Thursday, March 29, 2012

Kuliah Umum "Syi'ah: Sejarah & Pemikirannya"

Kuliah Umum
"Syi'ah: Sejarah & Pemikirannya"


"Syiah : Sejarah dan Pemikirannya"

Speaker | Dr. Kamaluddin Nurdin, Senior Lecturer, Akidah and Religions Studies, Faculty of Leadership and Management, USIM

Date | 4th of April 2012
Time | 8PM-10PM
Venue | Bilik Mesyuarat Utama, Aras2, FKP
Registration | SMS your name to 019 3727639. Seats are limited



Thursday, March 22, 2012

DEFINISI AHLU SUNNAH TIDAK PERLU DIPERTIKAIKAN

DEFINISI AHLU SUNNAH TIDAK PERLU DIPERTIKAIKAN
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Setiap golongan, kelompok, puak dan sekte dalam pemikiran Islam, masing-masing mengklaim bahawa golongan mereka saja yang benar dan betul serta selamat akidahnya. Sekalipun hal itu mereka lakukan dengan sengaja memelesetkan nash-nash (teks) dan lafadz-lafadz hadits demi membenarkan dan membela golongan dan puak masing-masing. Dan sering kita mendengar bahwa akidah yang selamat adalah akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, namun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang dimaksud sebagai Ahlu Sunnah atau dengan kata lain: Apakah Asy’ariyah & Maturidiyah merupakan bagian dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Atau Ahlu Sunnah adalah Wahabi atau Salafi saja?.
Sebelum lebih jauh menjelaskan akidah Ahlu Sunnah, terlebih dahulu penulis menukil sebuah hadits yang menjadi rebutan bagi semua golongan untuk berada dalam pilihan Rasulullah Saw untuk memenangi golongan yang selamat yaitu:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) -ابن ماجه- وفي رواية (مَا أَنَا عَلَيْهَا الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ» ، -ابن ماجه-.
 “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Yaitu golongan yang berada dalam jama’ah (Ibnu Majah). Dan riwayat lain “Yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” (Tirmidzi).
Dijumpai dari teks hadits di atas kalimah “al-Jama’ah” yang memberikan sebuah ilustrasi bahawa golongan yang selamat adalah golongan yang tidak berpecah dan menempuh jalan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw dan para sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Definisi Ahlu Sunnah Wal Jama'ah
Setiap golongan, puak, persatuan dan mazhab memiliki pendiri atau sekurang-kurangnya ada yang memulakan perjalanan organisasi tersebut, sehingga memiliki ketua, pemimpin ataupun pengarah, namun Ahlu Sunnah tidak demikian, ia tidak memiliki pendiri, ketua, pemimpin. Oleh karena itu Ahlu Sunnah bukanlah golongan sebuah puak atau golongan tertentu, seperti puak Asy’ariah, Maturidiyah, Wahabiah, Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan mazhab-mazhab lain yang masing-masing memiliki pendiri dan pengetua dan dikenal khalayak ramai. Melainkan Ahlu Sunnah merupakan satu standar pemahaman, pemikiran agama yang mengandung aspek nilai yang  mulia dan murni. Oleh karena tidak ada yang boleh jawab tentang siapa pendiri dan pemimipin Ahlu Sunnah, maka ada baiknya kalau kita mulakan dengan definisi Ahlu Sunnah itu sendiri.
Dalam bahasa Arab kalimah “Ahlu” berarti keluarga, kerabat, famili, pemilik[1]. Kemudian dalam kamus "Lisan al-Arab", kata as-Sunnah dari sudut etimologi diartikan sebagai as-Sayr (perjalanan). Baik orang itu berjalan dalam kebajikan, kebaikan atau keburukan[2]. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, as-Sunnah diartikan sebagai: "Pedoman hidup Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Baik berupa ilmu pengetahuan, keyakinan dan kepercayaan (ideologi), perkataan (ucapan), perbuatan (praktikal), dan ajaran-ajaran sunnah tersebut wajib diikuti dan ditaati oleh ummat. Oleh karena itu kalau dikatakan bahawa: si fulan adalah pengikut Ahlu Sunnah, berarti ia adalah orang yang mengikuti jalan yang lurus[3].
            Adapun pengertian al-Jama'ah, dalam etimologi diartikan sebagai "Penggabungan sesuatu dengan lainnya". Sebagaiaman yang disinyalir oleh Ragib al-Asfahani, bahawa al-Jama'ah artinya adalah: "Menghubungkan seseuatu dengan lainnya, maksudnya menghimpunkannya"[4]. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, al-Jama'ah adalah salaf al-Ummah[5].
            Difinisi di atas memberikan ilustrasi bahawa yang dimaksud Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengikuti cara hidup Rasulullah Saw, para sahabatnya, tabi'in dan siapa saja yang mengikuti mereka, dengan menghindarkan diri dari amalan bid'ah, di sepanjang zaman dan tempat.
Untuk menyimpulkan dari tiga definisi kalimah di atas, dapat dikatakan Dengan mudah bahawa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan sunnah para shahabatnya. Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Ibnul Jauzi,”Tidak diragukan bahawa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah”[6]. Oleh karena itu istilah ”Ahlu Sunnah Wal Jama’ah” adalah golongan terdahulu, muncul sebelum adanya mazhab Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah, sebab ia adalah mazhab para sahabat yang menerima langsung ajaran-ajaran agama dari Rasulullah Saw, bagi siapa saja yang menyalahi mazhab dan pendirian sahabat, maka mereka dianggap bid’ah di sisi Ahli Sunnah Wal Jama’ah[7].
Perlu disebutkan juga bahawa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebenarnya dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan ajaran Islam yang murni, benar, betul dan lurus dari pembawa risalah Islam Rasulullah Saw dari ajaran Islam yang sudah terpengaruh dengan beberapa pemikiran-pemikiran menyimpang dan menyeleweng, seperti arah pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij. Sehingga orang-orang yang berpegang teguh dan mengamalkan hakikat ajaran Islam yang betul-betul murni tersebut dinamakan “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Imam Malik ketika beliau ditanya : “Siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah popular (di masyarakat saat itu). Jadi Ahlu Sunnah bukanlah Jahmiyah, Qadariyah, dan Syi’ah” [8].
Sekalipun sudah jelas pendefinisian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang telah disebutkan, namun dalam kenyataannya ulama masih juga berbeda pendapat tentang siapakah sebenarnya dari golongan Islam yang berhak menjadi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Oleh karena itu perbincangan istilah ini sangat luas pemakaiannya, dan tidak henti-hentinya dibahas dan diangkat menjadi persoalan. bahkan Ibnu Taimiyah terkadang hanya menyebutkan "Ahlu Sunnah" saja, tanpa diiringi dengan sebutan "al-Jama'ah". Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dengan maksud untuk membedakan antara Islam Sunni dengan Islam Syi'ah. Jadi sebutan Ahlu sunnah tanpa menyebut al-Jama'ah, dimaksudkan bagi semua golongan Islam yang menetapkan dan mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Oleh karena itu dalam hal ini golongan seperti, Asy'ariah dan Maturidiyah adalah golongan Ahlu Sunnah. Ini bagi Ibnu Taimiyah adalah pengertian secara umum.
