Mahdi tidak terlepas dari imamah itu sendiri. Menurut mereka semua keturunan fathimah yang pemberani, alim, zuhud, keluar berperang dengan pedangnya, dan menyeru kepada kebenaran adalah juga imam Mahdi, berbeda dengan keyakinan mengenai al-Mahdi dalam pemahaman yang mengindikasikan menunggu seorang pembebas atau seorang yang ikhlas yang diutus oleh Allah. Dan semua imam zaidiyah, seperti Zaid dan anaknya Yahya dan Muhammad adalah al-Mahdi. Ahmad Shubhi, Nazhariyyah al-Imamah Laday asy-Syi'ah al-Itsna Asyariyah, hal 405, Dar al-Ma'arif, Kairo, 1969M.               
[37]  Sebagian kelompok zaidiyah yaitu al-Jarudiyah juga meyakini al-Mahdi dan keghaibannya. Al-Jarudiyah dinisbahkan kepada Abu al-Jarud Ziyad bin Munzir al-Hamzani, wafat tahun 150H. Dia merupakan zaidiyah yang memiliki lebih banyak kecendrungan kepada pemikiran imamiah itsna asyariyah. Dalam perkara imamah mereka meyakini al-Mahdi, dan sebagian dari mereka meyakini perkara keghaibannya, serta kembalinya imam al-Muntazhar. Dan mereka juga mencaci para sahabat, terutama Abu Bakar ra, dan Umar ra. Lih: Yahya bin Hamzah, Aqd Alla`ali, hal 174-178. Ahmad asy-Syarafi, Syarh al-Asas al-Kabir, 1/146. Ahmad bin Yahya al-Murtadha, Kitab al-MIlal wan-Nihal, 1/34, bagian dari al-Bahru az-Zakhkhar.       
[38]  Ath-Thusi, al-Ghibah, hal 42,43 .
[39]  Abdul Jabbar, Tatsbit Dalaa`il an-Nubuwwah, Dar al-Arabiyyah, Beirut, Tahqiq: Abdul Karim Utsman.
[40]  Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 78.
[41]  Ushul al-Kafi, bab "Anna al-Ardh La Takhlu Min Hujjah", 1/201 .
[42]  Al-Muzhaffar Muhammad Ridha, Aqa`id al-Imamiyah, hal 66 .
[43]  Ibid, hal 71 .
[44]  Ya'qub bin Kullais, ar-Risalah al-Mazhabiyyah, hal 142.
[45]  As-Sajastani, Abu Ya'qub, Kitab al-Iftikhar, hal 71.
[46]  Kitab al-Iftikhar, hal 80 . Dan lih: al-Qadhi an-Nu'man bin Muhammad, Kitab al-Majalis wal-Musayirat, hal 118.   
[47]  Hadits ini diriwayatkan oleh ak-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da'aim al-Islam, 2/45. Juga Muslim dalam shahih-nya, Kitab al-Imarah, bab "al-Imam", no 1851, datang dengan lafaz:
( من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية )
Yang artinya: "barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan pada hari kiamat dia akan berjumpa dengan Allah tanpa memiliki hujjah, dan barang siapa yang mati tanpa melakukan bay'at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah". Juga diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Haitsami dalam Majma' az-Zawa`id, 5/218, dan dalam satu riwayat:
( من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية )
Yang artinya: "barang siapa mati tidak melakukan bay'at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah". Sanad kedua hadits ini dha'if. Juga diriwayatkan oleh ath-Tharani dalam al-Mu'jam al-Kabir, 19/388, no 910, dari Mu'awiyah dengan lafaz:
(من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية )
Yang artinya: "barang siapa mati tanpa ada seorang imam maka dia mati dalam keadaan jahiliyah". 
[48]  lih, ad-Da'i Hasan bin Nuh, Majmu'ah at-Tarbiyyah, hal 239, bagian dari kitab al-Imamah wa Qa`im al-Qiyamah .
[49]  Ad-Da'i Ahmad Hamiduddin al-Karamani, 1416H/1996M, al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 66, Beirut-Lebanon, tahqiq: Musthafa Ghalib, Dar al-Muntazhar. Ad-Da'i Ali bin al-Walid, Daamigh al-bathil Wa hatf al-Munadhil, 1/155. 
