Monday, April 16, 2012

Mengenal Syi'ah (3)

Mengenal Syi'ah (3)
 Syi’ah Isma’iliyah Batiniyah
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Definisi Bathiniah
            Definisi al-Bathin menurut pengertian terminologi adalah: antonim zhahir, atau, sesungguhnya zhahir adalah kebalikan dari bathin[1]. Al-Bathin adalah termasuk salah satu asma Allah ta’ala, yang memiliki makna: Yang Maha Mengetahui berbagai perkara yang rahasia dan tersembunyi, yang terhalang dari penglihatan dan imaginasi manusia. Dan syi’ah isma’iliyah batiniyah adalah sebuah sekte syi’ah yang memiliki keyakinan bahwa syari’ah memiliki aturan zahir dan batin, yang memerlukan penta`wilan[2].      
            Sedangkan definisinya secara epistimologi adalah sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Ahmad bin Sulaiman (w 566H)[3]: “batiniah berafiliatif kepada ism’ailiyah, dan mereka merupakan sekte yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislamanan, mereka berkata: bagi setiap perkara yang zahir ada maksud yang tersembunyi”[4].
            Al-Imam az-Zaydi al-Qasim bin Muhammad (W 1029M) berkata, “ sesungguhnya kelompok bathiniah menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, dan mereka tidak mengikut mana-mana syari’at”[5].
            Ibnul Jauzi berkata: “Bathiniah merupakan kaum yang bersembunyi atas nama islam, sedangkan mereka cenderung kepada akidah rafidhah. Pengamalan mereka terkadang menampakkan keislaman, akan tetapi mereka mengatakan bahwa hal itu memiliki rahasia yang tidak nampak. Kemudian ada yang mengatakan bahwa mereka adalah termasuk kelompok syi’ah ismailiyah yang berafiliatif kepada seorang pemimpin yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ja’far”[6].
            Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa bathiniah adalah julukan khusus yang dipergunakan untuk menunjukkan salah satu sekte yang dinisbahkan kepada syi’ah Isma’iliyah, yang memiliki keyakinan zahir dan batin, serta kewajiban adanya ta`wil dalam syari’ah, karena yang dimaksud dalam syari’ah –menurut pandangan mereka- adalah perkara yang batin bukan yang zahir, oleh karena itu mereka menolak yang zahir dalam al-Qur`an[7].
            Guru saya Prof.Dr. Muhammad al-Jalayand memberikan catatan bahwa imam Ibnu Taimiah biasanya tidak mempergunakan julukan “bathiniyah” untuk makna yang tertentu bagi suatu kelompok tertentu. Bahkan dia mempergunakannya untuk berbagai kelompok dan aliran, di antaranya: kelompok shufiyyah[8], isma’iliyah[9], filsafat[10], dan jahmiyah[11], serta kelompok lain yang meyakini perkara zahir dan batin. Karena menurut pandangan Ibnu Taimiyah standarisasi utama ketika memberikan julukan bathiniyah adalah manakala seseorang meyakini penafsiran al-Qur`an secara batin[12].
            Oleh karena itu, DR. Abdurrahman Badawi menetapkan dalam pendefinisiannya terhadap bathiniyah sebagai: “julukan umum yang masuk ke dalamnya berbagai aliran dan kelompok, dan sifat yang menyatukan mereka ini adalah ta`wil nash zahir dengan makna batin yang dianut oleh berbagai aliran….yang bermakna bahwa berbagai nash-nash agama yang suci merupakan symbol-simbol dan isyarat-isyarat yang membawa kepada hakikat yang tersembunyi dan rahasia yang tertulis[13].
            Berdasarkan pendapat di atas, maka penggunaan kalimat al-bathiniyah adalah luas, mencakup semua kelompok dan aliran yang mengklaim bahwa al-Qur`an mempunyai makna zahir dan batin, tanpa perduli apakah mereka dari kelompok filsafat, ataukah syi’ah, ataukah tasawuf, ataukah yang selainnya. Hal ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh bathiniyah terhadap berbagai kelompok islam. Sedangkan ketika pemahamannya disempitkan dan dikhususkan kepada suatu kelompok tertentu maka yang kami maksudkan adalah syi’ah Isma’iliyah yang telah dimurtadkan oleh mayoritas kelompok-kelompok islam islam, seperti asy’ariah, mu’tazilah, dan syi’ah zaidiyah. Dan kelompok syi’ah zaidiyah inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kami[14].
            Lalu timbul pertanyaan, kapankah munculnya bathiniah sebagai satu sekte dari sekte syi’ah isma’iliyah?
            Berbagai sumber buku-buku mengenai perbandingan agama mengisyaratkan bahwa Maimun bin Daishan al-Qaddah –yang merupakan asisten Ja’far ash-Shadiq- merupakan salah seorang pendiri dakwah syi’ah Isma’iliyah bathiniah. Dia mengajak manusia untuk mengangkat Muhammad bin Ismail sebagai imam. Dan melalui perannya tersebarlah dakwah syi’ah isma’liyah bathiniah. Hal ini diungkapkan oleh Abdul Qahir al-Baghdadi, bahwa aliran bathiniah muncul pada masa kepemimpinan al-Ma`mun, dan tersebar luas pada masa kepemimpinan al-Mu’tashim. Dan sesungguhnya yang mendirikan dakwah bathiniah –sebagaimana yang diceritakan oleh para pemilik cerita ini- adalah beberapa orang, di antaranya adalah Maimun bin Daishan yang diberikan julukan al-Qaddah, serta Muhammad bin al-Husain yang diberikan julukan Dzaidzan atau Dandan, dan Maimun adalah asisten Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq[15].              
            Imam Muhammad bin al-Hasan ad-Dailami (W 711 H) telah menetapkan masa munculnya bathiniah. Dia menyebutkan secara pasti bahwa bathiniah muncul pada tahun 250 H, dan teks bagi pendapatnya ini berbunyi: “sesungguhnya permulaan munculnya aliran bathiniah adalah pada tahun 250 Hijriah. Aliran ini ditumbuhkan oleh suatu kelompok yang licik yang di hati mereka tersimpan kebencian terhadap islam serta kepada Nabi Muhammad saw. Mereka itu terdiri dari pada orang-orang filsafat, majusi dan yahudi. Dan da’i mereka yang terakhir adalah Maimun al-Qaddah”[16]
            Dari uraian di atas dapat kita fahami bahwa dakwah bathiniah ditumbuhkan oleh sekelompok manusia yang terdiri dari para ahli filsafat, majusi, dan yahudi. Dan ajaran ini menyebar melalui peran Maimun al-Qaddah. Pemahaman kami ini berlandaskan fakta bahwa dasar-dasar bathiniah tidak dikenal sebelum munculnya Maimun al-Qaddah. Maka dengan kepemimpinannya tersusunlah untuk pertama kalinya dasar-dasarnya yang tersembunyi. Dialah yang berperan mengumpulkan kelompok ini semasa dia berada di dalam penjara. Maka dia dan rekan-rekannya mendirikan dasar-dasar aliran ini, lalu mereka ajarkan para kader aliran mereka di dalam penjara. Manakala dia keluar dari penjara, dia kirim para kadernya ke berbagai daerah untuk menyebarkan dasar-dasar dan ajaran bathiniah[17].
