Sunday, January 23, 2011

IMAN & ISLAM DARI PERSPEKTIF SUNNAH & SYIAH

IMAN & ISLAM
DARI PERSPEKTIF SUNNAH & SYIAH
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Senior Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia

Banyak pandangan dan penilaian tentang perbedaan Sunnah dan Syi’ah seperti pandangan bahwa ”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”.
Ucapan-ucapan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[1]. Dan baru-baru ini muncul fatwa yang penuh dengan kontroversi yang dikatakan oleh mufti Mesir, syekh Ali Jum’ah bahwa “Tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni”. Atau “Perbedaan yang terjadi antara Sunnah dan Syi’ah bukan disebabkan faktor politik, melainkan hanyalah perbedaan memahami teks dan sumber-sumber penetapan hukum (istinbat)”[2].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian.  Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam persaudaraan”[3].
Untuk menyikapi pandangan para ulama seperti yang dipaparkan di atas, maka penulis ingin mengulas tentang hakikat pemahaman aqidah Sunnah dan Syi’ah,  dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran hepotesa-hepotesa tersebut[4].
Sebagai perbandingan pertama, kita memulai dengan membahas masalah rukun Islam antara sunnah & syi’ah:

Rukun Islam:
Sunnah dan syi’ah berbeda tentang pilar agama Islam. Kalau me­nurut pandangan Ahlu Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar agama yang biasa disebut sebagai rukun agama "Arkaan ad-Din”. Dan rukun ini memiliki konsekwensi yang fatal kalau ditinggal atau tidak dilaksanakan, yang menyebabkan suatu perkara yang dilakukan menjadi tidak sah. Sebab makna rukun itu sendiri adalah, sesuatu yang merupakan sebagian daripada suatu perkara yang karena kewujudannya maka wujudlah perkara itu, manakala sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah perkara itu”. Contohnya perkara niat dalam shalat, niat merupakan rukun wujudnya shalat, jika seorang shalat tanpa disertai dengan niat maka shalatnya tidak sah.
Dalam agama Islam ada dua rukun yang mesti dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beragama Islam, rukun tersebut adalah rukun Islam dan rukun Iman. Rinciannya adalah sebagaimana  berikut:
Golongan sunnah berpendapat bahwa rukun Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Haji. Landasan bagi pendapat Sunni ini adalah hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. (رواه الترمذي ومسلم ).
“Dari Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab r.a berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda : Islam dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan berpuasa di bulan ramadhan”. (Riwayat Turmuzi dan Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami  bahwa seseorang yang ingin memeluk agama Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu, sebab syahadah adalah asas ajaran Islam. Syahadat diibaratkan sebagai kunci dan pilar utama untuk menjadi seorang muslim. Syahadat pertama  menuntut orang tersebut bertauhid atau meng-esa-kan Allah swt, dan syahadat yang kedua merupakan pengakuan bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah swt. Pilar yang kedua adalah, bagi seseorang yang mengaku beragama Islam diwajibkan menunaikan shalat lima waktu dalam sehari semalam, yaitu: shalat dzuhur,  ashar , maghrib , isya, dan subuh. Pilar yang ketiga menuntut seseorang muslim mengeluarkan zakat dalam jumlah yang telah ditentukan kadarnya. Pilar yang keempat adalah, bagi seorang muslim diwajibkan melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, dimulai dari sejak terbitnya fajar sehingga terbenamnya matahari. Dan pilar terakhir adalah, kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah al-Mukarramah sekali dalam seumur hidup.
            Inilah tiang agama yang mesti dilakukan oleh setiap umat Islam menurut pandangan golongan sunni.
Sedangkan bagi masalah keimanan yang merupakan suatu keyakinan yang dipercayai dengan sepenuh jiwa dan hati oleh pemeluk agama Islam, maka bagi golongan sunni, seorang muslim diwajibkan mempercayai enam rukun iman, yang terdiri dari: (1) Iman kepada Allah, (2) para malaikat, (3) kitab-kitab, (4) para rasul, (5) hari kiamat, serta (6) qadha & qadar. Dalil yang diajukan oleh sunni mengenai keenam rukun iman ini adalah sebagi berikut:
(أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) (رواه مسلم والبخاري).
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, dan hari akhirat, dan engkau beriman mengenai Qadar (takdir), baik dan buruknya".

(آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ) (البقرة، 285).
“Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan:"Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Q.S. al-baqarah: 285).
Sedangkan golongan syi’ah berbeda dengan sunnah mengenai pembagian rukun Islam. Bahkan antara aliran-aliran syi’ah sendiri saling berbeda pandangan dalam hal ini. syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun agama ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah. Sebagaimana beberapa riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam kitabnya "Ushul al-Kafi":
عَنْ أَبِي جَعْفَر u قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: عَلَى الصلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْوِلاَيَةِ، وَلَمْ يُنَادَ بِشَيْءٍ كَمَا نُوْدِيَ بِالْوِلاَيَةِ".
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan wilayah, dan tidak ada satu pun daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru (keras) sebagaimana seruan yang diberikan kepada wilayah”[5].
 وعَنْ أَبِي جَعْفَر u قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْوِلاَيَةِ، قَالَ زَرَارَة: فَقُلْتُ: وَأَىُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَفْضَل، فَقَالَ: اَلْوِلاَيَةُ أَفْضَل لِأَنَّهَا مِفْتَاحُهُنَّ، وَالْوَلِيُّ هُوَ الدَّلِيْلُ عَلَيْهِنَّ".
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, puasa ramadhan, dan wilayah. Zararah bertanya kepada Abu Ja’far: manakah rukun yangh terbaik di antara rukun-rukun tersebut?. Abu Ja’far menjawab: Wilayah adalah rukun yang terbaik, sebab wilayah merupakan kunci dari semua rukun agama, dan Wali (Imam) adalah penunjuk atas kesemua rukun tersebut”[6].
