Friday, February 10, 2012

SIAPAKAH AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH?

SIAPAKAH AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH?
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Setiap golongan, kelompok, puak dan sekte dalam pemikiran Islam, masing-masing mengklaim bahawa golongan mereka saja yang benar dan betul serta selamat akidahnya. Sekalipun hal itu mereka lakukan dengan sengaja memelesetkan nash-nash (teks) dan lafadz-lafadz hadits demi membenarkan dan membela golongan dan puak masing-masing. Dan sering kita mendengar bahwa akidah yang selamat adalah akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, namun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang dimaksud sebagai Ahlu Sunnah atau dengan kata lain: Apakah Asy’ariyah & Maturidiyah merupakan bagian dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Atau Ahlu Sunnah adalah Wahabi atau Salafi saja?.
Sebelum lebih jauh menjelaskan akidah Ahlu Sunnah, terlebih dahulu penulis menukil sebuah hadits yang menjadi rebutan bagi semua golongan untuk berada dalam pilihan Rasulullah Saw untuk memenangi golongan yang selamat yaitu:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) -ابن ماجه- وفي رواية (مَا أَنَا عَلَيْهَا الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ» ، -ابن ماجه-.
 “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Yaitu golongan yang berada dalam jama’ah (Ibnu Majah). Dan riwayat lain “Yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” (Tirmidzi).
Dijumpai dari teks hadits di atas kalimah “al-Jama’ah” yang memberikan sebuah ilustrasi bahawa golongan yang selamat adalah golongan yang tidak berpecah dan menempuh jalan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw dan para sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Definisi Ahlu Sunnah Wal Jama'ah
Setiap golongan, puak, persatuan dan mazhab memiliki pendiri atau sekurang-kurangnya ada yang memulakan perjalanan organisasi tersebut, sehingga memiliki ketua, pemimpin ataupun pengarah, namun Ahlu Sunnah tidak demikian, ia tidak memiliki pendiri, ketua, pemimpin. Oleh karena itu Ahlu Sunnah bukanlah golongan sebuah puak atau golongan tertentu, seperti puak Asy’ariah, Maturidiyah, Wahabiah, Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan mazhab-mazhab lain yang masing-masing memiliki pendiri dan pengetua dan dikenal khalayak ramai. Melainkan Ahlu Sunnah merupakan satu standar pemahaman, pemikiran agama yang mengandung aspek nilai yang  mulia dan murni. Oleh karena tidak ada yang boleh jawab tentang siapa pendiri dan pemimipin Ahlu Sunnah, maka ada baiknya kalau kita mulakan dengan definisi Ahlu Sunnah itu sendiri.
Dalam bahasa Arab kalimah “Ahlu” berarti keluarga, kerabat, famili, pemilik[1]. Kemudian dalam kamus "Lisan al-Arab", kata as-Sunnah dari sudut etimologi diartikan sebagai as-Sayr (perjalanan). Baik orang itu berjalan dalam kebajikan, kebaikan atau keburukan[2]. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, as-Sunnah diartikan sebagai: "Pedoman hidup Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Baik berupa ilmu pengetahuan, keyakinan dan kepercayaan (ideologi), perkataan (ucapan), perbuatan (praktikal), dan ajaran-ajaran sunnah tersebut wajib diikuti dan ditaati oleh ummat. Oleh karena itu kalau dikatakan bahawa: si fulan adalah pengikut Ahlu Sunnah, berarti ia adalah orang yang mengikuti jalan yang lurus[3].
            Adapun pengertian al-Jama'ah, dalam etimologi diartikan sebagai "Penggabungan sesuatu dengan lainnya". Sebagaiaman yang disinyalir oleh Ragib al-Asfahani, bahawa al-Jama'ah artinya adalah: "Menghubungkan seseuatu dengan lainnya, maksudnya menghimpunkannya"[4]. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, al-Jama'ah adalah salaf al-Ummah[5].
            Difinisi di atas memberikan ilustrasi bahawa yang dimaksud Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengikuti cara hidup Rasulullah Saw, para sahabatnya, tabi'in dan siapa saja yang mengikuti mereka, dengan menghindarkan diri dari amalan bid'ah, di sepanjang zaman dan tempat.
Untuk menyimpulkan dari tiga definisi kalimah di atas, dapat dikatakan Dengan mudah bahawa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan sunnah para shahabatnya. Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Ibnul Jauzi,”Tidak diragukan bahawa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah”[6]. Oleh karena itu istilah ”Ahlu Sunnah Wal Jama’ah” adalah golongan terdahulu, muncul sebelum adanya mazhab Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah, sebab ia adalah mazhab para sahabat yang menerima langsung ajaran-ajaran agama dari Rasulullah Saw, bagi siapa saja yang menyalahi mazhab dan pendirian sahabat, maka mereka dianggap bid’ah di sisi Ahli Sunnah Wal Jama’ah[7].
Perlu disebutkan juga bahawa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebenarnya dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan ajaran Islam yang murni, benar, betul dan lurus dari pembawa risalah Islam Rasulullah Saw dari ajaran Islam yang sudah terpengaruh dengan beberapa pemikiran-pemikiran menyimpang dan menyeleweng, seperti arah pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij. Sehingga orang-orang yang berpegang teguh dan mengamalkan hakikat ajaran Islam yang betul-betul murni tersebut dinamakan “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Imam Malik ketika beliau ditanya : “Siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah popular (di masyarakat saat itu). Jadi Ahlu Sunnah bukanlah Jahmiyah, Qadariyah, dan Syi’ah” [8].
