Sunday, July 31, 2011

BOLEHKAH TAKDIR BERUBAH?

fiqhislam.com
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=28164:apakah-doa-dan-usaha-bisa-mengubah-takdir&catid=46:syariahakidahakhlakibadah&Itemid=133

BOLEHKAH TAKDIR BERUBAH ?
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Senior Akidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
                     
            Terkadang kita mendengar suara keluhan seseorang bahwa saya sudah beribadah dengan sungguh-sungguh shalat, puasa, tapi tetap saja saya miskin, fakir, dan tidak memiliki apa-apa seperti  halnya orang lain.  Ah ... mungkin inilah yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk saya. Dan mungkin Allah memang sudah menetapkan nasibku seperti ini.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, mempercayai qada dan qadar adalah rukun iman yang ke enam atau yang paling terakhir, hukumnya wajib dipercayai, diyakini dan diamalkan dengan sebenar-benarnya.
Namun qada dan qadar ini mendatangkan dua efek, kesan, dan pengaruh yang saling kontradiktif apabila seseorang tidak memahami dengan betul akan makna takdir ilahi. Kedua kesan ini adalah: 
Pertama, ummat Islam tidak pernah akan merasakan stress dalam hidup. hidupnya senantiasa dalam keadaan nyaman dan tenteram, serta terhindar dari sifat sifat mazmumah seperti, iri hati, dengki. Dan meskipun dia hidup dalam suasana persaingan, maka ia akan menjalani persaingan dengan cara yang sehat, sebab dalam hatinya segala apa yang menimpa dirinya sama halnya ia baik ataupun buruk, tetap akan diserahkan kepada Allah. Ini adalah kesan yang positif dari pada qada dan qadar. 
2
2)  Kedua, seseorang boleh saja dengan alasan takdir, ia akan mengatakan tidak usah berusaha bersusah payah, toh semuanya sudah ditentukan oleh Allah yang Maha Kuasa. Tidak perlu belajar dan tidak perlu bekerja keras. Ini tentunya kesan yang negative pada diri seorang mu’min. kemungkinan inilah yang membuatkan Nabi melarang para sahabat untuk mendalami masalah takdir, beliau berkata:
)وَإِذَا ذَكَرَ (أَصْحَابِي) اَلْقَدْرَ فَأَمْسِكُوْا) -الطبراني-.
            “Jika sahabatku menyebut perkara takdir, maka hentikanlah mereka”

Ada dua hal yang perlu kita bicarakan ketika ingin menggali masalah takdir Allah, yaitu:

Pertama: Takdir merupakan rahasia  Allah.
Oleh karena itu tak satupun manusia dalam dunia ini yang mampu mengetahui  jangka nyawanya atau ajal kematiannya, di mana akan mati? (di kampung sendiri ataukah di luar kampung, di negara sendiri ataukah di luar negara), tatkala mati dalam keadaan apa? Apakah kematiannya disebabkan oleh karena sakit, kecelakaan, atau mati biasa. Begitu juga halnya dengan rezki yang diperoleh, berapa banyak jumlahnya?. Bahkan Rasulullah Saw tidak sanggup menembusi hal-hal ghaib tersebut termasuk takdir ilahi. Disebutkan di dalam al-Qur’an:
)قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ( -الأنعام: 50-.
“Katakanlah:"Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:"Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”.
Kerahasiaan ini ditegaskan dalam firman Allah:

)وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ( -الأنعام: 59-.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Dalam masalah ajal kematian, Allah telah menegaskan dalam firmanNya:

)إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ( -لقمان: 34-.
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kedua: Perubahan Takdir.
            Kalau saya katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar banyak yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari, Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya adalah mengenai ajal, rezeqi  dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?.
            Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau saya uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR.  Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian iaitu: Qada Mubram dan Qada Mu'allaq.
1) Qada Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku. Semua manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mahu atau tidak mahu, senang ataupun tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya, sebab hal tersebut  tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah: 

)كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ( -الأنبياء: 35 -.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.
Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah ar-Ra’ad, ayat: 11:
)وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ( -الرعد:11-.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Rasulpun pernah bersabdah tentang jenis Qada ini:
(إِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدْ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ) -مسلم-
“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang sanggup menolaknya”.
2) Qada Mu'allaq: Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh Allah ta’ala:

)إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ( -الرعد: 11-.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir,  yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.
Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:
)وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ( -الأعراف: 34-.
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematian); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.
Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah:
 (لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلاَ يُزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ)  -الترمذي-
“Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah kecuali  doa”.
Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul mengharap diterima doanya, firman Allah:
(وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ) -المؤمنون: 60-.
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).
Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezki dengan meminta ditambahkan rezkinya. 
(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثْرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ)  -البخاري-
“Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahim”.
            Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34 pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya satu takdir, melainkan ada beberapa takdir. Contohnya, Allah menentukan ajal si fulan untuk hidup selama 60 tahun, di samping itu juga Allah bagi takdir lain untuk hidup sampai 70 tahun lamanya. Dalam artian sesuai dengan hadis di atas kalau si fulan menyambung silaturrahmi maka takdir kedua akan ia capai, tapi kalau tidak maka ia akan dibagi takdir yang pertama, yaitu akan hidup hanya sampai 60 tahun saja.
            Pendapat ini telah ditegaskan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya “Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits”, beliau menjelaskan bahwa “Ta’jil” memiliki dua makna: pertama: Kehidupan yang lapang, kemudahan rezqi dan sehat jasmani. Kedua: Penambahan umur, di mana Allah Swt  mentakdirkan seseorang dengan dua takdir umur, yaitu 100 dan 80, jika seseorang menyambung silaturrahim maka ia akan mencapai 100 tahun umurnya, namun jika tidak maka ia hanya akan dapat umur 80 tahun.
            Hal serupa dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab “Fathu al-Baari”, beliau menerangkan bahwa sesungguhnya hadits dan ayat “Ta’jil” boleh digabungkan bersama, yaitu dengan memahaminya kepada dua bahagian. Yang pertama: Maksud penambahan adalah Allah menambahkan keberkatan hidup bagi seorang mu’min yang menjalin silaturrahim. Yang kedua: Hakikatnya adalah penambahan umur, di mana seseorang yang menjalin dan menyambung silaturrahim akan ditambahkan umurnya secara angka. Beliaupun memberikan contoh umur, misalnya, umur seseorang ditentukan Allah antara enam puluh tahun dan seratus tahun, takdir pertama (enam puluh tahun) dinamakan sebagai Qadha Mubram, sementara umur seratus tahun adalah Qadha Mu’allaq. Namun penambahan di sini adalah sesuai dengan ilmu Malaikat dan pengetahuannya, bukan ilmu Allah. Dalam hal ini Ibnu Hajar memilih penafsiran pertama yaitu menerjemahkan penambahan umur sebagai bentuk keberkatan hidup.
            Pada permasalahan lain, misalnya penyakit, dalam satu riwayat disebutkan bahwa, penyakit dan obat merupakan takdir ilahi.
)يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رِقًى نَسْتَرْقِيْهَا وَدَوَاءٌ نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةٍ نَتَّقِيْهَا، هَلْ تَرُدٌّ مِنْ قَدْرِ اللهِ شَيْئًا ؟ قَالَ: هِيَ مِنْ قَدْرِ اللهِ(  -الترمذي-.