عَنْ عُجْلاَن أَبِي صَالِحْ قَالَ: قُلْتُ لِاَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم: “أَوْقِفْنِي عَلَى حُدُوْدِ الاِيْمَانِ، فَقَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَالِإقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَصَلاةُ الْخَمْسِ وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ شَهْرِ رَمَضَان وَحَجُّ الْبَيْتِ وَوِلاَيَةُ وَلِيِّنَا وَعَدَاوَةُ عَدُوِّنَا وَالدُّخُوْلُ مَعَ الصَّادِقِيْنَ”.
“Dari ‘Ujlan Abu Shalih, ia bekata: Saya meminta penjelasan dari Abu Abdillah tentang batasan-batasan iman, ia menjawab bahwa iman adalah :“Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan Beriqrar (mengakui) segala yang datangnya dari Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, percaya kepada Wilayah, dan memerangi musuh-musuh, dan berhimpun bersama orang-orang yang benar (jujur)”[7].
Bila diperhatikan riwayat terakhir di atas, syi’ah Imamiyah menjadikan ucapan dua kalimat syahadat sebagai bahagian dari rukun iman, sementara sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam.
Adapun bagi syi’ah Isma'iliyah Bathiniyah, rukun Islam ada 7. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh salah seorang ulama Syi’ah Isma’iliyah, yaitu al-Qadhi an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aa`im al-Islam". Kitab tersebut mensinyalir bahwa rukun Islam ada 7 perkara, yaitu: (1) Wilayah, (2) Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad. Adapun teksnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي جَعْفَر أَنَّهُ قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى سَبْعِ دَعَائِمٍ : اَلْوِلاَيَةُ، وَهِيَ أَفْضَلُهَا، وَبِهَا وَبِالْوَلِيِّ يُوْصِلُ إِلَى مَعْرِفَتِهَا، وَالطَّهَارَةُ، وَالصَّلاَةُ، وَالزَّكَاةُ، وَالصَّوْمُ، وَالْحَجُّ، وَالْجِهَادُ".
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas tujuh perkara; Wilayah, dan wilayah adalah rukun terbaik dari rukun lainnya, sebab dengan wali (imam) seseorang dapat mengenal rukun-rukun Islam, kemudian Thahara (kesucian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan berjihad”[8].
Jadi, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma'iliyah sepakat bahwa wilayah (imamah) adalah rukun yang paling utama dari rukun yang lainnya.
Dari beberapa riwayat yang diketengahkan oleh syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dapat dilihat bahwa dua kalimat syahadat tidak dimasukkan dalam rukun Islam mereka. Sedangkan sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam pertama dan yang paling utama. Sementara bagi syi’ah wilayah (imamah) adalah salah satu rukun agama dan rukun Iman yang paling mendasar dan paling utama dibanding rukun-rukun lainnya. Sehingga salah seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer yang bernama syekh Amir Muhammad al-Qazawayni menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa yang mengingkari kepemimpinan imam Ali, maka sungguh telah gugur keimanannya”[9].
Di samping itu berkaitan dengan kalimat syahadat, terkadang syi’ah menambahkan sebutan imam Ali sebagai wali Allah, sehingga teks syahadat versi mereka berbunyi:
"أَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللَهِ"
“Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, dan Ali adalah wali Allah”.
Namun perlu disebutkan, bahwa as-Sayyid al-Murtadha, yang merupakan salah seorang ulama terkemuka Syi’ah pada abad ke lima Hijriah mengharamkan penyebutan azan yang ditambahkan dengan kalimat "Ali adalah wali Allah", yaitu yang berbunyiأَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيَّ الله ”. Seorang cendikiawan Syi’ah Imamiyah yang netral dan moderat bernama DR. Musa al-Musawi menilai bahwa sebenarnya penambahan ini tidak mendasar dan keliru. Ia muncul setelah Ghibah al-Kubrah pada tahun 329 Hijriah. Bahkan menurutnya, seandainya imam Ali masih hidup saat ini, dan mendengarkan penambahan nama beliau dalam azan, maka niscaya beliau akan memberikan hukuman “Had” kepada pelantun azan tersebut[10]. Tentunya pernyataan ini merupakan suatu usaha untuk menuju penetralan dan penjernihan aqidah yang dilakukan oleh sebagian intelektual modern dari kalangan Syi’ah.
Bahkan terkadang lafadz Nabi Muhammad-pun dihilangkan dari kalimat syahadat. Seperti riwayat di bawah ini:
عَنْ أَبِي جَعْفَرْ قَالَ: "لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَالْوِلاَيَة".
“Ketika Talqin, bacakanlah kepada mayat-mayat kalimat syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan wilayah (Ali wali Allah)”[11].
Di tempat lain, syi’ah menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 132, 137, yang berbunyi:
(قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ) –البقرة: 136، 137-.
“Katakanlah (hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Bagi syi’ah, lafadz (فَإِنْ آمَنُواْ), bermaksud, mereka umat manusia,  sedangkan lafadz  (بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ), adalah imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam-imam lainnya. Jadi maksud ayat ini adalah keimanan seorang mu’min harus melalui dan mengikuti serta sesuai dengan keimanan para imam-imam syi’ah[12].
Inilah gambaran tentang konsep keimanan kepada Allah swt yang diyakini oleh golongan syi’ah.
            Tentang Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang pada asalnya sifat-sifat tersebut hanya dimilki Allah semata-mata, oleh Syi’ah diyakini bahwa nama-nama serta sifat-sifat tersebut dilabelkan juga untuk para imam-imam syi’ah. Hal ini dapat dilihat ketika al-Kulaini meriwayatkan sebuah pentafsiran daripada ayat al-Qur’an:
(ولِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا) -الآعراف، 180-.
