Tuesday, July 27, 2010

ASPEK SOSIAL DI BULAN RAMADHAN

DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni

      Seorang orientalis bernama Ricardo de Monte Croce, pernah mengakui kehebatan sistem pemberlakuan zakat dan sedekah dalam Islam. Ia mengatakan: ”Dalam berkehidupan sosial dengan orang-orang miskin melalui kewajiban zakat, harus diakui bahwa syari’at Islam-lah yang paling pemurah terhadap orang miskin” . Perkataan ini yang membuat penulis tertarik untuk menulis tentang aspek sosial di bulan ramadhan.
      Sesuai dengan tema di atas, maka dalam artikel ini penulis akan mencoba memaparkan dan menyajikan aspek sosial dalam Islam khususnya dalam bulan puasa. Dan untuk sistematiknya, dalam makalah ini penulis akan membahas tiga permasalahan di bawah ini:
a. Perhatian Islam terhadap perbaikan sosial.
b. Tanggung jawab muslim terhadap lingkungan sosialnya.
c. Bentuk aktiviti sosial dalam bulan Ramadhan.
Perhatian Islam Terhadap Perbaikan Sosial
     Bila kita bandingkan agama Islam dengan agama-agama lainnya, baik agama samawi ataupun agama konvensional (Wadh’i), perhatian Islam terhadap perbaikan sosial, belum dapat tersaingi oleh agama lainnya. Karena Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk berkerja dan berusaha demi memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya. Sebagaimana firman Allah swt berikut ini:
(فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ)
     “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Al-Jum’ah: 10.
     Ayat di atas memberikan motivasi kepada kaum Muslimin agar senantiasa berusaha dan bekerja di muka bumi ini dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sebab Islam tidak menyukai kaum muslimin hidup dalam kondisi kefakiran atau hidup bergantung pada uluran tangan orang lain. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw:(اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى)
      “Tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima).
     Di samping itu, kefakiran juga dapat membawa manusia kepada kekufuran. Oleh karena itu, Rasulullah saw telah menegaskan hal itu dengan pasti dalam sabda beliau: (كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا)
     “Kefakiran itu dapat membawa kepada kekufuran”
     Namun, sangatlah disayangkan jika seorang punjual dan pedagang yang datang ke mesjid pada hari jum’at hanya sekedar datang untuk menjual barang dagangannya tanpa melaksanakan shalat jum’at, yang pada akhirnya keberkahan hidup semakin menjauh darinya. Sementara ayat di atas memberikan resep keberkahan dan keuntungan, yaitu jika mau jualannya menjadi laris maka perbanyaklah mengingat Allah ketika mengadakan jual beli. Ulama salaf berpendapat sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas: ”Orang yang melakukan jual beli pada hari jum’at dan ia sempurnakan shalat jum’atnya maka Allah memberkati kehidupannya (melapangkan rezqinya)”. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau secara fenomena umum, sering kita saksikan ada penjual ataupun pedangang di sekeliling mesjid yang sudah bertahun-tahun lamanya berjualan, tapi volume penjualannya tidak ada peningkatan yang bermakna.
     Hakikat manusia sebenarnya di alam dunia ini merupakan khalifah Allah swt. Yaitu Allah swt memberikan tugas kepadanya untuk mengembangkan dan memanfaatkan nikmat-Nya yang telah tersedia di alam semesta. Dan semua sarana dan prasarana yang ada di dunia ini adalah milik Allah swt. Materi dan benda yang digunakan oleh manusia dan diproduksi sedemikian rupa, semuanya bersumber dari Allah swt. Oleh karena itu, para ekonom mengatakan:
     ”Produksi itu sebenarnya bertujuan menciptakan manfaat, bukanlah menciptakan materi. Dengan kata lain, manusia hanya merubah sebuah materi untuk dijadikan benda yang bermanfaat agar dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya” .
      Sebagai bukti yang kongkrit, asal mula bahan bakar dan benda alam lainnya adalah ciptaan Allah swt Yang Maha Kuasa, manusia tidak mampu untuk menciptakan benda tersebut, melainkan ia hanya menemukan benda tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sampai menjadi sebuah produksi.
     Tetapi terkadang nikmat yang didapat itu tidak dimaksimalkan fungsinya, bahkan tidak difungsikan sama sekali, sementara Allah sendiri sangat senang melihat seorang hamba yang mengoptimalkan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya. Rasulullah saw bersabda :
(إِنَّ اللهَ إِذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ)
     “Sesungguhnya Allah swt jika memberikan sebuah nikmat kepada hamba-Nya, maka Ia senang melihat nikmat itu di pergunakanan sebaik-baiknya”. (Hadits Riwayat Tirmizi).
     Sebagai contoh, orang yang berilmu tidak mengajarkan ilmunya, sementara ilmu itu adalah pemberian Allah. Begitu juga orang yang mempunyai harta dan mampu membeli sesuatu tapi dia tidak membelinya, bahkan disimpan dan ditumpuk saja harta tersebut tidak dibelikan apa-apa, alias bakhil dan kikir. Dia hanya senang mengumpul dan menghitung hari demi hari duit yang ia peroleh. Dan orang tersebut sebagaimana yang digambarkan oleh al-Qur’an dan diberikan julukan tersendiri sebagai orang yang pengumpat dan pencela:
(وَيْلٌ لّكُلّ هُمَزَةٍ لّمَزَةٍ الّذِى جَمَعَ مَالاً وَعَدّدَهُ يَحْسَبُ أَنّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ كَلاّ لَيُنبَذَنّ فِي الْحُطَمَةِ)

