Saturday, February 25, 2012

MENYIKAPI KONSEP TAUHID SALAF

MENYIKAPI KONSEP TAUHID SALAF
Prof Madya. Dr. Kamaluddin Nurdin
Satu isu yang selalu timbul dikalangan umat Islam dari dulu sampai saat ini, dan tidak pernah selesai, sehingga menguras tenaga untuk berpikir, mengkritik, membantah dan memberikan respon yang pada akhirnya akan memecah keutuhan dan kesatuan umat, yaitu Tauhid Tiga (Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa Sifat).
Sebelum menilai pembahagian ini, ada baiknya kalau dijelaskan terlebih dahulu makna akidah dan tauhid, dengan harapan agar penjelasan yang akan diketengahkan boleh memberikan bayangan untuk mengerti apa sebenarnya yang Allah inginkan dari hamba-Nya dalam bertauhid.
Aqidah atau ideologi, sering disebut dan dinamai sebagai kepercayaan. Dari segi etimologi ”Aqidah” berasal dari perkataan arab: “عَقَدَ”, yang artinya mengikat, ikatan dan simpul, juga diartikan  sebagai kontrak, transaksi dan perjanjian”. Dalam kamus ”Syawarifiyyah” disebutkan bahwa perkataan ’Aqada’ disinonimkan dengan: ”عَهِدَ” dan ”وَثَقَ[1].
Oleh karena itu Aqidah diartikan sebagai “Ikatan yang erat kokoh dan pegangan yang kuat”. Dikatakan demikian, karena aqidah tidak menerima hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan.
Dalam agama Islam, aqidah berbentuk keyakinan, dan bukan berbentuk amalan (Practical) atau perbuatan. Seperti seseorang berkeyakinan tentang eksistensi (keberadaan) Allah swt, dan keyakinan tentang diutusnya seorang Nabi dan Rasul. Dan bentuk plural daripada Aqidah adalah (Aqaa`id)[2].
Adapun dari segi terminologi, aqidah bermakna: “Perkara-perkara yang dibenarkan dan diakui sepenuhnya oleh hati manusia, dan dia merasa tenang dengan keyakinan tersebut. Oleh karena itu tidak timbul sama sekali keraguan dalam hatinya” [3].  Dengan demikian, Aqidah itu adalah suatu ajaran yang diyakini oleh seseorang dengan penuh keyakinan, sama halnya keyakinan itu baik ataupun buruk.
            Aqidah Islam adalah keimanan dan kepercayaan yang penuh dan mantap terhadap Allah swt, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, qadha dan qadar (takdir ilahi), percaya sepenuh hati terhadap kejadian-kejadian di alam ghaib serta pokok-pokok ajaran agama, dan tunduk terhadap perintah dan segala keputusan yang ditetapkan oleh Allah, juga mengikuti ajaran agama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
            Berikutnya definisi tauhid menurut bahasa, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus dan mu’jam arab, yaitu berasal dari perkataan arab  "وَحَّدَ", yang  artinya menyatukan sesuatu,  dan kalimah tersebut menunjukkan sesuatu yang tunggal, dalam artian tidak memiliki kesamaan dari sesuatu, oleh karena itu untuk menunjukkan keesaan Allah maka orang arab mengatakan "اَللهُ وَاحِدٌ" yang bermaksud Allah adalah Esa dan tidak ada yang menyamai-Nya dari segala hal. Dengan demikian perkataan tauhid "التوحيد" mengandung makna pengetahuan tentang ke-Esaan Allah swt, tidak ada tandingan, saingan dan yang sama denganNya. Oleh karena itu kalau seseorang tidak berkeyakinan demikian –meng-Esakan Allah-  maka sesungguhnya ia tidak bertauhid[4].
            Adapun kalimah tauhid menurut terminologi adalah mengesakan Allah terhadap apa saja yang khusus bagi-Nya, seperti ke-Ilahian, ke-Tuhanan, dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Dan penggunaaan istilah dan maknanya terdapat dalam al-Qur’an al-Karim seperti beberapa firman Allah di bawah ini:
)قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، اَللهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ،، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ( -الإخلاص: 1-4
             ”Katakanlah:"Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. (al-Ikhlas, 1-4).
)وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ( -البقرة: 163-
”Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (al-Baqarah, 163).
)لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَـهٍ إِلاَّ إِلَـهٌ وَاحِدٌ وَإِن لَّمْ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ(  -المائدة: 73-
”Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang kelak berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. (al-Maaidah, 73).
 Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang berkaitan dengan di atas. Di samping itu terdapat satu riwayat dari Ibnu Umar r.a. seperti hadits di bawah:
«بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ ».  (مسلم)
 ”Sesungguhnya agama dibangun atas lima perkara, hendaklah engkau mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menjalankan ibadah puasa ramadhan dan melakukan ibadah haji”. (Muslim, No: 16).
Dari ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa seluruh teks-teks di atas sebenarnya menyerukan realisasi makna syahadat ” لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ”, yaitu pengakuan seorang mu’min bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah utusan Allah.
Dengan demikian makna tauhid dari aspek etimologi dan terminologi sangat jelas, di mana keduanya menekankan satu aspek saja, yaitu meng-Esakan Allah swt.
Perlu disebutkan di sini bahwa para ulama berbeda pandangan tentang pembahagian tauhid. Sebagian dari mereka membaginya kepada dua bahagian, dan ada juga yang membaginya kepada tiga bahagian. Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam at-Thahawi dari mazhab Hanafi, beliau menegaskan bahawa ulama salaf terkadang membagi tauhid kepada dua saja yaitu: tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah. Dan ada juga dari mereka yang membaginya kepada tiga, yaitu: tauhid Sifat, tauhid Uluhiyah, dan tauhid Rububiyah[5]. Sedangkan ulama yang selain salaf tidak memberikan klasifikasi kepada tauhid. Sebab bagi mereka istilah tauhid satu saja, dan mengandungi semua hal yang berkaitan di atas.
Sebenarnya pembagian tauhid tersebut tidak pernah wujud pada masa tiga kurun islam pertama, yaitu masa sahabat, tabi’in dan tabi’ taabi’in. Justru pembagian dan klasifikasi rincian tauhid dimulai oleh  Ibnu Taimiyah. Dan bagi penulis pengklasifikasian tauhid tersebut tidak menjadi masalah. Karena niat Ibnu Taimiyah dalam menciptakan klasifikasi tauhid adalah bertujuan untuk memberikan penjelasan, bagi memudahkan dan mendekatkan seoramg mukmin untuk mengenal hakikat tauhid yang mencerminkan bahwa tauhid itu bukan hanya sekedar pengetahuan, tapi ia adalah pengetahuan dan pengamalan[6].
Ibnu Taimiyah mendefinisikan tauhid Rububiyah sebagai: ”Pengakuan seseorang bahawa Allah Yang menciptakan segala sesuatu, dan Allah pula sebagai Rab (Tuhan alam semesta)” [7]. Dalam makna yang sama imam Ibnu Abi al-’Iz menjelaskan bahwa tauhid ini adalah bentuk pengakuan seseorang tentang adanya pencipta segala sesuatu, dan tidak ada pencipta lain selain daripada Allah yang tidak ada yang mampu menyamai-Nya baik dari sifat dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu aspek tauhid Rububiyah memiliki nilai kebenaran[8]. Dengan pemaknaan ini mereka jadikan tauhid Rububiyah sebagai fondasi bagi tauhid Uluhiyah.
Dengan tauhid rububiyah ini, seseorang akan men-Tauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti hal penciptaan, penguasaan, pembagian rezeki, pengurusan alam semesta beserta isinya dari sekian ragam makhluk-makhluk Allah swt. Dan orang atheis tidak memiliki keyakinan seperti ini, sebab mereka menafikan adanya Tuhan pencipta alam ini.
Kemudian Ibnu Abi al-’Iz menjelaskan tauhid Uluhiyah sebagai: ”Penyembahan hanya kepada Allah dan meyakini bahawa Allah tidak mempunyai sekutu” [9]. Dan tauhid ini diekspresikan sebagi tauhid ibadah. Artinya penyembahan dan pengabdian seorang mukmin ditujukan hanya kepada Allah semata, baik secara lahir ataupun secara batin. Dengan demikian maka amalan shalat, puasa, zakat, haji, dan amalan-amalan lainnya dilakukan dengan keikhlasan karena mengharap keridhaan Allah. Melalui tauhid Uluhiyyah ini, manusia men-Tauhidkan Allah dalam peribadatan atau persembahan, seperti tawakkal, berdo’a dan mengharap perlindungan dari Allah.