[50]  Syaikh Ja'far Subhani, Kitab Buhuts Fi al-Milal wan-Nihal, 8/223, dinukil dari internet: www-imamsadeq-org.  dan zaidiyah menolak propaganda ini, dan mereka berkata bahwa ini adalah suatu dusta dan kebohongan. Karena telah berlalu masa tanpa adanya rasul, juga tanpa keberadaan imam dan wasiat. Dan imam al-Qasim ar-Rassi az-Zaidi (w246H)  berkata menanggapi hal ini: " maka mereka ditanya dan tidak ada kekuatan kecuali Allah, mengenai masa-masa para rasul di masa yang lalu, apakah pada masa itu ada suatu masa yang kosong dari keberadaan seorang rasul, dan pada suatu umat yang sedikit ataupun banyak dari keberadaan seorang imam yang memberikan petunjuk, sebagai hujjah kepada Allah untuk para hamba yang berada bersamanya. Dia ajarkan kepada mereka perkara yang halal dan yang haram, serta semua hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk para hamba-Nya.ar-Raddu 'Ala ar-Rafidhah, hal 89.
Zaidiyah berpendapat bahwa hadits: 'barang siapa yang mati tanpa mengetahui imam pada masanya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah" datang untuk membuktikan kewajiban bagi keberadaan seorang imam, meyakini imamahnya, serta mengetahui sifat-sifatnya. Lih: al-Qasim ar-Rassi, Tatsbit al-Imamah, hal 40. Ahmad bin Hasan ar-Rashshash, al-Khulashah an-Nafi'ah, hal 228. Al-Jawab al-Mukhtar, hal 268. Juga lih: al-Imam Humaidan bin Yahya, at-Tashrih bil-Mazhab ash-Shahih, hal 131. Al-Muntaza' al-Awwal Min Aqwal al-A'immah Lah, hal 310, kedua kitab ini adalah bagian dari Majmu' as-Sayyid Humaidan.
Patut untuk disebutkan di sini, sesungguhnya imam al-Hadi Yahya bin al-Husain az-Zaidi (w298H), memiliki pendapat yang sama dengan pendapat imamiah itsna asyariyah dan isma'iliyah bathiniah dalam masalah ini. Dia mengakui bahwa tidak ada satu masa yang kosong dari keberadaan seorang imam. Hal ini jelas terlihat tatkala dia memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Dia berkata: "sesungguhnya tidak ada satu masa yang tidak hujjah Allah yang berupa kemunculan seorang imam yang mengajak kepada kebaikan dan menghalang dari kemunkaran. Jika seseorang mengetahui kewujudan imam tersebut kemudian dia mati, maka dia terlepas dari mati dalam keadaan jahiliyah. Dan dia mati dalam keadaan beragama. Dan orang yang tidak mengenal keberadaan imam, serta tidak mengakuinya, juga tidak meyakininya, maka dia keluar dari mati dalam keadaan beragama, dan dia mati dalam keadaan jahiliyah. Inilah pentafsiran dan makna hadits ini". Al-Hadi Yahya bin al-Husain, 1424H/2003M, Kitab al-Ahkam Fi al-Halal wal-Haram, 2/467, Sha'dah-Yaman, dikumpulkan oleh Ahmad bin Abi Huraishah, Mansyurat Maktabah at-Turats al-Islami. Teks ini tidak memerlukan penafsiran. Karena dia menunjukkan bahwa dunia tidak pernah terlepas dari kewujudan seorang imam yang wajib ditaati. Karena imam al-Hadi memang memiliki kecendrungan arah yang diambil oleh al-Jarudiyah. Dan al-Jarudiyah adalah kelompok dari zaidiyah yang memiliki lebih banyak kecendrungan kepada syi'ah imamiah. Dan ulama zaidiyah yang mengikut pendapat imam al-Hadi ini adalah al-Imam al-Husain bin al-Qasim al-Ayyani (w404H), yang berkata: "sesungguhnya bumi tidak terlepas dari kewujudan seorang hujjah". Al-Husain bin al-Qasim al-Ayyani, al-Mu'jiz, hal 242.        
