Monday, January 24, 2011

URGENSI TOLERANSI ANTARA SUNNAH & SYIAH IMAMIYAH

URGENSI TOLERANSI ANTARA SUNNAH & SYIAH IMAMIYAH
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Senior Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Berbagai usaha telah dilakukan dengan maksimal untuk mendekatkan mazhab sunnah dengan mazhab syi’ah Imamiyah. Dan projek pendekatan tersebut telah ditumpukan semenjak tahun empat puluhan, dengan didirikannya pusat pendekatan antar mazhab Islam di Mesir, yang dikenal dengan nama “Darul Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiyah”, dengan menerbitkan majalah “Risalah al-Islam”. Para pendirinya terdiri dari perwakilan kedua mazhab sunnah & syi’ah. Aliran  sunnah diwakili oleh beberapa tokoh terkemuka ketika itu, yaitu: syekh Mustafa al-Maraghi, syekh Muhammad Syaltut, dan syekh Mustafa Abd Raziq. Sedangkan pihak syi’ah diwakili oleh tokoh-tokoh syi’ah, yaitu: Sayyid Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah, Sayyid Syarafuddin al-Musawi dll. Kemudian disusul dengan pendirian berbagai pusat pendekatan lain, seperti di Yordania didirikan “Mu`assasah Ahlul Bait li al-Fikri al-Islami”. Dan pada tahun 1984 didirikan “Mu`assasah al-Imam al-Khuu’I li at-Taqrib Baina al-Mazahib”. Bahkan pada tahun 1991, Syi’ah di Iran merasa perlu mendirikan sebuah pusat yang orientasinya sama, yaitu pendekatan sunnah & syi’ah, dengan nama “Mua`ssasah al-Majma’ al-‘Alami li at-Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiah”. Di samping itu banyak lagi usaha-usaha ilmiah untuk mendekatkan kedua golongan tersebut, baik melalui seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai negara-negara Islam.
Namun semua usaha di atas nampaknya tidak berpengaruh dan tidak efektif sebagaimana yang diharapkan dan diprediksikan oleh para tokoh-tokoh yang berperan langsung dalam projek “Taqrib” tersebut. Bahkan sikap caci mencaci, tuding-menuding, saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya volumenya semakin meningkat. Tidak dapat disangsikan dalam  berbagai forum, media massa, majalah, surat kabar, dan buku-buku banyak ditemui unsur saling kecam-mengecam, bahkan menuduh golongan lain telah keluar dari Islam, dan ini adalah suatu fenomena yang sangat berbahaya.
Mengamati fenomena ini, penulis dapat berkesimpulan bahwa langkah “Taqrib Baina al-Mazahib” sudah berhenti, tidak berfungsi, dan tidak bermakna lagi (expire). Oleh karena itu perlu dibangunkan kembali aktiviti-aktiviti lain dan pintu penyelesaian yang lain. Misalnya, dengan cara mengaktifkan sikap toleransi antar mazhab “at-Tasamuh Baina al-Mazahib”[1]. Hal ini disebabkan karena perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat fundamental, dengan perbedaan yang menonjol pada pokok ajaran masing-masing golongan seperti yang telah dipaparkan pada tulisan sebelumnya yang berjudul "Iman & Islam Dari Perspektif Sunnah Dan Syi'ah[2].
          Dalam hal ini penulis tertarik dengan pandangan imam Hasan al-Banna dalam usahanya untuk menetralisir hubungan sunnah dan syi’ah dengan semboyangnya yang berbunyi:
"نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اِتَّفَقْنَا عَلَيْه، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اِخْتَلَفْنَا فِيْه"
“Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan“.