            Akan tetapi ada beberapa sumber yang menunjukkan bahwa aliran bathiniah muncul melalui peran anak Maimun, yaitu Abdullah bin Maimun, tahun 276 H. Hal ini diungkapkan oleh pengarang kitab Kasyfu Asrar al-Bathiniyyah, al-Hammady (W sekitar 470 H). Dia berkata: “asal ajaran yang dilaknat dan disukai oleh orang-orang kafir dan tersesat ini adalah akibat kemuculan Abdullah bin Maimun al-Qaddah di Kufah, dan kemunculannya terjadi pada tahun 276 Hijriah”[18]. Pendapat ini diperkuat oleh Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (W 840 H), dengan perkatannya: “dan ajaran mereka menyebar setelah dua ratus tahun Hijriah. Ajaran ini dimunculkan oleh Abdullah bin Maimun al-Qaddah, yang pada asalnya adalah seorang majusi, lalu dia bersembunyi di balik jubah syi’ah dengan tujuan menghancurkan islam”[19].
            Akan tetapi menurut hemat kami, pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa Maimun al-Qaddah yang wafat sekitar tahun 198 H adalah yang mendirikan aliran bathiniah. Adapun mengenai riwayat al-Hammadi, maka DR. Muhammad Utsman al-Khusyb mengatakan dalam komentarnya mengenai teks al-Hammadi bahwa berdasarkan beberapa sumber sejarah nampaknya al-Hammadi tercampur antara Maimun al-Qaddah dengan anaknya Abdullah, terkadang dia menyebut Abdullah sebagai pendiri ajaran bathiniah, dan terkadang dia menyebut bapaknya yaitu Maimun sebagai pendirinya[20].
            Di tempat yang lain, Muhammad bin al-Husain al-Akwa’ memberikan catatan manakala dia memberikan komentarnya terhadap teks ini bahwa terjadi imaginasi dan kesalahan. Dia berpendapat bahwa orang yang menyalin telah melakukan kesalahan dalam menukil tulisan pengarang, karena Maimun al-Qaddah muncul sebelum tahun 250 Hijriah. Dan dalam kitab al-Fihrisit[21] Ibnu an-Nadim memaparkan bahwa terjadi  koresponden antara Abdullah bin Maimun dan Qaramth pada tahun 251 H,  jika yang dia maksudkan adalah anak Maimun yaitu Abdullah, maka hal ini menjadi mu’jizat –sebagaimana yang disifatkan orang-, maka sesungguhnya kemunculannya di Sijulmasah  pada tahun 296 H membuktikan imaginasi yang mengatakan bahwa Ibnu Fadhl dan Manshur al-Yaman keluar dari Kufah ke Yaman pada tahun 268 H[22].
            Di samping itu, an-Naubakhti (W 332 H) berpendapat telah terjadi penyatuan antara dua gerakan al-Khithabiyah dan syi’ah Isma’iliyah bathiniah[23]. Atau bisa juga kita katakan bahwa syi’ah Isma’iliyah lahir dari al-Khaththabiyah. Bahkan al-Qummi berpendapat bahwa syi’ah Isma’iliyah yang murni itu adalah al-Khaththabiyah[24]. Karena manakala Abu al-Khaththab meninggal dunia maka pengikutnya beralih mengikuti Muhammad bin Isam’il bin Ja’far ash-Shadiq, mereka mengangkatnya sebagai imam mereka, dan mereka ikrarkan loyalitas mereka kepadanya. Maka kelompok syi’ah Isma’iliyah adalah juga kelompok al-Khaththabiyah[25].
            Hal ini dikuatkan lagi oleh Imam Ahmad bin Sulaiman (W 566 H) dalam pembicaraannya mengenai sekte-sekte syi’ah, bahwa syi’ah Isma’iliyah adalah juga sekte al-Mubarakiyah dan al-Khaththabiyah. Sekte al-Mubarakiyah meyakini keimaman Muhammad bin Isma’il, sedangkan sekte al-Khaththabiyah meyakini ketuhanan Ja’far[26]. Meskipun para penulis dari golongan sunni dalam buku-buku mereka tidak mengisyaratkan adanya hubungan langsung antara al-Khaththabiyah dengan syi’ah isma’iliyah akan tetapi apa yang mereka ungkapkan mengenai akidah al-Khaththabiyah menguatkan apa yang dikatakan oleh an-Naubakhti mengenai wujudnya penyatuan dua sekte ini. Yaitu Asy-Syakhrastani yang menisbahkan metode ta`wil syi’ah Isma’iliyah terhadap ayat-ayat al-Qur`an kepada al-khaththabiyah[27]. Dan al-Asy’ari yang menisbahkan keyakinan imam diam dan imam berbicara kepada akidah al-Khaththabiyah, sedangkan ini adalah akidah milik syi’ah Isma’iliyah[28].
            Semua bukti mengenai wujudnya kemiripan antara akidah al-Khaththabiyah dan Isma’iliyah dengan jelas menunjukkan kepada kita  mengenai wujudnya hubungan antara al-Khaththabiyah dan al-Isma’iliyah[29]. Dan hal ini juga diisyaratkan oleh DR. Sami an-Nasysyar, dengan perkataannya: “tidak diragukan bahwa banyak dasar al-Khaththabiyah yang kemudian masuk ke dalam akidah Isma’iliyah. Akan tetapi hal ini terjadi setelah terbunuhnya Abu al-Khaththab, dan banyak pengikutnya yang memeluk keyakinan Isma’iliyah pada masa Abdullah bin Maimun al-Qaddah”[30]
            Bathiniyah dikategorikan sebagai perpanjangan dari ekstrimis syi’ah yang tidak hanya terbatas kepada pendapat bahwa Ali adalah mahluk yang paling mulia setelah Rasulullah saw, bahkan mereka juga mengklaim bahwa dia berada pada posisi kenabian, sebagaimana yang akan kami jelaskan kemudian. Hal ini dipaparkan oleh guru saya Prof.DR. Muhammad al-Jalayand: “sedangkan bathiniyah dalam pengertiannya yang spesifik merupakan suatu kelompok yang khusus dinamakan seperti ini dalam sejarah filsafat islam. Maka Ibnu Taimiah mengkategorikannya sebagai perpanjangan alami bagi gerakan ekstrimis di dalam syi’ah, karena bathiniah dan qaramithah tumbuh dalam lingkungan syi’ah yang subur dan milieu yang sesuai untuk menanam pemikiran mereka serta menuai hasilnya”[31]. Dan Henry Korban berpendapat bahwa aliran syi’ah Isma’iliyah batiniyah adalah aliran yang pertama dalam islam[32].
            Sedangkan di lain tempat, Imam bin al-Hasan ad-Dulaimi berpendapat bahwa akidah batiniah adalah sebagaimana halnya dengan akidah ekstrimis syiah yang lain yang materi utamanya bersambung kepada akidah syi’ah imamiah. Pendapatnya ini diungkapkan secara terang-terangan: “sesungguhnya landasan aliran ekstrimis, al-Mufawwadhah, dan batiniah isma’iliyah serta imamiah itsna ‘asyariah saling bercampur dalam banyak permasalahan, oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa imamiah adalah lorong bathiniah, karena semua orang memasuki syi’ah melaluinya, dan mereka semua mengklaim  sebagai penganut syi’ah, kemudian mereka bersikap ekstrim dalam agama, dan mereka keluar melalui jalan kaum muslim”[33]. Sedangkan Imam Abu al-Qasim Muhammad al-Hutsi berpendapat bahwa aliran ekstrimis dan mufawwadhah adalah yang membuka jalan bagi aliran batiniah[34].Berbagai Julukan Yang Terdapat Dalam Sekte Syi’ah Isma’iliyah Bathiniah
            Aliran isma’iliyah bathiniah memberikan perhatian yang sangat besar dalam kepemilikan jumlah yang besar kubu-kubu di semua tempat, dan di antara semua strata sosial. Karena aliran ini harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tabiat, keinginan, serta kecendrungan orang yang sangat banyak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pengikut aliran isma’iliyah atau bathiniah terbagi kepada berbagai kelompok yang memiliki perbedaan yang sangat besar dan jelas dengan akidah yang ada dalam islam. DR. Musthafa Ghalib[35] berkata: “ sesungguhnya akidah-akidah isma’iliyah tidak mungkin dapat dipelajari dan diteliti sebagai sebuah akidah yang permanen bagi satu kelompok, karena dia memiliki akidah yang berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan dan masa, maka dia ikut berubah dengan perubahannya, pandangan-pandangan dan teori-teorinya semakin menggurita, sehingga menjadi susah untuk mengkristalkan dan mengekalkan akidah ini dalam satu wadah”[36].