      “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung, ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”. (surah al-Humazah:1-5).
      Dengan demikian, dapat dilihat betapa Islam mengajarkan dan mendidik ummat ini untuk mencari rizqi yang bersih dan halal, yang bukan didapat dari hasil korupsi, membuat laporan keuangan yang ditinggikan, atau dengan jalan menipu sana-sini dalam berbisnis. Dan benarlah apa yang digambaran oleh Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
(يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ، أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ؟)
      “Akan datang suatu zaman, di mana seseorang tidak mempedulikan lagi sumber harta yang didapat, halal atau haram?” (Shahih Bukhari).
     Kesemua perilaku ini tidak akan mendatangkan keberkahan sama sekali, bahkan di penghujung hidupnya kebinasaan akan menantinya, baik di dunia ataupun di akhirat.
Tanggung Jawab Muslim Terhadap Lingkungan Sosialnya
      Merupakan suatu keadilan Allah, Dia jadikan manusia berbeda-beda. Baik dari segi keinginan, kecenderungan dan kecerdasan. Dengan semua perbedaan tersebut, tentunya mempunyai konsekwensi perbedaan juga dalam hal rizki. Sebagaiman yang diindikasikan oleh firman Allah swt:(وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ)
      “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki”. An-Nahl: 71.
      Ayat di atas menjelaskan bahwa Islam mengakui adanya perbedaan rizki di antara manusia. Kesemuanya itu disebabkan oleh saling berbedanya potensi, kemahiran serta usaha manusia itu sendiri. Seperti etos kerja yang tinggi, skill yang handal, usaha yang kuat. Oleh karena itu, Islam mengakui adanya kepemilikan atau usaha pribadi, dengan catatan hendaknya usaha tersebut diperoleh dan dicapai secara legal (sah). Jika diperoleh dengan cara yang sebaliknya, ilegal (tidak sah), maka Islam tidak pernah mengakui kepemilikan tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
(إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا)
      “Sesungguhnya Allah swt bersih, dan tidak menerima sesuatu kecuali bersumber dari hal-hal yang bersih”.
      Dalam Islam manusia bukanlah pemilik hakiki dan mutlak terhadap hartanya, sehingga dia bebas berbuat apa saja terhadap hartanya, akan tetapi pada hakikatnya Allah-lah yang memiliki harta tersebut. Lalu Allah mewakilkan dan menitipkan penggunaan dan pengembangan harta tersebut kepada hamba-Nya. Seperti terlihat dengan jelas dalam firman Allah swt:
(وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ)
      “Dan nafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” . Al-Hadid: 7.
      Salah seoran ahli tafsir kenamaan Imam Zamakhsyari, menafsirkan ayat di atas, beliau berkata:
      “Harta-harta yang engkau miliki, sebenarnya adalah harta Allah, dan sesungguhnya engkau hanyalah sebagi wakil Allah dalam menggunakan harta tersebut, oleh karena itu nafkahkanlah harta tersebut pada hak-hak Allah” .
      Dari uraian di atas, dapat dilihat sejauh mana tanggung jawab seorang muslim terhadap lingkungan sosialnya, di mana seorang muslim mempunyai dua kewajiban terhadap orang-orang miskin, yaitu:
Pertama: Apabila ia mampu atau mempunyai harta lebih, maka hendaklah menafkahkan sebagian hartanya atau memberi makan kepada orang miskin.
