Tuesday, October 25, 2011

SYI’AH SALING BERSETERU


SYI’AH SALING BERSETERU
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Syi’ah bukan hanya satu golongan melainkan terdapat berbagai golongan dan saling berlainan akidah dan politik.
Keberbagaian golongan syi’ah dapat dihadkan kepada tiga golongan yang masih eksis sampai saat ini, yaitu syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah. Dan syi’ah Zaidiyah didirikan oleh imam Zaid, sedangkan syi’ah Imamiyah yang memiliki karakteristik yang berupa pengakuan mengenai kepimpinan dua belas imam yang didirikan oleh Musa bin Ja’far (al-Kadzim) sebagai imam yang ketujuh dari urutan kepimpinan. Di samping itu golongan ini juga diberikan julukan al-Ja'fariyah, karena berbagai pandangan fiqh mereka bersandarkan kepada pendapat imam Ja'far ash-Shadiq. Adapun syi’ah Isma'iliyah didirikan oleh Isma’il bin Ja’far, golongan ini sebenarnya adalah bentuk perpanjangan golongan ekstrimis syi'ah (Ghulat) dan dikenal dengan syi’ah Bathiniyah. Penamaan syi’ah Isma’iliyah terus melekat sampai berdirinya dinasti Fathimiah pada tahun 296 H. Maka pada masa tersebut nama isma'iliyah diganti dengan nama baru, yaitu "al-Fathimiah". Kemudian, nama isma'iliyah kembali dipergunakan setelah dinasti Fathimiah mengalami kehancuran pada tahun 566 H. Dan pada masa peperangan salib, kelompok syi’ah Isma'iliyah ini terkenal dengan julukan "al-Hasysyasyin".
Perselisihan dan pertikaian dalam tubuh syi'ah tidak hanya terbatas pada jumlah atau bilangan imam saja, akan tetapi mereka juga berselisih pendapat mengenai tugasan sang imam, yaitu sebagaimana berikut ini:
Teori Kepimpinan “imamah”.
Sesungguhnya syarat kesahihan diakuinya seseorang sebagai pengikut syi'ah adalah keyakinannya bahwa kepimpinan “imamah” adalah salah satu dasar agama. Dan dapat dilihat bahwa perselisihan yang terjadi di antara sunnah dan syi'ah terbentuk hanya berdasarkan motif politik saja. Oleh karena itu, maka imamah adalah point utama yang memecah belahkan kaum muslimin kepada kelompok sunnah dan syi'ah. Bahkan masalah imamah juga yang memecah belah golongan-golongan syi’ah.
Imamah dalam pandangan syi’ah Zaidiyah secara global tidak sama dengan pandangan syi’ah Imamiah itsna asyariah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah yang telah mengangkat imamah kepada tingkatan kenabian, atau kepada tingkatan yang mendekati tingkatan kenabian. Karena mereka meng-qiyaskan para imam kepada para nabi. Dan yang membedakan imam dengan nabi menurut pandangan mereka adalah, tidak diturunkan wahyu kepada imam.
Sedangkan syi’ah Zaidiyah menganggap imam adalah manusia sebagaimana halnya manusia yang lain, dan tidak memiliki kelebihan dari manusia biasa. Oleh karena itu, syi’ah Zaidiyah mengkritik pandangan syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma’iliah bathiniah yang menyamakan kedudukan imam sederajat dengan kedudukan nabi. Dan syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa tidak boleh meng-qiyaskan kepimpinan (imamah) kepada kenabian. Karena Allah swt telah mengkhususkan para nabi-Nya dengan mu'jizat, maka Dia muliakan mereka dengan mu'jizat yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain.
Patut diberikan perhatian, bahwa syi’ah Zaidiyah memberikan penegasan mengenai ketidak mampuan seseorang untuk mencapai derajat kenabian. Sekalipun dia adalah imam Ali bin Abi Thalib yang telah disepakati oleh semua golongan syi'ah bahwa imam Ali adalah  seorang imam menjadi pelapis dan penerus setelah kematian Nabi saw, di samping itu menjadi seorang sahabat Nabi yang paling mulia disisinya.