Ya Rasulallah bagaimana pandangan engkau terhadap Ruqyah-ruqyah yang kami gunakan untuk jampi, obat-obatan yang kami gunakan untuk mengobati penyakit, perlindungan-perlindungan yang kami gunakan untuk menghindari dari sesuatu, apakah itu semua bisa menolak takdir ALLAH ?Jawab Rasulullah saw : Semua itu adalah (juga) takdir ALLAH.
Satu riwayat juga disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dan rombongannya melakukan perjalanan ke suatu tempat di Syiria, dan beliau tiba-tiba dikabarkan bahwa tempat yang dituju sedang dilanda penyakit wabak, (penyakit menular), kemudian Umar bermusyawarah dengan rombongan untuk mencari jalan keluar (way out ), lantas Umar dan rombongan sepakat untuk membatalkan perjalanan tersebut dan kembali ke Madinah, kemudian salah seorang sahabat yang bernama Abu Ubaidah tiba-tiba memprotes keputusan Umar yang tidak ingin melanjutkan perjalanan:
فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْجَرَّاحِ: أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: "لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا يَا أَبَا عُبَيْدَةَ - وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُ خِلاَفَهُ - نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ".
Abu Ubaidah bin al-jarrah berkata“Apakah kita hendak lari menghindari taqdir Allah?” Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu taqdir Allah dan menuju taqdir Allah yang lain”.
Hadits ini memberikan gambaran jelas bahwa takdir itu bukan hanya satu melainkan berbilang.
            Untuk mengakhiri khutbah jum’at ini saya sebutkan suatu kisah, di mana pada suatu hari malaikat Izra`il, malaikat pencabut nyawa, memberi kabar kepada Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan minggu depan akan dicabut nyawanya. Namun ternyata setelah sampai satu minggu nyawa si Fulan belum juga mati, sehinggalah Nabi Daud bertanya, mengapa si Fulan belum mati-mati juga, sementara engkau katakan minggu lepas bahwa minggu depan kamu akan mencabut nyawanya. Izra`il menjawab, "ya betul saya berjanji akan mencabut nyawanya, tapi ketika sampai masa pencabutan nyawa, Allah memberi perintah kepadaku untuk menangguhkannya dan membiarkan ia hidup lagi untuk 20 tahun mendatang, Nabi Daud bertanya, mengapa demikian?, Jawab Izra`il: orang tersebut sangat aktif menyambung silaturrahim sesama saudaranya. Karena itu Allah memberikan tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.
Jadi sebagai kesimpulan,  semua peristiwa, kejadian dan keadaan yang telah dan yang akan kita hadapi, semuanya di dalam pengetahuan dan pengamatan serta kekuasaan Allah, yang tidak terbelenggu, tidak diikat dan tidak dibatasi oleh masa.
Takdir ada yang boleh berubah dan ada yang tidak akan berubah, yang boleh berubah dikenal dengan istilah Qada Mu’allaq, yaitu takdir yang bergantung dan bersayarat, sementara takdir yang tidak akan berubah dinamakan sebagai Qada Mubram, yaitu takdir yang pasti berlaku pada diri seseorang.
Adapun langkah untuk merubah takdir (nasib) yang mu’allaq adalah sebagai berikut:
1)     Berusaha, yaitu dengan melakukan aksi terhadap apa saja yang diinginkan terjadi perubahan atasnya.
2)     Berdo’a, yaitu memanjatkan harapan kepada Allah terhadap maksud yang diinginkan diqabulkan olehNya.
3)     Tawakkal, yaitu menunggu keputusan, hasil daripada usaha dan doa yang diminta.
Setelah hal di atas dilakukan, maka kita tinggal menunggu ketentuan Allah yang disebut dengan (takdir). Dan untuk menambahkan keyakinan kita terhadap perubahan takdir mu’allaq, mari kita renungi bersama ayat di bawah ini:
)يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ(  -الرعد: 39-
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)”.

Monday, July 4, 2011

TANGGAPAN TERHADAP DEKLARASI MAJELIS UKHUWAH SUNNI- SYI'AH INDONESIA

TANGGAPAN TERHADAP DEKLARASI
MAJELIS UKHUWAH SUNNI- SYI'AH INDONESIA
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Senior Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Tulisan ini untuk menanggapi soal deklarasi Muhsin (Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia) yang dipelopori oleh IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) bertempat di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, beberapa waktu lalu, Jum'at (20 Mei 2011) lalu.
Sebenarnya deklarasi seperti di atas bukan hal baru, berbagai usaha telah dilakukan dengan maksimal untuk mendekatkan mazhab sunnah dengan mazhab syi’ah Imamiyah. Dan projek pendekatan tersebut telah ditumpukan semenjak tahun empat puluhan, dengan didirikannya pusat pendekatan antar mazhab Islam di Mesir, yang dikenal dengan nama “Darul Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiyah”, dengan menerbitkan majalah “Risalah al-Islam”. Para pendirinya terdiri dari perwakilan kedua mazhab sunnah & syi’ah. Aliran  sunnah diwakili oleh beberapa tokoh terkemuka ketika itu, yaitu: syekh Mustafa al-Maraghi, syekh Muhammad Syaltut, dan syekh Mustafa Abd Raziq. Sedangkan pihak syi’ah diwakili oleh tokoh-tokoh syi’ah, yaitu: Sayyid Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah, Sayyid Syarafuddin al-Musawi dll. Kemudian disusul dengan pendirian berbagai pusat pendekatan lain, seperti di Yordania didirikan “Mu`assasah Ahlul Bait li al-Fikri al-Islami”. Dan pada tahun 1984 didirikan “Mu`assasah al-Imam al-Khuu’I li at-Taqrib Baina al-Mazahib”. Bahkan pada tahun 1991, Syi’ah di Iran merasa perlu mendirikan sebuah pusat yang orientasinya sama, yaitu pendekatan sunnah & syi’ah, dengan nama “Mua`ssasah al-Majma’ al-‘Alami li at-Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiah”. Di samping itu banyak lagi usaha-usaha ilmiah untuk mendekatkan kedua golongan tersebut, baik melalui seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai negara-negara Islam.
Namun semua usaha di atas nampaknya tidak berpengaruh dan tidak efektif sebagaimana yang diharapkan dan diprediksikan oleh para tokoh-tokoh yang berperan langsung dalam projek “Taqrib” tersebut. Bahkan sikap caci mencaci, tuding-menuding, saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya volumenya semakin meningkat. Tidak dapat disangsikan dalam  berbagai forum, media massa, majalah, surat kabar, dan buku-buku banyak ditemui unsur saling kecam-mengecam, bahkan menuduh golongan lain telah keluar dari Islam, dan ini adalah suatu fenomena yang sangat berbahaya.

 موقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها

POLEMIK AQIDAH FILSAFAT -SYI'AH VS SYI'AH VS SUNNI

Ph.D Thesis - Darul Ulum/Cairo University 2005

Publisher: Darul Kutub Ilmiah Beirut-Lebanon 2009 

Mengamati fenomena ini, penulis dapat berkesimpulan bahwa langkah “Taqrib Baina al-Mazahib” sudah berhenti, tidak berfungsi, dan tidak bermakna lagi (expire). Oleh karena itu perlu dibangunkan kembali aktiviti-aktiviti lain dan pintu penyelesaian yang lain. Misalnya, dengan cara mengaktifkan sikap toleransi antar mazhab “at-Tasamuh Baina al-Mazahib”[1]. Hal ini disebabkan karena perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat fundamental, dengan perbedaan yang menonjol pada pokok ajaran masing-masing golongan[2].
          Dalam hal ini penulis tertarik dengan pandangan imam Hasan al-Banna dalam usahanya untuk menetralisir hubungan sunnah dan syi’ah dengan semboyangnya yang berbunyi:
"نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اِتَّفَقْنَا عَلَيْه، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اِخْتَلَفْنَا فِيْه"
“Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan“.
Pesan yang dapat difahami dari ucapan di atas adalah lebih kepada sikap toleransi, dan bukannya pendekatan mazhab. Oleh karena itu bagi penulis sebagai pengikut sunni, sikap di atas patut kita renungi bersama. Sebab walau bagaimanapun kedua golongan (sunnah & syi’ah) adalah Islam, keduanya serupa tapi tak sama. Maksudnya keduanya serupa dalam frame agama Islam, tapi sebagian kandungannya berbeda dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Barangkali ungkapan ”serupa tapi tak sama” ini tepat untuk menggambarkan hakikat Islam sunnah dan Islam syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam sunni dengan penganut Islam syi’ah. Sebab kalau sunni mengaku bahwa al-Qur’an dan Sunnah adalah pegangan hidup dan asas seorang muslim, islam syi’ah-pun demikian. Sehingga kalau ada orang luar Islam atau non muslim coba-coba untuk menghina atau menugusik kedua sumber tersebut, maka reaksi keras akan timbul dari kedua-dunya tanpa kecuali. Sebagai contoh peristiwa yang baru-baru ini, yaitu rencana hari pembakaran Al-Quran sedunia oleh sebuah gereja di Gainesville, Florida yang bernama gereja “Dove World Outreach Center”, rencana ini diprakarsai oleh pendeta Terry Jones, baik kalangan sunni maupun syi’ah sama-sama memberikan reaksi keras atas rencana tersebut, sehingga rencana tersebut digagalkan.
Namun jika ditelusuri –terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air seperti yang telah dijelaskan di atas, sehingga, sulit dan tidak mungkin didekatkan. Oleh karena itu, penulis merasa perlu pergeseran istilah pemaknaan baru, yang tadinya disebut sebagai pendekatan ”Taqrib”, seperti slogan yang selama ini dikembangkan, hendaknya diganti dengan sikap toleransi ”Tasamuh”.
Jadi yang perlu dilakukan oleh sunni dan syi’ah adalah dialog untuk toleran (Tasamuh), bukan untuk pendekatan (Taqarub). Sebab memang keduanya berjauhan, dan tidak mungkin didekatkan atau dilekatkan antara satu sama lain, dan tidak akan ketemu. Dengan sikap bertoleransi berarti tidak saling menuduh, menuding, memojokkan, menghancurkan, apatah lagi kafir mengkafirkan. Umat ini tidak perlu disibukkan dengan hal-hal di atas. Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir[3], semua perkara tersebut adalah ”al-Musykilat az-Zaa`ifah”, yang makudnya permasalahan-permasalahan palsu (semu). Jadi permasalahan taqrib bagi penulis merupakan permasalahan semu, sebab tidak ada timbal balik. Dan dalam kenyataannya usaha  ”taqrib” tidak membuahkan hasil apa-apa pada umat. Oleh karena itu, biarkanlah keduanya berkembang dengan normal, alias tidak saling memaksakan aqidah satu pihak kepada pihak yang lain.
 Lebih heboh lagi dan berakibat fatal kalau sifat saling menjatuhkan terjadi di kalangan yang mengaku sama-sama kalangan sunnah, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti facebook, blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, seperti  penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Syi’ah”, ”anti Sunnah”, dll. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita selesaikan sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Masalah umat di Indonesia masih banyak yang perlu dipikirkan oleh masing-masing ulama mazhab (As’ariyah, Salafiah, Wahabiah, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dll), terutama dari aspek sosial, yang kian hari dan kian lama makin tidak menentu ke mana arah perbaikan sosial. Kalau kedua golongan sunnah dan syi’ah saling bersikap ta’assub, niscaya akan menghasilkan konflik intern dalam Islam. Masing-masing golongan merasa paling benar. Yang akhirnya bukannya menghasilkan perbaikan bahkan mengeruhkan dan mempertajam perbedaan, sehingga agenda perbaikan dan peningkatan status sosial umat terlupakan. Alangkah indahnya kalau masing-masing aliran memberhentikan perbincangan yang menjurus kepada pengkafiran, sebab dikhawatirkan konflik dalam satu agama akan terjadi, dan dijadikan sebuah peristiwa biasa dengan saling membunuh sesama Islam, sehingga menjadi fenomena sosial yang sangat berbahaya. Sebagai contoh kecil dapat dilihat konflik antara sunnah dan syi’ah di Iraq yang bermula dari saling tuding menuding, lalu meningkat kepada masalah politik, kemudian berani mengkafirkan golongan lain, hasil pengkafiran adalah penghilangan nyawa, dan berhujung dengan gerakan terorisme.