            “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu”. (Q.S. al-A’raaf: 180). Dari Abu Abdillah, ia mengatakan: “Kami dan asma al-husna tidak akan menerima amalan seorang hamba kecuali dengan pengetahuan kami (izin kami)”[13].
Dalam kitab-kitab Syi’ah yang lain disebutkan:
"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ نَتَقَلَّبُ فِي الأَرْضِ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ، وَنَحْنُ عَيْنُ اللهِ فِي خَلْقِه"
“Kami (para imam) adalah wajah Allah, kami beredar di muka bumi di antara kamu, dan kami (para imam) adalah mata Allah untuk hambaNya”[14].
Ibnu Babwaih menafsirkan firman Allah swt:
(كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ) –القصص، 88-.
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”. (Q.S. al-Qashash: 88).
Ia mengatakan:"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ الَّذِي لاَ يَهْلِكُ".  “Kamilah wajah Allah yang tidak akan binasa”[15]. Keyakinan seperti ini dapat ditemukan juga dalam Syi’ah Isma’iliyah[16].
Dengan demikian, dari uraian  di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa syi’ah menambahkan rukun Islam dengan Imamah (politik). Dan hal ini ditegaskan kembali oleh syekh Muhammad Husein al-Ghitah yang merupakan seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya mazhab Syi’ah (imamiyah) menambahkan rukun Islam (Ahlu Sunnah), yaitu Imamah”[17].
Teks ucapan ini merupakan pengakuan bahwa syi’ah memang sengaja menambahkan rukun Islam supaya berbeda dengan rukun Islam yang diyakini oleh kalangan sunnah.
            Kemudian untuk rukun iman yang lainnnya, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar, akan penulis jelaskan satu persatu secara singkat di bawah ini.

Malaikat:
            Termasuk bagian dari rukun iman yang disepakati oleh sunnah dan syi’ah adalah beriman kepada malaikat-malaikat Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
(آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ).
“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" (QS. Al-Baqarah : 285).
Namun yang menjadi masalah di sini adalah adanya bentuk penafsiran-penafsiran atau interpretasi dan pemahaman yang berbeda antara sunnah dan syi’ah. Misalnya, dari segi asal penciptaan malaikat dan tugas malaikat. Bagi sunnah, malaikat diciptakan dari cahaya (semata), sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ".
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2996].
Namun syi’ah berpendapat lain, dan menegaskan bahwa penciptaan malaikat berasal daripada cahaya imam Ali[18]. Di samping itu syi’ah mengatakan bahwa ada di antara malaikat yang kerja dan tugasnya hanya untuk menangisi kuburan imam Husain dan berbolak balik menziarahi kuburannya sehingga hari kiamat. Dan menurut mereka jumlah para malaikat adalah sebanyak 4000[19]. Sementara dalam ideologi sunnah, tidak ditemukan pemahaman bahwa terdapat segerombolan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menangis di atas kuburan imam Husain.
            Bagi syi’ah, malaikat Jibril di samping bertugas sebagai pembawa wahyu Ilahi, Allah juga menugaskannya sebagai pelayan bagi para imam-imam syi’ah, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
          (إِنَّ جِبْرَائِيْل دَعَا أَنْ يَكُوْنَ خَادِمًا لِلْأَئِمَّةِ، قَالُوا: فَجِبْرِيْلُ خَادِمُنَا).
“Sesungguhnya malaikat Jibril meminta untuk menjadi pelayan para imam, maka para imam menjawab: Jibril adalah pelayan kami”[20].
Asumsi ini tidak diterima oleh sunnah. Sebab malaikat Jibril yang biasa disebut sebagai “ar-Ruuh” menurut aqidah sunnah tugasnya hanyalah sebagai pembawa wahyu, dan hanya melayani Nabi Muhammad saw, sesuai dengan firman Allah:
(نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ) –الشورى: 193، 194-.
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruuh Al-Amin (Jibriil), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” )QS. Asy-Syu’raa’ : 193-194(.
Di dalam ayat lain disebutkan:
(تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ) –القدر: 4-.                 
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruuh (Jibriil) dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” )QS. Al-Qadar : 4(.

Kitab-Kitab:
            Kepercayaan kepada kitab-kitab merupakan rukun iman yang ketiga. Kesemua ajaran-ajaran agama disampaikan oleh malaikat dan dicatatkan di dalam kitab-kitab dan suhuf. Dan jumlah kitab-kitab suci tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun sekalipun tidak diketahui secara pasti jumlah kitab-kitab tersebut, yang jelas setiap rasul dibekalkan dengan kitab suci masing-masing.
            Silang pendapat antara sunnah dan syi’ah pada masalah ini sangat tajam. Sunnah meyakini bahwa dalam agama Islam kitab yang diturunkan Allah swt kepada ummat Islam adalah al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan pendapat ini disetujui oleh syi’ah. Atau dengan kata lain, sunnah dan syi’ah sepakat dan sekata bahwa pedoman ajaran agama Islam adalah kitab al-Qur’an yang dibekalkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad saw. Namun, perselisihan tajam terjadi ketika kalangan syi’ah berasumsi bahwa al-Qur`an yang dipegang oleh sunnah, yaitu (Mushaf Utsmani) tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan yang berupa penambahan dan pengurangan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits terkemuka syi’ah Imamiyah, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini: ”dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata:”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“[21].
Pada tempat lain, disebutkan juga teks berikut:
عَنْ أَبِي بَصِيْر، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ... : "وَإِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم، قُلْتُ (أَيْ قَوْلُ الرَّاوِي): وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمْ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ قرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاَثُ مَرَّاتٍ مَا فِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ".
Dari Abi Bashir, ia berkata, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, Abu Bashir bertanya: apakah Mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf yang 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al- Qur’an kalian”[22]. Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan bahwa al-Qur’an yang dimiliki oleh ahlu sunnah telah mengalami perubahan besar dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan[23].