Bagaimanapun juga, sesungguhnya kenabian adalah suatu derajat yang dikhususkan oleh Allah swt untuk para nabi-Nya. Dan ia bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh oleh manusia dengan usahanya sendiri. Oleh karena itu, seorang imam tidak dapat menjadi nabi ataupun rasul, seberapapun besar usaha yang dia lakukan untuk mencapainya.
Jadi, menurut syi’ah Zaidiyah, seorang imam bukanlah medium untuk disucikan, sebagaiman halnya pendapat syi’ah Imamiah itsna asyariah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah. Karena menurut pendapat syi’ah Zaidiyah, seorang imam hanyalah sekedar seorang imam duniawi saja atau imam politik. Dan dia adalah manusia yang terkadang benar dan terkadang salah.
Disamping itu, syi’ah Zaidiyah –kecuali imam Yahya bin al-Husain dan imam Husain bin al-Qasim al-Iyani- berselisih pendapat dengan syi’ah Imamiah itsna asyariah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah bahwa bumi tidak pernah terlepas dari keberadaan seorang imam atau penerima wasiat kepimpinan (imamah). Maka mereka berpendapat bahwa keberadaan seorang imam pada setiap masa adalah suatu keharusan, wajib dan  darurat. Dan syi’ah Zaidiyah telah memberikan kritikan yang cerdas terhadap syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah bathiniah mengenai pendapat mereka ini. Mereka telah menyingkap kebatilan pendapat ini, dan mereka buktikan bahwa telah berlalu beberapa masa tanpa keberadaan seorang rasul, juga tanpa keberadaan seorang imam ataupun penerima wasiat.
Buku ini telah memaparkan kritikan ahli sunnah terhadap pendapat syi'ah bahwa imamah merupakan salah satu rukun agama. Dan ahli sunnah telah menjelaskan bahwa imamah bukanlah salah satu rukun atau dasar agama. Dan ia hanyalah salah satu furu' (cabang) agama, yang tiada kena mengena dengan akidah keimanan. Menurut pendapat ahli sunnah, islam terdiri dari lima rukun utama, yang dipercayai oleh semua orang islam, dan dipraktikkan, sehingga seseorang dapat dianggap sebagai seorang islam. Urgensi terkumpulnya kelima rukun islam dalam mengindentifikasi seseorang sebagai seorang muslim nampak jelas terlihat dalam hadits Nabi saw, dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin al-Khaththab, yang teksnya adalah:
"بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ" رواه البخاري ومسلم.
"Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Islam dibina berdasarkan lima perkara: syahadat bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan ibadah haji di baitullah, dan melakukan puasa di bulan ramadhan". Diriwiyatkan oleh Bukhari dan Muslim.     
Ahli sunnah membangun pandangan mereka mengenai rukun islam berdasarkan hadits ini. Di mana Rasulullah saw tidak menyebutkan perkara kepimpinan (imamah) di dalamnya. Sebagaimana tidak nampak keperluan kaum muslimin terhadap imamah pada masa beliau masih hidup, karena beliau adalah imam kaum muslimin.
Bagi Ahli sunnah orang-orang mukmin yang hidup sezaman dan menemani Nabi saw adalah manusia yang paling mulia walaupun mereka tidak memeluk akidah imamah. Karena keimanan yang benar yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw adalah akidah mengakui ke-Esaan Allah, kenabian rasulullah saw, keimanan terhadap malaikat, al-Qur`an, para rasul, dan kebangkitan setelah kematian, yang diikuti dengan mendirikan shalat, semua jenis ibadah dan kewajiban. Dan ahli sunnah juga berpandangan bahwa jika kita andaikan  bahwa imamah adalah salah satu masalah agama yang paling penting, maka alangkah baiknya jika al-Qur`an menjelaskannya, dan Nabi saw menampakkannya.
Pengangkatan Imam.