            Berdasarkan hal ini, maka aliran isma’iliyah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan sebagaimana halnya aliran yang lain. Sebagai contoh, ada perbedaan antara isma’iliyah pertama dengan ad-Durruz yang menuhankan al-Hakim Bi Amrillah[37], dan sebagian pengikut kelompok isma’iliyah berusaha membatalkan propaganda ad-Durruz ini. Dan sekte-sekte isma’iliyah juga saling berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, maka setiap da’inya bertindak sesuai dengan kondisi khusus bagi setiap tempat[38]. Jadi dalam satu masa kita dapat melihat berbagai akidah yang berbeda yang saling bertentangan yang semuanya berafiliasi kepada isma’iliyah. Perbedaan ini terhasil dari apa yang disebarkan oleh para da’i yang berbeda di setiap tempat yang berbeda. Meskipun mereka itu semua mendapatkan ilmu dari satu sumber yang sama akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa mereka saling berselisih di antara mereka sesuai dengan karakter kepribadian masing-masing, dan sesuai dengan kadar pemahamannya terhadap akidah-akidah, atau akibat penta`wilan bathiniah bagi berbagai perkara agama yang mereka itu mempunyai wawasan yang saling berbeda, serta tingkat rasional yang berbeda. Dan di samping itu juga perbedaan dari segi sosial tempat mereka hidup, di antara mereka ada yang berdakwah kepada orang-orang yang bodoh dan naïf, dan di antara mereka ada yang berdakwah kepada orang yang terpelajar dan berwawasan, oleh karena itu kita dapati ada perbedaan di antara para da’i tersebut dalam materi dakwah mereka kepada manusia[39].
            Berangkat dari perubahan dan perkembangan ini, maka kita dapati bathiniah memiliki berbagai julukan sesuai dengan tempat tersebarnya para pendakwah mereka, serta perbedaan masa. Hal ini menyebabkan terciptanya berbagai kelompok yang banyak pada pengikutnya, akan tetapi mereka semua memiliki satu tujuan, yaitu memperdaya islam dengan kelicikan mereka. Oleh karena itu, kita tidak ambil perduli dengan julukan-julukan mereka ini selama mereka semua bersepakat mengatakan perkara batin. Dan  setelah mengamati dan memerhatikan perkembangan dan perubahan  kelompok ini, syi’ah zaidiyah berpendapat bahwa pada setiap masa dan tempat mereka menciptakan aliran yang lain, untuk menjauhkan umat islam dari agama mereka. Karena tujuan mereka adalah membawa manusia kepada atheisme. Sebagaimana halnya serigala jika sudah merasa putus asa untuk menerkam domba dari satu arah maka dia berpindah ke arah yang lain[40]. Bahkan akibat kelihaian mereka dalam menutupi aliran mereka serta perubahan terus menerus yang mereka lakukan, maka hampir saja aliran mereka ini tidak diketahui. Sehingga aliran mereka ini tersebar pada tahun dua ratus Hijriah lebih[41]. Meskipun banyak upaya yang mereka lakukan untuk menyebarkan akidah mereka dengan menggunakan berbagai nama aliran, akan tetapi mereka tidak mampu menjadikan aliran mereka sebagai suatu aliran yang eksis, karena akidah mereka sama sekali berbeda dengan akidah dan syari’ah islam[42].
            Dalam kitab Fadhah`ih al-Bathiniyyah Imam al-Ghazali memaparkan bahwa bathiniah memiliki puluhan julukan. Di antaranya: al-Bathiniah, al-Qaramithah, al-Qarmuthiyyah, al-Khuramiyyah, al-Khurramdiniyyah, al-Isma’iliyah, as-Sab’iyyah, al-Babikiyyah, al-Muhammarah, dan at-Ta’limiyyah[43].  Kemudian para ulama syi’ah Zaidiyah juga menambahkan julukan yang lain kepada isma’iliyah bathiniah, seperti al-Mubarakiyah, al-Ibahiyah, al-Mulahidah, al-Kharamdantiyyah, az-Zanadiqah, asy-Syarwiniyyah, dan al-Maimuniyyah[44]. Dan Abdul Qahir al-Baghdadi berpendapat bahwa al-Khurramdantiyah adalah al-Khurmiyyah, sedangkan asy-Syarwiniyyah adalah al-Babikiyyah, yang asal penamaannya adalah dinisbahkan kepada seorang raja jahiliah yang bernama Syarwin yang berketurunan Negro dari pihak bapak, sedangkan ibunya berasal dari keturunan diraja farsi[45].
            asy-Syahrastani juga memaparkan julukan-julukan yang diberikan kepada bathiniah, di Iraq mereka disebut al-Bathiniah, al-Qaramithah, dan al-Muzdikiyyah. Di Kharasan mereka dinamakan at-Ta’limiyah dan al-Mulhidah. Kemudian terungkap bahwa mereka merasa bangga dengan nama al-Isma’iliyah untuk membedakannya dengan kelompok syi’ah yang lain, serta tunduknya mereka terhadap keimaman Isma’il bin Ja’far[46].
            Muhammad bin al-Husein al-Akwa’ juga menyebutkan bahwa Isma’iliyah di Yaman masyhur dengan tiga nama: al-Bathiniah, al-Isma’iliyah, dan al-Qaramithah[47].             
            Walau bagaimanapun juga, sesungguhnya bathiniah berafiliasi kepada syi’ah isma’iliyah. Dan dia diberikan berbagai macam julukan yang berbeda sesuai dengan perbedaan negeri. Di Iraq mereka dikenal dengan nama al-Qaramithah dan al-Muzdakiyah, sebagai nisbah kepada Muzdak pada masa kepemimpinan as-Sasani. Di Kharasan mereka dikenal dengan nama at-Ta’limiyah[48].  Di Mesir dikenal dengan nama al-‘Ubaidiyyin, sebagai nisbah kepada Ubaidillah al-Mahdi yang terkenal sebagai pendiri negara mereka. Sedangkan di Syam mereka dikenal dengan nama an-Nushairiyyah dan ad-Durruz. Di Palestin dikenal dengan nama al-Baha`iyah. Di India dikenal dengan nama Baharah dan Isma’iliyah. Di Yaman dikenal dengan nama al-Yamiyah. Di negeri Kurdi dikenal dengan nama al-Alawiyah, karena mereka mengatakan bahwa Ali adalah Allah. Di Turki mereka dikenal dengan nama al-Bakdasyiyah. Sedangkan di negara asing yang lain mereka dikenal dengan al-Babiyah[49]
            Menurut guru saya Prof.DR. Musthafa Helmi, gerakan bathiniah dapat dikatakan sebuah jaringan berantai yang hampir tidak pernah terputus, yang dimulai dengan aliran Sab`iyah, lalu muncul di zaman modern dalam bentuk aliran al-Babiyah dan al-Baha`iyah[50].
