Sunday, October 31, 2010

Ajaran Sesat Dalam Aliran Teologi Islam (Vol II)

AJARAN SESAT DALAM ALIRAN TEOLOGI ISLAM
(bagian II)
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Di samping posisi beliau sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga menduduki jabatan sebagai pemimpin Negara, sehingga ketika beliau wafat komuniti masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara. Permasalahan ini sampai mengganggu prosesi pemakaman beliau, dan mereka mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka pada saat itu.
Selanjutnya, muncul persoalan ‘Khilafah’, yaitu soal pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai kepala Negara. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad saw., dan diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman r.a. timbul pertikaian di antara sesama umat Islam yang mengakibatkan berlakunya peristiwa pembunuhan Usman bin Affan, khalifah yang ketiga.
Peristiwa pembunuhan Usman menimbulkan munculnya perseteruan antara Mua’wiyah dan Ali, di mana pihak Mu’awiyah menuduh pihak Ali sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga berlanjut dalam memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Mu’awiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.
Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.
Hal ini menandakan bahwa persoalan teologis dalam Islam berawal dari masalah politik, sehingga memberikan pengaruh dan kesan besar terhadap perpecahan umat Islam, bahkan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan sosial masyarakat. Dan terkadang masyarakat itu sendiri ikut langsung terlibat di dalam ranah politik, sehingga berbagai kalangan dan tingkatan sosial di masyarakat bersaing untuk menjadikan pilihan politiknya berkuasa.
Dalam perkembangan seterusnya, masalah politik meningkat menjadi masalah teologi [1]. Dan peningkatan ini bersifat negatif, sebab membuat percampuran antara politik dan ideologi yang semestinya harus dipisahkan. Efek yang timbul dan nyata dari perkembangan tersebut adalah antara sesama penganut agama Islam saling menyalahkan dan menyesatkan, bahkan mengkafirkan. Keadaan ini membuahkan hasil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab aqidah (ideologi) yang tadinya murni, dan bertujuan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang, mengembangkan persaudaraan Islam (Ukhuwah al-Islamiyah), akibat pengaruh politik justru menjadi sebaliknya. Keimanan menjadi rapuh, ketaqwaan semakin melemah, tali persaudaraan menjadi terputus, akibat berbagai masalah serta problema yang dimunculkan oleh keadaan yang tidak dapat dibendung.
Sebagai contoh yang nyata, peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi tekanan penguasa kepada beliau untuk mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluq, namun dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah.
Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan komitmen yang tinggi dalam hati Imam Ahmad bin Hambal maka pada akhirnya aqidah kaum muslimin terselamatkan dari tekanan dan pemaksaan penguasa yang menggunakan landasan ideologi Mu’tazilah.
Dan yang menarik perhatian adalah ketika ada seseorang yang berkata kepada imam Ahmad bin Hambal: “Semoga Allah menghidupkan engkau di atas Islam”, maka beliau menjawab : “dan sunnah.” Ia berucap seperti itu karena ia mengerti bahwa umat Islam telah berpecah dalam berbagai firqah, sekte dan kelompok, maka ia melengkapi doanya dengan kata “dan sunnah”, yang maksudnya, ia dihidupkan di atas Islam dan sunnah yang tidak dicampuri oleh berbagai macam bid’ah, termasuk di dalamnya politik.
Inilah contoh yang jelas ketika politik dan aqidah dicampuradukkan dan dipolitikkan. Dan dari sini dapat dikatakan jika tidak terjadi perpecahan politik di kalangan umat Islam niscaya kesatuan dan persatuan akan tercapai.
Namun perlu diingat bahwa ajaran sesat atau penyelewengan akidah ini bukanlah suatu masalah dan problematika baru, melainkan telah muncul sejak sebelum wafat Nabi Muhammad saw, di mana telah muncul beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai nabi selepas Rasulullah saw. Dan mereka menyebarkan ajaran-ajarannya kepada umat Islam pada masa itu. Seperti yang tercatat dalam sejarah Islam, yaitu seseorang yang bernama Musailamah, yang kemudian diberi gelaran sebagai al-Kazzab, Thalhah al-Asady dari Kabilah Bani Asad, dan al-Aswad al-Anusi di Yaman.