Semua golongan syi'ah -Zaidiyah, Imamiyah, Isma’iliyah- bersepakat mengenai kewajiban imamah berlandaskan penentuan nash dan penunjukkan langsung dari Nabi. Dan mereka sepakat bahwa kepimpinan (imamah) tiga imam: Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain, telah ditentukan secara “nash”. Namun penentuan “nash” untuk kepimpinan imam Ali menurut syi’ah Zaidiyah –kecuali imam Humaidan bin Yahya- bersifat khafiyy (samar). Sedangkan nash untuk kepimpinan Hasan dan Husain adalah nash jaliyy (jelas). Dan kepimpinan para imam yang setelah tiga imam ini tidak ditentukan nasnya, karena kepimpinan mereka ditentukan dengan cara dakwah (melakukan revolusi). Maka seseorang tidak dapat menjadi imam dengan hanya sekedar terkumpul di dalam dirinya berbagai syarat yang telah ditetapkan oleh golongan ini. Akan tetapi, dia harus melakukan dakwah, atau keluar memploklamirkan dirinya sebagai imam, dan memerangi kezaliman. Dan patut diberikan catatan, bahwa ash-Shalihiyah yang merupakan sempalan syi’ah Zaidiyah mempunyai pendapat yang dekat dengan ahli sunnah dalam masalah ini. Karena mereka berpendapat bahwa jalan untuk menentukan kepimpinan setelah kematian imam Ali, Hasan, dan Husain adalah dilakukan dengan cara musyawarat dan pemilihan.
Sedangkan syi’ah Imamiah itsna asyariah berpendapat bahwa kepimpinan semua imam yang terdiri dari dua belas imam telah ditentukan secaran “nash jaliyy” jelas. Namun kedudukan seorang imam yang sudah ditentukan secara “nash” kepimpinannya namun ia menghilang (ghaib), dalam kondisi seperti ini akan digantikan dengan seorang mujtahid yang memenuhi syarat, sebagai wakil sang imam pada masa hilangnya (keghaibannya). Dan dia adalah hakim atau pemimpin mutlak.
Sedangkan syi’ah Isma'iliyah bathiniah berpendapat lain bahwa kepimpinan para imam mereka telah ditentukan “nasnya”. Dimulai dari Ali bin Abi Thalib sampai munculnya "sang penegak keadilan", yaitu Muhammad bin Isma'il. Di samping itu, syi’ah Imamaiah dan syi’ah Isma'iliyah sepakat bahwa kepimpinan terbatas hanya kepada keturunan Husain saja. Sedangkan syi’ah Zaidiyah menjadikannya milik keturunan Hasan dan Husain tanpa ada perbedaan.
Syi’ah Zaidiyah mengkritik keras pendapat syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah bahwa penentuan “nash” mengenai kepimpinan imam Ali bin Abi Thalib bersifat jaliyy (jelas) dan terang-terangan. Mereka menyatakan bahwa dalil-dalil yang mengindikasikan kepimpinan Ali tidak bersifat zahir, karena dilalahnya samara tau tidak jelas, di mana tidak disebutkan di dalamnya perihal kepimpinan (imamah). Maka penentuan “nash” bagi kepimpinan Ali ditunjukkan dengan secara isyarat dan menyebutkan sifat-sifat Ali, tanpa menyebutkan langsung nama dan individu. Karena jika memang penentuan “nashnya” bersifat terang-terangan pasti nash tersebut telah terkenal luas, karena ini adalah sesuatu yang tidak boleh disembunyikan.
Kemudian, syi’ah Zaidiyah juga mengkritik pendapat syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma'iliyah mengenai pengkhususan kepimpinan selanjutnya hanya kepada keturunan Husain. Mereka menyatakan bahwa apa yang menunjukkan pembolehan kepimpinan pada keturunan Husain juga menunjukkan pembolehannya pada keturunan Hasan, tanpa ada perbedaan. Dengan dalil bahwa mereka semua adalah keturunan Nabi saw, oleh karena itu jika kesahihan kepimpinan bergantung kepada hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw, maka keturunan Hasan adalah keluarga Nabi saw. Mereka semua adalah ahlul bait sebagaimana halnya keturunan Husain.              
Sebenarnya, yang mendorong syi’ah Imamiah dan syi’ah Isma'iliyah membatasi jawatan kepimpinan (imamah) hanya untuk keturunan Husain saja adalah dikarenakan mundurnya imam Hasan dari khilafah, dan penyerahannya kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Dari peristiwa ini, syi’ah Isma'iliyah mereka-reka teori baru dalam kepimpinan yaitu imam mustaqarr (permanen) dan imam mustawda' (imam sementara).