Kedua: Menganjurkan orang lain untuk memberikan makan terhadap mereka, sebagaimana yang diindikasikan oleh firman Allah swt:
(وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ)
     “Dan ia juga tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin”. Al-Haaqqah: 34.
     Dengan demikian, seorang muslim diwajibkan memperhatikan lingkungan sosialnya, dengan mengulurkan pertolongan kepada sesamanya terutama orang yang memerlukan pertolongan. Sebab lingkungan muslim adalah lingkungan yang dilandasi oleh persaudaraan, solidaritas, saling kasih mengasihi. Dan tidak membiarkan saudaranya kelaparan sementara ia mampu untuk memberikannya makan, pakaian dan berbagai bentuk pertolongan lainnya.
Bentuk Kegiatan Sosial Dalam Ibadah Ramadhan.
      Dalam hubungannya dengan bulan puasa Ramadhan, bentuk-bentuk aktiviti sosial hendaknya digalakkan dan digandakan dari bulan-bulan lainnya. Sebab bulan puasa dalam Islam merupakan bulan kebaikan, rahmat dan pengampunan (maghfirah). Oleh karena itu bulan puasa hendaknya dijadikan sebagai bulan sosial yang bisa menyelesaikan problematika sosial umat Islam terutama pengentasan kemiskinan.
     Sudah menjadi naluri seorang muslim, ketika akan memasuki bulan puasa, benih-benih kesosialan akan muncul sendiri dari batin insan mukmin. Perasaan peka ini timbul tanpa diundang ataupun dipaksakan. Oleh karena itu, dalam bulan puasa ini kita akan menyasikan berbagai kegiatan sosial. Di antara bentuk kegiatan sosial dalam bulan puasa adalah menyediakan buka puasa bersama, menyedekahkan harta, mempererat hubungan silaturrahim antara keluarga dan lain-lain.
     Dari kegiatan sosial ini akan kelihatan jelas hakikat puasa bagi seorang muslim. Jika seorang muslim membiasakan diri memberi bantuan pada bulan puasa, maka hendaknya kebiasaan itu dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya. Dengan sikap seperti ini, sudah dapat dipastikan tercipta kebersamaan dan persatuan umat Islam untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini telah diindikasikan oleh sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
(مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى شَيْئًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى)
     “Kaum Muslimin dalam sikap saling kasih mengasihi, saling sayang menyayangi dan berlemah lembut antara mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit, maka anggota tubuh yang lainnya ikut juga merasakan sakit”
      Dengan demikian, seorang muslim dalam bulan puasa Ramadhan dapat memberikan harapan kehidupan yang optimis pada jiwa saudaranya yang hidup dalam kemiskinan.
     Dalam konteks sosial umat islam saat ini, zakat perlu ditingkatkan, sebab zakat merupakan instrumen penting seorang mu’min. Karena zakat itu sendiri berada pada posisi kedua dari rukun Islam. Dan ini menandakan betapa pentingnya peranan zakat dalam Islam. Dan ini terbukti dari beberapa firman Allah swt, manakala perkataan shalat selalu bergandengan dengan perkatan zakat. Sebagai contohnya, di dalam al-Qur’an disebutkan:
(وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ)
     “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.”. Al-Baqarah: 43.
(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ)
     “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Al-Baqarah: 3.

(وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْناً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مِّعْرِضُونَ)
     “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling“. (al-Baqarah: 83). Dan masih banyak lagi ayat lain seperti: al-Baqarah: 110. an-Nisa’: 77. at-Taubah: 5, 11. al-Hajj: 41, 78. an-Nur: 56. al-Mujadilah: 13. al-Muzammil: 20. al-Anbiya: 73.
     Dari sekian ayat di atas, pesan yang dapat ditangkap adalah bahwa zakat merupakan media komunikasi hamba dengan Allah. Di sampng itu zakat merupakan instrumen Allah kepada hambanya untuk memanusiawikan manusia.
      Pada permulaan tulisan ini disebutkan bahwa salah seorang tokoh orientalis bernama Ricardo de Monte Croce, mengakui kemapanan dan kemampuan zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Dan zakat merupakan bukti bahwa Islam sangat memperhatikan nasib orang miskin. Sebab zakat ini merupakan sarana pemerataan hidup dengan target meminimalkan angka kemiskinan.
     Betapa tidak, seorang mukmin tatkala mengingkari kewajiban zakat ini akan digolongkan sebagai orang kafir. Sebab seorang muslim akan diukur nilai ketaatannya dalam mengamalkan Islam dari aspek zakat. Dalam artian, iman seseorang belum mencapai tahap kesempurnaan kalau belum mengeluarkan kewajiban zakatnya.
     Kesimpulannya, bulan buasa ini adalah tempat mengasah kepedulian sosial umat Islam. Selama satu bulan menahan lapar dan dahaga dengan tujuan beribadah kepada Allah. Di samping itu, tersirat makna dan i’tibar kepada semua umat islam untuk ikut merasakan kehidupan orang lain yang tidak berkecukupan, sakit, pedih dan berbagai macam kesusahan hudup yang dihadapi oleh orang lain. Dan pada gilirannya, pengamalan zakat ini adalah dari umat untuk umat.
Wallahu A’lam.
_____________________________________________________________________
Rujukan:
- Islam and the West, Daniel: The Making of an Image, Edinburgh Press, Edinburgh 1965 M.