Perlu disebutkan bahwa para sahabat Nabi Muhammad saw, menerima ajaran aqidah dari Rasulullah saw dengan penuh ketaatan dan lapang dada (Sam’atan wa Tha’atan), oleh karena itu, tidak pernah sedikitpun terlintas di dalam hati para sahabat problema aqidah. Meskipun mereka terkadang bertanya kepada Rasulullah saw tentang permasalahan agama, tapi hanya sekedar untuk mendapatkan petunjuk dan penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
Dalam hal ini, Ibu Abbas r.a berkata: ”Saya tidak pernah menemukan suatu kaum yang lebih baik dari pada para sahabat Rasulullah saw, sebab mereka hanya bertanya kepada Rasulullah saw seputar al-Qur’an, seperti: masalah hukum haid, haji, dan anak yatim, dan mereka bertanya demi mendapatkan manfaat belaka”[2].
Syeikh Thasy Zadah menegaskan hal tersebut: ”Sesungguhnya para sahabat di masa Rasulullah masih hidup di tengah-tengah mereka, di bangun atas satu kesatuan aqidah, karena Rasulullah memang berada di sekeliling mereka dan berinteraksi langsung dengan mereka, sehingga Rasulullah menghilangkan dari diri mereka segala yang berbau sesat, ragu dan momok (khayalan)”[3]
Disebutkan dalam buku-buku sejarah sekte-sekte teologi islam, bahwa asas ajaran sesat pada awal kemunculannya dipelopori oleh tiga golongan, yaitu: Khawarij yang muncul pada tahun 37 Hijriyah, Syi’ah dan Qadariyah. Dan ketiga golongan ini kemudian berkembang pesat sehingga sebagian golongan-golongan teologi islam dihinggapi penyakit kesesatan.(Bersambung)
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
BA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)
Senior Lecturer
Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA
Catatan:
[1] Disebutkan dalam Encyclopedia Britannica bahwa golongan Syi’ah (sebagai pendukung imam Ali), pada awalnya merupakan partai politik (Harakah as-Siyasiyyah) kemudian berkembang menjadi gerakan Islam (Harakah al-Islamiyah). (vol.20) (Chicago، William Benton، 1968) p.393. gerakan Islam inilah yang dikenali kemudian sebagai “al-Firaq al-Islamiyah”, “al-Firaq al-Kalamiyah” dan “at-Tayyarat al-Kalamiyah”, dan berbagai ragam istilah lainnya.
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-I’lam, 1/71.

Tuesday, October 19, 2010

(Vol 1) Ajaran Sesat Dalam Aliran Teologi Islam

http://www.eramuslim.com/syariah/tsaqofah-islam/dr-kamaluddin-nurdin-marjuni-ajaran-sesat-dalam-aliran-teologi-islam-bagian-i.htm

Ajaran Sesat Dalam Aliran Teologi Islam (bagian I)

 DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Belakangan ini muncul beberapa ajaran dan aliran sesat di tengah masyarakat dan komunitas islam. Dan tak henti-hentinya kita mendengar adanya komuniti ajaran sesat di dalam berita, akhbar, siaran, majalah dan media masa lainnya, yang tentunya ajaran tersebut sangat meresahkan dan membimbangkan serta mengganggu proses kehidupan agama.
Bukan saja di negara-negara Asean seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, bahkan ajaran sesat ini banyak dijumpai di negara-negara Arab, sehingga timbul beberapa pertanyaan apakah ajaran-ajaran yang muncul saat ini merupakan kontinuitas daripada ajaran-ajaran sesat yang sudah ada sebelumnya, atau merupakan ajaran baru yang tiada hubungan dengan ajaran-ajaran sesat dalam aliran teologi islam. Inilah yang melatar belakangi penulisan artikel ini, dengan tujuan untuk mengkaji dan melacak sejarah ajaran-ajaran sesat yang tercatat dalam kitab-kitab klasik.