Jika syi'ah berpendapat bahwa imam setelah Nabi saw adalah Ali bin Abi Thalib, maka bagaimana sikap mereka terhadap tiga khualafa`urrasyidun –Abu Bakar, Umar, dan Utsman-, serta sahabat yang lainnya? Syi’ah Imamiah itsna asyariah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah sepakat mengatakan bahwa mereka telah melakukan kesalahan, dan menyalahi wasiat Nabi saw. Dan mereka berpendapat bahwa para sahabat ini adalah para pendusta, pengkhianat, dan kafir.
Sedangkan syi’ah Zaidiyah terbagi kepada tiga pendapat dalam menyikapi hal ini:
-          AJarudiyah mengkafirkan mereka semua.
-          Shalihiyah dan Batriyah yang merupakan kelompok syi’ah Zaidiyah moderat dan paling dekat dengan ahli sunnah tidak mengkafirkan mereka, namun mereka mengambil sikap diam mengenai Utsman.
-          Sulaimaniah atau Jaririah hanya mengkafirkan Utsman saja. Serta mereka kafirkan orang yang ikut memerangi Ali, seperti Aisyah, Thalhah, dan Zubair.
Akan tetapi, sebenarnya sikap mayoriti syi’ah Zaidiyah terhadap para sahabat adalah sikap penuh toleransi dan kerelaan atas kepimpinan mereka. Oleh karena itu, mereka kritik tindakan pencercaan syi’ah Imaiah itsna asyariah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah terhadap para sahabat. Dan mereka tegaskan bahwa pembay'atan mereka (khualafa`urrasyidun) bukanlah suatu kesalahan selama Ali meninggalkan haknya secara suka rela dan tidak menuntut. Oleh karena itu, tidak boleh sesiapun juga memfasikkan mereka, terlebih lagi mengkafirkan mereka.
Ahli sunnah telah memberikan  kritikan terhadap masalah penentuan dan pelantikan imam dengan nash. Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits yang diklaim oleh syi'ah sebagai nash bagi kepimpinan imam Ali bin Abi Thalib telah ditolak dan dibatalkan oleh kesepakatan ulama islam pada masa permulaan. Karena semua umat islam tunduk di bawah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar ra, serta mengakui kewajiban untuk mentaatinya, dan bersatu di bawah kepemimpinan keduanya. Di antara mereka itu adalah Ali, Abbas, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Dzarr, Zubair bin Awwam, serta semua orang yang mengkalim bahwa dia memiliki dan meriwayatkan nash imamah.
Ahli sunnah memandang perkataan mereka bahwa Ali memberikan sedekah yang berupa cincinnya ketika tengah melakukan ruku' adalah suatu perkataan yang menyalahi realiti. Karena imam Ali adalah termasuk orang yang tidak diwajibkan untuk mengeluarkan sedekah pada masa Rasulullah saw, karena dia adalah seorang yang miskin. Dan zakat perak diwajibkan hanyalah kepada orang yang memiliki nishabnya ketika sampai masa penunaian zakat, dan Ali tidak termasuk orang yang memiliki nishab zakat ketika sampai masa penunaian zakat. Dan sesungguhnya pemberian cincin sebagai pembayaran zakat tidak diperbolehkan oleh banyak fuqaha. Kecuali jika dikatakan wajib zakat pada perhiasan. Dan ada yang berpendapat, zakat perhiasan dikeluarkan dari jenis perhiasan tersebut. Dan ada orang yang membolehkan penunaiannya dengan mentaksir nilainya, dan pentaksiran nilai zakat tidak dapat dilakukan ketika orang tengah melakukan shalat, dan pentaksiran zakat juga berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan.
Sedangkan hadits yang dijadikan dalil oleh syi'ah yang berbunyi:
" مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ"
"Barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka Ali juga adalah walinya".
Maka menurut pendapat ahli sunnah, hadits ini tidak memberikan dalil bagi wilayah kekuasaan yang berupa kepimpinan (imamah) ataupun khilafah. Dan lafaz wilayah di dalam al-Qur`an tidak dipergunakan dengan pengertian imamah atau khilafah. Bahkan yang dimaksud dengan wilayah di dalam al-Qur`an adalah wilayah pertolongan dan kasih sayang, baik di antara mukmin ataupun di antara orang kafir. Maka firman Allah swt mengenai wilayah antara kaum mukminin adalah:
(وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ) التوبة: 71
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. At-Taubah: 71).