[51]  Akidah raj'ah mengambil pembahasan sendiri dengan tulisan beberapa ulama besar mereka, seperti al-Hurr al-'Aamili, yang mengarang kitab "al-Iqazh min al-Haj'ah Fi Itsbat ar-Raj'ah. Dalam kitab ini dia kumpulkan lebih dari 620 penjelasan ayat dan hadits yang mengungkapkan secara terang-terangan mengenai raj'ah, yang dia nukil  dari tujuh puluh kitab yang telah dikarang oleh para pembesar ulama syi'ah imamiah. Dia berkata: "sesungguhnya berbagai hadits raj'ah datang dari ahli ishmah as karena dia ada pada empat kitab serta kitab yang lainnya yang diakui, juga banyaknya petunjuk lain yang bersifat qath'I yang menunjukkan kebenarannya dan pembuktian periwayatannya. Yang menunjukkan dia tidak memerlukan pendukung lain karena periwayatannya telah mencapai tahap mutawatir, bahkan telah melewati tahap itu. Dan semua hadits tersebut menunjukkan ilmu beserta pendukung yang memberikan isyarat kepadanya.  Maka bagaimana masih ada rasa syak walaupun semua telah sepakat. Dan al-Ahsa`i adalah yang mengarang kitab ar-Raj'ah. Abdullathif al-Baghdadi, ar-Raj'ah Alaa Dhaw`i al-Adillah al-Arba'ah.
As-Sayyid Muhammad Mu`min al-Husaini al-Astaarabadi yang mati syahid di Mekkah pada tahun 1088H mengumpulkan sekitar 111 hadits mengenai raj'ah yang dalam risalah singkatnya yang dinukil dari berbagai kitab yang terpercaya, dan kesemuanya berisikan teks mengenai raj'ah. Dan al-Hurr al-Amili (w1104H) meriwatayatkan "al-Iqazh Min al-Haj'ah bil-Burhan Alaa ar-Raj'ah" dalam kitabnya. Dan al-Allamah al-Majlisi (w111H) mengumpulkan sekitar 200 hadits dalam bab ar-Raj'ah dari kitab "Bihar al-Anwar", dan dia berkata: "bagaimana seorang mu`min merasa ragu dengan kebenaran para imam yang suci sedangkan ada sekitar dua ratus hadits yang jelas yang diriwayatkan secara mutawatir yang berbicara tentang mereka, dan perawinya ada sekitar 40 perawi besar yang terpercaya dan para pembesar ulama yang dipaparkan pada lebih dari 50 kitab karangan mereka. Di antara mereka adalah Tsiqqah al-Islam al-Kulaini, ash-Shaduq Muhammad Muhammad bin babawiyah, Syaikh Abu Ja'far ath-Thusi, as-Sayyid al-Murtadha, an-Najasyi, al-Kusyi, al-Iyasyi, Ali bin Ibrahim, Salim al-Hilali, Syaikh al-Mufid, al-Karajiki, an-Nu'mani, ash-Shaffar, Sa'ad bin Abdullah, Ibn al-Qulawiyah, as-Sayyid Ali bin Thawus, Furat bin Ibrahim, Abu al-Fadhl ath-Thabrasi, Ibrahim bin Muhammad ats-Tsaqafi, Muhammad bin al-Abbas bin Marwan, al-Baraqi, Ibn Syahr Aasyub, al-Hasan bin Sulaiman, al-Quthb ar-Ruawndi, al-Allamah al-Hulliy, dan yang lainnya. Lalu dia berkata: jika yang seperti ini tidak dianggap mutawatir maka seperti apa lagi yang disebut mutawatir sedangkan semua syi'ah baik yang lama maupun yang baru meriwayatkannya.          