            Setelah kami sebutkan berbagai julukan bathiniah, lalu timbul pertanyaan, apakah berbagai julukan yang dipaparkan oleh para ulama[51] ini diterima oleh para penganut aliran bathiniah?
            Pendakwah bathiniah Ali bin al-Walid al-Bathini (w 612 H) menjelaskan sikap bathiniah terhadap julukan-julukan ini melalui kritikannya terhadap kitab Fadha`ih al-Bathiniyyah karya imam al-Ghazali, dia berkata: “ sesungguhnya kelompok-kelompok ini yang diceritakan, dipaparkan, dan diungkapkan oleh si kafir[52] ini, dan dia sebutkan dengan berbagai nama dan julukan yang dia paparkan, di antara itu semua hanya satu nama yang mesti kami akui, yaitu isma’iliyah, yang merupakan bentuk kebanggan kami terhadap tuan kami Isma’il bin Ja’far ash-Shadiq. Maka nama ini adalah nama yang harus kami gunakan[53].
            Dari teks ini dapat dilihat dengan jelas bathiniah sangat bersikeras untuk diberikan julukan isma’iliyah. Mereka merasa bangga menyandang nama ini. Hal ini menunjukkan keinginan keras mereka untuk masuk ke dalam bagian syi’ah. Nama isma’iliyah ini terus berlanjut dan diakui sampai mulai terbentuknya daulah fathimiah yang didirikan oleh Abdullah al-Mahdi di Maroko. Pada masa itu penamaan baru “al-Fathimiyah” menggantikan nama lama “Isma’iliyah”[54].     
            Kita dapat temukan bahwa perubahan nama yang dialami isma’iliyah bathiniah ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling utama di antaranya adalah: mengkaitkan nama daulah yang baru dengan nama yang disukai dan dekat dengan hati rakyat di Maroko, yaitu dari satu sisi nama “Fathimah az-Zahraa” adalah nama anak perempuan Nabi Muhammad saw, dan dari sisi yang lain adalah untuk membedakan mereka dengan “Alawiyyin” yang lain yang lahir dari keturunan Ali bin Abi Thalib ra dari isteri yang selain Fathimah az-Zahraa. Dan perlu diingat bahwa nama “al-Isma’iliyah” kembali muncul menggantikan nama al-Fathimiyah setelah hancurnya daulah Fathimiah di Mesir[55].  Berdasarkan ini, maka nama al-isma’iliyah, al-Qaramithah, dan al-Fathimiyah adalah tiga nama yang mempunyai makna satu.
            Ada catatan yang perlu diperhatikan di sini, yaitu sesungguhnya julukan al-Kharamiyyah yang mengandung ide penghalalan perempuan untuk bapak bagi kalangan bathiniah –sebagaimana yang diungkapkan oleh imam al-Ghazali dalam kitab Fadhah`ih al-Bathiniyyah- dan Imam Muhammad bin al-Hasan ad-Dulaimi az-Zaidi (w 711 H) dalam kitab “Qawa’id Aqa`id Aal Muhammad”[56]- serta ulama yang lainnya, secara hakikatnya memerlukan kepada telaahan dan penelitian. Karena tidak mungkin bagi manusia manapun –secara tabiatnya- untuk menerima ide yang menyimpang ini. Dan inilah yang dijelaskan oleh guru saya Prof.DR. Muhammad as-Sayyed al-Jalayand, tatkala beliau memberikan komentar terhahadap salah satu bait syair yang diucapkan oleh salah seorang pengikut Ali bin al-Fadhl dari atas mimbar[57], komentar beliau terhadap bait syair ini: “meskipun ada keraguan dalam diri saya mengenai kebenaran isi bait syair ini serta kandungan maknanya yang tidak mampu diterima oleh akal manusia waras, akan tetapi banyaknya ungkapan makna ini dalam berbagai bentuk dalam berbagai kitab dirasah sekte-sekte dan akidah membuat diri saya mulai mempercayai apa yang diperkatakan mengenai ide mereka ini, meskipun saya sama sekali tidak dapat menerima ide mereka mengenai penghalalan saudara perempuan ( untuk saudara laki-laki mereka) dan anak-anak perempuan (untuk bapak mereka)”[58].   

Tujuan-tujuan Da'wah Dan Gerakan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniah

            Sesungguhnya jenis tujuan serta tabiat suatu aliran tidak dapat kita ketahui kecuali jika kita mengetahui jenis akidah dan fikih aliran tersebut. Oleh karena itu kita tidak akan dapat mengungkap berapa besar tantangan dan bahaya yang ditimbulkan oleh aliran bathiniah dalam bidang akidah dan pemikiran kecuali jika kita teliti ajaran-ajaran mereka yang menjadikan teks-teks al-Qur`an memiliki sisi zahir dan batin, dan kedua hal ini telah keluar dari landasan akidah islam. Kita dapat menyaksikan pengaruhnya setelah propaganda bathiniah menyebar di dunia barat dan timur islam. Mereka mampu merusak akidah sebagian manusia, menimbulkan fitnah dan keresahan, serta membunuh individu yang menentang mereka. Mereka telah membunuh ratusan pemimpin, ulama, dan penguasa, dan mereka timbulkan rasa ketakutan di serata tempat. Untuk lebih memperjelas kerusakan yang ditimbulkan oleh ajaran bathiniah cukup dengan mengetahui hasil yang ditimbulkan oleh ajaran ini. Yaitu manakala gerakan bathiniah ini berkuasa di Mesir, mereka dirikan mesjid al-Azhar yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran bathiniah. Dan kekuasaan mereka berlangsung sampai masa pemerintahan al-Hakim Bi`amrillah yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Dan orang yang membaca sejarah dengan objektif dapat menyaksikan kezaliman, pelanggaran, dan perilaku biadab yang mereka lakukan. Semua ini bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh orang-orang yang menafsirkan sejarah secara materil. Sebagaimana juga tidak kita lupakan peristiwa pencabutan Hajar al-Aswad di kota Mekkah[59] (yang dilakukan oleh gerakan syi’ah isma’iliyah bathiniah).      
            Para ulama telah bersepakat pendapat mengenai kesesatan aliran bathiniah. Bahkan aliran ini mereka kategorikan sebagai suatu aliran yang telah keluar dari agama islam. Karena dengan propaganda bathiniah ini mereka bertujuan menghapuskan syari’ah dan ajaran islam yang abadi[60]. Berkaitan dengan ini imam Muhammad bin al-Hasan ad-Dailami berkata: “dan tujuan dari pembentukan aliran ini adalah untuk menghapuskan islam, memunculkan majusi, keyakinan mengenai tabiat dan kekekalan alam, keingkaran terhadap Sang Pencipta, serta menghapuskan syari’at-syariat islam”[61]. Oleh karena itu, syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa pada hakikatnya bathiniah telah keluar dari islam, akan tetapi mereka menyamar sebagai muslim secara zahirnya, sehingga mereka dimasukkan ke dalam kelompok islam[62].
            Silvaster Dosassy seorang orientalis Perancis yang terkenal memamparkan dalam penjelasannya mengenai tujuan-tujuan propaganda bathiniah bahwa propaganda ini memiliki tujuan menjadikan filsafat sebagai pengganti agama, menjadikan akal sebagai pengganti iman, dan kebebasan berfikir yang tidak ada batasnya sebagai pengganti kuasa wahyu. Dan kebebasan tersebut, atau lebih tepatnya kebolehan mutlak tersebut tidak mungkin dapat terus bertahan hanya sekedar sebagai pendorong dan motivator akal, akan tetapi dia masuk ke dalam hati, dan ketika itu secara cepat pengaruh moralnya yang buruk akan segera menyebar. Dan seperti itulah, maka dari ajaran isma’iliyah bathiniah ini muncul kelompok-kelompok manusia yang menjaga semua yang diajarkan oleh akidah mereka yang terdiri dari berbagai jenis kefasikan dan kekufuran. Mereka ini bukan hanya melepaskan diri mereka dari ikatan agama dan ibadah secara umum saja, bahkan mereka juga telah terlepas dari ikatan rasa malu dan etika[63].      