- Shahih Bukhari, no: 1361.
- Syu’ab al-Iman, al-Baihaqi, no: 6621.
- DR. Rif’at al-Mahjub, 1/192.
- Shahih Muslim, no: 1015.
- Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Sebab hak milik harta itu pada hakikatnya adalah hak Allah. Oleh karena itu manusia hendaknya ketika memebelanjakan hartanya itu haruslah sesuai dengan aturan hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah. Dapat kita buktikan bahwa harta yang dimiliki manusia adalah kepunyaan Allah, seperti jika terjadi kemalangan atau bencana dan malapetaka gempa bumi, kita saksikan harta yang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpuk oleh manusia bisa lenyap seketika, dan dalam hitungan menit saja, harta tersebut hilang dan ditelan oleh bumi.
- Tafsir al-Kasysyaf, 3/200.
- Shahih Bukhari, no: 5665.

Tuesday, July 20, 2010

WAWANCARA TENTANG SYI'AH (2003) & REVISI (2010)

WAWANCARA TENTANG SYI'AH
 "LATAR BELAKANG PEMILIHAN JUDUL PH.D - CAIRO UNIVERSITY"
*Diterbitkan oleh Buletin FK el-Baiquni, Cairo-Egypt 2003 & Revisi 2010
     
      Perdebatan seputar paham-paham Syiah bukan me­ru­pakan hal baru dalam aliran teologi islam, mulai pe­r­­­debatan dalam masalah Fiqhi, Aqidah dan persoalan Imamah bahkan sampai persoalan-persoalan kecil yang seharusnya tidak terjadi menjadi sebuah topik khusus yang sangat menarik untuk di kaji dan dibuktikan ke­­­­benarannya. Apakah konsep Imamah yang di­tawarkan Syiah dapat diterima oleh seluruh kalangan? Ataukah itu hanya politik mereka saja dengan meng­atasnamakan Tuhan sebagai the first source demi mem­pertahankan komunitas mereka? Berikut petikan waw­­­ancara kru BAIQUNI dengan Bapak Kamaluddin Nurdin, MA (Kandidat Doktor Di­ ­­Cairo University, Jurusan Filsafat yang mengkaji khusus tentang Syiah).

Apa latar belakang sehingga Bapak mengambil judul disertasi tentang Syi’ah?
    
     Ketertarikan saya untuk mengkaji Syi’ah se­­­menjak menyelesaikan perkuliahan di S2 (Tamhidi) pada Fakultas Darul Ulum, Uni­versitas Kairo pada tahun 1998, disebabkan karena me­lihat adanya fenomena-fen­­­omena gerakan Syi’ah di Tanah Air, oleh karena itu terlintas di­ dalam benak saya untuk mengangkat judul thesis tentang pengaruh Syi’ah di Indonesia:
 أثر الفكر الشيعي في إندونيسا
      jadi penelitian hanya ter­batas kepada pengaruh pemikiran Syi’ah di tanah air. Namun judul tersebut tidak diterima oleh para guru besar filsafat di kuliah dengan alas­an, tidak diijinkan bagi para mahasiswa S-2 yang berada di fakultas filsafat untuk mengkaji masalah-masalah kontemporer, oleh karena itu kaji­an thesis diarahkan pada permasalahan tu­rats.
     
     Menurut pesan guru saya Prof.DR. Muhammed Sayyid al-Jalayand kepada kami murid-muridnya ketika itu (1999), "Ibaratnya se­buah bangunan kalau fondasinya tidak kuat, tentu cepat rapuh dan tidak akan tahan banting, oleh karena itu kamu sekalian harus mem­perkuat landasannya lebih dahulu". Kemudian beliau membimbing kami secara intensif selama 6 bulan untuk mendalami turats aqidah, filsafat & Tasawwuf (sebelum kami mendapatkan judul), dengan cara menamatkan beberapa kitab turats, seperti: al-Milal wa an-Nihal,Maqaalat al-Islamiyyin (al-Asy'ari),al-Farq Baina al-Firaq (al-Baghdadi). Ihya Ulum ad-Din, Tahafut al-Falasifah (al-Ghazali), Dar'u Ta'aarudl, kitab al-Iman (Ibnu Taimiyah), Tahafut at-Tahafut, Manahij al-Adillah, Fashl al-Maqal (Ibnu Rusyd), Rasail al-Kindi (al-kindi),al-Isyarat wa at-Tanbihat (Ibnu Sina), Syarh al-Aqidah at-Thahawiyyah (Ibnu al-'iz al-Hanafi).Kitab at-Tauhid (al-Maturidi). ar-Risalah al-Qusyairiyah (al-Qusyairi). Di samping itu disisihkan satu kitab kontemporer, yaitu: Nasy'at al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam (Prof.DR. Ali Sami an-Nasyar), kitab ini memang sangat bermutu nilainya sebab sudah merangkumi sejarah pemikiran islam Aqidah,Filsafat,Tasawwuf di samping pemikiran syi'ah.