Kalau kita berpikir secarah jernih dan bertanya kepada diri atau golongan masing-masing, siapakah sebenarnya yang memiliki otoritas untuk mengakafirkan golongan lain? Tentu jawabannya baik dari pihak sunnah ataupun syi’ah adalah sama, yaitu: Allah. Kalau sudah demikian jawabannya, apa salahnya kalau kita menyudahi konflik intern yang ada di dunia Islam dengan sikap toleransi saling hormat menghormati. Dan untuk penilaiannya kita serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.
Baru-baru ini dunia dikagetkan dengan dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh Wikileaks yang mengklaim mempunyai sekitar 251.000 dokumen. Yang sampai sampai saat ini sudah ditayangkan kepada khalayak adalah sekitar 1.824 dokumen yang dimuat di websitenya[4]. Yang kemudian dimuat dan disebarluaskan oleh beberapa media massa lain seperti: El Pais, the Guardian, New York Times Der Spiegel, dan lain-lain. Selintas dari beberapa yang dapat dilihat dari penayangan dokumen-dokumen tersebut, memberikan indikasi yang kuat bahwa saat ini umat islam benar-benar menghadapi suatu problematika atau permasalahan yang sangat besar dan sangat serius. Di mana negara-negara Islam secara lahiriah bersahabat, dan berteman, terlihat ketika bertemu bukan hanya bersalaman bahkan saling berpelukan, mengajukan ucapan selamat, mengungkapkan rasa persahabatan, tapi di sebalik itu dan setelah berpisah, saling tohok menohok, dan menikam dari belakang. Ini pertanda satu musibah yang besar, yaitu hilangnya kepercayaan antara sesama negara Islam. Di samping itu, umat Islam saat ini berada dalam arena penjajahan modern, atau lebih dikenal dengan nama lain sebagai penjajahan pemikiran (Ghazwul Fikr), yang kandungannya adalah “Pemikiran Barat”, dan hasil produknya adalah “Leberal & Sekuler”. Pemikiran ini melanda beberapa intelektual Islam di dunia, yang kemudiannya menghasilkan produk yang dikenal di negara-negara Arab sebagai “al-‘Almaniyyun”, dan di Indonesia disebut “Islam Liberal”.  Ini persoalan dan masalah yang perlu difokuskan untuk penyelesaian, baik oleh pihak Sunnah, Syi’ah, Salafi, Wahabi, Khawarij, Mu’tazilah dll.
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunnah & Syi’ah, setelah melihat perbedaan yang fundamental dan sangat jelas di antara keduanya (sebagaimana dalam artikel sebelumnya), maka tidak mungkin dilakukan pendekatan ”taqrib” antara satu dengan yang lain. Namun tidak boleh ada kata ”Putus asa”. Kedua golongan hanya memerlukan sikap saling menghormati dan bukan saling mencela. Kalau bahasa al-Qur`an untuk toleransi agama adalah ”Lakum Diinukum”, maka untuk toleransi dalam hubungan Sunnah & Syi’ah adalah ungkapan ”Lakum Mazhabukum”. Untuk hidup toleransi dan berdampingan, hendaknya semua golongan bersikap jujur, tidak fanatik buta, dan jangan saling menghina. Secara realitanya pihak sunnah dari berbagai golongannya menghormati imam Ali yang diagung-agungkan oleh syi’ah, maka hendaknya begitu juga sebaliknya pihak Syi’ah, menghormati para sahabat lain, janganlah terus menerus mencela, dan mencaci para sahabat. Di samping itu, kedua belah pihak jangan ada usaha untuk menarik dan memaksa pihak lain untuk masuk ke golongannya, baik melalui usaha Syi’ahnisasi (Tasyyii’) di kalangan penduduk Sunni, ataupun sebaliknya Sunnahisasi di kalangan penduduk Syi’ah.
Di akhirat kelak, kalau Syi’ah dengan pandangannya bahwa syafa’at akan diperoleh dari Nabi Muhammad dan para imam-imamnya, bukan masalah utama, berikan mereka kebebasan untuk berkeyakinan demikian, dan Sunnah juga tetap dengan keyakinannya hanya mengharap syafa’at dari pada Nabi Muhamammad saw saja. Begitupun halnya dengan keyakinan-keyakinan lain yang berbeda secara fundamental, silahkan yakini apa yang telah diyakini, dan buang jauh-jauh apa yang tidak diyakini, dan jangan memaksakan yang lain untuk meyakini sebuah keyakinan. ”La Ikraaha fi ad-Din”.
Dalam sejarah ”Taqrib” (pendekatan sunnah & syi’ah), Syekh Mahmud Syaltut (mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh Imamiyah)[5]. Sampai saat ini ulama masih simpang siur dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian, apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syi’ah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syi’ah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi tulus ikhlas “Lillah Ta’aala” untuk menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah ketika itu?.