Bahkan dalam riwayat lain disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
"مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم مَا فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أُلْقِي عَلَيْهَا"
“Sesungguhnya isi kandungan Mushaf Fathimah adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan kepadanya (Fathimah) ”[24].
Kesemua teks-teks riwayat di atas tidak memerlukan penjelasan lebih dalam dan rinci, sebab sudah sangat jelas maksudnya, bahwa terdapat mushaf yang diturunkan khusus untuk Fathimah.
Dalam kitab “Dalaai`l an-Imamah” terdapat riwayat yang menggambarkan isi dan kandungan daripada mushaf Fathimah, di antaranya adalah hal-hal ghaib. Seperti pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat kelak, bilangan jumlah malaikat, siapa saja utusan Allah, nama-nama para Imam syi’ah (dua belas imam), sifat-sifat penghuni surga dan neraka, jumlah orang yang akan berjaya masuk di dalam surga dan neraka, serta banyak lagi hal-hal lain[25].
Riwayat seperti ini sangat banyak ditemui dalam kitab-kitab syi’ah yang masuk dalam katagori autentik “al-Mu’tabarah”, seperti: “Bashaa`ir ad-Darajaat” karangan Ibnu al-Farruukh as-Shaffar, “Amaali as-Sudduuq”, karangan Ibnu Babwaih al-Qummi dll.
            Tentunya ilustrasi-ilustrasi ghaib yang tersebut dalam kitab-kitab di atas adalah sesuatu yang tidak masuk logika. Sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mampu bercerita kepada ummatnya tentang hal-hal demikian, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah swt;
(قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ) –الأنعام:50-
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:"Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”. (Q.S. al-An’aam: 50).
Di samping itu, syi’ah Imamiyah berasumsi bahwa masing-masing kedua belas imam mendapatkan suhuf (lembaran-lembaran) tersendiri[26], sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab “Ikmaal ad-Din”:
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ: "إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْزَلَ عَلَى اثْنَى عَشَرَ خَاتِمًا، وَاِثْنَى عَشَرَ صَحِيْفَةً، اِسْمُ كُلَّ إِمَامٍ عَلَى خَاتِمِهِ، وَصِفَتِهِ فِي صَحِيْفَتِهِ"
“Sesungguhnya Allah swt menurunkan (membagikan) cincin kepada dua belas imam, dan bagi tiap-tiap imam dua belas diberikan lembaran masing-masing, dan pada setiap cincin tersebut tertulis nama imam, sedangkan sifatnya tersebut dalam lembaran”[27].
Dengan demikian, pada dasarnya syi’ah mengakui adanya kitab suci selain al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai “Mushaf Fatimah”. Dan Allah membagikan shuhuf (lembaran-lembaran) kepada setiap imam yang dua belas.
Bagi sunnah keotentikan mushaf dan shuhuf ini merupakan sebuah tanda tanya besar. Sebab bagi sunnah al-Qur’an dan Hadits sudah cukup untuk dijadikan pedoman hidup bagi ummat, sesuai dengan firman Allah swt:
(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ) -النحل،89-       
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl: 89).
(مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ) -الأنعام، 38-
            “Tiadalah Kami alpakan (lalaikan) sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’aam: 38).
            Rasulullah saw juga bersabda:
(تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ نَبِيَّهِ)
“Saya meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepadanya, yaitu: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Hadits)”. (Muwatta’ Imam Malik, no: 2618).
            Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama syi’ah (minoritas) baik klasik ataupun kontemporer[28] ada yang menyanggah keyakinan bahwa al-Qur’an yang di tangan sunnah tidak orisinil. Dalam artian lain, mereka mengakui bahwa Mushaf Utsmani tidak ada penyimpangan atau penyelewangan dalam isi kandungannya. Ulama tersebut adalah, imam at-Thuusi, imam at-Tabrisi, as-Syarif al-Murtadha, Adnan al-Bahraani, Syekh al-Qummi, syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar dan syekh Kasyif al-Ghita’[29].  Sedangkan mayoritas ulama syi’ah tetap tidak mengakui Mushaf Utsmani[30].
Sunnah menilai bahwa pengakuan sebahagian ulama syi’ah terhadap mushaf Ustmani bermotifkan “Taqiyyah”, alias bukan sikap hakiki mereka. Sikap ini mereka ambil hanya untuk meredakan pertikaian antara sunnah dan syi’ah. Namun menurut hemat penulis, sebaiknya usaha demikian dari pihak syi’ah kita tanggapi secara positif, atau dengan kata lain bersifat baik sangka “Husnu ad-Dhan” terhadap mereka. Yang artinya kita merespon baik pandangan golongan minoritas ulama syi’ah Imamiyah di atas. Alangkah baiknya kalau kita mencari persamaan dan memperkecil ruang perbedaan?
Bahkan DR. Musa al-Musawi (intelektual syi’ah) menegaskan, bahwa yang berpendapat adanya “Tahrif” atau penyelewengan dalam mushaf utsmani adalah golongan minoritas syi’ah dan bukannya mayoritas. Dan beliau sendiri meyakinkan kita bahwa imam al-Khu’i dalam kitab tafsirnya “al-Bayan” telah menafikan sendiri unsur “Tahrif” yang ditujukan pada mushaf “Utsmani” oleh ulama-ulama syi’ah lain,  dan yang berpendapat demikian sebenarnya  hanyalah orang-orang yang lemah akal pikirannya[31].
Tapi walau bagaimanapun, pihak sunnah menilai bahwa masalah “Tahrif” adalah pandangan mayoritas golongan syi’ah. Seperti yang ditegaskan oleh syekh adz-Dzahabi dalam bukunya “al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an”[32].
           
Rasul-Rasul
            Kepercayaan kepada para rasul adalah pilar keempat dari rukun iman, berdasarkan firman Allah swt:
(فَآمِنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ) -النساء، 171-.
"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya" (Q.S. an-Nisaa’).