Pesan yang dapat difahami dari ucapan di atas adalah lebih kepada sikap toleransi, dan bukannya pendekatan mazhab. Oleh karena itu bagi penulis sebagai pengikut sunni, sikap di atas patut kita renungi bersama. Sebab walau bagaimanapun kedua golongan (sunnah & syi’ah) adalah Islam, keduanya serupa tapi tak sama. Maksudnya keduanya serupa dalam frame agama Islam, tapi sebagian kandungannya berbeda dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Barangkali ungkapan ”serupa tapi tak sama” ini tepat untuk menggambarkan hakikat Islam sunnah dan Islam syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam sunni dengan penganut Islam syi’ah. Sebab kalau sunni mengaku bahwa al-Qur’an dan Sunnah adalah pegangan hidup dan asas seorang muslim, islam syi’ah-pun demikian. Sehingga kalau ada orang luar Islam atau non muslim coba-coba untuk menghina atau menugusik kedua sumber tersebut, maka reaksi keras akan timbul dari kedua-dunya tanpa kecuali. Sebagai contoh peristiwa yang baru-baru ini, yaitu rencana hari pembakaran Al-Quran sedunia oleh sebuah gereja di Gainesville, Florida yang bernama gereja “Dove World Outreach Center”, rencana ini diprakarsai oleh pendeta Terry Jones, baik kalangan sunni maupun syi’ah sama-sama memberikan reaksi keras atas rencana tersebut, sehingga rencana tersebut digagalkan.
Namun jika ditelusuri –terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air seperti yang telah dijelaskan di atas, sehingga, sulit dan tidak mungkin didekatkan. Oleh karena itu, penulis merasa perlu pergeseran istilah pemaknaan baru, yang tadinya disebut sebagai pendekatan ”Taqrib”, seperti slogan yang selama ini dikembangkan, hendaknya diganti dengan sikap toleransi ”Tasamuh”.
Jadi yang perlu dilakukan oleh sunni dan syi’ah adalah dialog untuk toleran (Tasamuh), bukan untuk pendekatan (Taqarub). Sebab memang keduanya berjauhan, dan tidak mungkin didekatkan atau dilekatkan antara satu sama lain, dan tidak akan ketemu. Dengan sikap bertoleransi berarti tidak saling menuduh, menuding, memojokkan, menghancurkan, apatah lagi kafir mengkafirkan. Umat ini tidak perlu disibukkan dengan hal-hal di atas. Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir[3], semua perkara tersebut adalah ”al-Musykilat az-Zaa`ifah”, yang makudnya permasalahan-permasalahan palsu (semu). Jadi permasalahan taqrib bagi penulis merupakan permasalahan semu, sebab tidak ada timbal balik. Dan dalam kenyataannya usaha  ”taqrib” tidak membuahkan hasil apa-apa pada umat. Oleh karena itu, biarkanlah keduanya berkembang dengan normal, alias tidak saling memaksakan aqidah satu pihak kepada pihak yang lain.
 Lebih heboh lagi dan berakibat fatal kalau sifat saling menjatuhkan terjadi di kalangan yang mengaku sama-sama kalangan sunnah, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti facebook, blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, seperti  penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Syi’ah”, ”anti Sunnah”, dll. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita selesaikan sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Masalah umat di Indonesia masih banyak yang perlu dipikirkan oleh masing-masing ulama mazhab (As’ariyah, Salafiah, Wahabiah, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dll), terutama dari aspek sosial, yang kian hari dan kian lama makin tidak menentu ke mana arah perbaikan sosial. Kalau kedua golongan sunnah dan syi’ah saling bersikap ta’assub, niscaya akan menghasilkan konflik intern dalam Islam. Masing-masing golongan merasa paling benar. Yang akhirnya bukannya menghasilkan perbaikan bahkan mengeruhkan dan mempertajam perbedaan, sehingga agenda perbaikan dan peningkatan status sosial umat terlupakan. Alangkah indahnya kalau masing-masing aliran memberhentikan perbincangan yang menjurus kepada pengkafiran, sebab dikhawatirkan konflik dalam satu agama akan terjadi, dan dijadikan sebuah peristiwa biasa dengan saling membunuh sesama Islam, sehingga menjadi fenomena sosial yang sangat berbahaya. Sebagai contoh kecil dapat dilihat konflik antara sunnah dan syi’ah di Iraq yang bermula dari saling tuding menuding, lalu meningkat kepada masalah politik, kemudian berani mengkafirkan golongan lain, hasil pengkafiran adalah penghilangan nyawa, dan berhujung dengan gerakan terorisme.
Kalau kita berpikir secarah jernih dan bertanya kepada diri atau golongan masing-masing, siapakah sebenarnya yang memiliki otoritas untuk mengakafirkan golongan lain? Tentu jawabannya baik dari pihak sunnah ataupun syi’ah adalah sama, yaitu: Allah. Kalau sudah demikian jawabannya, apa salahnya kalau kita menyudahi konflik intern yang ada di dunia Islam dengan sikap toleransi saling hormat menghormati. Dan untuk penilaiannya kita serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.