            Adapun secara pengertian khas (spesifik), Ahlu Sunnah yang dimaksud hanya terbatas kepada Ahlu Hadits dan Sunnah, yaitu bagi mereka yang mengakui sifat-sifat Allah Swt secara harfiah tanpa dita'wilkan, mereka meyakini bahwa al-Qur'an adalah Kalamullah bukan makhluk,  mempercayai takdir dan persoalan-persoalan akidah lainnya[9].
            Berdasarkan dua pengertian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahawa Ibnu Taimiyah mengkhususkan istilah Ahlu Sunnah kepada ulama Salaf. Namun beliau tidak membatasi julukan Ahlu Sunnah hanya kepada mereka. Akan tetapi beliau memberikan kesempatan kepada golongan dan puak lainnya berafiliasi dalam lingkup Ahlu Sunnah, seperti golongan, Asy'ariyah, Maturidiyah dan Zhahiriyah yang ikut membantah ajaran Islam Syi'ah. Adapun golongan Mu'tazilah dan Khawarij bagi Ibnu Taimiyah tidak berhak digolongkan dan dijuluki sebagai Ahlu Sunnah, karena mereka mengatakan al-Qur'an makhluk (Haadits), Allah tidak dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, melainkan dilihat dengan mata hati saja, dan persoalan akidah lainnya.
            Di samping itu, pada masa kontemporari saat ini gerakan Wahabi tidak mengakui golongan Asy'ariah dan Maturidiyah sebagai Ahlu Sunnah, sebab kedua golongan tersebut menta'wilkan sifat-sifat Allah Swt. Ini suatu persolan lain, yang sepatutnya tidak ditimbulkan dalam masa ini, sebab hanya menambah perpecahan umat, sehingga umat Islam yang sebelumnya terbagi kepada dua puak besar yaitu Sunni dan Syi'ah, menjadi tiga puak yaitu Sunni Wahabi, Sunni Asy'ari Maturidi, dan Syi'ah, perpecahan ini memberikan kesempatan pihak luar Islam untuk mengadu domba umat. Oleh karena itu sebaiknya kesemua pihak menahan, menunda, mengurangi dan akhirnya berhenti untuk berlawan antara sesama golongan khususnya dalam lingkup Sunni. Sebab tidak mendatangkan manfaat untuk Islam, bahkan membahayakan agama, dan perlu kita ingat bersama bahawa musuh kita bukan dari kita, melainkan dari luar agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah:
)وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ( -البقرة: 120-.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka”. (al-Baqarah, 120).
Alangkah baiknya kalau kita bersatupadu dalam agama dan tidak bercerai berai bak buih di lautan, sebaiknya kita mengangkat satu syi’ar agama sebagai satu muslim “One Muslim”, dalam istilah al-Qur’an dikenal dengan “Ummatan wahidatan” atau satu umat, firman Allah Swt:
)إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ( -الأنبياء: 92-.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (al-Anbiyaa, 92).
Berkaitan denga selamat atau tidak selamatnya suatu golongan, dalam hal ini Syi’ah turut juga mengaku bahawa akidah golongan merekalah yang akan selamat dan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Rasulullah Saw, untuk jelasnya penulis nukilkan beberapa periwayatan hadits Syi’ah seperti berikut:
(إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا مِنْ بَعْدِي أَبَدًا: كَتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي)
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu sekalian sesuatu yang kalau engkau berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan sesat setelah aku tiada, yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan keluargaku Ahlul Bait”.
Syi’ah sepakat akan kebenaran riwayat ini asalnya dari lisan Rasulullah Saw, namun sebenarnya riwayat aslinya adalah  "كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ" yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadits). Oleh karenanya riwayat ini adalah bentuk penyimpangan Syi’ah dengan menambahkan dan mengurangi teks hadits Rasulullah Saw[10].
Dalam kitab syi’ah lain “al-Hikmah ad-Durriyyah” karangan Ahmad bin Sulaiman (ulama Syi’ah Zaidiyah) disebutkan:
(سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا هَالِكَةٌ إِلاَّ فِرْقَةٌ وَاحِدٌة، قِيْلَ: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: هُمْْ مُعْتَزِلَةُ الشِّيْعَةِ وَشِيْعَةُ الْمُعْتَزِلَةِ)
“Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan hancur kecuali satu. Yaitu Mu’tazila Syi’ah dan Syi’ah Mu’tazilah”.
Tidak ada keraguan untuk menilai penyimpangan riwayat di atas, sebab pertanyaan ditujukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan ketika itu belum ada golongan yang dinamakan Syi’ah maupun Mu’tazilah.
Apapun halnya, dalam tulisan ini, sepatutnya pertikaian antara sesama Ahlu Sunnah sebaiknya dihentikan dan bukan masanya lagi, Islam semakin berpecah-pecah akibat sifat saling menjatuhkan antara sesama yang mengaku Islam Sunni, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti facebook, blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, seperti  penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Asy’ari”, dll. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita selesaikan sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Keadaan yang demikian, akibatnya ukhuwah Islamiyah rusak, persaudaraan Islam bubar, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga ummat Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal Allah SWT telah memperingatkan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka yang memperolok-olok. (al-Hujuraat:11).
            Umat Islam tidak berlu disibukkan dengan perkara-perkara Takfir dan Tadhlil atau mengkafirkan orang lain dan menyesatkannya, biarlah Allah di hari kiamat yang mengadili makhluknya, sebab kebenaran yang hakiki hanya Allah yang memilikinya dan bukan hambaNya. Ulama masing-masing golongan hanya sebatas ijtihad, yaitu berusaha mencari kebenaran dan kepastian, betul dan salah dalam berijtihad Nabi Saw telah memberikan penilaian, sebagaimana sabda beliau:
"إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Seorang hakim, apabila berijtihad dan ijtihadnya betul, maka baginya dua pahala, namun apabila ijitihadnya salah, maka baginya satu pahala”. (HR. Bukhari,no: 6919).
Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, dalam mimbar ini kita mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan puak, kelompok dan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka.
Persamaan tidak akan pernah terjadi dalam dunia ini, Allah berfirman:
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Huud:118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ(
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Yuunus:99).
Ayat di atas menegaskan bahwa dalam lipatan dan rentetan sejarah manusia semenjak dari Nabi Adam as, sebenarnya sudah wujud pertentangan antara golongan.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.