Sedangkan firman Allah swt mengenai wilayah antara orang-orang kafir adalah:
(وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ) الأنفال: 73
 "Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. JIka kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar" (QS. Al-Anfaal: 73).
Jadi, makna wilayah di dalam al-Qur`an adalah orang yang menjadikan kamu sebagai penolong dan pelindungnya. Maka Ali adalah penolong dan pelindungnya, maksudnya, barang siapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya dan pelindungnya, maka Ali menjadi penolong dan pelindungnya. Jadi maknanya: sesungguhnya Ali mengikuti langkah Nabi saw. Jadi dia tolong orang yang menolong Nabi saw, dan orang yang menolong Nabi saw hendaknya menolongnya juga. Dan ini adalah suatu keistimewaan yang besar. Ali ra telah menolong Abu Bakar, Umar, dan Utsman, serta dia lindungi mereka.
Jadi hadits Nabi saw ini tidak menjadi hujjah atau bantahan kepada ahli sunnah, bahkan menjadi hujjah bantahan kepada syi’ah, sebab hadits ini tidak memberikan indikasi mengenai kepimpinan “imamah”. Bahkan ia mengindikasikan pembelaan darinya baik dalam keadaan sebagai imam ataupun sebagai makmum. Jika hadits ini memberikan indikasi kepimpinan ketika ia diucapkan, maka Ali menjadi imam ketika masih ada Nabi saw, dan tidak ada seorangpun yang berpendapat seperti ini.
Teori ‘Ishmah
Syaikh al-Mufid (w413H) mendefiniskan sifat ma'shum sebagai: "terhalangnya seseorang  untuk melakukan dosa dan keburukan"[1]
                Dengan nada yang sama, asy-Syarif al-Murtadha (w436H)[2] berkata: " sifat ma'shum adalah sifat yang diciptakan oleh Allah ta'ala pada diri seserang, sifat ini mencegah dirinya untuk memilih perbuatan yang buruk "[3]
                Dari paparan teks ini dapat disimpulkan bahwa ada dua penjelasan bagi sifat ma'shum:
1) Sifat ma'shum ini adalah beberapa perkara yang diberikan oleh Allah ta'ala untuk hamba-Nya yang mukallaf, yang menjadikan orang tersebut tidak melakukan perbuatan maksiat. Dan mereka menafsirkan beberapa perkara ini sebagai empat hal, yaitu: yang pertama: yaitu meletakkan di dalam diri manusia sifat yang menghalangnya dari melakukan perbuatan keji, dan mengajak kepada menjaga diri. Yang kedua: pengetahuan mengenai berbagai tempat kemaksiatan dan ketaatan. Yang ketiga: penegasan pengetahuan tersebut dengaan wahyu dan penjelasan dari Allah swt. Yang keempat: manakala dia melakukan kesalahan akibat lupa dan lalai, dia tidak dibiarkan begitu saja, bahkan dia diberikan hukuman dan peringatan, dan ditambahkan keuzuran kepadanya.
                Jika keempat perkara ini dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut adalah seorang yang ma'shum, karena sifat suci jika ditambah dengan pengetahuan, yaitu bahwa di dalam ketaatan ada kebahagiaan, dan di dalam kemaksiatan ada kesengsaraan, kemudian ditambah dengan kedatangan wahyu kepadanya, dan muncul penjelasan kepadanya, yang disempurnakan dengan rasa takut terhadap hukuman dalam kadar yang sedikit, maka dengan terkumpulnya keempat perkara ini terbentuklah sifat ma'shum yang hakiki.
2) Sifat ma'shum adalah suatu sifat yang menghalang seorang mukallaf dari melakukan perbuatan yang buruk dengan secara suka rela. Sifat tersebut bisa jadi tidak termasuk dalam empat perkara yang telah disebutkan di atas, contohnya: Allah taala mengetahui bahwa jika Dia menciptakan awan, atau hembusan angin, atau Dia gerakkan suatu objek, maka perbuatan-Nya ini akan menghalang Zaid dari melakukan perbuatan yang buruk secara suka rela. Maka sesungguhnya Allah ta'ala wajib untuk melakukan hal itu, dan sifat ini adalah suatu penghalang bagi Zaid. Dan jika disebutkan mengenai sifat ma'shum maka berarti dia adalah sekumpulan sifat yang menghalang seorang mukallaf dari melakukan perbuatan yang buruk sepanjang masa dewasanya[4].