Hemat penulis, fatwa tersebut sifatnya ijitihad pribadi. Beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah “Pihak Sunnah sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan menginginkan persahabatan dan bukan pertengkaran dan perseteruan”.
Hal ini terbukti ketika pihak Syi’ah tidak membolehkan penganutnya beribadah menurut mazhab Sunnah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama syi’ah yang disegani oleh penganut Syi’ah. Ia tegas melarang penganut syi’ah beribadah dengan cara mazhab selain mazhab Ahlulbait[6]. Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan mazhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual Sunnah dipakai oleh Syi’ah, dan Syi’ah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh Sunnah, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, penulis mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri masing-masing atau kelompok masing-masing akan kepastiannya untuk masuk surga.
Berlandaskan kepada sikap ilmiah, penulis boleh katakan dalam artikel ini tanpa tendensius apa-apa bahwa tidak benar pendapat yang mengatakan”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”.  Pandangan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[8].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian.  Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam persaudaraan”[9]. Menurut hemat penulis, pandangan di atas sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?
Mendekatkan pemikiran Sunnah dan Syi’ah untuk memajukan dan membela Islam sangat diharapkan. Dan memang itulah tujuan mulia dan utama demi mewujudkan kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara-negara Islam, sehingga terwujud kebaikan bagi tatanan masyarakat. Namun mendekatkan apalagi menyatukan kepercayaan tidak mungkin terwujud. Sebab perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah sudah melebihi batas penelitian ilmiah, bahkan sudah sampai kepada tahap klimaks yaitu ”Ta’assub Buta”. Sementara sifat seperti ini dalam sejarah tidak pernah menyelesaikan permasalahan, bahkan memperkeruh permasalahan yang ada. Dan sifat Ta’assub inilah yang menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam. Sehingga muatan dan isi kitab-kitab klasik (Kutub at-Turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman, hinaan, dan cemoohan, seperti perkataan-perkataan: Fasiq, Dhalal, Jahil, Zindiq bahkan sampai perkataan kafir. Ada baiknya kita mengingat pesan salah seorang sufi kenamaan yaitu imam Yahya bin Mu’az:
" إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّه،ُ وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ"
"Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (memberi manfaat), maka janganlah merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (memberikan rasa senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah). Kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka jangalah mencelanya".
Dalam etika beragama, Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksa orang lain. Dalam beberapa ayat dindikasikan bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja, dan bukannya  memaksa golongan lain atau agama lain masuk ke golongan kita atau ke agama kita. Seperti firman Allah swt  berikut:
(لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) - البقرة، 256-.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) -هود، 118-.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( - يونس، 99-.
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. Yuunus: 99).
Tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunnah & Syi’ah, setelah melihat perbedaan yang fundamental dan sangat jelas di antara keduanya, maka tidak mungkin dilakukan pendekatan ”taqrib” antara satu dengan yang lain. Namun tidak boleh ada kata ”Putus asa”. Kedua golongan hanya memerlukan sikap saling menghormati dan bukan saling mencela. Kalau bahasa al-Qur`an untuk toleransi agama adalah ”Lakum Diinukum”, maka untuk toleransi dalam hubungan Sunnah & Syi’ah adalah ungkapan ”Lakum Mazhabukum”. Untuk hidup toleransi dan berdampingan, hendaknya semua golongan bersikap jujur, tidak fanatik buta, dan jangan saling menghina. Secara realitanya pihak sunnah dari berbagai golongannya menghormati imam Ali yang diagung-agungkan oleh syi’ah, maka hendaknya begitu juga sebaliknya pihak Syi’ah, menghormati para sahabat lain, janganlah terus menerus mencela, dan mencaci para sahabat. Di samping itu, kedua belah pihak jangan ada usaha untuk menarik dan memaksa pihak lain untuk masuk ke golongannya, baik melalui usaha Syi’ahnisasi (Tasyyii’) di kalangan penduduk Sunni, ataupun sebaliknya Sunnahisasi di kalangan penduduk Syi’ah.