[1] Kamus Sinonim Arab-Indonesia “Syawarifiyyah”.
[2] Ibnu Manzhur, 1406H, Lisanul Arab, Beirut-Lebanon, al-Maktab al-Islamy. hal 13/226.
[3] Ibnu Manzhur, 1406H, Lisanul Arab, Beirut-Lebanon, al-Maktab al-Islamy. hal 13/226.
[4] Raghib al-Asfahani,  al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Beirut-Lebanon, Darul Ma'rifat, hal 96, 97.
[5] Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini ialah metode berpikir (Manhaj Fikri) yang tercerimin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan berpedoman kepada hidayah al-Qur'an dan tuntunan Nabi Saw. Lihat: Ibnu Abi al-'Izz, 1997, Syarh Aqidah at-Thahawi, Muassasah ar-Risalah, Beirut-Lebanon.
[6] Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hal 16.
[7] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 1/256.
[8]  Ibnu abdil Barr, Al-Intiqa fi Fadlail at- Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. Hal 35.
[9] Ibnu Taimiyah, 1306 H, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, Muassasah Qordova, 2/221.
[10]  Imam Malik, al-Muwattha’, bab “an-Nahyu ‘Anil Qaul bil Qadri”.

Saturday, March 17, 2012

Pengajian Kitab Kotemporer ظاهرة الغلو في التكفير

Pengajian Kitab Kotemporer

ظاهرة الغلو في التكفير

 Zhahirah al-Ghuluw fi al-Takfir

Prof. DR. Syekh. Yusuf al-Qardhawi


 Oleh:
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Pada setiap hari Jum'at jam 4-5 petang
DKF 1.1 FKP
UNIVERSITI SAINS ISLAM MALAYSIA





شغل المفكر قضية التكفيرمنذ سنوات عديدة , عندماحضر اليه بعض الاخوة الذين خرجوا من المعتقلات والسجون, وهذا ما دفعه الى التفكير الجدى فى تاليف كتاب فى الموضوع نظراً لشدة خطورته وبعد اثره, وذلك محاولةً منه لخدمة الاسلام ومحاولة للاخذ بيد ابنائه المخلصين حتى لا 
يضلوا الطريق.