Sekalipun sudah jelas pendefinisian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang telah disebutkan, namun dalam kenyataannya ulama masih juga berbeda pendapat tentang siapakah sebenarnya dari golongan Islam yang berhak menjadi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Oleh karena itu perbincangan istilah ini sangat luas pemakaiannya, dan tidak henti-hentinya dibahas dan diangkat menjadi persoalan. bahkan Ibnu Taimiyah terkadang hanya menyebutkan "Ahlu Sunnah" saja, tanpa diiringi dengan sebutan "al-Jama'ah". Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dengan maksud untuk membedakan antara Islam Sunni dengan Islam Syi'ah. Jadi sebutan Ahlu sunnah tanpa menyebut al-Jama'ah, dimaksudkan bagi semua golongan Islam yang menetapkan dan mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Oleh karena itu dalam hal ini golongan seperti, Asy'ariah dan Maturidiyah adalah golongan Ahlu Sunnah. Ini bagi Ibnu Taimiyah adalah pengertian secara umum.
            Adapun secara pengertian khas (spesifik), Ahlu Sunnah yang dimaksud hanya terbatas kepada Ahlu Hadits dan Sunnah, yaitu bagi mereka yang mengakui sifat-sifat Allah Swt secara harfiah tanpa dita'wilkan, mereka meyakini bahwa al-Qur'an adalah Kalamullah bukan makhluk,  mempercayai takdir dan persoalan-persoalan akidah lainnya[9].
            Berdasarkan dua pengertian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahawa Ibnu Taimiyah mengkhususkan istilah Ahlu Sunnah kepada ulama Salaf. Namun beliau tidak membatasi julukan Ahlu Sunnah hanya kepada mereka. Akan tetapi beliau memberikan kesempatan kepada golongan dan puak lainnya berafiliasi dalam lingkup Ahlu Sunnah, seperti golongan, Asy'ariyah, Maturidiyah dan Zhahiriyah yang ikut membantah ajaran Islam Syi'ah. Adapun golongan Mu'tazilah dan Khawarij bagi Ibnu Taimiyah tidak berhak digolongkan dan dijuluki sebagai Ahlu Sunnah, karena mereka mengatakan al-Qur'an makhluk (Haadits), Allah tidak dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, melainkan dilihat dengan mata hati saja, dan persoalan akidah lainnya.
            Di samping itu, pada masa kontemporari saat ini gerakan Wahabi tidak mengakui golongan Asy'ariah dan Maturidiyah sebagai Ahlu Sunnah, sebab kedua golongan tersebut menta'wilkan sifat-sifat Allah Swt. Ini suatu persolan lain, yang sepatutnya tidak ditimbulkan dalam masa ini, sebab hanya menambah perpecahan umat, sehingga umat Islam yang sebelumnya terbagi kepada dua puak besar yaitu Sunni dan Syi'ah, menjadi tiga puak yaitu Sunni Wahabi, Sunni Asy'ari Maturidi, dan Syi'ah, perpecahan ini memberikan kesempatan pihak luar Islam untuk mengadu domba umat. Oleh karena itu sebaiknya kesemua pihak menahan, menunda, mengurangi dan akhirnya berhenti untuk berlawan antara sesama golongan khususnya dalam lingkup Sunni. Sebab tidak mendatangkan manfaat untuk Islam, bahkan membahayakan agama, dan perlu kita ingat bersama bahawa musuh kita bukan dari kita, melainkan dari luar agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah:
)وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ( -البقرة: 120-.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka”. (al-Baqarah, 120).
Alangkah baiknya kalau kita bersatupadu dalam agama dan tidak bercerai berai bak buih di lautan, sebaiknya kita mengangkat satu syi’ar agama sebagai satu muslim “One Muslim”, dalam istilah al-Qur’an dikenal dengan “Ummatan wahidatan” atau satu umat, firman Allah Swt:
)إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ( -الأنبياء: 92-.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (al-Anbiyaa, 92).
Berkaitan denga selamat atau tidak selamatnya suatu golongan, dalam hal ini Syi’ah turut juga mengaku bahawa akidah golongan merekalah yang akan selamat dan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Rasulullah Saw, untuk jelasnya penulis nukilkan beberapa periwayatan hadits Syi’ah seperti berikut:
(إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا مِنْ بَعْدِي أَبَدًا: كَتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي)
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu sekalian sesuatu yang kalau engkau berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan sesat setelah aku tiada, yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan keluargaku Ahlul Bait”.
Syi’ah sepakat akan kebenaran riwayat ini asalnya dari lisan Rasulullah Saw, namun sebenarnya riwayat aslinya adalah  "كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ" yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadits). Oleh karenanya riwayat ini adalah bentuk penyimpangan Syi’ah dengan menambahkan dan mengurangi teks hadits Rasulullah Saw[10].
Dalam kitab syi’ah lain “al-Hikmah ad-Durriyyah” karangan Ahmad bin Sulaiman (ulama Syi’ah Zaidiyah) disebutkan:
(سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا هَالِكَةٌ إِلاَّ فِرْقَةٌ وَاحِدٌة، قِيْلَ: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: هُمْْ مُعْتَزِلَةُ الشِّيْعَةِ وَشِيْعَةُ الْمُعْتَزِلَةِ)
“Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan hancur kecuali satu. Yaitu Mu’tazila Syi’ah dan Syi’ah Mu’tazilah”.
Tidak ada keraguan untuk menilai penyimpangan riwayat di atas, sebab pertanyaan ditujukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan ketika itu belum ada golongan yang dinamakan Syi’ah maupun Mu’tazilah.