Baru-baru ini dunia dikagetkan dengan dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh Wikileaks yang mengklaim mempunyai sekitar 251.000 dokumen. Yang sampai sampai saat ini sudah ditayangkan kepada khalayak adalah sekitar 1.824 dokumen yang dimuat di websitenya[4]. Yang kemudian dimuat dan disebarluaskan oleh beberapa media massa lain seperti: El Pais, the Guardian, New York Times Der Spiegel, dan lain-lain. Selintas dari beberapa yang dapat dilihat dari penayangan dokumen-dokumen tersebut, memberikan indikasi yang kuat bahwa saat ini umat islam benar-benar menghadapi suatu problematika atau permasalahan yang sangat besar dan sangat serius. Di mana negara-negara Islam secara lahiriah bersahabat, dan berteman, terlihat ketika bertemu bukan hanya bersalaman bahkan saling berpelukan, mengajukan ucapan selamat, mengungkapkan rasa persahabatan, tapi di sebalik itu dan setelah berpisah, saling tohok menohok, dan menikam dari belakang. Ini pertanda satu musibah yang besar, yaitu hilangnya kepercayaan antara sesama negara Islam. Di samping itu, umat Islam saat ini berada dalam arena penjajahan modern, atau lebih dikenal dengan nama lain sebagai penjajahan pemikiran (Ghazwul Fikr), yang kandungannya adalah “Pemikiran Barat”, dan hasil produknya adalah “Leberal & Sekuler”. Pemikiran ini melanda beberapa intelektual Islam di dunia, yang kemudiannya menghasilkan produk yang dikenal di negara-negara Arab sebagai “al-‘Almaniyyun”, dan di Indonesia disebut “Islam Liberal”.  Ini persoalan dan masalah yang perlu difokuskan untuk penyelesaian, baik oleh pihak Sunnah, Syi’ah, Salafi, Wahabi, Khawarij, Mu’tazilah dll.
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunnah & Syi’ah, setelah melihat perbedaan yang fundamental dan sangat jelas di antara keduanya (sebagaimana dalam artikel sebelumnya), maka tidak mungkin dilakukan pendekatan ”taqrib” antara satu dengan yang lain. Namun tidak boleh ada kata ”Putus asa”. Kedua golongan hanya memerlukan sikap saling menghormati dan bukan saling mencela. Kalau bahasa al-Qur`an untuk toleransi agama adalah ”Lakum Diinukum”, maka untuk toleransi dalam hubungan Sunnah & Syi’ah adalah ungkapan ”Lakum Mazhabukum”. Untuk hidup toleransi dan berdampingan, hendaknya semua golongan bersikap jujur, tidak fanatik buta, dan jangan saling menghina. Secara realitanya pihak sunnah dari berbagai golongannya menghormati imam Ali yang diagung-agungkan oleh syi’ah, maka hendaknya begitu juga sebaliknya pihak Syi’ah, menghormati para sahabat lain, janganlah terus menerus mencela, dan mencaci para sahabat. Di samping itu, kedua belah pihak jangan ada usaha untuk menarik dan memaksa pihak lain untuk masuk ke golongannya, baik melalui usaha Syi’ahnisasi (Tasyyii’) di kalangan penduduk Sunni, ataupun sebaliknya Sunnahisasi di kalangan penduduk Syi’ah.
Di akhirat kelak, kalau Syi’ah dengan pandangannya bahwa syafa’at akan diperoleh dari Nabi Muhammad dan para imam-imamnya, bukan masalah utama, berikan mereka kebebasan untuk berkeyakinan demikian, dan Sunnah juga tetap dengan keyakinannya hanya mengharap syafa’at dari pada Nabi Muhamammad saw saja. Begitupun halnya dengan keyakinan-keyakinan lain yang berbeda secara fundamental, silahkan yakini apa yang telah diyakini, dan buang jauh-jauh apa yang tidak diyakini, dan jangan memaksakan yang lain untuk meyakini sebuah keyakinan. ”La Ikraaha fi ad-Din”.
Dalam sejarah ”Taqrib” (pendekatan sunnah & syi’ah), Syekh Mahmud Syaltut (mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh Imamiyah)[5]. Sampai saat ini ulama masih simpang siur dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian, apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syi’ah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syi’ah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi tulus ikhlas “Lillah Ta’aala” untuk menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah ketika itu?.