Pengajian Kitab Aqidah Al-Tahawiyyah العقيدة الطحاوية

Pengajian Kitab Turats

العقيدة الطحاوية

Aqidah Al-Tahawiyyah
al-Allamah: Ibn Abi al-'Izz al-Hanafi
 Oleh:
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Pada setiap hari Jum'at jam 5-6 petang
DKF 1.1 FKP
UNIVERSITI SAINS ISLAM MALAYSIA
 


متن العقيدة الطحاوية
بسم الله الرحمن الرحيم
قال العلامةُ حُجةُ الإسلامِ أبو جعفرٍ الوراقُ الطحاويُّ بمصرَ رحمهُ الله:
هذا ذِكرُ بيانِ عقيدةِ أهلِ السنّةِ والجماعةِ على مذهبِ فُقهاءِ المِلّةِ: أبي حنيفةَ النعمانِ ابنِ ثابتٍ الكوفيّ، وأبي يوسفَ يعقوبَ بنِ إبراهيمَ الأنصاريّ، وأبي عبدِ الله محمدِ ابنِ الحسنِ الشيْبانيّ، رِضوانُ اللهِ عليهم أجمعينَ، وما يعتقدونَ من أصولِ الدينِ، ويَدينون بهِ لربِّ العالمين. نقول في توحيدِ اللهِ معتقدينَ بتوفيق الله: إنَّ اللهَ واحدٌ لا شريكَ له. ولا شىءَ مثلُه، ولا شىءَ يعجزُه، ولا إلهَ غيرُه. قديمٌ بلاَ ابتداءٍ، دائمٌ بلا انتهاءٍ، لا يَفنى ولا يَبيد، ولاَ يكونُ [شىءٌ من العالم] إلا ما يريد. لا تبلغُه الأوهامُ ولا تدركُه الأفهامُ، ولا يشبهُ الأنامَ، حيٌّ لا يموت، قيومٌ لا ينامُ، خالقٌ بلا حاجةٍ، رازِقٌ بلاَ مؤْنَةٍ، مُميتٌ بلاَ مخافةٍ، باعثٌ بلاَ مشقّةٍ. ما زالَ بصفاتِه قديمًا قبلَ خلقِه، لم يزدَدْ بكونِهم شيئًا لم يكن قبلَهُم منْ صفتِه. وكَمَا كان بصفاتِه أزليًّا، كذلك لا يزالُ عليها أبديًّا، ليس بعد خلْقِ الخلْقِ استفادَ اسمَ الخالق، ولاَ بإحداثِه البَريةَ استفادَ اسمَ البارىءِ. له معنى الربوبيةِ ولا مربوبَ، ومعنى الخالقِ ولاَ مخلوقَ. وكما أنه مُحيي الموتى بعدما أحيا، استحقَّ هذا الاسمَ قبلَ إحيائِهم كذلكَ استحقَّ اسمَ الخالقِ قبلَ إنشائِهم. ذلك بأنهُ على كلِّ شىءٍ قديرٌ، وكلُّ شىءٍ إليه فقيرٌ، وكلُّ أمرٍ عليه يسيرٌ، لا يحتاجُ إلى شىءٍ، {ليس كمثله شىءٌ وهو السميع البصير}. خلَق الخلقَ بعِلمِه، وقدّر لهم أقدارًا، وضرَب لهُم ءاجالاً، ولم يخْفَ عليهِ شىءٌ قبل أن يخلُقَهم، وعلِم ما هُم عاملونَ قبلَ أن يخلُقَهم، وأمرَهم بطاعته ونهاهُم عن معصيتِه. وكلُّ شىءٍ يجري بتقديرِه، ومشيئتِه، ومشيئتُه تنفُذُ لا مشيئةَ للعبادِ إلاَّ ما شاءَ لهم، فمَا شاءَ لهم كانَ، وما لم يشأ لم يكُن. يهدي من يشاءُ، ويعصِمُ ويعافي فضلاً، ويُضِلُّ من يشاءُ، ويخذُلُ ويبتلي عدلاً. وكُلُّهم يتقلَّبونَ في مشيئتِه بين فضلِه وعدلِه، وهو مُتعالٍ عن الأضدادِ والأندادِ، لا رادَّ لقضائِه، ولا معقِّبَ لحكمِه، ولا غالبَ لأمرهِ. ءامنَّا بذلكَ كلِّه، وأيقنَّا أنَّ كُلاًّ من عندِه. وأنَّ محمدًا صلى اللهُ عليهِ وسلم عبدُه المصطفى، ونبيُّه المجتبى، ورسولُه المرتضى، وإنَّهُ خاتمُ الأنبياءِ، وإمامُ الأتقياء، وسيدُ المرسلينَ، وحبيبُ ربّ العالمينَ، وكلُّ دعوة نبوةٍ بعدَ نبوتِه فغيٌّ وهوى. وهوَ المبعوثُ إلى عامةِ الجن وكافةِ الورى بالحقّ والهدى وبالنورِ والضياء. وإنَّ القرءانَ كلامُ الله، منه بدَا بِلا كيفيةٍ قولاً، وأنزلَه على رسولِه وحيًا، وصدَّقه المؤمنونَ على ذلك حقًّا، وأيقنوا أنهُ كلامُ اللهِ تعالى بالحقيقةِ ليس بمخلوقٍ ككلام البَرِيَّة، فمنْ سمِعَه فزعم أنه كلامُ البشر فقد كفر، وقد ذمَّه اللهُ وعابَهُ وأوعدَه بسقَر حيثُ قالَ تعالى :{سأُصليه سقر}، فلما أوعدً اللهُ بسقر لمن قال: {إنْ هذا إلا قولُ البشر}، علِمنا وأيقنا أنهُ قولُ خالقِ البشر، ولا يُشبه قولَ البشر، ومنْ وصف اللهَ بمعنى من معاني البشر فقد كفر، فمن أبصرَ هذا اعتبر، وعن مِثل قولِ الكفار انزجرَ، وعلِم أنه بصفاتِه ليس كالبشر. والرؤيةُ حق لأهلِ الجنة، بغيرِ إحاطةٍ ولا كيفيَّةٍ، كما نطقَ به كتابُ ربّنا: {وجوهٌ يومئذ ناضرة * إلى ربّها ناظرة}، وتفسيره على ما أراده اللهُ تعالى وعَلِمَه، وكلُّ ما جاء في ذلك منَ الحديث الصحيحِ عن الرسول صلى اللهُ عليهِ وسلم فهو كمَا قال ومعناهُ على ما أرادَ، لا ندخلُ في ذلك متأوّلينَ بآرائِنا ولا متوهّمين بأهوائِنا، فإنَّه ما سلِم في دينه إلاَّ من سلَّم للهِ عزَّ وجلَّ ولرسولِه صلى اللهُ عليهِ وسلم وردَّ عِلمَ ما اشتَبَه عليه إلى عالِمه. ولا تثبتُ قدَمٌ في الإسلام إلا على ظَهر التسليمِ والاستسلامِ، فمنْ رامَ علمَ ما حُظِر عنه علمُه، ولم يقنع بالتسليم فهمُه، حجبَه مرامُه عن خالصِ التوحيد، وصافي المعرفةِ، وصحيح الإيمان، فيتذبذبُ بين الكفرِ والإيمانِ والتصديقِ والتكذيب، والإقرارِ والإنكارِ، موسوَسًا تائِهًا شاكًّا، لا مؤمنًا مصدّقًا، ولا جاحدًا مكذبًا. ولا يصحُّ الإيمانُ بالرؤيةِ لأهل دارِ السلامِ لمن اعتبرَها منهم بوهْم أو تأوَّلها بفهمٍ إذ كانَ تأويلُ الرؤية وتأويلُ كلّ معنى يضافُ إلى الربوبيةِ بتركِ التأويلِ ولزُومِ التسليم، وعليهِ دينُ المسلمينَ. ومن لم يتوقَ النفيَ والتشبيهَ زلَّ ولم يصبِ التنزيهَ. فإنَّ ربّنا جلَّ وعلا موصوفٌ بصفات الوَحدانية، منعوتٌ بنُعُوتِ الفَرْدانية، ليس في معناهُ أحدٌ من البَرِيَّة. وتعالى عن الحدودِ والغاياتِ والأركانِ والأعضاءِ والأدوات، لا تحويهِ الجهاتُ الستُّ كسائرِ المبتدعات. والمعراجُ حقٌّ، وقد أُسري بالنبيّ صلى الله عليه وسلم وعُرِجَ بشخصهِ في اليَقظةِ إلى السماءِ ثمَّ إلى حيثُ شاءَ اللهُ من العُلى، وأكرمَه اللهُ بما شاء، وأوحى إليهِ ما أوحى، {ما كذَب الفؤادُ ما رأى}، فصلى اللهُ عليه وسلمَ في الآخرةِ والأولى. والحوضُ الذي أكرمَه الله تعالى بهِ غياثًا لأمّته حقٌّ، والشفاعةُ التي ادَّخرها لهم حقٌّ، كما رُوي في الأخبارِ، والميثاقُ الذي أخذَه اللهُ تعالى من ءادمَ وذريتِه حقٌّ. وقدْ علِمَ اللهُ تعالى فيما لم يزلْ عددَ منْ يدخلُ الجنةَ وعددَ من يدخل النارَ جملةً واحدة، فلا يُزادُ في ذلكَ العددِ ولا يُنقص منهُ. وكذلكَ أفعالُهم فيما علِم منهُم أن يفعلُوه، وكلٌّ ميسَّرٌ لِمَا خُلق له، والأعمالُ بالخواتيم، والسعيدُ من سعِد بقضاءِ الله تعالى، والشقيُّ من شقِي بقضاءِ الله تعالى. وأصلُ القدَرِ سرُّ اللهِ تعالى في خلقِه، لم يطَّلعْ على ذلكَ ملَكٌ مقرَّبٌ ولا نبيٌّ مرسلٌ. والتعمقُ والنظرُ في ذلك ذريعةُ الخِذلانِ وسُلَّمُ الحِرمان ودرجةُ الطغيانِ، فالحذرَ كلَّ الحذرِ من ذلكَ نظرًا وفكرًا ووسوسةً، فإنَّ اللهَ تعالى طوى علمَ القدرِ عن أنامِه ونهاهُم عن مرامِه كما قالَ تعالى في كتابه: {لا يسئل عما يفعل وهم يسئلون}، فمن سأل: لم فعلَ؟ فقد ردَّ حُكمَ الكتابِ، ومنْ ردَّ حكمَ الكتابِ كان من الكافرينَ. فهذهِ جملةُ ما يحتاجُ إليه من هو منوَّرٌ قلبُه من أولياءِ اللهِ تعالى، وهي درجةُ الراسخينَ في العلمِ، لأنَّ العلمَ علمانِ: علمٌ في الخلقِ موجودٌ، وعلمٌ في الخلقِ مفقود، فإنكارُ العلمِ الموجودِ كفرٌ، وادعاءُ العلمِ المفقودِ كفر.