Allah swt mengutus para rasul-Nya untuk menjelaskan dan membimbing umat ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya. Di samping itu, Allah menjanjikan pahala khusus bagi siapa saja yang mempercayai para rasul Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
            (وَالَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُواْ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُوْلَـئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً) -النساء، 152-.
             “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. an-Nisaa’: 152).
Point ini disepakati bersama antara sunnah dan syi’ah, namun dalam sisi lain terjadi silang pendapat yang mendasar, yaitu apabila syi’ah berusaha untuk menyamakan para rasul dengan Imam-imam syi’ah. Mereka berpandangan bahwa imamah atau wilayah adalah masalah agama yang paling penting, dan setaraf dengan kenabian, dari segi kesempurnaan diri (insan kamil). Mereka memiliki mu’jizat, ma’sum (terpelihara dari dosa dan noda), dan sifat lainnya yang sebenarnya hanya layak disandang oleh seorang nabi dan rasul, namun syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah ikut melekatkan sifat-sifat tersebut pada imam-imam mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa imam-imam syi’ah mendapatkan wahyu juga seperti halnya nabi dan rasul, seperti yang tertulis di kitab “Biharul al-Anwar”:
“إن الأئمة عليهم السلام لا يتكلمون إلا بالوحي”
“Sesungguhnya para imam tidak berbicara kecuali dengan landasan wahyu”[33].
Teks di atas sangat jelas menunjukkan bahwa para imam syi’ah mendapatkan wahyu dari Allah swt. Bahkan bagi mereka, para imam lebih tinggi derajatnya di banding para nabi. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Babwaih dalam kitabnya “I’tiqaadaat”[34], yang kemudian ditegaskan oleh al-Majlisi dengan mengatakan:
"اِعْلَمْ أَنَّ مَا ذَكَرَهُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِ نَبِيِّنَا وَأَئِمَّتِنَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ عَلَى جَمِيْعِ الْمَخْلُوْقَاتِ، وَكَوْنِ أَئِمَّتِنَا أَفْضَلُ مِنْ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ ..."
"ketahuilah sesungguhnya apa yang telah disebutkan oleh dia (Ibnu Babwaih) rahimaullah, tentang kemuliaan Nabi kita dan para Imam kita (shalawatullah ‘alaihim)  melebih semua makhluk lain. Dan kedudukan para imam kita lebih mulia dibandingkan seluruh nabi, hal ini tidak dapat diragukan lagi kebenarannya bagi siapa saja yang mengetahui berita-berita para imam[35].
Begitu juga dengan perihal mu’jizat (miracle), yaitu suatu keadaan atau peristiwa luar biasa yang dialami atau dilakukan oleh nabi atau rasul atas izin Allah swt. Mukjizat ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran agama atau berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang menentang dan tidak mau menerima ajaran yang dibawa oleh seorang nabi.
Yang menarik perhatian sunnah dalam masalah ini adalah, di dalam kitab-kitab syi’ah banyak disebutkan bahwa para imam-imam syi’ah dibekali juga dengan mu’jizat seperti halnya para nabi dan rasul. Bahkan ulama syi’ah mengambil perhatian besar dalam masalah mu’jizat dengan munculnya berbagai ragam kitab yang membahas dan membicarakan tentang mu’jizat-mu’jizat para imam, seperti, kitab “’Uyuun al-Mu’jizaat” karya Husain bin Abdul Wahab. Di antara mu’jizat imam yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah, para imam mampu menghidupkan orang mati, dapat berkomunikasi dengan hewan dan mengetahui hal-hal yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi[36]. Juga kitab “Yanaabii’ al-Ma’aajiz”, yang ditulis oleh Hasyim al-Bahrani. Bahkan dia menulis dua kitab mengenai hal ini. Selain kitab di atas adalah kitab “Madinah al-Ma’aajiz”. Dalam kedua kitab tersebut disebutkan bahwa imam mengetahui apa saja keadaan dan peristiwa yang terjadi di langit maupun di bumi[37]. Dan hal inipun ditegaskan oleh salah satu ulama kontemporer imamiyah, yaitu Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’ dalam bukunya “Ashlu as-Syi’ah wa Ushuliha”[38].
Perlu diindikasikan di sini bahwa syi’ah Zaidiyah yang merupakan salah satu golongan besar dalam syi’ah, telah berusaha maksimal mungkin menepis dan mengcounter propaganda syi’ah Imamiyah dalam masalah mu’jizat dan kenabian. Sebab menurut syi’ah Zaidiyah, adalah suatu hal yang mustahil menganalogikan imamah dengan kenabian (nubuwwah). Alasannya adalah, karena kenabian memiliki berbagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kenabian mereka. Sikap syi’ah Zaidiyah terhadap polemik ini layak untuk diperhitungkan, karena syi’ah Zaidiyah menolak secara mentah-mentah pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat mencapai derajat kenabian. Bahkan imam Ali ra yang juga disepakati oleh syi’ah Zaidiyah sebagai pemimpin yang paling layak dibandingkan  khalifah lainnya, menurut pandangan mereka tidak sampai kepada tahap derajat kenabian[39].
Imam Asy’ari dari pihak sunnah menilai secara objektif pandangan tentang kelebihan antara nabi dan imam. Beliau berpendapat, bahwa sebenarnya  syi’ah Imamiyah dalam masalah ini terbagi kepada tiga golongan:
1)     Sebagian berpendapat bahwa nabi lebih mulia daripada imam, dan imam  lebih mulia daripada malaikat.
2)     Ada yang berpendapat bahwa imam lebih mulia dibandingkan nabi dan malaikat.
3)     Sedangkan golongan yang ketiga ini menilai bahwa malaikat dan nabi lebih mulia daripada imam[40].
Sebenarnya, di samping ketiga pandangan di atas, terdapat lagi satu asumsi lain yang dicetuskan oleh syekh al-Mufid –seorang ulama syi’ah- bahwa imam lebih mulia dibanding dengan nabi, kecuali para nabi yang masuk dalam golongan “Ulul al-Azmi”[41].