Hemat penulis, fatwa tersebut sifatnya ijitihad pribadi. Beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah “Pihak Sunnah sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan menginginkan persahabatan dan bukan pertengkaran dan perseteruan”.
Hal ini terbukti ketika pihak Syi’ah tidak membolehkan penganutnya beribadah menurut mazhab Sunnah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama syi’ah yang disegani oleh penganut Syi’ah. Ia tegas melarang penganut syi’ah beribadah dengan cara mazhab selain mazhab Ahlulbait[6]. Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan mazhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual Sunnah dipakai oleh Syi’ah, dan Syi’ah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh Sunnah, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, penulis mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri masing-masing atau kelompok masing-masing akan kepastiannya untuk masuk surga.
Berlandaskan kepada sikap ilmiah, penulis boleh katakan dalam artikel ini tanpa tendensius apa-apa bahwa tidak benar pendapat yang mengatakan”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”.  Pandangan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[8].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian.  Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam persaudaraan”[9]. Menurut hemat penulis, pandangan di atas sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?
Mendekatkan pemikiran Sunnah dan Syi’ah untuk memajukan dan membela Islam sangat diharapkan. Dan memang itulah tujuan mulia dan utama demi mewujudkan kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara-negara Islam, sehingga terwujud kebaikan bagi tatanan masyarakat. Namun mendekatkan apalagi menyatukan kepercayaan tidak mungkin terwujud. Sebab perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah sudah melebihi batas penelitian ilmiah, bahkan sudah sampai kepada tahap klimaks yaitu ”Ta’assub Buta”. Sementara sifat seperti ini dalam sejarah tidak pernah menyelesaikan permasalahan, bahkan memperkeruh permasalahan yang ada. Dan sifat Ta’assub inilah yang menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam. Sehingga muatan dan isi kitab-kitab klasik (Kutub at-Turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman, hinaan, dan cemoohan, seperti perkataan-perkataan: Fasiq, Dhalal, Jahil, Zindiq bahkan sampai perkataan kafir. Ada baiknya kita mengingat pesan salah seorang sufi kenamaan yaitu imam Yahya bin Mu’az:
" إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّه،ُ وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ"
"Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (memberi manfaat), maka janganlah merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (memberikan rasa senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah). Kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka jangalah mencelanya".
Dalam etika beragama, Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksa orang lain. Dalam beberapa ayat dindikasikan bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja, dan bukannya  memaksa golongan lain atau agama lain masuk ke golongan kita atau ke agama kita. Seperti firman Allah swt  berikut:
(لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) - البقرة، 256-.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) -هود، 118-.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( - يونس، 99-.
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. Yuunus: 99).
Tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunnah & Syi’ah, setelah melihat perbedaan yang fundamental dan sangat jelas di antara keduanya, maka tidak mungkin dilakukan pendekatan ”taqrib” antara satu dengan yang lain. Namun tidak boleh ada kata ”Putus asa”. Kedua golongan hanya memerlukan sikap saling menghormati dan bukan saling mencela. Kalau bahasa al-Qur`an untuk toleransi agama adalah ”Lakum Diinukum”, maka untuk toleransi dalam hubungan Sunnah & Syi’ah adalah ungkapan ”Lakum Mazhabukum”. Untuk hidup toleransi dan berdampingan, hendaknya semua golongan bersikap jujur, tidak fanatik buta, dan jangan saling menghina. Secara realitanya pihak sunnah dari berbagai golongannya menghormati imam Ali yang diagung-agungkan oleh syi’ah, maka hendaknya begitu juga sebaliknya pihak Syi’ah, menghormati para sahabat lain, janganlah terus menerus mencela, dan mencaci para sahabat. Di samping itu, kedua belah pihak jangan ada usaha untuk menarik dan memaksa pihak lain untuk masuk ke golongannya, baik melalui usaha Syi’ahnisasi (Tasyyii’) di kalangan penduduk Sunni, ataupun sebaliknya Sunnahisasi di kalangan penduduk Syi’ah.