ولا يثبتُ الإيمانٌ إلا بقَبولِ العلمِ الموجودِ، وتركِ طلبِ العلمِ المفقودِ. ونؤمنُ باللوح والقلم وبجميعِ ما فيه قد رُقِمَ. فلو اجتمع الخلقُ كلُّهم على شىءٍ كتبَه اللهُ تعالى فيه أنهُ كائن ليجعلوهُ غيرَ كائن لم يقدروا عليه. ولو اجتمعوا كلُّهم على شىء لم يكتُبْه الله تعالى فيهِ ليجعلوهُ كائنًا لم يقدروا عليهِ. جفَّ القلمُ بما هو كائنٌ إلى يوم القيامة، وما أخطأَ العبدَ لم يكنْ ليُصيبَه، وما أصابَه لم يكن ليُخطئَه. وعلى العبدِ أن يعلم أن اللهَ قد سبق علمُه في كل كائنٍ من خلقه، فقدَّرَ ذلك تقديرًا محكمًا مبرمًا ليس فيه ناقضٌ ولا معقّبٌ ولا مزيلٌ ولا مغيّرٌ ولا محوّلٌ ولا ناقصٌ ولا زائدٌ من خلقِه في سماواتِه وأرضِه، وذلك من عَقْدِ الإيمانِ وأصولِ المعرفةِ والاعترافِ بتوحيدِ اللهِ تعالى وربوبيّتِه، كما قالَ تعالى في كتابه: {وخلق كلَّ شىء فقدره تقديرًا}، وقال تعالى :{وكان أمرُ الله قدَرًا مقدورًا}. فويل لمن صارَ للهِ تعالى في القدَر خصيمًا، وأحضر للنظرِ فيه قلبًا سقيمًا، لقد التمَس بوهمِه في فحصِ الغيبِ سرًّا كتيمًا، وعاد بما قالَ فيه أفاكًا أثيمًا. والعرشُ والكرسيُّ حقٌّ، وهو مستغنٍ عن العرشِ وما دونَه، محيطٌ بكلّ شىء وفوقَه، وقد أعجزَ عن الإحاطةِ خلقه، ونقولُ: إنَّ اللهَ اتخذ إبراهيمَ خليلاً، وكلَّمَ اللهُ موسى تكليمًا إيمانًا وتصديقًا وتسليمًا، ونؤمنُ بالملائكةِ والنبيينَ، والكتبِ المنزَّلة على المرسلينَ، ونشهدُ أنهم كانوا على الحقّ المبينِ. ونسمي أهلَ قِبلتِنا مسلمين مؤمنينَ، ما داموا بما جاءَ به النبيُّ صلى اللهُ عليه وسلم معترفينَ، ولهُ بكلّ ما قالَه وأخبرَ مصدّقينَ غيرَ منكِرين. ولا نخوضُ في الله ولا نماري في دينِ الله. ولا نجادلُ في القرءانِ، ونشهدُ أنه كلامُ ربّ العالمينَ، نزلَ به الروحُ الأمينُ، فعلَّمه سيدَ المرسلين محمدًا صلى الله عليهِ وسلم، وهو كلامُ اللهِ تعالى، لا يساويه شىءٌ من كلامِ المخلوقينَ، ولا نقولُ بخلْقِه، ولا نخالفُ جماعةَ المسلمينَ، ولا نكفّرُ أحدًا من أهلِ القبلة بذنبٍ ما لم يستحلَّه، ولا نقولُ لا يضرُّ مع الإيمانِ ذنبٌ لمن عمِلَه. نرجو للمحسنينَ منَ المؤمنين أن يعفوَ عنهم ويدخِلَهم الجنةَ برحمتِه ولا نأمنُ عليهِم، ولا نَشهدُ لهم بالجنةِ، ونستغفرُ لمسيِئهم ونخافُ عليهم ولا نُقَنِّطُهُم. والأمنُ والإياسُ ينقلانِ عن ملةِ الإسلامِ، وسبيلُ الحق بينهما لأهلِ القبلة. ولا يخرجُ العبدُ من الإيمان إلا بجُحودِ ما أدخلَه فيه. والإيمانُ هو الإقرارُ باللسان والتصديقُ بالجَنَانِ. وجميعُ ما صحَّ عن رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم من الشرعِ والبيانِ كلُّه حقٌّ. والإيمانُ واحدٌ، وأهلُه في أصلهِ سواءٌ والتفاضلُ بينهم بالخَشية والتُّقى ومخالفةِ الهوى وملازمةِ الأَوْلى. والمؤمنونَ كلُّهم أولياءُ الرحمن، وأكرَمُهم عند اللهِ أطوعُهم وأتْبعهم للقرءانِ. والإيمانُ هو الإيمانُ بالله، وملائكتِه، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، والقَدَر خيرِه وشره وحُلوِه ومُرّه منَ الله تعالى، ونحنُ مؤمنونَ بذلك كلّه لا نفرقُ بين أحد من رسلِه ونصدّقُهم كلُّهم على ما جاءوا