            Oleh karena itu, sesungguhnya menampakkan hakikat akidah bathiniah meruapakan suatu perkara yang dlaruri dan harus dilakukan. Karena ajaran bathiniah mengandalkan kerahasiaan dan kegeneralan untuk mengaburkan mata manusia dari hakikat tujuannya, sebagaimana yang akan kami paparkan dengan lebih jelas dalam pembicaraan kami mengenai metode dakwah mereka.
            Nampak jelas bahwa ta`wil adalah cara mereka yang efektif untuk mencapai tujuan ini[64]. Persoalan ta`wil banyak diperbincangkan di dalam kitab-kitab mereka, sehingga dapat kami katakan bahwa semua kitab-kitab isma’iliyah bathiniah hanya memuat permasalahan ta`wil saja. Ta`wil-ta`wil yang merusak ini adalah sesuatu persoalan yang paling berat yang menimpa islam dan kaum muslimin, karena ta`wil yang merusak ini menyebabkan kehancuran institusi syari’ah islam secara sedikit demi sedikit, membawa manusia keluar dari lingkup islam, dan melepaskan ikatannya sehelai demi sehelai. Mereka menjadikan al-Qur`an dan as-Sunnah menjadi sesuatu yang kacau balau, dengan mengatakan apa yang mereka kehendaki mengikuti hawa nafsu mereka terhadap keduanya, seakan-akan al-Qur`an dan as-Sunnah ini adalah sebuah ucapan yang dapat dipermainkan, atau ucapan yang bersifat bebas bagi para binatang dan hewan. Yang pada akhirnya mengakibatkan terlepasnya ikatan di antara kaum muslimin akibat sikap perusakan mereka terhadap aturan-aturan agama. Setiap satu dari mereka senantiasa memahami al-Qur`an sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hawa nafsu dan syahwat mereka tanpa terikat kepada landasan syari’at, ataupun kaidah bahasa arab. Al-Qur`an sudah mereka tidak anggap lagi sebagai al-Qur`an, akan tetapi hanya sekedar hawa nafsu dan syahwat saja[65].

Metode Dakwah Isma’iliyah Bathiniah

            Pemikiran dan akidah bathiniah tidak mendapatkan respon yang meluas di antara kalangan kaum muslimin kecuali dengan mengamalkan tipu daya dan berbagai macam kesesatan. Karena penerimaan akidah ini dalam lingkungan yang islami bukanlah sesuatu yang mudah. Dan untuk menyebarkan akidah ini memerlukan kecerdasan dan keceerdikan yang tinggi dalam memilih orang yang mampu mengajak kaum muslimin kepada akidah ini[66]. Oleh karena itu, bathiniah perlu menciptakan metode-metode untuk berinteraksi  dengan orang yang mereka ajak memeluk akidah mereka ini. Dan tujuan untuk menciptakan metode ini adalah untuk melepaskan orang islam dari agamanya, serta menggiring kaum awam muslimin. Dan hal ini tidak mampu mereka lakukan di negara islam, maka mereka ciptakan siasat yang dapat menolong mereka untuk mencapai tujuan dan misi mereka[67].
            Aliran bathiniah telah menyusun metode dakwah kepada sembilan tipu daya yang kesemuanya saling berurutan. Akidah mereka tidak diajarkan secara penuh dalam satu kali kepada orang yang memberikan respon terhadap ajaran mereka, akan tetapi diajarkan secara perlahan-lahan dan berurutan. Dan urutannya adalah sebagai berikut:   
Yang pertama: telepati dan firasat.
Maksudnya, pendakwah yang mengajak manusia kepada ajaran mereka memiliki firasat dan telepati yang kuat, serta kecerdasan dan kebijakan, yang dapat membantunya memilih orang-orang yang sesuai untuk menerima ajakan ini. Dan siasat ini diharapkan dapat berhasil karena tiga perkara:
(Yang pertama): untuk membedakan antara orang yang memiliki keinginan sedikit demi sedikit menerima ajaran yang diberikan kepadanya yang bertentangan dengan akidahnya, karena bisa jadi ada orang yang tidak mampu melepaskan apa yang sudah tertanam di dalam hatinya. Agar upaya si pendakwah tidak sia-sia, dan menghindari dirinya dari melemparkan benih di tanah yang gersang.
(Yang kedua): memiliki terkaan  yang kuat dan otak yang cerdas dalam mengubah yang zahir dan mengubahnya kepada yang batin. Baik dengan cara mempermainkan lafaz, atau menyerupainya dengan apa yang sesuai dengannya, sehingga jika dia tidak dapat menerima pembohongannya terhadap al-Qur`an dan sunnah maka dia meminta kepadanya makna yang dekat kepadanya dan membiarkan lafaznya sebagaimana adanya.
(Yang ketiga): tidak mengajak setiap orang melalui jalan yang sama, akan tetapi dia selidiki dulu kondisi orang yang dia ajak, kecendrungannya serta tabiatnya. Jika dia cenderung kepada duniawi maka dikatakan kepadanya bahwa ibadah adalah suatu beban, sifat zuhud dan wara’ adalah suatu kebodohan, dan melaksanakan berbagai bebanan kewajiban agama adalah suatu kebodohan. Jika orang yang dia ajak adalah seorang yang bersifat religius, maka metode yang dia pergunakan adalah yang sesuai dengan aliran orang tersebut. Jika orang tersebut berasal dari golongan syi’ah, maka diajarkan kepadanya pemuliaan ahlul bait, dan mengutuk para imam yang telah menzalimi mereka. Begitu juga halnya dengan semua pemeluk agama samawi yang lainnya yang terdiri dari orang yahudi dan nasrani.
           Yang kedua: sifat lemah lembut.
            Yaitu dengan menampakkan apa yang menjadi kecendrungan orang yang dia ajak, baik secara lisan ataupun secara perbuatan. Kemudian menampakkan kepadanya berbagai ilmu, ayat-ayat al-Qur`an, dan ucapan-ucapan yang sedap didengar.
           Yang ketiga: keraguan.
            Yaitu melemparkan kepada orang yang dia ajak berbagai pertanyaan mengenai makna-makna syari’at dan mutasyabih dalam ayat al-Qur`an. Mengapa dia diperintahkan untuk membersihkan diri akibat keluar air sperma, atau air kencing, atau buang air besar, serta berbagai permasalahan agama yang lainnya.
           
Yang keempat: menangguhkan.
            Yaitu, manakala dia ditanya mengenai berbagai permasalahan agama ini maka pertanyaan ini adalah cara mereka untuk mengikat hatinya. Dan manakala dia bertanya kepada mereka, maka mereka menjawab, jangan terburu-buru, sesungguhnya agama Allah menangguhkan untuk mengungkapkan bagi setiap orang. Lalu mereka paparkan berbagai hadits yang berisikan mengenai mengambil janji, dan mereka bacakan ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan mengenai janji dan sumpah, misalnya fiman-Nya Allah swt:" Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar". (QS. Al-A'raaf: 169).
           
Yang kelima: ikatan.     
Yaitu mengambil janji dan sumpah orang yang diajak.

Yang keenam: menipu.