Di akhirat kelak, kalau Syi’ah dengan pandangannya bahwa syafa’at akan diperoleh dari Nabi Muhammad dan para imam-imamnya, bukan masalah utama, berikan mereka kebebasan untuk berkeyakinan demikian, dan Sunnah juga tetap dengan keyakinannya hanya mengharap syafa’at dari pada Nabi Muhamammad saw saja. Begitupun halnya dengan keyakinan-keyakinan lain yang berbeda secara fundamental, silahkan yakini apa yang telah diyakini, dan buang jauh-jauh apa yang tidak diyakini, dan jangan memaksakan yang lain untuk meyakini sebuah keyakinan. ”La Ikraaha fi ad-Din”.
Dalam sejarah ”Taqrib” (pendekatan sunnah & syi’ah), Syekh Mahmud Syaltut (mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh Imamiyah)[10]. Sampai saat ini ulama masih simpang siur dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian, apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syi’ah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syi’ah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi tulus ikhlas “Lillah Ta’aala” untuk menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah ketika itu?.
Hemat penulis, fatwa tersebut sifatnya ijitihad pribadi. Beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah “Pihak Sunnah sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan menginginkan persahabatan dan bukan pertengkaran dan perseteruan”.
Hal ini terbukti ketika pihak Syi’ah tidak membolehkan penganutnya beribadah menurut mazhab Sunnah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama syi’ah yang disegani oleh penganut Syi’ah. Ia tegas melarang penganut syi’ah beribadah dengan cara mazhab selain mazhab Ahlulbait[11]. Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan mazhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual Sunnah dipakai oleh Syi’ah, dan Syi’ah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh Sunnah, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, penulis mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri masing-masing atau kelompok masing-masing akan kepastiannya untuk masuk surga.
Berlandaskan kepada sikap ilmiah[12], penulis boleh katakan dalam artikel ini tanpa tendensius apa-apa bahwa tidak benar pendapat yang mengatakan”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”.  Pandangan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[13].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian.  Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam persaudaraan”[14]. Menurut hemat penulis, pandangan di atas sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?
Mendekatkan pemikiran Sunnah dan Syi’ah untuk memajukan dan membela Islam sangat diharapkan. Dan memang itulah tujuan mulia dan utama demi mewujudkan kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara-negara Islam, sehingga terwujud kebaikan bagi tatanan masyarakat. Namun mendekatkan apalagi menyatukan kepercayaan tidak mungkin terwujud. Sebab perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah sudah melebihi batas penelitian ilmiah, bahkan sudah sampai kepada tahap klimaks yaitu ”Ta’assub Buta”. Sementara sifat seperti ini dalam sejarah tidak pernah menyelesaikan permasalahan, bahkan memperkeruh permasalahan yang ada. Dan sifat Ta’assub inilah yang menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam. Sehingga muatan dan isi kitab-kitab klasik (Kutub at-Turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman, hinaan, dan cemoohan, seperti perkataan-perkataan: Fasiq, Dhalal, Jahil, Zindiq bahkan sampai perkataan kafir. Ada baiknya kita mengingat pesan salah seorang sufi kenamaan yaitu imam Yahya bin Mu’az:
" إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّه،ُ وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ"
"Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (memberi manfaat), maka janganlah merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (memberikan rasa senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah). Kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka jangalah mencelanya".
Dalam etika beragama, Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksa orang lain. Dalam beberapa ayat dindikasikan bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja, dan bukannya  memaksa golongan lain atau agama lain masuk ke golongan kita atau ke agama kita. Seperti firman Allah swt  berikut:
(لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) - البقرة، 256-.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) -هود، 118-.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( - يونس، 99-.
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. Yuunus: 99).
Tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.



[1] Seperti sikap keterbukaan Syi’ah Zaidiyah terhadap Ahlu Sunnah.
[2] Lebih sukar lagi dengan Syi’ah Isma’liyah yang dianggap keluar dari go­longan Islam, dalam artian mereka telah kafir. Se­bagaimana yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah ataupun Ulama Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah sen­diri, statemen tersebut bisa dilihat dalam karya para ulama Zaidiyah, seperti : Ibnu Hamzah al-‘Alawi dalam bukunya “Misykat al-Anwar“’, Imam ad-Dailami dalam bukunya “Aqaid Aali Muhammad”. Dan golongan Isma’ili­yyah ini paling banyak mengadopsi filsafat Yunani khususnya Plato, dan banyak ter­pengaruh dengan agama-agama Persia kuno, seperti : Zaradist, Manie dll.