     Setiap minggu saya jumpa Prof Jalayand dan ditest secara oral mengenai isi buku-buku tersebut di atas, diadakan di kantor pribadi beliau di Darul Ulum.(karya-karya beliau dapat dilacak di: http://www.neelwafurat.com/locate.aspx?search=books&entry=%c7%e1%cc%e1%ed%e4%cf&Mode=1
     
      Setelah selesai proses penggemblengan turats saya berjumpa dengan ketua program filsafat Prof.DR.Abdul Latif al-'Abd,untuk mengajukan beberapa judul, dan beliu menyarankan saya untuk mengkaji salah satu ahli tafsir klasik. Setelah beberapa kali perjumpaan saya dan beliau sepakat untuk memilih pandangan imam al-Qurthubi dalam permasalahan aqidah. Akhirnya tercapailah apa yang disarankan oleh Prof Jalayand untuk mengkaji turats dengan judul:  ‘Masâil al-I’tiqad Indha al-Imam al-Qurtubi’,dan al-hamdulillah thesis tersebut dapat saya selesaikan pada tahun 2001.
     Di bawah bimbimngan Prof.DR. al-Sayyid Rizq al-Hajar
 (أ.د/ السيد رزق الحجر).
    
     (Kemudian tesis ini diterbitkan di Cairo oleh Muassasah al-Alya, 2006)dengan judul: 
     مسائل الاعتقاد عند الإمام القرطبي
PROBLEMATIKA AQIDAH DALAM PERSPEKTIF IMAM AL-QURTHUBI
      Syukur al-Hamdulillah setelah 4 tahun terbit, buku tersebut telah beredar laris di pasaran Timur Tengah dan menjadi bahan rujukan dan koleksi di beberapa universitas di barat seperti: Stanford, Yale, Penn, California, dan Univ Kyoto Japan (ditemukan melalui Google Search: kamal al-din nur al-din marjuni). Dan buku tersebut dapat dibeli online di:
      Namun setelah saya menyelesaikan master, saya ingin meng­kaji kembali tentang Syi’ah di bangku akademik yang dibimbing langsung professor ahli, akhir­nya melalui pertemuan dan konsultasi dengan para professor di kuliah, salah satu dari dosen saya yang bernama Prof. Dr. Abdul Hamid Madkour, yang juga merupakan salah seorang anggota Majma al-Lughah Mesir, mengindikasikan adanya polemik akidah filsafat dalam tubuh Syi’ah. Karena golongan Syi’ah yang terbesar dapat dibagi kepada tiga ke­lompok, yaitu Imamiyah, Zaidiyah dan Isma’iliyah Bathiniyah. Jadi kata beliau, ketiga ke­l­ompok ini saling berselisih faham, baik antara Imamiyah dengan Isma’iliyah , Imam­iyah dengan Zaidiyah, atau Zaidiyah dengan Isma’il­iyah. Dan setelah melakukan survai judul di seluruh universitas negeri Mesir dan uni­versitas al-Azhar, ternyata polemik antara Zaidi­yah dengan Ismiliyah belum dibahas sama sekali. Maka saya ajukan judul tentang polemik antara Zaidiyah dengan Isma’iliyah dalam ma­salah akidah dan filsafat
 جهود الزيدية في الرد على الباطنية
"دراسة نقدية مقارنة"
Di bawah bimbingan Prof.DR. Muhammed as-Sayyid al-Jalayand
 (أ.د/ محمد السيد الجليند)
pada awal tahun ajaran 2002 dan alhamdulillah diterima, mudah-mudah­an disertasi saya ini bisa selesai dengan cepat, amin ya Rab.
      (kemudian desertasi ini diterbitkan di Lebanon oleh Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2009). Dengan judul:
"موقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها"
AQIDAH FILSAFAT
SYI'AH VS SYI'AH VS AHLU SUNNAH
      Buku ini sekalipun belum cukup setahun diterbitkan (10/2009), sudah dikoleksi juga oleh Univ California, kebetulan saya temukan di Google Search: kamal al-din nur al-din marjuni:

Syi’ah secara global, seringkali memunculkan doktrin-doktrin yang mereka jadikan pembelaan terhadap aliran mereka, bagaimana pandangan Bapak tentang hal ini ?