[52] Sesungguhnya di antara akidah syi'ah yang paling menonjol yang memenuhi semua kitab mereka adalah akidah al-Mahdi al-Muntazhar Muhammad bin al-Hasan al-Askari, yang merupakan imam yang kedua belas dalam hitungan mereka. Dan mereka menjulukinya sebagai al-Hujjah, sebagaimana mereka juga menjulukinya sebagai al-Qa`im. Mereka mengklaim bahwa dia dilahirkan pada tahun 255H, dan menghilang dalam tahanan Surr Man Ra`a" pada tahun 265H. mereka menantikan kemunculannya pada penghujung zaman untuk membalas dendam kepada musuh-musuh mereka. Orang-orang syi'ah terus menziarahinya di terowong "Surr Man Ra`a" dan menyerunya untuk keluar. Akidah al-Mahdi al-Muntazhar dalam syi'ah diiringi dengan berbagai khurafat dan kepercayaan yang meyimpang yang membahayakan. Dan ide tentang kemunculannya pada masa sekarang ini telah tertanam di dalam keyakinan orang syi'ah, mereka telah bersiap sedia menanti kemunculannya dalam waktu dekat ini-menurut klaim mereka-, dan mereka berbicara mengenai kemunculannya pada beberapa ritual syi'ah.
Banyak cerita tentang penampakkannya, dan mereka mengklaim bahwa mereka dapat mengambil gambarnya. Akidah yang dimulai dari tahun 260H ini yang berlangsung sampai sekarang adalah dasar mazhab imamiah itsna asyariyah. Sehingga para ulama dan pusat-pusat syi’ah imamiah sangat perhatian terhadap perkara raj’ah, bahkan mereka menganggap orang yang mengingkarinya lebih kafir dari iblis.
Dengan akidah ini mereka terus melanjutkan dakwah kesucian para imam, dan cara ini mereka dapat mengutip uang dari pengikut mereka sebanyak 1/5, dengan alasan ini adalah bagian al-Mahdi al-Muntazhar. Dan dengan cara ini mereka mengaku bahwa terjalin hubungan dengan ahlul bait. Mereka terpaksa menciptakan akidah yang jauh dari logika karena mereka telah membatasi imamah hanya kepada keturunan Husain dan kepada beberapa orang tertentu saja. Akan tetapi pada tahun 260H mereka dikejutkan dengan kematian al-Hasan al-Askari -yang menurut kepercayaan mereka dia adalah imam yang kesebelas- tanpa meninggalkan keturunan, maka kematiannya ini membuat mereka terpecah dan tidak tentu arah. Dan menurut an-Nawbakhti mereka terpecah menjadi empat belas kelompok, dan menurut al-Qummi mereka terpecah menjadi lima belas kelompok. Kedua orang ini, -an-Nawbakhti dan al-Qummi- adalah pengikut kelompok ar-Rafidhah yang telah menyaksikan terjadinya peristiwa ini, dan keduanya adalah pembesar mereka pada abad ketiga.         
[53] Ash-Shahhah, 3/1216. Al-Qamus al-Muhith, 3/28.
[54] Muhammad Ridha Muzhaffar, aqa`id al-Imamiah, hal 80-81.
[55] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 53,74.
[56] Bihar al-Anwar, 71, 72.
[57] Bihar al-Anwar, 73, 74.
[58] Al-Kulaini, al-kafi, 8/14, 50. Tafsir al-Qummi, 1/385. Tafsir al-Ayyasyi, 2/26,259. Al-I'tiqadat, ash-Shaduq, 62.
[59] Al-Amili, al-Iqazh Min al-Haj'ah, 8/76.
[60] Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqa`id al-Imamiyah, hal 82.
[61] Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqa`id al-Imamiyah, hal 82.
[62] Aal Kasyif al-Ghitha, Ashl asy-Syi'ah Wa Ushuliha, hal 47, al-Maktabah al-Haidariyyah, 1969M.
[63] Al-Mufid, Awaa`il al-Maqaalat, hal 47.
[64] Dinukil dari ar-Raj'ah karya al-Ahsa`I, hal 30.  
[65] Muhammad Jawwad Mughniah, asy-Syi'ah fil-Mizan, hal 54,55.
[66] As-Sayyid Muhsin al-Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hal 473.
[67] Muhammad Abu Zuhrah, al-Imam ash-AShadiq, hal 240.
[68] Al-Mufid, Awa`il al-Maqalat, hal 89-90.
[69] Aqa`id al-Imamiyah al-Itsna Asyariyah, 2/228.