Yaitu, di pendakwah mengatakan kepada orang yang diajak bahwa perkara agama bukanlah perkara yang mudah, dia mengandung rahasia Allah yang tersembunyi, dan perintah-Nya yang tersimpan, dan hal ini tidak akan terbongkar kecuali dengan kedatangan imam al-Manshur yang merupakan jalan menuju ilmu dan wahyu Nabi saw, dan dia adalah dasar ke arah itu.
Yang ketujuh: pelandasan.
Yaitu, membuat mukaddimah yang tidak dapat dipungkiri dengan yang zahir dan tidak dapat dibatalkan dengan yang batin, mukaddimah ini dipergunakan untuk menarik orang yang diajak sedikit demi sedikit tanpa dia sadari, maka dia berkata: zahir adalah kulit luar dan batin adalah inti, zahir adalah simbol sedangkan batin adalah makna yang dimaksud.
Yang kedelapan: mencabut dari agama.
Dia katakan kepada orang yang diajak bahwa manfaat zahir adalah untuk memahami ilmu batin yang terkandung di dalamnya, bukannya melaksanakan yang zahir tersebut. Dan mereka berkata tidak ada makna pada apa yang dikatakan oleh aliran zahiriah mengenai pelaksanaan perkara yang zahir, bahkan mengamalkannya merupakan suatu kebodohan, karena yang dimaksudkan adalah mengetahui batin yang terkandung di dalamnya. Jika orang yang diajak telah melaksanakan perkara yang batin maka dia tidak dituntut untuk melakukan hukum yang zahir lagi, dan inilah yang dimaksudkan oleh firman-Nya: "dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (QS. Al-A'raaf: 157).

Yang kesembilan: melepaskan diri dari agama.
Yaitu, manakala mereka telah membuat orang yang diajak tertarik kepada mereka karena sebab jawaban mereka, dan dia telah menjadi sebagian dari mereka, maka mereka mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Abu al-Qasim al-Qairawani di dalam al-Balagh al-Akbar: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu".(QS.al-Ma`idah: 5). Jika derajat  seorang mu`min telah meningkat kepada tingkatan keimanan yang paling tinggi maka dia tidak perlu lagi melakukan praktek amali. Dia tidak lagi memiliki kewajiban berpuasa, shalat, haji, dan jihad. Dan tidak ada sama sekali makanan, minuman, pakaian, dan pernikahan yang diharamkan kepadanya[68].
Dengan semua siasat, propaganda, dan metode dakwah yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa istilah bathiniah telah menjadi platform bagi sekelompok aliran yang akidahnya telah tercemar dan menyimpang, yang pandangannya saling bertentangan dan berbeda, yang tercermin dalam tujuannya merupakan  lingkaran pemikiran yang terpisah dari umat, dan keluar dari konsensus umat, dengan mengutamakan jalan yang sesat, sehingga diberikan label oleh para ulama islam yang terpercaya sebagai aliran yang kafir dan murtad dari agama islam[69]
Mereka susun dakwah mereka dengan metode yang rapih dan terperinci. Dan dengan kecerdikannya banyak orang yang terpanggil untuk masuk ke dalam kelompok mereka di berbagai tempat dan masa. Dan siasat yang cerdik ini memberikan pengaruh yang paling besar dalam berdirinya daulah Isma’iliyah bathiniah di beberapa negara. Mereka pernah memiliki  kekuasaan di Maroko yang didirikan oleh Imam Ubaidillah al-Mahdi, tahun 296 H. Dan kekuasaan ini terus bersambung ke Sicillia dan selatan Itali. Mereka juga memiliki kekuasaan di Yaman yang didirikan oleh Ibnu Hausyab, tahun 270 H. mereka juga memiliki kekuasaan di Mesir yang didirikan oleh panglima perang Jauhar ash-Shaqalli, tahun 358 H. mereka juga mendirikan kekuasaan al-Mut an-Nizariyah di negri Farsi yang didirikan oleh al-Hasan ash-Shabbah, tahun 483 H. Mereka juga memiliki kekuasaan di Bahrain yang didirikan oleh al-Husain al-Ahwazi, Hamdan bin al-Asy’at, Abu Sa’id al-Jinani, dan Zarkawiyah bin Mahrawiyah, tahun 270 H. Dan mereka memiliki benteng dan tembok perlindungan yang kuat di negeri Syam[70].   






[1] Lih: Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, tanpa tahun, 4/523, Beirut-Lebanon, Dar Shadir, ar-Razy, 1995, Mukhtar ash-Shihhah, hal 23, Beirut, editor: Mahmud Khathir, Maktabah Lubnan.
[2] Al-Mu’jam al-Wasith Limajma’ al-Lughah al-Arabiyyah bil-Qahirah, 1/62, cet 2 tanpa tahun.
[3] Dia adalah al-Imam al-Muatawakkil ‘Ala-Allah Ahmad bin Sulaiman bin Muhammad al-Husaini al-Yamani, silsilah nasabnya berujung kepada a-Imam al-Hadi Yahya Ibnu al-Husain, salah seorang imam syi’ah Azzaidiyah. Dia dinobatkan sebagai imam pada tahun 523H. Dan Dia telah mengalami pertempuran melawan syi’ah Bathiniah yang popular dengan nama peperangan Ghail jalalil, pada bulan Rajab, tahun 549H. Dalam pertempuran ini pasukan syi’ah Bathiniah berhasil dikalahkan oleh pasukan syi’ah Zaidiyah. Dan sisa-sisa pasukan syi’ah bathiniah yang terselamat melarikan diri ke Najran. Di antara buku karangannya adalah: Kitab Haqaa`iqu al-Ma’rifah Fi ‘Ilmi al-Kalam, dan Ushul al-Ahkam Fi al-Halal Wa al-Haram.  Lih: Ibrahim bin al-Qasim bin al-Imam al-Mu`ayyad Billah, Thabaqaatu az-Zaydiyyah al-Kubraa, hal 132-135. asy-Syaukani, al-Badru ath-Thaali’, 2/47. Muhammad bin Muhammad ibn Yahya Zabarah, Athaaf al-Muhatdiin Bidzikri al-A`immah al-Mujaddidin Waman Qaama Bi al-Yaman al-Maymun, hal 86. Abdu as-Salam al-Wajih, A’laam al-Mu`llifin az-Zaydiyyah, hal 114-116.      
[4] Kitab Haqaa`iqu al-Ma’rifah Fi ‘Ilmi al-Kalam, hal 500.
[5] Dia adalah al-Imam al-Manshur Billah al-Qasim bin Muhammad bin Ali, yang nasabnya berhujung kepada al-Imam al-Hadi Yahya bin al-Husain. Dia adalah salah seorang imam Zaidiyah. Dia dilahirkan pada 12 Shafar, tahun 967H, di Syahil yang merupakan salah satu kota yang mulia. Dia wafat pada 12 Rabi’ul Awwal, tahun 1029H. Di antara buku karangannya adalah: al-Asaas Li’aqaa`idi al-Akyaas. Lih: Ibrahim bin al-Qasim bin al-Imam al-Mu`ayyad Billah, Thabaqatu az-Zaydiyyah al-Kubra, 2/860.
[6] Al-Qasim bin Muhammad, 1424H-2003M, al-Jawaab al-Mukhtaar ‘An Masaa`il Abdil-Jabbar, 1/27, Yaman, editor: Muhammad Qasim Muhammad a-Mutawakkil, bagian dari kitab Majmu’ Kutub wa Rasaa`il al-Imam al-Manshur Billah al-Qasim bin Muhammad, Mu`assasah al-Imam Zaid bin Ali ats-Tsaqafiyyah.