Hari Kiamat.
            Kepercayaan kepada hari kiamat dan alam akhirat, yaitu menerima hakikat bahwa alam ini akan musnah suatu ketika nanti dengan sekelip mata. Dan pada masa itu, semua manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan semua amalan-amalan yang mereka lakukan tatkala hidup di alam dunia. Kemudian Allah swt akan membalas amal-amal tersebut balasan yang seadil adilnya. Oleh karena itu kiamat dalam agama Islam dinamakan dengan berbagai sinonim, seperti: hari kiamat, hari kebangkitan, hari pembalasan, hari pengadilan, dan hari penghitungan[42].
            Perlu diperhatikan di sini, bahwa kepercayaan akan hari kiamat bukan saja ada dalam agama Islam, juga ada dalam agama lain, seperti: kristen dan yahudi, yang merupakan agama-agama langit “al-Adyan as-Samawiyah”[43]. Bahkan kepercayaan kepada kewujudan hari kiamat juga ditemukan dalam agama atau kepercayaan kuno seperti, Persia, Mesir kuno, Yunani, dan lain-lainnya yang mempercayai adanya hari kiamat. Perbedaan mereka terletak pada cara menilai kebangkitan manusia apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruhnya saja tanpa jasad. Jadi perkara hari kiamat ini merupakan kepercayaan umum yang diyakini oleh setiap manusia. Sehingga pada zaman modern ini para sutradara film berlomba-lomba membuat filem tentang hari kiamat, seperti filem End of Days, Stigmata, Knowing dan yang terbaru 2012. Kita menghargai nilai film-film ini mengenai kepercayaan mereka tentang akan terjadinya hari kiamat, adapun penentuan waktu dan kandungannya tentu tidak boleh kita yakini, sebab perkara ini adalah rahasia ilahi. Seperti dalam filem 2012, ramalan kiamat berlaku dibuat berdasarkan kalendar suku maya yang berdomisili di republik Guatemala (Amerika tengah).
            Sunnah ataupun syi’ah sepakat tentang hari kiamat. Namun ada beberapa hal yang tidak dapat diterima oleh pihak Sunnah, seperti: perkara hisab (penghitungan dan pembalasan amalan). Syi’ah dengan ideologinya mengatakan bahwa yang akan menghisab amal seseorang di hari kiamat adalah para imam, merekalah yang akan bertugas dan mengatur segala-segala bentuk penghitungan. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Ushul al-Kafi di bawah ini:
          (الآخِرَةُ لِلإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ، وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ)
            “Perkara akhirat berada di tangan imam, ialah yang akan menguruskan segala-galanya di akhirat sesuai keinginannya, ia berbuat demikian atas lisensi Allah”[44].
            Lebih unik lagi, dalam kitab-ktab syi’ah diceriterakan bahwa sekiranya bukan karena imam, maka tidak diciptakan surga dan neraka, dan Allah menciptakan surga dari cahaya Husain[45]. Dan soal pertama yang akan ditanyakan di hari kiamat adalah tentang kecintaan seseorang dan kesetiaannya terhadap Ahlu Bait[46]. Di samping itu, penduduk Qum tidak melalui proses hisab sebagaimana orang awam, seperti melewati titian (shirat) dan timbangan (mizan). Dan penduduk Qum akan dihisab dari dalam kubur masing-masing, setelah itu dibangkitkan dan langsung dibawa menuju Surga, dan di Surga disediakan pintu khusus bagi mereka[47].
Ini sebagian dari paparan dan rentetan ideologi-ideologi syi’ah tentang kejadian dan peristiwa yang akan berlaku di hari kiamat. Dan syi’ah meyakini bahwa urusan managemen surga dan neraka diserahkan sepenuhnya kepada para imam. Mulai dari kebangkitan dari kubur, melewati titian, menjalani proses timbangan, dan yang terakhir keputusan seseorang akan masuk surga atau neraka berada di tangan para imam. Namun dalam pandangan sunnah, perkara masuk surga dan neraka adalah berada di tangan Allah semata, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamith, ia berkata, Rasululllah saw bersabda,
(مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ)
Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersaksi pula bahwa) surga adalah benar adanya dan nerakapun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya kedalam surga betapapun amal yang telah diperbuatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

 Qadha dan Qadar (Takdir).
            Takdir merupakan rukun iman terakhir yang wajib diyakini oleh umat Islam. Dan dalam pembahasan ini terdapat dua kata yaitu qadha dan qadar. Kedua istilah ini serupa tapi tak sama, sebab keduanya mempunyai makna yang berbeda. Dari segi etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Maturidi bahwa qadha diartikan sebagai keputusan, sedangkan qadar diartikan sebagi ketentuan[48].  Sedangkan dari segi terminologi, qadar adalah takdir Allah sejak zaman azali, sedangkan qadha` adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika sesuatu itu terjadi . Oleh karena itu, kalau Allah menetapkan terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan, maka itulah yang dinamakan qadar. Dan ketika telah datang masa waktu terjadinya sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan qadha’. Dengan demikian qadar wujud lebih dulu dibanding qadha, sebab qadha menyusul di belakang setelah adanya qadar.
            Bila kita teliti dalam permasalahan takdir, syi’ah cenderung kepada pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru[49].
Di sinilah titik perbedaan antara pandangan sunni dan syi’ah dari satu sisi, dan di sini jugalah titik persamaan antara syi’ah dengan Mu’tazilah. Sunni yang diwakili oleh dua golongan besar,  yaitu: Asy’ariah dan Maturidiyah, berkeyakinan bahwa Allah menciptakan perbutan manusia, dan manusia yang melakukan perbutan yang Allah ciptakan tersebut[50].