Bagi ulama yang mengakui pembagian tauhid ini, mereka berpandangan bahwa seseorang yang beriman belum cukup untuk menyatakan tauhidnya kepada Allah dalam bentuk tauhid Rububiyah, tanpa menyertainya dengan tauhid ubudiyah yaitu tauhid Uluhiyah. Alasannya karena orang-orang musyrik zaman dulu telah memiliki keyakinan bahawa Allah yang mencipta dan mengatur alam semesta, tetapi keyakinan itu belum cukup memasukkan mereka ke dalam Islam. Oleh karena itu bagi mereka tauhid Uluhiyah dijadikan sebagai inti pembahasan dalam tauhid. Adapun peranan daripada tauhid Rububiyah mereka jadikan sebagai penghubung kepada tauhid Uluhiyah.
Adapun maksud tauhid Asma dan Sifat dari perspektif Salaf adalah meyakini sepenuh hati dan menetapkan apa yang sudah ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an dan al-Hadits mengenai nama dan sifat Allah tanpa merubah makna, mendeskripsikan bentuk ataupun cara. Dalam arti lebih jelasnya mereka tidak membolehkan interpretasi apapun terhadap sifat-sifat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an, seperti kalimah "اَلْيَدُ" dalam firman Allah:
)يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ( -الفتح: 10-
“Tangan Allah di atas tangan mereka” (al-Fath, 10).
Tidak dibolehkan memahami ayat di atas kecuali seperti dalam terjemahan ayat. Dengan catatan tegas bahwa tangan Allah tidak sama dengan tangan manusia. Dengan pemahaman ini, dilarang bagi siapa-siapa memberikan arti ayat tersebut sebagai “kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka”.
Sebagai renungan bersama, Rasulullah saw menjelaskan tentang perkara tauhid, bahwa Allah memberikan jaminan surga kepada siapa saja hamba Allah yang meng-Esakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله e : (من قال أشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله لا يلقى الله بها عبد غير شاك فيهما إلا دخل الجنة)
Dari Abi Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang berkata tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Aku adalah utusan Allah, tanpa perasaan ragu, maka dia masuk surga.”
 عن عثمان إبن عفان رضي الله عنه قال قال رسول الله e: (من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة)
Dari Utsman bin Affan r.a berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang meninggal dunia dan dia mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah, pasti masuk surga.”
عن عثمان بن مالك رضي الله عنه عن النبي e قال: (إن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله عز وجل)
Dari Utsman bin Malik r.a bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt mengharamkan neraka buat orang yang mengatakan tidak ada tuhan selain Allah dengan tujuan mengharapkan keridlaan Allah Azza wa Jalla”.
 عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي e قال: (من لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله متيقناً بها قلبه فبشره بالجنة)
Dari Abi Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menemuiku di balik dinding ini dengan bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dengan penuh keyakinan di dalam hatinya, maka berilah padanya kabar gembira yang berupa surga”.
Hadits-hadits di atas dengan jelas dan tanpa melihat latar belakang golongan dan mazhab, menjamin surga bagi hamba Allah yang betu-betul bertauhid dan tidak memepersekutukan-Nya. Serta  tidak melihat apakah tauhid yang dia yakini adalah tauhid tiga atau bukan tauhid tiga, namun yang pasti dia meng-Esakan Allah, dan sama sekali tidak mempersekutukan-Nya.
Pertanyaan pertama yang akan ditemui oleh setiap hamba Allah di akhirat kelak adalah persoalan shalat:
 (إنَّ أَولَ ما يُحاسَبُ به العبد يوم القيامة من عَمَلِهِ: صلاَتُهُ، فإن صَلَحتْ، فقد أفلح وأنجح، وإن فسدَتْ ، فقد خاب وخسر، فإن انتقص من فريضته شيئا، قال الربُّ تبارك وتعالى: انظروا، هل لعبدي من تطوع؟ فيكمل بها ما انتقص من الفريضة، ثم يكون سائر عمله على ذلك)
 "sesungguhnya yang pertama-tama akan di hisab dari manusia pada hari kiamat dari semua 'amal perbuatan (tindakan) mereka adalah SHALAT. Kalau shalatnya baik, maka ia berhasil dan berjaya (selamat), namun kalau shalatnya rusak maka ia akan kecewa dan rugi. Dan jika terdapat suatu kekurangan dari shalatnya, maka Allah swt berfirman : Lihatlah apakah ada shalat sunnah dari hamba-Ku? Jika ada padanya shalat sunnah maka sempurnakanlah kekurangan shalat fardhu hamba-Ku dari shalat sunnahnya. Dan begitu juga halnya dengan amal perbuatannya yang lain".