[70]  Ahmad bin Zainuddin al-Ahsaa`i. wafat tahun 1241H, dan dianggap sebagai salah satu pembesar ulama modern imamiah. Komentar Al-Khawnasary mengenainya dalah: dia adalah penterjemah para hakim yang hebat, dia adalah lidah para cendikiawan dan mutakallimin, pemuka pada masa itu, filosof pada masanya, pada masa ini tidak ada yang dapat menandingi pengetahuan dan pemahamannya, kemuliaannya dan ketegasannya, kelurusan dan kebaikan jalannya". Rawdhaat al-Jannaat, 1/88,89.
[71] Ahmad al-Ahsaa`i, ar-Raj'ah, hal 41.
[72] Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqa`Id al-Imamiyah, hal 82.
[73] Tafsir al-Alusi, 6/315.
[74] Sepanjang sejarah politik islam kita dapati syi'ah dengan segenap keperbagaian kelompoknya senantiasa mengambil sikap oposisi. Dia selalu menjadi partai oposisi. Akan tetapi gaya yang dipergunakan oleh masing-masing kelompok syi'ah ini saling berbeda. Maka syi'ah zaidiyah memilih sikap oposisi yang secara terang-terangan tanpa bersembunyi dan berselindung, dan sikap ini mereka namakan dalam istilah mereka sebagai prinsip (khuruj) melawan. Sedangkan syi'ah imamiah dan isma'iliyah mengambil cara rahasia, atau yang dikenal dalam istilah mereka sebagai taqiyah. 
[75] Al-Mufid, Awa`il al-Maqalat, hal 210.
[76] Al-Bahrani, al-Kasykul, 1/202.
[77] Al-Khumaini, Kasyfu al-Asrar, hal 147.
[78]  Al-Mufid, Tashih I'tiqadat ash-Shaduq, hal 220, cet Tibriz-Iran. 
[79]  Aal Kasyif al-Ghithaa, Ashl asy-Syi'ah Wa Ushuliha, hal 178.
[80]  Aal Kasyif al-Ghithaa, Ashl asy-Syi'ah Wa Ushuliha, hal 178.
[81]  Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/219.
[82]  Al-Ushul al-Ashliyah, hal 324.
[83]  Ibnu Babawiyah, al-I'tiqadat, hal 114.
[84]  Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 75/412.
[85]  Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/217. Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 75/423. Al-Hurr al-Amili, Wasa`il asy-Syi'ah, 11/460.
[86] Tafsir al-Hasan al-Askary, hal 130. Al-Hurr al-Amili, Wasa`il asy-Syi'ah, 11/474. Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 75/415.
[87] DR.Nashir bin Abdullah Ali al-Qaffari telah membuat satu riset khusus mengenai persoalan ini  yang berjudul: "Mas`alah at-Taqrib Bayna Ahli as-Sunnah wasy-Syi'ah", riset ini diajukan sebagai thesis untuk mencapai tingkatan master. Diterbitkan oleh Dar Thibah-Saudi Arabia.
[88]  Risalah al-Islam, as-Sunnah al-Uulaa, terbitan pertama, hal 22-24.
[89]  Muqaddimah kitab "ad-Da'wah al-Islamiyyah Ila Wihdati Ahli as-Sunnah wal-Imamiyah", Muhammad Jawwad Mughniah.
[90]  Lih,Fatwa Syaltut Fi Mulhaq al-Watsa`iq.
[91] Ja'far Subhani, Adhwaa` Alaa Aqa`id asy-Syi'ah al-Imamiyah, hal 427.
[92]  Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, 1/234, maddah Badaa.
[93] Abduz-Zahr an-Nadar, Nazhariyyah al-Badaa` Inda Shadr ad-Din asy-Syairazi, hal 27, Mathba'ah an-Nu'man, an-Najef, 1975M.
[94] Abduzzahar an-Nadr, Nazhariyyah al-Badaa` Inda Shadruddin asy-Syairazi, hal 27, Matba'ah an-Nu'man, Najef, 1975M.
[95] Ash-Shaduq, at-Tawhid, hal 332,333, Dar al-Ma'rifah, Beirut-Lebanon, editor: as-Sayyid Hasyim al-Husayni ath-Thahrani.
[96]  Ash-Shaduq, at-Tawhid, hal 335.
[97] Al-Mufid, Awa`il al-Maqalat, hal 94, Tibriz-Iran, cet 1/1363H.
[98] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 4/130, Mu`assasah al-Wafa, Beirut, cet 3/1983M.  

0 komentar:

Post a Comment