Sebelum menguraikan ajaran-ajaran sesat dalam teologi Islam, ada baiknya kalau dipaparkan faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ajaran-ajaran sesat. Sejauh penilaian penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya ajaran-ajaran sesat, di antaranya:
  • Bodoh tentang agama (اَلْجَهْلُ بِالدِّيْن). Perkara ini terjadi disebabkan karena beberapa hal, seperti, ketidak inginan seseorang mepelajari hakikat syari’at Islam dan aqidah Islam. Adakalanya belajar agama tapi tidak tamat, dalam artian setengah-tengah atau tanggung-tanggung, sehingga terjadi kesamaran dan tidak jelas dihadapannya yang hak dari yang batil, maka ia menganggap yang hak adalah batil dan yang batil adalah hak.
  • Konflik politik dan Politisasi Agama (َالْخِلاَفُ السِّيَاسِيُ وَتَسْيِيْسُ الدِّيْن) sebagaimana yang terjadi dalam sejarah penubuhan sekte-sekte teologi Islam).
  • Unsur kesengajaan (اَلتَّخْرِيْبْ), alias mempunyai niat jahat untuk menghancurkan sendi-sendi agama sehingga melakukan ”sabotase”. Usaha semacam ini identik dengan usaha yang dilakukan oleh kalangan sekuler dan liberal, melalui berbagai propaganda, seperti menamakan diri sebagai gerakan: rasionalis (al-‘Aqlaniyah), pencerahan (at-Tanwir), kebangkitan (an-Nahdhah), dan terminologi-terminologi lain yang mungkin dapat membuat sebagian orang merasa tertarik dan terpengaruh. Sebab slogan-slogan tersebut mengandung semangat kemoderenan (sprit of the times). Namun pada hakikatnya adalah "Tazwir ad-Din wa al-Afkar" (Mengaburkan agama, baik yang berkaitan dengan syari’at ataupun aqidah). Atau sekurang-kurangnya dengan bahasa yang lebih halus ”Reformasi Wacana keIslaman”, yang di dunia arab dikenal dengan istilah: ”Tajdid al-Din atau al-Khitab al-Islami”. Ada juga istilah yang baru-baru ini muncul, yaitu: ”Tathwir ad-Din” (Mengembangkan agama), yang kesemuanya ditopang dengan konsep barat yang dikenal dengan: ”Hermeneutika”. Pada 23/01/2010-eramuslim.com. penulis telah menulis sebuah artikel dengan judul ”Konsep Ta’wil Bathiniyah & Pengaruhnya Terhadap Hermeneutika (Liberal)”,
  • Keliru dalam memahami konsep agama atau metode istinbat (خَطَأُ الْفَهْمِ عَنِ الدِّيْنْ), seperti kurangnya pengetahuain tentang kaedah-kaedah dalam berbagai disiplin ilmu Islam, ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir dan ilmu hadits. Sebagaimana yang terjadi dalam syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Imamiyah, mereka tidak membedakan ayat muhkamat ataupun ayat mutasyabihat, oleh karena itu seluruh ayat al-Qur’an bagi mereka dapat dita’wilkan sesuai pemahaman dan tuntunan mazhab mereka.[1]
  • Berlebih-lebihan atau menganggap remeh ajaran agama (اَلإِفْرَاطُ وَالتَّفْرِيْطُ) atau dengan kata lain: ekstrim dan radikal, sehingga menimbulkan sifat ta’assub (merasa paling benar). Sifat ini telah digambarkan oleh Qur’an dalam beberapa firman Allah Swt:
  • (وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ)
  • “Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". (al-Baqarah:170).
Pada ayat lain Allah menegur Ahlu Kitab atas perbuatan ekstrim yang dilakukan oleh mereka:
(يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ)
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”. (an-Nisa:171).