بهِ. وأهلُ الكبائرِ من أمةِ محمدٍ صلى الله عليه وسلم في النارِ لا يخلدونَ إذا ماتوا وهم موحِّدونَ وإن لم يكونوا تائبينَ بعد أن لقوا اللهَ عارفينَ مؤمنين، وهم في مشيئتِه وحُكمِه إن شاءَ غفرَ لهم وعفا عنهم بفضلِه، كما ذكر عز وجلَّ في كتابِه: {ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء}، وإن شاءَ عذَّبهم في النار بعدْلِه ثم يخرجُهم منها برحمتِه وشفاعةِ الشافعينَ من أهل طاعتِه ثم يبعثُهم إلى جنّتِه، وذلك بأنَّ اللهَ تعالى تولى أهلَ معرفتِه ولم يجعلْهم في الداريْن كأهلِ نُكْرَته الذين خابوا من هدايتِه ولم ينالوا من ولايتِه. اللهم يا وليَّ الإسلامِ وأهلِه ثبتنا على الإسلامِ حتى نلقاكَ به. ونرى الصلاةَ خلفَ كل بَرّ وفاجرٍ من أهلِ القبلة، وعلى مَن ماتَ منهم. ولا ننزّلُ أحدًا منهم جنةً ولا نارًا، ولا نشهدُ عليهم بكفرٍ ولا بشركٍ ولا بنفاقٍ ما لم يظهر منهم شىءٌ من ذلك، ونَذَر سرائرَهم إلى اللهِ تعالى. ولا نرى السيفَ على أحدٍ من أمةِ محمدٍ صلى الله عليه وسلم إلا من وجَبَ عليهِ السيفُ. ولا نرى الخروجَ على أئمّتنا ووُلاةِ أمورِنا وإن جارُوا، ولا ندعو عليهِم، ولا ننزعُ يدًا من طاعتِهم، ونرى طاعتَهم من طاعةِ الله عز وجل فريضةً ما لم يأمروا بمعصية. وندعو لهم بالصلاحِ والمعافاةِ، ونتّبعُ السنَّةَ والجماعةَ، ونجتنبُ الشذوذَ والخِلاف والفُرقة، ونحبُ أهلَ العدلِ والأمانةِ ونبغضُ أهل الجَوْر والخيانةِ. ونقولُ اللهُ أعلم فيمَ اشتَبَهَ علينا علمُه. ونرى المسحَ على الخفينِ في السفرِ والحَضَرِ كما جاء في الأثر. والحجُّ والجهادُ ماضيانِ مع أولي الأمر من المسلمينَ بَرّهم وفاجرِهم إلى قيام الساعة لا يبطلهما شىءٌ ولا ينقضهما. ونؤمنُ بالكرامِ الكاتبين، فإنَّ الله قد جعلهم علينا حافظينَ، ونؤمن بملكِ الموت الموكلِ بقبض أرواحِ العالمين، وبعذابِ القبر لمن كان لهُ أهلاً، وسؤالِ منكرٍ ونكير في قبرِه عن ربه ودينِه ونبيه على ما جاءتْ به الأخبارُ عن رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وعنِ الصحابة رضوانُ اللهِ عليهم، والقبر روضةٌ من رياض الجنةِ أو حفرةٌ من حفرِ النيران. ونؤمنُ بالبعثِ وجزاءِ الأعمالِ يومَ القيامة والعرْضِ والحسابِ وقراءةِ الكتاب والثوابِ والعقابِ والصراطِ والميزانِ. والجنةُ والنارُ مخلوقتان لا تفنيانِ أبدًا ولا تَبيدان، وأن اللهَ تعالى خلقَ الجنةَ والنارَ قبل الخلق وخلقَ لهما أهلاً، فمن شاءَ منهم إلى الجنة فضلاً منه، ومن شاء منهم إلى النارِ عدلاً منه، وكلٌّ يعمل لمَا قد فَرِغَ له وصائِرٌ الى ما خُلِق له. والخيرُ والشرُّ مقدرانِ على العباد. والاستطاعةُ التي يجبُ بها الفعلُ من نحو التوفيقِ الذي لا يجوزُ أن يوصفَ المخلوق بهُ فهي معَ الفعل، وأما الاستطاعةُ من جهةِ الصحةِ والوِسعِ والتمكُّنِ وسلامةِ الآلاتِ فهي قبل الفعل، وبها يتعلقُ الخطابُ، وهي كما قالَ تعالى: {لا يكلف الله نفسًا إلا وُسْعها}. وأفعالُ العبادِ خلقُ الله وكسبٌ من العبادِ. ولم يكلّفْهُمُ اللهُ تعالى إلا ما يطيقون، ولا يطيقونَ إلا ما كلَّفهم، وهو تفسير "لا حول ولا قوة إلا بالله" نقول: لا حيلةَ لأحدٍ ولا حركةَ لأحدٍ ولا تحوُّلَ لأحد عن معصيةِ الله إلا بمعونةِ الله، ولا قوةَ لأحدٍ على إقامةِ طاعةِ الله والثباتِ عليها إلا بتوفيقِ اللهِ. وكلُّ شىء يجري بمشيئةِ اللهِ تعالى وعلمِه وقضائِه وقدَرِه. غلبت مشيئتُه المشيئاتِ كلَّها، وغلب قضاؤُه الحيلَ كلَّها. يفعلُ ما يشاءُ وهو غيرُ ظالم أبدًا، تقدَّسَ عن كلّ سُوءٍ وحَينٍ، وتنزَّه عن كلّ عيبٍ وشَينٍ {لا يسئل عما يفعل وهم يسئلون}. وفي دعاءِ الأحياء وصدقاتِهم منفعةٌ للأموات، واللهُ تعالى يستجيبُ الدعواتِ ويقضي الحاجاتِ، ويملِكُ كلَّ شىء ولا يملكُه شىء، ولا غِنى عن اللهِ تعالى طرفةَ عين، ومن [زعم أنه] استغنى عن اللهِ طرفةَ عين فقد كفَر وصارَ من أهلِ الحَيْن. واللهُ يغضبُ ويرضى لا كأحدٍ من الورى. ونحبُ أصحابَ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم، ولا نُفْرِطُ في حبّ أحدٍ منهم، ولا نتبرأُ من أحدٍ منهم، ونبغض من يبغضهم وبغير الخير يذكُرُهم، ولا نذكرُهم إلا بخير وحبُّهم دين وإيمانٌ وإحسان وبغضُهم كفر ونفاقٌ وطغيان. ونثبتُ الخلافةَ بعد رسولِ الله صلى اللهُ عليه وسلم أولاً لأبي بكر الصديقِ رضي الله عنه، تفضيلاً له وتقديمًا على جميع الأمة. ثم لعمرَ بن الخطابِ رضي الله عنه، ثم لعثمانَ بن عفان رضي الله عنه، ثم لعليّ بن أبي طالبٍ رضي الله عنهُ وهمُ الخلفاء الراشدون والأئمةُ المهتدون. وإن العشرةَ الذين سماهم رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وبشرَّهم بالجنة، نشهد لهم بالجنة على ما شهِد لهم رسولُ الله صلى الله عليه وسلم، وقولُه الحقُّ، وهم: أبو بكر، وعمر، وعثمان، وعليّ، وطلحة، والزبيرُ، وسعدٌ، وسعيدٌ، وعبدُ الرحمن بنُ عوفٍ، وأبو عبيدةَ بن الجرَّاح، وهو أمينُ هذهِ الأمة رضي اللهُ عنهم أجمعين. ومن أحسنَ القولَ في أصحاب رسولِ الله صلى الله عليه وسلم وأزواجِه الطاهراتِ من كل دنَسٍ وذرياتِه المقدسينَ من كلّ رجسٍ فقد برئَ منَ النفاقِ. وعلماءُ السلف من السابقينَ ومنَ بعدَهم من التابعينَ أهلُ الخير والأثرَ، وأهلُ الفقهِ والنظرِ، لا يُذكرونَ إلا بالجميلِ ومن ذكرهُم بسوءٍ فهو على غيرِ السبيل. ولا نفضّل أحدًا من الأولياءِ على أحدٍ من الأنبياءِ عليهم السلام، ونقول نبيٌّ واحدٌ أفضلُ من جميع الأولياء. نؤمنُ بما جاءَ من كراماتِهم، وصحّ عن الثقات من رواياتهم، ونؤمنُ بأشراطِ الساعة من خروجِ الدجالِ، ونزولِ عيسى ابنِ مريمَ عليه السلام من السماء، ونؤمنُ بطلوع الشمسِ من مغربِها، وخروجِ دابةِ الأرض من موضعها. ولا نصدّقُ كاهنًا ولا عرافًا ولا من يدعي شيئًا يخالفُ الكتابَ والسنَّةَ وإجماعَ الأمة. ونرى الجماعةَ حقَّا وصوابًا، والفرقةَ زيغًا وعذابًا. ودينُ الله في الأرضِ والسماء واحدٌ وهو دينُ الإسلام، قال الله تعالى: {إن الدينَ عند الله الإسلام}. وقال تعالى: {ورضيتُ لكم الإسلامَ دينًا}. وهو بين الغلوِ والتقصيرِ، وبين التشبيهِ والتعطيل، وبين الجبرِ والقدَر، وبين الأمْن والإياسِ. فهذا دينُنا واعتقادُنا ظاهرًا وباطنًا، ونحن برءاءُ إلى اللهِ من كلّ من خالف الذي ذكرناهُ وبيناه. ونسألُ اللهَ تعالى أن يثبّتنا على الإيمانِ ويختمَ لنا به، ويعصمَنا من الأهواءِ المختلِفة والآراءِ المتفرقةِ والمذاهبِ الرديَّةِ مثلِ المشبهةِ والمعتزلةِ والجهميةِ والجبريةِ والقَدَريةِ، وغيرِهم من الذين خالفوا السنةَ والجماعة، وحالفوا الضلالةَ، ونحن منهم براءٌ وهم عندنا ضُلاَّلٌ وأردياء. وباللهِ العصمةُ والتوفيق. انتهى.