                Sifat ma'shum menurut pendapat syi’ah imamiah itsna asyariah dan syi’ah isma'iliyah bathiniah bersifat mutlak, yaitu dapat menghapuskan segala sifat salah, lalai, lupa, dan sebagainya[5]. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa tidak pernah diketahui dari imam Ali as bahwa dia pernah memberikan pandangan yang salah, atau melakukan suatu perbuatan  akibat salah dan lalai[6].           
                Al-Majlisi berkata: "teman-teman kita para penganut syi’ah imamiah sepakat mengenai sifat ma'shum para nabi dan imam dari dosa kecil dan besar, baik secara sengaja, ataupun karena salah, ataupun karena lalai dari semenjak sebelum dan setelah kenabian-, bahkan dari semenjak mereka dilahirkan, sampai mereka berjumpa dengan allah ta'ala. Tidak ada yang tidak sependapat dengan pendapat ini kecuali ash-Shaduq Muhammad bin Babawaih, dan gurunya yaitu Ibnu al-Walid "[7].
                Di tempat yang lain, al-Majlisi menyatakan: "ketahuilah bahwa imamiah telah bersepakat mengenai sifat ma'shum para imam as dari melakukan dosa-dosa besar dan kecil, maka mereka tidak akan melakukan dosa, baik secara sengaja, atau lupa, atau salah. Mereka juga tidak melakukan kesalahan dalam ta`wil (penafsiran qur’an dan haditst)"[8].
                Jadi, menurut pandangan al-Majlisi semua imam memiliki sifat ma'shum dalam semua bentuknya, besar ataupun kecil, sifat ma'shum dari kesalahan, juga dari kelalaian, lupa, dan sebagainya.
                Masalah sifat ma'shum tidak hanya terbatas pada penafian perbuatan maksiat, bahkan melampauinya. Pada abad keempat, Ibnu Babawaih (w381H) dalam kitabnya yang berjudul: "Diin asy-Syi'ah al-Imamiyah", dia berkata: "akidah kita mengenai para imam bahwa mereka memiliki sifat ma'shum dan suci dari segala keburukan. Dan mereka tidak melakukan dosa yang besar ataupun yang kecil. Mereka juga tidak melakukan kemaksiatan terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah, dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Dan orang yang menafikan sifat ma'shum pada mereka berarti dia telah jahil mengenai mereka, dan orang yang jahil mengenai mereka berarti orang kafir. Keyakinan kita kepada para imam adalah mereka memiliki sifat ma'shum, memiliki sifat yang sempurna, mengetahui segala perkara yang berkaitan dengan mereka, dan mereka tidak disifati dengan sifat kekurangan, kemaksiatan, dan kejahilan"[9].
                Dengan ungkapannya ini, dia menafikan kemaksiatan, juga kejahilan, dan kekurangan dari para imam, dan dia mengakui kesempurnaan yang selalu mengiringi mereka dari permulaan kehidupan mereka sampai ke akhir hayat. Dan dia kafirkan orang yang tidak sependapat dengannya[10].       
Tidak diragukan lagi bahwa masalah sifat ma'shum bagi syi'ah memiliki ikatan yang kuat dengan masalah kepimpinan (imamah). Dan sifat ma'shum bagi mereka adalah salah satu permasalahan agama yang paling penting. Karena menurut pandangan mereka sifat ma'shum adalah syarat utama dalam imamah, sehingga menjadi sifat yang paling menentukan dalam imamah. Ini adalah pandangan syi’ah Imamiah itsna asyariah dan syi’ah Isma'iliyah bathiniah.
Sedangkan syi’ah Zaidiyah tidak sependapat dengan mereka dalam permasalahan sifat ma'shum. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang memiliki sifat ma'shum hanyalah ahli al-kisaa` saja (Nabi saw, Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain ). Dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hanya imam Ali saja yang memiliki sifat ma'shum. Dan di antara mereka ada yang menafikan sama sekali sifat ma'shum dari imam. Dan ada juga berpendapat sama dengan syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah bahwa semua imam adalah ma’shum.
Meskipun ada perselisihan di antara mereka mengenai sifat ma'shum imam, namun setelah meneliti secara mendalam dari berbagai sumber rujukan yang ada, boleh disimpulkan bahwa mayoriti ulama syi’ah Zaidiyah tidak mengakui sifat ma'shum para imam. Oleh karena itu, para ulama syi’ah Zaidiyah membantah dan mengkritik syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dalam permasalahan ini.
Yang perlu diberikan perhatian seksama di sini adalah kritikan syi’ah Zaidiyah terhadap syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah bathiniah dalam masalah ini, yaitu ungkapan para ulama syi’ah Zaidiyah bahwa tidak ada di dalam al-Qur`an, hadits, ijma', ataupun dalil akal yang menunjukkan adanya sifat ma'shum orang yang mereka klaim sebagai imam. Bahkan para nabi terkadang melakukan kesalahan dalam beberapa keadaan sebagaimana halnya manusia yang lain. Lalu mereka bertaubat dari kesalahan mereka. Dan seperti inilah keadaan para nabi, oleh karena itu dipertanyakan tenang bagaimana halnya dengan para imam yang tidak dapat mencapai derajat kenabian?.
Dari uraian kritikan ahli sunnah terhadap syi'ah dalam teori sifat ma'shum imam, maka dapat dilihat bahwa sifat ma'shum hanya milik Nabi saw saja. Dan umat islam telah sepakat mengenai sifat ma'shum para nabi dan rasul dalam menyampaikan risalah dari Allah. Dan mereka melihat bahwa pendapat syi'ah mengenai sifat ma'shum para imam tidak dapat diterima. Sesungguhnya orang yang ma'shum wajib untuk diikuti pada semua yang dia katakan, dan tidak boleh melanggarnya. Dan ini adalah sifat keistimewaan untuk para nabi. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk beriman dengan apa yang diturunkan kepada para Nabi.
Di sisi lain, ahli sunnah menegaskan bahwa Ali, Hasan, dan Husain, serta keturunan keduanya tidak pernah mengklaim diri mereka memiliki sifat ma'shum dan suci dari kesalahan dan dosa. Bahkan mereka mengakui berbagai dosa mereka secara rahasia dan terang-terangan. Dan mereka memohon ampunan kepada Allah dengan penuh kekhusyu'an dan ikhlas.
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa segala sesuatu yang menunjukkan kewajiban nubuwwah juga menunjukkan kewajiban imamah. Dan jika para nabi memiliki sifat ma'shum, maka begitu juga halnya para imam, mereka juga memiliki sifat ma'shum. Hakikatnya, sesungguhnya sifat ma'shum yang dinisbahkan kepada para imam mereka adalah bertujuan mengakui berbagai periwayatan yang tidak sesuai dengan akal dan logika, yang dinisbahkan kepada seorang imam, dengan tujuan menutup pintu diskusi di hadapan para cendikiawan dan orang-orang pintar  mengenai kandungannya, dan memaksa manusia untuk menerimanya. Karena semua riwayat ini muncul dari seorang imam yang ma'shum dan tidak akan melakukan kesalahan.
Ishmah merupakan kekuatan jiwa  yang mengarah kepada kebaikan semata “Malakah Nafsaniyah” (karakter  inheren), dengan terpasangnya karakter ini dalam hati seseorang membuatnya ia tercegah dari perbuatan dosa, maksiat dan kesalahan. Dan malakah nafsaniyah ini hanya dapat dimiliki dengan bantuan dan kekuasaan Allah.    
Wallahu ‘Alam





[1]  Al-Mufid, Syarh Aqa`id ash-Shaduq, hal 114, Tibriz, 1371H.
[2] dia adalah Abu Thalib Ali bin al-Husain bin Musa al-Qurasyi al-Alawi al-Husaini al-Mawsuy al-Baghdadi, anak Musa al-Kazhim. Dia adalah yang mengumpulkan kitab Nahju al-Balaghah yang lafaznya dinisbahkan kepada imam Ali ra.