Imam at-Thabari dalam tafsir ”Majma’ al-Bayan”, menyebutkan bahwa ayat di atas ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, di mana Allah swt mengecam berbagai ideologi mereka, Nasrani mengatakan bahwa Isa as adalah anak Allah, sebagian mengatakan bahwa Isa adalah Tuhan dan terlebih lagi dengan konsep Triniti yang dicipta sendiri oleh mereka. Begitu halnya dengan Yahudi yang melekatkan sifat-sifat bagi Allah, namun tidak layak bagi-Nya, seperti anggapan bahwa Allah hanyalah sekedar zat yang fakir, tangan Allah terbelenggu dan sebagainya.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah saw melarang umatnya bersikap ekstrim terhadap dirinya:
(وَلاَ تَطْرُوْنِي كَمَا أَطَرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَم، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا: عَبْدَ اللهِ وَرَسُوْلَهُ)
“Janganlah kamu sekalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana umat Nasrani memuji Isa, sebab saya hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah bahwa saya ini hamba Allah dan utusan-Nya”. (Riwayat Bukhari).
Oleh karena itu Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kesesatan berpikir dan bid’ah-bid’ah yang ditimbulkan oleh golongan Khawarij bukanlah karena mengingkari agama atau menolak kebenaran agama, tetapi karena kebodohan dan kesesatan dalam memahami makna-makna al-Qur’an. Di tempat lain Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa: ”Penyebab terjadinya kesesatan pada sebagian kalangan pengamal tasawwuf adalah karena keyakinan mereka yang mendalam dan berlebihan (ekstrim) terhadap para nabi dan para ulama shaleh (Waliyullah)”[2] .
(وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً) -نوح:23-.
Dan mereka berkata:"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr", (QS. 71:23).
Perkara ta’assub (fanatisme) ini sebenarnya sudah dinafikan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah berkata: ”tidak sah bagi seseorang mengikuti pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana sumbernya” [3]. Dengan nada yang sama pendiri mazhab Maliki, yaitu imam Malik dengan tegas menyatakan: ”Saya hanyalah manusia biasa, pandangan saya boleh salah dan betul, oleh karena itu teliti terlebih dahulu pandangan saya, kalau pandangan saya sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah maka silahkan ambil, namun kalau ternyata tidak sesuai maka silahkan tinggalkan pandangan tersebut” .
Sedangkan pernyataan imam Syafi’i dalam hal ini: ”segala masalah yang memiliki sandaran dari Rasulullah Saw, namun bertentangan dengan pandanganku, maka saya akan tarik kembali pandangan tersebut, baik ketika saya masih hidup atau sesudah aku mati” [5].
Tidak ketinggalan imam Ahmad bin Hanbal menyikapi segala bentuk ta’assub mazhab dan menyerukan untuk kembali kepada sandaran pendapat bagi masing-masing mazhab. Beliau berkata: ”jangan engkau mengikuti pandanganku, begitupun pandangan Malik, Syafi’i, Auza’i dan at-Thauri, tapi ambillah pandangan mereka dari sumber aslinya” [5]
Ini sebahagian dari faktor dan motif timbulnya ajaran sesat, dan merupakan sentral kesesatan yang beredar dan berkembang dari zaman klasik sehingga zaman sekarang (kontemporari). Oleh karena itu penulis tidak menafikan adanya faktor lain selain 5 point yang telah disebutkan di atas.
DEFINISI AJARAN SESAT
Ajaran adalah sebuah aqidah dan ideologi, atau sering disebut dan dinamai sebagai kepercayaan. Dari segi etimologi ”Aqidah” berasal dari perkataan arab: “عَقَدَ”, yang artinya mengikat, ikatan dan simpul, diartikan juga sebagai kontrak, transaksi dan perjanjian”. Disebutkan dalam kamus ”Syawarifiyyah” perkataan ’Aqada’ disinonimkan dengan: ”عَهِدَ” dan ”وَثَقَ” .[7]7
Oleh karena itu Aqidah diartikan sebagai “Ikatan yang erat kokoh dan pegangan yang kuat”. Dikatakan demikian, karena aqidah tidak menerima hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan.
Dalam agama Islam, aqidah berbentuk keyakinan, dan bukan berbentuk amalan (Practical) atau perbuatan. Seperti seseorang berkeyakinan tentang eksistensi (keberadaan) Allah swt, dan keyakinan tentang diutusnya seorang Nabi dan Rasul. Bentuk plural daripada Aqidah adalah (Aqaa`id) [8].