Di akhirat kelak, kalau Syi’ah dengan pandangannya bahwa syafa’at akan diperoleh dari Nabi Muhammad dan para imam-imamnya, bukan masalah utama, berikan mereka kebebasan untuk berkeyakinan demikian, dan Sunnah juga tetap dengan keyakinannya hanya mengharap syafa’at dari pada Nabi Muhamammad saw saja. Begitupun halnya dengan keyakinan-keyakinan lain yang berbeda secara fundamental, silahkan yakini apa yang telah diyakini, dan buang jauh-jauh apa yang tidak diyakini, dan jangan memaksakan yang lain untuk meyakini sebuah keyakinan. ”La Ikraaha fi ad-Din”.
Dalam sejarah ”Taqrib” (pendekatan sunnah & syi’ah), Syekh Mahmud Syaltut (mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh Imamiyah)[10]. Sampai saat ini ulama masih simpang siur dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian, apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syi’ah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syi’ah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi tulus ikhlas “Lillah Ta’aala” untuk menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah ketika itu?.
Hemat penulis, fatwa tersebut sifatnya ijitihad pribadi. Beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah “Pihak Sunnah sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan menginginkan persahabatan dan bukan pertengkaran dan perseteruan”.
Hal ini terbukti ketika pihak Syi’ah tidak membolehkan penganutnya beribadah menurut mazhab Sunnah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama syi’ah yang disegani oleh penganut Syi’ah. Ia tegas melarang penganut syi’ah beribadah dengan cara mazhab selain mazhab Ahlulbait[11]. Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan mazhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual Sunnah dipakai oleh Syi’ah, dan Syi’ah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh Sunnah, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, penulis mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri masing-masing atau kelompok masing-masing akan kepastiannya untuk masuk surga.
Berlandaskan kepada sikap ilmiah[12], penulis boleh katakan dalam artikel ini tanpa tendensius apa-apa bahwa tidak benar pendapat yang mengatakan”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”.  Pandangan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[13].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian.  Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam persaudaraan”[14]. Menurut hemat penulis, pandangan di atas sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?
Mendekatkan pemikiran Sunnah dan Syi’ah untuk memajukan dan membela Islam sangat diharapkan. Dan memang itulah tujuan mulia dan utama demi mewujudkan kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara-negara Islam, sehingga terwujud kebaikan bagi tatanan masyarakat. Namun mendekatkan apalagi menyatukan kepercayaan tidak mungkin terwujud. Sebab perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah sudah melebihi batas penelitian ilmiah, bahkan sudah sampai kepada tahap klimaks yaitu ”Ta’assub Buta”. Sementara sifat seperti ini dalam sejarah tidak pernah menyelesaikan permasalahan, bahkan memperkeruh permasalahan yang ada. Dan sifat Ta’assub inilah yang menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam. Sehingga muatan dan isi kitab-kitab klasik (Kutub at-Turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman, hinaan, dan cemoohan, seperti perkataan-perkataan: Fasiq, Dhalal, Jahil, Zindiq bahkan sampai perkataan kafir. Ada baiknya kita mengingat pesan salah seorang sufi kenamaan yaitu imam Yahya bin Mu’az:
" إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّه،ُ وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ"
"Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (memberi manfaat), maka janganlah merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (memberikan rasa senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah). Kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka jangalah mencelanya".
Dalam etika beragama, Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksa orang lain. Dalam beberapa ayat dindikasikan bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja, dan bukannya  memaksa golongan lain atau agama lain masuk ke golongan kita atau ke agama kita. Seperti firman Allah swt  berikut:
(لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) - البقرة، 256-.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) -هود، 118-.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( - يونس، 99-.
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. Yuunus: 99).
Tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.