[3]  Lih, asy-Syarif al-Murtadha, 1387H/1967M, Amali al-Murtadha, 2/347, Beirut, tahqiq: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Dar al-Kitab al-Arabi.
[4]  Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 7/7-8.
[5]  Lih, Ibn al-Muthahhir al-Hulliy, Minhaj al-Karamah, hal 47.
[6]  Jabir, Qasim Habib, 1407H/1987M, al-Falsafah wal-I'tizal Fi Nahj al-Balaghah, hal 127, Beirut-Lebanon, al-Mu`assasah al-Jami'iyah lid-Dirasat an-Nasyr wat-Tawzi'.
[7]  Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 25/350-351.
[8]  Al-Majlisi< Bihar al-Anwar, 25/350-351, lih, Mir`aah al-Uquul, 4/352.
[9]  Ibnu Babawiyah, al-I'tiqadat, hal 108-109.
[10]  Al-Qafari, Nashir Ali, Ushul Mazhab asy-Syi'ah al-Itsna Asyariyah, 2/507.

Tuesday, October 18, 2011

Pengantar Teologi Islam مَدْخَلٌ إِلىَ عِلْمِ الْكَلاَمِ

مَدْخَلٌ إِلىَ عِلْمِ الْكَلاَمِ

PENGANTAR TEOLOGI ISLAM

Page: 301
Publisher: Universiti Sains Islam Malaysia
Size: cm 17 × 24
ISBN: 978-967-5295-79-9
2011


        Buku ini membahas secara terperinci tentang pengantar mempelajari ilmu kalam (teologi Islam), di antara pembahasan utama buku ini adalah, - Sejarah penubuhan, perpecahan dan perkembangan terkini aliran-aliran teologi dalam Islam, bermula dari tiga golongan syi'ah (Zaidiyah, Imamiyah dan Isma'iliyah, Khawarij -dengan konsentrasi pada Ibadiyah-, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Zahiriyah.di samping itu menjelaskan  tiga hal penting yaitu: 
1) Peranan teologi Islam pada masa modern.
2) Kontroversi teologi Islam dari perspektif ulama Fiqh, Tafsir dll.
3) Metodologi tiap-tiap aliran teologi Islam dalam menilai, memahami, dan memantapkan permasalahan aqidah.

Abstract
مستخلص
إن مسألة الخلاف في الرأي أمر طبيعي ومشروع لقوله تعالى: وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ -هود: 118-. ومن الخلاف في الرأي نشأ الخلاف في المذاهب والفِرَق. وعِلْمُ الكَلاَم علم يهتم بدراسة العقائد الإسلامية ويدافع عنها، ويرد الشبهات التي تثار حولها بالأدلة العقلية والبراهين الجدلية، مستحدثا في ذلك مصطلحات استمدها من الفلسفة وطرقاً استنبطها منها.
ومن هنا فَيُعَدُّ علم الكلام من القضايا الشائكة لكثرة النزاع والخلاف والجدل بين علماء الإسلام، وهذا كتاب عن تمهيد في علم الكلام بعنوان: "مدخل إلى علم الكلام -تمهيد ومنهج-"، وحاولت بقدر الإمكان أن يكون هذا الكتاب سهلا واضحا ومفيدا نافعا لمبتدئي الطلبة أو طلاب العلم في الحقل العقائدي والكلامي، ذلك لأن الكتاب عبارة عن مدخل تمهيدي لمن أراد الدخول للزاد.
والكتاب يحتوي على ثمانية فصول ومباحث لكل فصل، ويبدأ الكتاب بالمقدمة وينتهي بالخاتمة وقائمة المصادر والمراجع.
وأهم الموضوعات في الكتاب:
- تعريف علم الكلام.
- أسماء علم الكلام.
- الفرق بين علم الكلام والفلسفة.
- الأصول المنهجية لعلم الكلام.
- موقف العلماء من علم الكلام.
- دراسة عن الفرق الكلامية ومناهجها في إثبات العقائد الإسلامية.
- قضية الاتفاق والإختلاف في القضايا الكلامية بين علماء الكلام وأثرها في تطور علم الكلام

الدكتور / كمال الدين نور الدين مرجوني البوغيسي
محاضر بقسم العقيدة والأديان