      Doktrin semacam itu biasa dilakukan oleh se­mua golongan, dan semua golongan pasti akan mengklaim bahwa dialah yang paling benar dan paling lurus, dan masing-masing go­longan pasti akan mengajukan argumentasi mereka, dan saya kira itu adalah suatu hal yang wajar dan benar-benar terjadi dalam setiap ali­ran-aliran pemikiran Islam, seperti: Asy’ariah, Mu’tazilah, Maturidiyah, Ibadhiyah dll. Oleh karena itu waja-wajar saja kalau golongan Syi’ah mengaku bahwa kebenaran agama berada pada pihaknya, se­bagaimana yang mereka ungkapkan lewat karya-karya ulama mereka : al-Majlisi (Biharul Anwar) , al-Hulli (Minhaj al-karamah), al-Kasyif al-Ghitaai (Ashlu as-Syi’at wa Ushuluha) , dan ulama-ulama Syi’ah Imamiyah yang lainnya. Begitupun ulama Syi’ah Isma’il­iyah yang diwakili oleh beberapa tokohnya, yaitu : al-Karamani (Rahat al-‘Aql) , Abu Ya’qub as-Sajastani (Kitab al-Iftikhar), al-Hamidy (Kanzulwalad), al-Qadhi an-Nu’man (Da’a’imul Islam, Asasutta’wil), dan ulama syiah ismai’iliyyah yang lainnya. Adapun Syi’ah Zaidiyah, dapat dilihat karya ulamanya, seperti: Ibnu al-Murthada (Al-Qalaid fi Tashih al-‘Aka’id), as-Syarafi (Syarh al-Asas), ibnu Hamzah al-‘Alawi (ar-Raiq fi Tanzih al-Khaliq), dan di perpusatakaan pribadi saya, ter­dapat dua ratusan judul buku-buku tentang Syi’ah.

Bagaimana pandangan Bapak tentang konsep Imamah dalam pandangan Syi’ah Imamiyah ?

      Konsep Imamah merupakan penyebab ter­jadinya perpecahan umat, sebagaimana yang di­katakan oleh salah seorang ulama Asy’ariah yaitu Asy-syahrastani dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal, jadi menurut pandangan beliau, umat Islam ini terpecah dan saling bersiteru se­panjang zaman disebabkan oleh persoalan Imamah (politik), dan pernyataan tersebut ter­bukti kebenarannya sekarang ini. Sebagai perbandingan antara Ahlu Sunnah dengan Syi'ah tentang konsep Imamah, kalau me­nurut pandangan Ahlu Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar agama biasa disebut "RUKUN", rukun dalam agama ada 2, rukun Islam dan rukun Iman, rinciannya sebagai berikut. Rukun Islam ada 5, yaitu: (1) Dua kalimat syahadat, (2) Shalat, (3) Puasa, (4)Zakat, (5) Haji. Sedangkan rukun Iman itu ada enam : (1)Iman kepada Allah, (2)Malaikat, (3)Kitab-kitab, (4)Rasul-rasul, (5)hari kiamat (6)Qadha & Qadar. Namun Syi’ah Imamiyah me­nambakan rukun tersebut dengan penambahan Imamah (Percaya kepada Imam Ma'sum), atau dengan rincian lain, rukun agama dalam syi'ah Imamiyah ada 5, hal ini disebutkan oleh al-Kulayni dalam kitabnya "Ushul al-Kafi" yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah. Adapun syi'ah Isma'iliyah Bathiniyah Rukun Islam sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aaim al-Islam", adalah: (1) Wilayah, (2) Thaharah (suci), (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad.  Syi'ah Imamiyah dan syi'ah Isma'iliyah sepakat bahwa wilayah (imamah) adalah rukun yang paling afdhal dibanding rukun lainnya. Nampak jelas  di atas bahwa Sunni dan Syi'ah sangat beda pokok ajarannya, kita bisa me­lihat betapa pentingnya konsep Imamah dalam aqidah Syi’ah, sementara Ahlu Sunnah men­jadikan Imamah sebatas kajian Fiqhi saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, Imamah itu adalah pangkat atau ja­batan yang ditentukan oleh Allah SWT, dengan demikian posisi imam itu mereka sama­kan dengan posisi nabi, dan kalau nabi di­pilih langsung dari yang Maha Kuasa, se­dangkan kalau Imam dipilih oleh Nabi Muhammad yang jatuh pada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa Syi’ah se­cara tidak langsung memasukkan sistem pe­merintahan Teokrasi dalam Islam dan per­adaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep Imamah ini, maka umat tidak berhak memilih se­orang Imam, karena Imam itu sudah me­rupakan ketentuan Ilahi.