Dari hadits ini dapat diambil i’tibar dan pelajaran berharga, yaitu bahwa persoalan pertama yang sangat fundamental dalam penilaian Allah swt tentang lulus atau tidaknya amal perbuatan seorang mukmin untuk masuk ke dalam surga adalah masalah shalat. Apakah sempurna shalatnya dalam lima waktu sehari semalam. Ataukah ia shalat sesuai dengan keadaan dan kelapangan waktu. Kalau tengah rajin, maka ia akan shalat penuh lima waktu, tapi kalau malas cukup sekali seminggu (jum’at), atau dua kali dalam setahun (Iedul Fithri & Iedul Adha).
Apapun halnya, pembahagian tauhid tidak perlu diributkan dan diperselisihkan. Terserah kepada masing-masing keyakinan. Sebab Allah sendiri tidak akan bertanya tentang bentuk tauhid yang kita yakini. Dan pertanyaan Allah hanya bertumpu kepada peng-Esaan Allah yang merupakan hakikat tauhid. Kalau sudah mantap peng-Esaan kita kepada Allah maka selesai masalah. Begitu juga Allah tidak akan bertanya tentang maksud ayat mutasyabihat yang tercermin dalam persoalan makna al-Yad atau tangan. Dalam artian, Allah tidak akan bertanya kepada hamba-Nya tentang pemahaman al-Yad (tangan) yang terdapat dalam ayat mutasyabihat, apakah ditafsirkan sebagai kekuasaan, atau dikekalkan pengertiannya menurut makna bahasa.
Pembahasan-pembahasan demikian tidak akan pernah selesai, sehingga akan membuang waktu, masa dan energi umat. Di samping itu, masih banyak bahkan berbilang masalah umat yang menunggu dan perlu diselesaikan. Dan yang penting dalam pembahasan tauhid ini adalah dengan adanya jiwa tauhid dalam hati, maka akan terbentuklah berbagai motivasi hidup yang positif. Dengan jiwa tauhid maka seseorang akan takut hanya kepada Allah swt. Kalau dalam dunia pekerjaan, orang yang memiliki kekuatan tauhid akan bekerja lillah ta’alah ”ikhlas karena Allah”, dan bukannya bekerja untuk dinilai oleh atasan dan boss, sehingga segala bentuk penilaian-penilaian manusia tidak ia hiraukan. Dan yang ia takutkan adalah penilaian Allah di akhirat kelak. Dengan semangat jiwa tauhid ini ia memiliki keberanian yang hebat untuk menghadapi cobaan, cabaran, tantangan, dan rintangan hidup.
Wallah A’lam


[1] DR. Kamaluddin Nurdin, Kamus Syawarifiyyah, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 427.
[2] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, 4/86-87. Ibnu Mandzur, 9/309.
[3] Lihat: DR. Kamaluddin Nurdin, Masaail al-I'tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, Muassasah al-'Alya, Kairo-Mesir, 2006.
[4] Lihat: al-Azhari, Tahzib al-Lughah, 5/192-198. Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayis al-Lugha, 1084.
[5] Ibnu Abi al-‘Iz, Syarh al-Akidah at-Thahawiyah, 1/17, 24, 42.
[6] DR. Kamaluddin Nurdin, al-Mazahib al-Aqaaidiyah al-Islamiyah, 183-185, Univerisiti Sains Islam Malaysia, 2011.
[7] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 3/289.
[8] Ibnu Abi al-‘Iz, Syarh al-Akidah at-Thahawiyah, 1/25.
[9] Ibnu Abi al-‘Iz, Syarh al-Akidah at-Thahawiyah, 1/24.

0 komentar:

Post a Comment