Adapun dari segi terminologi, aqidah bermakna: “Perkara-perkara yang dibenarkan dan diakui sepenuhnya oleh hati manusia, dan merasa tenang dengan keyakinan tersebut, oleh karena itu tidak timbul sama sekali keraguan dalam hatinya”. Dengan demikian, Aqidah itu adalah suatu ajaran yang diyakini oleh seseorang dengan penuh keyakinan, sama halnya keyakinan itu baik ataupun buruk.
Aqidah Islam adalah keimanan dan kepercayaan yang penuh dan mantap terhadap Allah swt, para Malaikat, Kitab-Kitab, para rasul,hHari kiamat, qadha dan qadar (takdir ilahi), percaya sepenuh hati terhadap kejadian-kejadian di alam ghaib serta pokok-pokok ajaran agama, dan tunduk terhadap perintah dan segala keputusan yang ditetapkan oleh Allah, juga mengikuti ajaran agama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam bahasa arab, terdapat beberapa penamaan tentang ajaran-ajaran sesat, diantaranya: “al-’Aqaa`id az-Zaighah”, “al-‘Aqaa`id ad-Dhaalah” dan ”al-’Aqaa`id al-Munharifah”. Dan istilah terakhir ini yang banyak digunakan oleh ulama, dan kesemuanya bermaksudkan ajaran sesat, yaitu segala ajaran atau amalan yang dianggap sebagai ajaran Islam, namun pada hakikat dan intinya berlawanan dan tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.
Dan istilah “ad-Dhalaalah atau ad-Dhaalah” sendiri sering digunakan oleh Ibnu Hazam dalam kitabnya “al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal” [9], terutama ketika mengkritisi pandangan-pandangan Syi’ah dan Mu’tazilah.
Sementara para ulama nusantara, memberikan pengertian yang sama tentang ajaran sesat sebagai ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam atau orang-orang bukan Islam yang mendakwa bahwa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam, atau berdasarkan kepada ajaran Islam; sedangkan pada hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa itu bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Sunnah, serta bertentangan dengan ajaran ahli Sunnah Wal Jamaah” [10].
Perlu diungkapkan di sini bahwa ajaran sesat sebenarnya sangat erat dengan masalah bid’ah, sebab bid’ah itu sendiri memiliki makna dan haluan kepada kesesatan. Dan definisi bid’ah adalah sebagi berikut:
Bid'ah menurut etimologi, berasal dari kata "bada'a" yang berarti menciptakan, Abda'tu Assyai': menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan kata “Abda'a, Ibtada'a dan Tabadda'a” berarti mendatangkan sesuatu yang baru. Dan kata Badi' adalah bermakna hal-hal baru yang aneh [11]. Sesuatu yang baru tidak selamanya berarti baru secara mutlak, karena bisa jadi dia adalah hasil dari pembaharuan dan pengembangan apa-apa yang telah ada sebelumnya yang ditampilkan dalam bentuk dan gaya atau style yang baru.
Dari segi terminologi, para ulama berselisih faham tentang konsep Bid’ah, yaitu:
Pertama:
Imam Nawawi memperluas pemahaman bid’ah. Menurutnya, bid’ah adalah segala sesuatu yang belum dan tidak pernah wujud serta terjadi pada zaman Nabi saw. Dan dia berpendapat bahwa bid’ah terbagi kepada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah [12]. Pengertian dan pembagian ini telah disuarakan sebelumnya oleh salah seorang ulama mazhab Syafi’i, yaitu imam Izzuddin bin Abdul as-Salam. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw adalah Bid'ah.
Dan menurut pendapatnya bid’ah itu terbagi kepada lima bagian, yaitu: Bid'ah Wajibah (Wajib), Bid'ah Muharramah (Haram), Bid'ah Makruhah (Makruh), Bid'ah Mandubah (Sunnah) dan Bid'ah Mubahah (boleh). Dan untuk mengetahuinya, maka bid’ah tersebut haruslah diukur berdasarkan Syari’at. Apabila bid'ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at berarti bid'ah itu wajib, apabila termasuk ke dalam perbuatan yang diharamkan berarti haram, dan seterusnya [13] .