[7] Ibnu al-Jauzi, 1985 H, Talbis Iblis, hal 124-125, Beirut, editor: DR.as-Sayyed al-Jumaili, Dar al-Kitab al-Arabi.
[8] Mereka adalah …sejenis dengan Ibnu Arabi dan Ibnu sab’in. lih: Ibnu Taimiyah, 1391 H, Dar`u Ta’aarudh al-‘Aql wan-Naql, 3/363, 6/234, Riyadh, editor: DR.Mohammad Rasyad Salim, Dar al-Kunuz al-Adabiyah. Dan di sini patut diperhatikan di sini bahwa Locke Benoa pengarang buku al-Mazhab al-Bathini Fi Diyaanaati al-‘Aalam  berpendapat bahwa aliran bathiniah di dalam islam tercermin dalam pengajaran syi’ah dan tasawuf. Dan dia mengkategorikan Ibnu Arabi sebagai maha guru bathiniah arab yang terbesar dan pendiri ilmu metafisik. Lih: Locke Benoa, 1998 M, al-Mazhab al-Bathini Fi Diyanaati al-‘Aalam, hal 114 dst, Beirut-Lebanon, terjemah: Nehad Khayyathah, al-Mu`assasah al-Jaami’iyyah liddirasat Wan-Nasy wat-Tauzi’. 
[9] Lih: Ibnu Taimiyah, Dar`u Ta’arudh al-Aql wan-Naql, 5/8, 5/359, Ibnu Taimiyah, Minhajus-Sunnah, 3/452.
[10] Termasuk di antara kelompok ini adalah Ibnu Sina. Lih: Ibnu Taimiyah, Dar`u Ta’arudh al-‘Aql wan-Naql, 1/203, 6/238, Ibnu Tamiyah, Minhaj as-Sunnah, 1/201. Dan para ahli riset syi’ah isma’iliyah modern mengakui bahwa Ibnu Sina merupakan penganut aliran syi’ah isma’iliyah bathiniyah. Dalil bagi pendapat mereka ini adalah: kedua ibu bapak Ibnu Sina adalah penganut aliran syi’ah isma’iliyah, dan bapaknya yang merupakan seorang da’i syi’ah isma’iliyah adalah yang mengajarnya ilmu ta`wil batin, sebagaimana juga dia belajar ilmu mantiq dan filsafat kepada Abdullah an-Natili, sedangkan an-Natili adalah salah seorang ilmuwan besar filsafat syi’ah isma’iliyah, dan dapat dilihat dengan jelas pendapatnya mengenai jiwa dan akal kental dengan akidah isma’iliyah batiniyah. Lih, DR.Musthafa Ghalib, 1979 M, Ibnu Sina, hal 12-13, Maktabah al-Hilal, Beirut-Lebanon. DR. Arif Tamir, 1994 M, Muraja’at Isma’iliyyah, hal 83-84, Beirut-Lebanon, Dar al-Adhwaa`.   
[11] Lih, Ibnu Taimiyah, Dar`u Ta’arudh al-‘Aql wan-Naql, 5/184, 6/196.
[12] Lih, Prof.Dr.Muhammad as-Sayyed al-Jalayand, al-Imam Ibnu Taimiyahy wa Qadhiyyatu at-Ta`wil, hal 239, Kairo, Dar Quba lith-Thiba’ah wan-Nasyr wat-Tauzi’.
[13] Abdurrahman Badawi, Mazahibu al-Islamiyyin, 2/751, Beirut-Lebanon, cet 1/1996 M, Dar al-Ilmi lil-Malayin.
[14] Beberapa orang ahli riset telah tersalah anggap ketika mereka memasukkan syi’ah zaidiyah sebagai salah satu kelompok bathiniah. Sebagaiman yang dapat kita jumpai dalam buku al-Hukumatu al-Bathiniyyah, karangan DR. Hasan Muhammad Syarqawi, beliau berkata: “dan termasuk di antara kelompok bathiniyah adalah syi’ah zaidiyah yang memiliki spesifikasi sebagai aliran rasional”. Lih: hal 194, cet 1/1992 M, al-Mu`assasah al-Jami’iyyah lid-Dirasat wan-Nasyr wat-Tauzi’, Beirut. Dan pendapat ini tidak benar, karena sudah diketahui secara luas bahwa aliran bathiniah menganut aliran dogmatis, yang berpegang teguh kepada apa yang dikatakan oleh imam, sedangkan syi’ah zaidiyah menganut aliran rasional, jadi kedua aliran ini saling bertentangan. Dan barangkali yang dimaksud oleh pengarang buku ini adalah sekte al-Jarudiyyah sempalan syi’ah zaidiyah. Karena sekte ini adalah sekte yang berfahaman ekstrimis dan keras dalam perkara keimaman. Akan tetapi, setelah kami teliti kami dapati tidak ada satupun isyarat dalam pandangan sekte al-Jarudiyah yang menunjukkan bahwa mereka meyakini pemahaman zahir dan batin.      
[15] Lih: al-Baghdadi, al-Firaq Baina al-Firaq, hal 16, 266, 268.
[16] Muhammad bin Hasan ad-Dailami, Qawa’id ‘Aqaa’id Aal Muhammad, hal 12-13, Shan’a, 1987 M, Maktabah al-Yaman al-Kubra.
[17] Lih: Muqaddimah Kitab Misykaatu al-Anwar, Prof.Dr. Muhammad as-Sayyed al-Jalayand, 1973 M, hal 6 dst, Darul Fikr al-Hadits lith-Thiba’ah wan-Nasyr, Kairo.
[18] Lih: Kitab Kasfyu Asrar al-Bathiniyyah, hal 71, 1988 M, Kairo, Maktabah Ibnu Sina.
[19] Ahmad bin al-Murtadha, Kitab al-Milal wan-Nihal, 1/36, bagian dari kitab al-Bahruz-Zakhar.
[20] Al-Hammadi, Kasyfu Asrar al-Bathiniyyah, tepi 2 dari hal 32.
[21] Lih: al-Fihrisit, hal 265, 1978 M, Darul Ma’rifah, Beirut.
[22] Al-Hammadi, Muhammad bin Abi al-qaba`il, 1988 M, Kasyfu Asrar al-Bathiniyyah, tepi ke 3 dari hal 71, Kairo, Maktabah Ibnu Sina.
[23] An-Naubakhti, Firaqu asy-Syi’ah, hal 79, Luis Bernard, 1980, Ushul al-Isma’iliyyah, hal 83 dst, Beirut-Lebanon.
[24] Al-Qummi, Kitab al-Maqalat wal-Firaq, hal 81, Teheran.
[25] Abu Umar bin Abdul Aziz al-Kusysyi, 1317 H, Ma’rifatu ar-Rijal, hal 58, Bombay.
[26] Ahmad bin Sulaiman, Kitab Haqa`iq al-Ma’rifah Fi Ilmi al-Kalam, hal 499-500.
[27] Asy-Syakhrastani, al-Milal wan-Nihal, 1/179 dst.
[28] Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, hal 10.
[29] Jamaluddin, Muhammad as-Sa’id, 1975 M, Daulah al-Isma’iliyyah Fi Iran, hal 22, Kairo, Mu`assash Sijl al-Arab.
[30] An-Nasysyar, Ali Sami, Nasy`at al-Fikr al-Falsafi Fi al-Islam, 2/278, Kairo, Darul Ma’arif.
[31] Al-Imam Ibnu Taimiyyah wa Qadhiyyatu at-Ta`wil, hal 239.
[32] Korban, Henry, 1966 M, Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, hal 140, Beirut-Lebanon, terjemah: Nushair marwah dan Hasan Qubaisi, Mansyurat Uwaidat.