[3] Profesor filsafat Islam di Fakultas Darul Ulum dan mantan wakil rektor Universitas Kairo, Mesir. Dalam bukunya ”al-Falsafah al-Islamiyah fi al-’Ashri al-Hadits”, beliau mengulas tentang perkembangan filsafat Islam masa kini, dengan membaginya kepada dua bagian yatiu: al-Musykilat az-Zaa`ifah, yaitu permaslahan palsu atau semu, dan al-Musykilat al-Hakikah, yaitu permaslahan hakiki dan asasi.
  
[5] Fatwa ini tidak ditemukan dalam empat kitab besar beliau, tapi dimuat oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959. dikeluarkan oleh lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kairo. DR. Yusuf Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian adanya fatwa tersebut, namun penafian ini dapat disangkal sebab dalam arsip ditemukan teks ucapan fatwa tersebut bertuliskan dalam majalah “Risalah al-Islam”, adapun Syekh Muhamad al-Ghazali dalam bukunya “Difaa’un ‘An al-‘Aqidah wa as-Syari’ah” hal: 257,  beliau mendukung sepenuhnya fatwa tersebut dan dianggap sebagai awal persatuan umat Islam.  Teks fatwa tersebut adalah:
"إن مذهب الجعفرية المعروف بمذهب الشيعة الإمامية الاثنا عشرية مذهب يجوز التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنة. فينبغي للمسلمين أن يعرفوا ذلك، وأن يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة، فما كان دين الله وما كانت شريعته بتابعة لمذهب، أو مقصورة على مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله تعالى يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم، والعمل بما يقررونه في فقههم، ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات".
[6] Muhamad Husein Fadhlullah, Masa’il Aqadiyah, hal: 110.
[8] Syekh al-Ghazali, Kaifa Nafham al-Islam, hal: 144-145.
[9] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 100, Muassasah al-A’alami, Lebanon.
[10] Fatwa ini tidak ditemukan dalam empat kitab besar beliau, tapi dimuat oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959. dikeluarkan oleh lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kairo. DR. Yusuf Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian adanya fatwa tersebut, namun penafian ini dapat disangkal sebab dalam arsip ditemukan teks ucapan fatwa tersebut bertuliskan dalam majalah “Risalah al-Islam”, adapun Syekh Muhamad al-Ghazali dalam bukunya “Difaa’un ‘An al-‘Aqidah wa as-Syari’ah” hal: 257,  beliau mendukung sepenuhnya fatwa tersebut dan dianggap sebagai awal persatuan umat Islam.  Teks fatwa tersebut adalah:
"إن مذهب الجعفرية المعروف بمذهب الشيعة الإمامية الاثنا عشرية مذهب يجوز التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنة. فينبغي للمسلمين أن يعرفوا ذلك، وأن يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة، فما كان دين الله وما كانت شريعته بتابعة لمذهب، أو مقصورة على مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله تعالى يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم، والعمل بما يقررونه في فقههم، ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات".
[11] Muhamad Husein Fadhlullah, Masa’il Aqadiyah, hal: 110.
[12] Sikap penulis dikuatkan oleh beberapa karya penulis yang diterbitkan, seperti: (1) “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliah wa Falsafatuha”, Terbitan Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon 2009. (buku tersebut asalnya desertasi Ph.D, Cairo Univesity, dan saat ini dijadikan referensi kajian Syi’ah di Harvard University, dan dapat ditemui dalam koleksi perpustakaan United Kingdom “British Library”, Call Number: YP.2010.a.4230), (2) “al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha”, terbitan USIM 2009. (3) dan yang terbaru “al-Mazahib al-Aqaidiyah al-Islamiyah”, terbitan USIM, 2010, (4) “Nasy’at al-Firaq wa Tafarruquha”, dalam proses terbit di Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon, dan Lihat wawancara penulis tentang "LATAR BELAKANG MENEKUNI KAJIAN SYI’AH DI CAIRO UNIVERSITY". *Diterbitkan oleh Buletin FK el-Baiquni, Cairo-Egypt 2003 & Revisi 2010.http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/07/wawancara-tentang-syiah-2003.html.    
[13] Syekh al-Ghazali, Kaifa Nafham al-Islam, hal: 144-145.
[14] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 100, Muassasah al-A’alami, Lebanon.

0 komentar:

Post a Comment