نشأة الفرق وتفرقها
Perpecahan Teologi Islam
Darul Kutub Ilmiah, Bairut-Lebanon (Hal:288) ISBN 2-7451-7246-8
Apapun halnya, sepatutnya pertikaian antara sesama Ahlu Sunnah sebaiknya dihentikan dan bukan masanya lagi, Islam semakin berpecah-pecah akibat sifat saling menjatuhkan antara sesama yang mengaku Islam Sunni, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti facebook, blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, seperti  penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Asy’ari”, dll. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita selesaikan sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Keadaan yang demikian, akibatnya ukhuwah Islamiyah rusak, persaudaraan Islam bubar, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga ummat Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal Allah SWT telah memperingatkan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka yang memperolok-olok. (al-Hujuraat:11).
            Umat Islam tidak berlu disibukkan dengan perkara-perkara Takfir dan Tadhlil atau mengkafirkan orang lain dan menyesatkannya, biarlah Allah di hari kiamat yang mengadili makhluknya, sebab kebenaran yang hakiki hanya Allah yang memilikinya dan bukan hambaNya. Ulama masing-masing golongan hanya sebatas ijtihad, yaitu berusaha mencari kebenaran dan kepastian, betul dan salah dalam berijtihad Nabi Saw telah memberikan penilaian, sebagaimana sabda beliau:
"إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Seorang hakim, apabila berijtihad dan ijtihadnya betul, maka baginya dua pahala, namun apabila ijitihadnya salah, maka baginya satu pahala”. (HR. Bukhari,no: 6919).
Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, dalam mimbar ini kita mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan puak, kelompok dan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka.
Persamaan tidak akan pernah terjadi dalam dunia ini, Allah berfirman:
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Huud:118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ(
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Yuunus:99).
Ayat di atas menegaskan bahwa dalam lipatan dan rentetan sejarah manusia semenjak dari Nabi Adam as, sebenarnya sudah wujud pertentangan antara golongan.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”. 


[1] DR. Kamaluddin Nurdin, Kamus Sinonim Arab-Indonesia, “Syawarifiyyah”, hal 138. 
[2] Ibnu Manzhur, 1406H, Lisanul Arab, Beirut-Lebanon, al-Maktab al-Islamy. hal 13/226.
[3] Ibnu Manzhur, 1406H, Lisanul Arab, Beirut-Lebanon, al-Maktab al-Islamy. hal 13/226.
[4] Raghib al-Asfahani,  al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Beirut-Lebanon, Darul Ma'rifat, hal 96, 97.
[5] Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini ialah metode berpikir (Manhaj Fikri) yang tercerimin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan berpedoman kepada hidayah al-Qur'an dan tuntunan Nabi Saw. Lihat: Ibnu Abi al-'Izz, 1997, Syarh Aqidah at-Thahawi, Muassasah ar-Risalah, Beirut-Lebanon.
[6] Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hal 16.
[7] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 1/256.
[8]  Ibnu abdil Barr, Al-Intiqa fi Fadlail at- Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. Hal 35.
[9] Ibnu Taimiyah, 1306 H, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, Muassasah Qordova, 2/221.
[10]  Imam Malik, al-Muwattha’, bab “an-Nahyu ‘Anil Qaul bil Qadri”.

0 komentar:

Post a Comment