Di samping itu perlu disebutkan di sini bahwa golongan sunni, syi’ah dan mu’tazilah sama-sama mengkritik pandangan golongan Jabariah (Fatalisme), yang berasumsi bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, dan tidak  mempunyai pilihan. Punulis tidak perlum memaparkan lebih jauh tentang masalah ini, karena silang pendapat dalam masalah ini tidak begitu jauh antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam artian, polemik antara sunni dan syi’ah dalam masalah ini tidak berakibat fatal, seperti halnya polemik pada rukun-rukun iman yang lain.
Ada beberapa perbedaan lain yang sangat signifikan yang diyakini oleh golongan syi’ah Imamiyah selain perkara-perkara rukun di atas, yaitu:
1)     Khalifah diwasiatkan secara nash dan bersifat turun temuran.
2)     Imam adalah terpelihara dari dosa dan noda, alias bersifat ma’shum.
3)     Meyakini adanya raj’ah (kebangkitan kembali)[51].
4)     Memaki para sahabat Nabi dan ummahatul mukminin.
5)     Menghalalkan nikah Muta'h.
6)     Menolak ijma’ & qiyas. (dalam masalah ini terjadi perdebatan intern antara sesama syi’ah sendiri. Yaitu antara dua kelompok: al-Akhbariyyun (al-Nashiyyun, al-Muhadditsun), dan kelompok al-Ushuliyyuun (Madrasah ar-Ra’yi, Madrasah at-Ta’wil).
7)     Tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Sunnah.
Tentunya masih banyak lagi permasalahan selain yang penulis sebutkan di atas.
           Apabila menoleh ke sejarah Islam, imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat lahirnya konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah syi’ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah). Sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri`asah). Dalam pandangan politik syi’ah dikatakan bahwa imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, mesti diyakini bahwa Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw. Oleh sebab itu, syi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
Dengan demikian konsep imamah dijadikan sebagai rukun agama oleh seluruh penganut dan golongan syi’ah. Sementara ahlu sunnah men­jadikan imamah hanya sebatas sebuah kajian fiqh saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, imamah itu adalah pangkat atau ja­batan yang ditentukan oleh Allah swt, oleh karena itu posisi imam itu mereka sama­kan dengan posisi Nabi. Dan kalau Nabi di­pilih langsung olehi Yang Maha Kuasa, maka imam dipilih oleh Nabi Muhammad saw. Dan pilihan beliau jatuh kepada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa syi’ah se­cara tidak langsung memasukkan sistem pe­merintahan teokrasi dalam Islam dan per­adaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep imamah ini, maka umat tidak berhak memilih se­orang imam, karena pemilihan imam me­rupakan ketentuan Ilahi.
                  Mereka menggunakan banyak landasan. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll mereka inter­pretasikan sebagai konsep Imamah. Seperti firman Allah swt:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) -النساء: 59-.
            "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. an-Nisaa`: 59).
Ayat" Yaa ayyuhallazdina amanu ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah para imam-imam syi’ah dan keturunannya. Dan pendapat ini disepakati oleh seluruh golongan syi’ah yang terbesar, yaitu: syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah[52]. Begitu juga halnya dengan Akhbar (hadits), seperti wasiat Rasulullah saw pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’. Yaitu manakala Rasulullah saw mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku[53].
Namun, kalau kita renungkan dengan teliti ucapan-ucapan Rasulullah saw dalam haji Wada’, sebenarnya tidak ada dalam ucapan dan penyebutan Rasulullah saw mengenai khilafah, melainkan beliau hanya menyebutkan tentang kebaikan, keutamaan (afdaliyah) imam Ali terhadap apa-apa pengorbanan yang telah disumbangkan kepada umat Islam ketika itu. Oleh karena itu, syi’ah merasa tidak cukup puas untuk menjadikan peristiwa Ghadir Kham sebagai argumentasi mereka, sehingga mereka berusaha mencari dalil-dalil lain yang boleh menguatkan keyakinan mereka[54]. Dan untuk men­guatkan peristiwa ini, salah seorang ulama syi’ah Imamiyah bernama  Abdul Husain Ahmad al-Amini mengarang sebuah buku sebanyak 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab). Dan pe­riwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari kalangan mereka sendiri, karena bagi syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah, hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’shum dalam semua tingkatan.
Setelah memaparkan bentuk-bentuk perbedaan keyakinan, kepercayaan (ideologi) dan politik yang dianut oleh masing-masing golongan sunnah dan golongan syi’ah Imamiyah, maka kita boleh menilai secara objektif tentang pandangan bahwa “Tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni” atau “Perbedaan hanya sedikit dan bersifat furu’iyah bukan asas”.  Menurut hemat penulis, pandangan ini sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?. Kalau beda tipis kenapa ada gerakan syiahisasi di kalangan sunnah?. bukankah bagus kalau masing-masing berjalan sesuai akidah keyakinan sendiri tanpa menjajah ideologi golongan lain?.
Pemaparan di atas telah membuktikan bahwa perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat fundamental.
Wallah A’lam.


[1] Syekh al-Ghazali, Kaifa Nafham al-Islam, hal: 144-145.
[3] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 100, Muassasah al-A’alami, Lebanon.
[4] Kajian perbandingan ini dipertajam oleh beberapa karya penulis yang telah diterbitkan dan dalam proses terbit, seperti: (1) “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliah wa Falsafatuha”, Terbitan Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon 2009. (buku tersebut asalnya desertasi Ph.D, Cairo Univesity, dan saat ini dijadikan referensi kajian Syi’ah di Harvard University, dan dapat ditemui dalam koleksi perpustakaan United Kingdom “British Library”, Call Number: YP.2010.a.4230), (2) “al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha”, terbitan USIM 2009. (3) “al-Mazahib al-Aqaidiyah al-Islamiyah”, terbitan USIM, 2010, (4) “Nasy’at al-Firaq wa Tafarruquha”, dalam proses terbit di Darul Kutub Ilmiyah, Beirut-Lebanon. (5) Perseteruan Politik: Syi’ah vs Syi’ah & Tanggapan Sunnah, dalam proses terbit di Dar’ami Publishing, Jakarta-Indonesia. dan silahkan lihat wawancara penulis tentang "LATAR BELAKANG MENEKUNI KAJIAN SYI’AH DI CAIRO UNIVERSITY". *Diterbitkan oleh Buletin FK el-Baiquni, Cairo-Egypt 2003 & Revisi 2010.http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/07/wawancara-tentang-syiah-2003.html.    