[33] Muhammad bin al-Hasan ad-Dulaimi, Qawa`id ‘Aqa’id Aal Muhammad, hal 11.
[34] Lih, al-Hutsi, 1424 M, abu al-Qasim Muhammad, al-Maw’izhah al-Hasanah, hal 48, Shan’a, Yaman, Mu`assasah al-Imam Zaid bin Ali ats-Tsaqafah.  
[35] Dia adalah salah seorang penulis modern dari kalangan syi’ah isma’iliyah bathiniah. Dan dia memiliki karangan serta tahqiq dalam dirasah bathiniah dan filsafat. Perkataannya mengenai keanggotaanya dalam akidah bathiniah adalah: “ saya tidak menutupi dari para pembaca yang mulia sejauh mana keyakinan saya dan keterpengaruhan saya dengan akidah-akidah, landasan-landasan, serta hukum-hukum bathiniah”. DR. Musthafa Ghalib, 1982 M, al-Harakaat al-Bathiniyyah Fi al-Islam, hal 268, Beirut-Lebanon, Darul Andalus. 
[36] Muqaddimah Kitab Kanzu al-Walad, DR. Musthafa Ghalib, hal 5, Beirut-Lebanon, Darul Andalus.
[37] Al-Hakim Bi Amrillah memegang tampuk kekhilafahan ketika dia berumur 11 tahun. Dia lahir pada tahun 375 H, di istana al-Fathimi al-Kabir Kairo. Dia memerintah setelah ayahnya al-Aziz Billah terbunuh pada tahun 386 H. Dia memerintah selama 25 tahun, dan terbunuh pada tahun 411 H ketika berumur 36 tahun.
[38] Abdul Lathif al-‘Abd, 1976 M, al-Insan Fi Fikr Ikhwan ash-Shafa, hal 21, Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, Kairo.
[39] Lih, Tha`ifatu al-Isma’iliyyah, DR. Muhammad Kamil Husein, hal 148-149, Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, cet 1/1959 M.
[40] ad-Dailami, Muhammad bin al-Hasan, Qawa’id Aal Muhammad, hal 34.
[41] Al-Murtadha, Ahmad bin Yahya, Kitab al-Milal wan-Nihal, 1/36, bagian dari mukaddimah al-Bahruz-Zakhkhar. 
[42] Yahya bin Hamzah, 1971 M, al-Ifham al-Af`idah al-Bathiniyyah ath-Thughaam, hal 37, Iskandariah-Mesir. 
[43] Al-Ghazali, 1964 M, Fadha`ih al-Bathiniyyah, hal 11, Kuwait.
[44] Lih, Qawa’id Aqa’id Aal Muhammad, hal 14, 34.
[45] Lih, al-Baghdadi, al-Firaq Baina al-Firaq, hal 251-252.
[46] Lih, asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 1/191-192.
[47] Mukaddimah Kitab Kasyfu Asrar al-Bathiniyyah, Muhammad bin al-Husein al-Akwa’, hal 22.
[48] Lih, asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 1/192.
[49] Mukaddimah Misykatu al-Anwar, DR. Muhammad as-Sayyed al-jalayand, hal 7.
[50] Helmi, Musthafa, 1983 M, as-Salafiyyah Baina al-Aqidati al-Islamiyyah wal-Falsafati al-Gharbiyyah, hal 170, Iskandar-Mesir, Dar ad-Da’wah. 
[51] Rujuklah julukan-julukan ini pada beberapa kitab berikut, Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hal 124, Muhammad Abdul ‘Azhim az-Zarqani, 1996 M, Manahil al-‘Irfan, 2/54, Beirut, Dar al-Fikr.
[52] Yang dia maksudkan adalah imam al-Ghazali rahimahullah.
[53] Ali bin al-Walid, 1983 M, Damighu al-Bathil wa Hatfu al-Munadhil, 1/63.
[54] Ivanov memaparkan bahwa akidah bathiniah ini mengalami tiga fasa perkembangan:
-          pertama: fasa permulaan, yang dimulai dari semenjak pembentukan dakwah sampai berdirinya daulah Fathimiah di Maroko pada tahun 297 H.
-          kedua: fasa fathimiah, yang dimulai semenjak tahun 297 H sampai permulaan abad ke enam.
-          Ketiga: fasa Almut, (ibukota daulah Isma’iliyah di Iran), yang dimulai semenjak permulaan abad ke enam sampai penghujung abad ke sembilan. 
[55] Lih, Arif Tamir, 1991 M, Tarikh al-Isma’iliyah, 1/149, Riyadh ar-Rais lil-Kutub wan-Nasyr, cetakan Inggris.
[56] Kitab ini mempunyai nama yang lain, sebagaimana yang disebutkan oleh imam al-Qasim bin Muhammad, yaitu “Qawa’id ‘Aqa`id Ahli al-Bait ‘Alaihissalam”. Lih, al-Jawab al-Mukhtar, hal 80, sebagai bagian dari kitab Majmu Kutub wa Rasa`il al-Imam al-Manshur Billah al-Qasim bin Muhammad.
[57] Isi bait syair ini adalah:
ambillah rebana wahai wanita dan bermainlah, cukuplah ini sebagai benderamu dan menyanyilah
nabi dipimpin oleh Bani Hasyi
dan ini adalah nabi bagi keturunan yang diarabkan
bagi setiap nabi yang terpilih syariat
dan ambillah wahai wanita syariat nabi ini
wahai wanita jangan halang dirimu yang ditanam
siapakah kerabat dan siapakah orang asing
bagaimana kamu halalkan dirimu kepada orang asing
dan kamu haramkan dirimu dari ayahmu
bukankah pepohonan adalah milik orang yang menanamnya
dan menyiramnya pada masa kering      
[58] Lih, mukaddimah kitab Misykat al-Anwar, hal 12.
[59] Helmi, Musthafa, as-Salafiyyah Bain al-‘Aqidah al-Islamiyyah wal-Falsafiyyah al-Gharbiyyah, 157.
[60] Lih, Al-Baghdadi, al-Firaq Bain al-Firaq, hal 266, 280.
[61] Qawa’id ‘Aqa`id Aal Muhammad, hal 31.
[62] Ahmad bin al-Murtadha, Kitab al-Milal wan-Nihal, 1/36, sebagian dari mukaddimah al-Bahruz-Zakhkhar.
[63] Lih, Dirasah Fi Sulalah al-Hasysyasyin wal-Ashl al-Lughawi li-Ismihim, hal 205-206, bagian dari Kharafatu al-Hasysyasyin, Ferhad Daftari.
[64] Sesungguhnya ta`wil adalah salah satu metode bathiniah dalam ajaran akidah mereka. Untuk lebih jelasnya silahkan rujuk buku, kamaluddin Nurdin Marjuni, 2009 M, Mawqifu az-Zaydiyyah Min al-Aqidah al-Isma’iliyyah al-Bathiniyyah wa Falsafatiha, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2009 M.
[65] az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, 2/54-55.
[66] Al-Jalayand, Muhammad as-Sayyid, Mukaddimah Misykat al-Anwaar, hal 12.
[67] Qawa’id Aal Muhammad, hal 38.
[68] Qawa’id Aal Muhammad, hal 38-43, dengan sedikit perubahan dan ringkasan.
[69] Fattah, Irfan Abdul Hamid, 1991 M, Dirasat Fil-Fikr al-Arabi al-Islami, hal 374, Beirut, Darul Jail.
[70] Lih, Musthafa Ghalib, Tarikh ad-Da`wah al-Isma’iliyah, hal 4, Dar al-Andalus, Beirut-Lebanon. 

0 komentar:

Post a Comment