Dalam kitab Manaqib Assyafi'i, menurut riwayat Baihaqi, Imam Syafi'i berkata: “Segala hal baru (bid'ah) ada dua macam, pertama: bid'ah yang bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma' inilah bid'ah Dhalaalah (sesat). Kedua: Apa-apa yang baru (bid'ah) yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Quran maupun as-Sunnah, atsar dan Ijma', maka hal itu tidak tercela.
Dalam nada yang sama Ibnu Atsir mengatakan: “Bid'ah itu terbagi menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Jika bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka bid'ah itu termasuk golongan sesat dan tercela, namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianjurkan oleh agama maka bid'ah itu tergolong kedalam bid'ah yang terpuji. Bahkan menurut beliau, bid'ah hasanah pada dasarnya adalah sunnah”[14] .
Kedua:
Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali dalam penjelasannya tentang pengertian bid’ah adalah: hal-hal yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam dalil syari’at. Adapun jika bid'ah itu sesuai dengan syara' berarti ia tidak digolongkan sebagai Bid'ah meskipun secara etimologi bermaknakan bid'ah [15]. Pengertian ini menunjukkan artian yang sempit terhadap bid’ah, sebab baginya, bid’ah adalah perihal baru yang tercela saja, maka dari itu tidak ada penamaan-penamaan bid’ah (hasanah, sayyi`ah, wajib, makruh dll) seperti pengertian di atas. Jadi yang dikategorikan sebagai bid’ah adalah perkara yang haram saja.
Pada hakikatnya, kedua pandangan di atas tidak kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. Sebab tujuannya sama, yaitu bahwa bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada landasan dalam syari’at. Dan yang membedakan hanyalah bagaimana cara untuk membuat gambaran bahwa bid’ah yang tercela adalah perbuatan atau amalan yang tidak berdasarkan kepada syari’at, dan tidak sesuai dengan nilai dan ajaran agama [16].
Di samping itu, perkara yang dilakukan mendatangkan mudharat dalam kehidupan agama. Itulah yang dimaksud dengan hadis Rasulullah saw. "Kullu Bid'atin Dhalaalah", atau semua bid’ah sesat. Jadi kesimpulannya, tidak semua bid'ah itu dilarang atau diharamkan, yang dilarang adalah bid'ah yang bertentangan dengan agama .
Adapun argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan sayyi`ah, adalah sebagi berikut:
1) Rasulullah saw. bersabda:
(مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يُنْقَصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يُنْقَصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا)
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik dalam Islam, maka ia sendiri akan mendapatkan pahalanya dan pahala dari orang yang melakukan kebaikan itu setelahnya, tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka. Begitu juga, barang siapa yang membuat perkara buruk, maka ia sendiri akan memperoleh balasannya serta balasan orang yang melakukan keburukan itu setelahnya, tanpa sama sekali dikurangi dosa-dosa orang-orang tersebut”. (Riwayat Muslimim).
Senada dengan hadits di atas, Rasulullah saw bersabda:
(مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukan perkara baik itu sampai hari kiamat, dan barang siapa membuat perkara buruk, maka ia akan mendapatkan balasannya dan balasan orang yang melakukan perkara buruk itu sampai hari kiamat”. (Riwayat Muslim)
Masih banyak lagi hadits yang senada dan seirama dengan hadits-hadits yang telah dipaparkan diatas, dan kesemuanya menunjukkan tentang adanya pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi`ah.
2) Ibnu Umar menamakan shalat Dhuha secara berjamaah di mesjid dengan nama Bid'ah, padahal hal itu merupakan perbuatan yang terpuji. Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: saya dan 'Urwah bin Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di kamar Aisyah ra., sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang tersebut, dan beliau menjawab "Bid'ah".
3) Perkataan Umar ra. tentang shalat tarawih secara berjamaah di mesjid pada bulan ramadhan:"نِعْمَةُ الْبِدْعَةِ هَذِهِ ", diriwayatkan dari Abdurahman bin Abdu al-Qari, ia berkata: Suatu malam pada bulan ramadhan, saya keluar bersama Umar bin al-Khattab ra. ke mesjid di mana orang-orang terpecah dan terbagi-bagi dalam melaksanakan shalat tarawih sendiri-sendiri, Umar ra. berkata:"saya melihat jika orang-orang tersebut dikumpulkan dibelakang seorang imam pastilah sangat indah". Maka beliaupun menyuruh Ubay bin Ka'ab untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah. Pada malam yang lain ketika saya keluar kembali bersama Umar ra., orang-orang telah shalat tarawih secara berjamaah di mesjid, maka umar ra. pun berkata:"Ni'mat al-bid’ati hazihi".
Oleh karena itu, Mayoritas ulama dari berbagai mazhab, seperti Izzuddin bin Abdu Assalam dari mazhab Syafi’i, an-Nawawi dan abu Syamah dari mazhab Maliki, al-Qarafi dan az-Zarqani dari mazhab Hanafi, Ibnu Abidin dari mazhab Hambali, Ibn Al Jauzi serta Ibnu Hazam dari mazhab ad-Dzahiriah, kesemuanya sependapat bahwa bid'ah itu terbagi menjadi dua bahagian, yaitu : bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran sesat terkait erat dengan “bid’ah” dalam agama Islam. Dan memiliki tiga kriteria, yaitu: membuat hal baru, menciptakan permasalahan dalam agama, dan bertentangan dengan syari'at Islam.(Bersambung)
catatan:
[1] Lihat: Kamaluddin Nurdin, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahlu Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatiha, hal: 114-137, Bairut, Darul Kutub al-Ilmiyah. 2009.
[2] Ibnu Taimiyah, Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, hal: 76.
[3] Ibn Abdil Bar, al-Intifaa, hal: 145.
[4] Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, 1/775.
[5] Ibnu Qayyim, I’lam al-Muqi’iin, 2/285.
[6] Ibnu Qayyim, I’lam al-Muqi’iin, 2/201.
[7] DR. Kamaluddin Nurdin, Kamus Syawarifiyyah, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 427.
[8] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, 4/86-87. Ibnu Mandzur, 9/309.
[9] Lihat: 3/79, 87. 4/162, 171. Cairo, Maktabah al-Khanji.
[10] http://www.mymasjid.net.my/koleksi-artikel/display/636.
[11] Ibnu Manzdur, Lisan al-Arab, 8/6, Bairut, Darul Shadir.
[12] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 394.
[13] Izzuddin bin Abdul Salam, Qawa’idu Alahkam fi Mashalihi al-Anam hal:204
[14] Ibnu Atsir, Annihayah hal:80.
[15] Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami' Al ulum wa Alhikam hal:223.
[16] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, hal:248.

Monday, October 4, 2010

Video/Biar Buku Bicara/Peseteruan Politik: Syi'ah vs Syi'ah & Tanggapan Ahlu Sunnah

PERSETERUAN POLITIK
SYI'AH VS SYI'AH & TANGGAPAN AHLU SUNNAH
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
        Promosi terbitan buku ilmiah Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), melalui program TV USIM Biar buku bicara, yang ditayangkan oleh USIM ONLINE, dengan judul: 
الفرق الشيعية وأصولها السياسية وموقف أهل السنة منها 
USIM, Nilai-Malaysia 04/2009 (Hal: 243)
        Insya Allah untuk edisi Indonesia akan terbit pada tahun ini, dengan judul (Perseteruan Politik: Syi'ah vs Syi'ah & Tanggapan Ahlu Sunnah). oleh penerbit Dar'ami Publishing (Owner). Buku ini menceritakan tentang pergolakan politik antara golongan2 syi'ah sendiri, dan bagaimana Ahlu Sunnah menyikapinya, sebab mereka saling menyesatkan bahkan mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya.
       Pada hakikatnya politik (imamah) merupakan penyebab ter­jadinya perpecahan umat, dalam buku ini aliran-aliran syi'ah sendiri terpecah akibat perselisihan politik antara mereka, dan bukan hanya ditahap berselisih faham, tapi sampai kepada tahap sesat menyesatkan dan kafir mengkafirkan, oleh karena itu buku ini dapat memberikan gambaran betapa susahnya menyatukan Sunni dan Syi'ah, sebab Syi'ah sendiri tidak mampu bersatu. Oleh karena itu usaha untuk penyatuan antara kedua golongan tersebut suatu hal yang mustahil.