[5] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[6] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[7] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[8] Al-Qadhi an-Nu’man, kitab Da’aaim, 1/2
[9] Amir Muhammad al-Qazawayni, as-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, hal: 24.
[10] Lihat usaha-usaha beliau dalam menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah pada bukunya yang berjudul “as-Syi’ah wa at-Tasyayyu’”.
[11] Al-Hurru al-‘Aamili, Wasaail as-Syi’ah, 2/665. Tahziib al-Ahkam, 1/8.
[12]  Lihat beberapa tafsir mu’tabar syi’ah: al-‘Iyasyi, 1/62. Al-Burhan, 1/157. As-Shafi, 1/92.
[13] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/143-144.
[14] Tafsir al-‘Iyaashi, 2/42. al-Majlisi, Bihaar al-Anwaar, 94/22. an-Nuuri at-Thabrisi, Mustadrak al-Wasaail, 1/371.
[15] Ibnu Babwaih, at-Taudih, hal 149.
[16] Lihat rinciannya pada buku penulis, Mauqif az-Zaydiah wa Ahli as-Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, hal: 185-190, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[17] Muhammad Husein al-Ghitah, Ashlu as-Syi’ah w aUshuluha, hala: 58.
[18]  As-Sayyid Hasyim al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[19]  Lihat. Wasaail as-Syi’ah, 10/318.
[20] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 26/345.
[21] Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah).
[22] Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[23] Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[24] Biharul Anwar, 26/42.
[25] Muhammad Ibnu Jarir bin Rustum at-Thabari, Dalaail al-Imamah, hal: 27-28.
[26] Suhuf  bentuk jama’ dari Shahiifah, artinya lembaran, memiliki beberapa sinonim dalam bahasa Arab, yaitu: Waraqah, Ruq’ah, Tirsun dan Qirthaasun. Lihat: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, kamus “Syawarifiyyah”, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 368.
[27] Riwayat ini disebutkan di berbagai kitab-kitab Syi’ah, lihat: al-Kulayni, al-Kaafi, 1/527-528. Ikmaal ad-Din, Ibnu Babwaih al-Qummi, hal: 301-304.
[28] al-‘Allamah As-Sayyid Ali al-Husaini al-Milani (intelektual syi’ah kontemporer) mengarang sebuah buku yang berjudul “  عدم تحريف القرآن” yang artinya: Tidak ada penyelewengan al-Qur’an. Buku ini dicetak oleh Markaz  al-Abhats al-‘Aqadiyyah. Sebuah pusat kajian syi’ah di Iran.
[29] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 33-34.
[30] Lihat ketegasan ulama-ulama syi’ah tentang “Tahrif” dalam tafsir “as-Shaafi”, imam al-Faidh al-Kaasyaani, tafsir “al-‘Iyasyi”  imam al-‘Iyasyi.
[31] Lihat: DR. Musa al-Musawi, as-Syi’ah wa at-Tashih, hal: 131-132.
[32] Lihat : Footnote hal: 53.
[33] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 17/155, 54/237.
[34] Ibnu Babwaih, I’tiqaadaat, hal 106-107.
[35] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 26/297.
[36] Husain bin Abdul Wahab, ‘Uyuun al-Mu’jizaat, hal, 17- 57.
[37] Hasyim al-Bahrani, Yanaabi’ al-Ma’aajiz, hal: 35-37. Madinah al-Ma’aajiz, hal 9-16.
[38] Lihat pada buku tersebut di atas hal: 58.
[39] Untuk penjelasan rinci tentang kritikan syi’ah Zaidiyah terhadap syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dalam masalah ini, dipersilahkan membaca buku penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuh, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[40] Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islamiyyin, 1/120.
[41] Al-Mufid, Awaail al-Maqaalat, hal 42-43.
[42] DR. Kamaluddin Nurdin,  “Syawarifiyyah”, Kamus sinonim Arab-Indonesia, hal: 622.
[43] Perlu disebutkan bahwa dalam kitab perjanjian lama hari kiamat dinafikan, sedangkan dalam perjanjian baru hari kiamat diakui. Lihat kajian: DR. Mohd Ali al-Khuli, al-Islam wa an-Nashraniyah, hal: 6, Darul Fala, Yoradania, 2000.
[44]Al-Kulayni, Ushul al-Kafi, 1/409.
[45] Lihat: Ibnu Bahwaih, al-I’tiqaad, hal: 106-107. As-Sayyid Hasyim al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[46] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 27/79.
[47] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 60/215-218.
[48] Lihat: Maturidi, kitab at-Tauhid, hal: 305-307.
[49] Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal: 324.
[50] Untul Lebih jelasnya: lihat buku penulis: al-Mazahib al-‘Aqaaidiyah al-Islamiyah, Universiti Sains Islam Malaysia, 2010.
[51] Hakikat Raj’ah diperselisihkan oleh syi’ah Imamiyah, lihat buku penulis, al-Aqidah al-Islamiyah Fi Dhau` ad-Dirasat al-Kalamiyah, hal: 35-60.
[52] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni: al-Firaq as-Syi’iyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha, hal: 63-68, Universiti Sains Islam Malaysia, 2009.
[53] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/324. al-Qadhi an-Nu’man, al-Azjuuza al-Mukhtarah, hal: 71.
[54] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha, hal: 323-397, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.

0 komentar:

Post a Comment