Rujukan:
Lebih sukar lagi dengan Syi’ah Isma’liyah yang dianggap keluar dari go­longan Islam, dalam artian mereka telah kafir. Se­bagaimana yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah ataupun Ulama Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah sen­diri, statemen tersebut bisa dilihat dalam karya para ulama Zaidiyah, seperti : Ibnu Hamzah al-‘Alawi dalam bukunya “Misykat al-Anwar“’, Imam ad-Dailami dalam bukunya “Aqaid Aali Muhammad”. Dan golongan Isma’ili­yyah ini paling banyak mengadopsi filsafat Yunani khususnya Plato, dan banyak ter­pengaruh dengan agama-agama Persia kuno, seperti : Zaradist, Manie dll.

[3] Profesor filsafat Islam di Fakultas Darul Ulum dan mantan wakil rektor Universitas Kairo, Mesir. Dalam bukunya ”al-Falsafah al-Islamiyah fi al-’Ashri al-Hadits”, beliau mengulas tentang perkembangan filsafat Islam masa kini, dengan membaginya kepada dua bagian yatiu: al-Musykilat az-Zaa`ifah, yaitu permaslahan palsu atau semu, dan al-Musykilat al-Hakikah, yaitu permaslahan hakiki dan asasi.
  
[5] Fatwa ini tidak ditemukan dalam empat kitab besar beliau, tapi dimuat oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959. dikeluarkan oleh lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kairo. DR. Yusuf Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian adanya fatwa tersebut, namun penafian ini dapat disangkal sebab dalam arsip ditemukan teks ucapan fatwa tersebut bertuliskan dalam majalah “Risalah al-Islam”, adapun Syekh Muhamad al-Ghazali dalam bukunya “Difaa’un ‘An al-‘Aqidah wa as-Syari’ah” hal: 257,  beliau mendukung sepenuhnya fatwa tersebut dan dianggap sebagai awal persatuan umat Islam.  Teks fatwa tersebut adalah:
"إن مذهب الجعفرية المعروف بمذهب الشيعة الإمامية الاثنا عشرية مذهب يجوز التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنة. فينبغي للمسلمين أن يعرفوا ذلك، وأن يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة، فما كان دين الله وما كانت شريعته بتابعة لمذهب، أو مقصورة على مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله تعالى يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم، والعمل بما يقررونه في فقههم، ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات".
[10] Fatwa ini tidak ditemukan dalam empat kitab besar beliau, tapi dimuat oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959. dikeluarkan oleh lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kairo. DR. Yusuf Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian adanya fatwa tersebut, namun penafian ini dapat disangkal sebab dalam arsip ditemukan teks ucapan fatwa tersebut bertuliskan dalam majalah “Risalah al-Islam”, adapun Syekh Muhamad al-Ghazali dalam bukunya “Difaa’un ‘An al-‘Aqidah wa as-Syari’ah” hal: 257,  beliau mendukung sepenuhnya fatwa tersebut dan dianggap sebagai awal persatuan umat Islam.  Teks fatwa tersebut adalah:
"إن مذهب الجعفرية المعروف بمذهب الشيعة الإمامية الاثنا عشرية مذهب يجوز التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنة. فينبغي للمسلمين أن يعرفوا ذلك، وأن يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة، فما كان دين الله وما كانت شريعته بتابعة لمذهب، أو مقصورة على مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله تعالى يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم، والعمل بما يقررونه في فقههم، ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات".
[12] Sikap penulis dikuatkan oleh beberapa karya penulis yang diterbitkan, seperti: (1) “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliah wa Falsafatuha”, Terbitan Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon 2009. (buku tersebut asalnya desertasi Ph.D, Cairo Univesity, dan saat ini dijadikan referensi kajian Syi’ah di Harvard University, dan dapat ditemui dalam koleksi perpustakaan United Kingdom “British Library”, Call Number: YP.2010.a.4230), (2) “al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha”, terbitan USIM 2009. (3) dan yang terbaru “al-Mazahib al-Aqaidiyah al-Islamiyah”, terbitan USIM, 2010, (4) “Nasy’at al-Firaq wa Tafarruquha”, dalam proses terbit di Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon, dan Lihat wawancara penulis tentang "LATAR BELAKANG MENEKUNI KAJIAN SYI’AH DI CAIRO UNIVERSITY". *Diterbitkan oleh Buletin FK el-Baiquni, Cairo-Egypt 2003 & Revisi 2010.http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/07/wawancara-tentang-syiah-2003.html.    
[14] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 100, Muassasah al-A’alami, Lebanon.