      Hal ini sudah diprediksikan oleh salah seorang ulama sunni Asy’ariah yaitu Asy-syahrastani dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal, menurut analisa beliau, umat Islam ini terpecah dan saling bersiteru se­panjang zaman dan tak akan berhenti, hanya disebabkan oleh persoalan Imamah (politik), dan pernyataan tersebut ter­bukti kebenarannya sampai saat ini.
      Sebagai perbandingan antara Ahlu Sunnah dengan Syi'ah tentang konsep politik (Imamah), kalau me­nurut pandangan Ahlu Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar agama biasa disebut "RUKUN", rukun dalam agama ada 2, rukun Islam dan rukun Iman. Rukun Islam setelah kalimat tauhid ada 4, seperti berikut, yaitu: (1) Dua kalimat syahadat, (2) Shalat, (3) Puasa, (4)Zakat, (5) Haji. Sedangkan rukun Iman itu ada enam : (1)Iman kepada Allah, (2)Malaikat, (3)Kitab-kitab, (4)Rasul-rasul, (5)hari kiamat (6)Qadha & Qadar. Namun Syi’ah Imamiyah me­nambakan rukun tersebut dengan penambahan Imamah (Percaya kepada Imam Ma'sum), atau dengan rincian lain, rukun agama dalam syi'ah Imamiyah ada 5, hal ini disebutkan oleh al-Kulayni dalam kitabnya "Ushul al-Kafi" yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah. Adapun syi'ah Isma'iliyah Bathiniyah Rukun Islam sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aaim al-Islam", adalah: (1) Wilayah, (2) Thaharah (suci), (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad.  Syi'ah Imamiyah dan syi'ah Isma'iliyah sepakat bahwa wilayah (imamah) adalah rukun yang paling afdhal dibanding rukun lainnya. Nampak jelas  di atas bahwa Sunni dan Syi'ah sangat beda pokok ajarannya, kita bisa me­lihat betapa pentingnya konsep Imamah dalam aqidah Syi’ah, sementara Ahlu Sunnah men­jadikan Imamah sebatas kajian Fiqhi saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, Imamah itu adalah pangkat atau ja­batan yang ditentukan oleh Allah SWT, dengan demikian posisi imam itu mereka sama­kan dengan posisi nabi, dan kalau nabi di­pilih langsung dari yang Maha Kuasa, se­dangkan kalau Imam dipilih oleh Nabi Muhammad yang jatuh pada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa Syi’ah se­cara tidak langsung memasukkan sistem pe­merintahan Teokrasi dalam Islam dan per­adaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep Imamah ini, maka umat tidak berhak memilih se­orang Imam, karena Imam itu sudah me­rupakan ketentuan Ilahi.
      Mereka menggunakan banyak landasan, hampir semua ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berkaitan dengan kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll. mereka inter­pretasikan sebagai konsep Imamah. Seperti firman Allah SWT: “ Yaa ayyuha llazdina amanu Ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah taat kepada Imam-imam Syi’ah. Begitu juga halnya dengan Akhbar, seperti wasiat Rasulullah Saw. pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’, dimana Rasul mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku. Dan untuk men­guatkan peristiwa ini salah seorang ulama Syi’ah Imamiyah bernama : Abdul Husain Ahmad alAmini mengarang sebuah buku yang ter­­diri 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab). Dan pe­riwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari kalangan mereka sendiri, karena bagi Syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah, Hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’sum dalam semua tingkatan, ber­beda dengan Syi’ah Zaidiyah yang memiliki ke­dekatan dengan Ahlu Sunnah dalam fiqh dan akidah, mereka tetap mengakui pe­riwayatan hadits-hadits Sunni.
   Semoga bermanfaat untuk agama khususnya bagi para pemerhati & pengkaji Syi'ah dan aliran-alirannya.
Wassalam
Malaysia