Apa landasan mereka ?

      Mereka menggunakan banyak landasan, hampir semua ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berkaitan dengan kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll. mereka inter­pretasikan sebagai konsep Imamah. Seperti firman Allah SWT: “ Yaa ayyuha llazdina amanu Ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah taat kepada Imam-imam Syi’ah. Begitu juga halnya dengan Akhbar, seperti wasiat Rasulullah Saw. pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’, dimana Rasul mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku. Dan untuk men­guatkan peristiwa ini salah seorang ulama Syi’ah Imamiyah bernama : Abdul Husain Ahmad alAmini mengarang sebuah buku yang ter­­diri 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab). Dan pe­riwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari kalangan mereka sendiri, karena bagi Syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah, Hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’sum dalam semua tingkatan, ber­beda dengan Syi’ah Zaidiyah yang memiliki ke­dekatan dengan Ahlu Sunnah dalam fiqh dan akidah, mereka tetap mengakui pe­riwayatan hadits-hadits Sunni .

Apa latar belakang munculnya konsep Imam Mahdy dalam aliran Syi’ah ?

      Konsep imam al-Mahdi sebenarnya bukan hanya ada dalam pemikiran Syi’ah, tapi dalam Ahlu Sunnah pun terdapat konsep al-Mahdi. Namun perbedaannya, kalau pandang­an mayoritas Ahlu Sunnah, Imam Mahdi itu adalah munculnya seseorang dari Ahlu Bait (tanpa menentukan tokohnya) pada akhir Zaman, dan tugasnya adalah meneguhkan ajar­an Islam, menegakkan keadilan, dan dia akan di­patuhi oleh umat Islam, karena dialah yang akan menguasai bumi ini, kemudian setelah itu turun­lah Nabi Isa as. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bawa al-Mahdi itu se­benarnya adalah Nabi Isa. Sedangkan al-Mahdi dalam keyakinan syi’ah Imamiyah adalah imam yang ke 12, yaitu : Muhammad al-Hasan yang menghilang (Ghaib), jadi imam inilah yang akan muncul setelah menghilang dan akan menghukum orang-orang yang meng­ambil hak-hak Imamah dari Ahlul Bait, dan dalam pandangan Syi’ah Isma’iliyah, al-Mahdi adalah Imam yang ketujuh, yaitu : Muhammad bin Ismail bin Ja’far, dan mereka me­yakini bahwa imam tersebut adalah pen­utup kenabian dan sebaik-baik utusan Allah.
     Jadi dalam permasalahan Imam al-Mahdi ini, semua golongan sepakat tentang ke­beradaannya, dan mereka hanya berbeda dalam penentuan siapakah sebenarnya imam Mahdi tersebut ?

Apakah konsep yang mereka tawarkan bisa di pertahankan keotentikannya ?

      Menurut penelitian ulama-ulama Sunni dari dahulu sampai sekarang, konsep imamah yang mereka tawarkan tidak jelas dan tidak bisa diterima, karena konsep tersebut me­nyebabkan munculnya kepemimpinan Teokrasi, dan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan sistem de­mokrasi yang dalam istilah Qur’an dinamakan dengan (Syuura). jadi konsep ini murni dari re­kayasa mereka saja, agar keturunan Ali bisa menguasai umat.

Bagaimana konsep “ Wilayah al-Faqih” dalam Syi’ah ?

      “Wilayah al-Fakih” adalah konsep terbaru dari golongan Syi’ah Imamiyah di Iran, sebagai al­ternatif dari Imam al-Gha’ibah akibat se­rangan-serangan yang dilancarkan kepada mereka. Sebab salah satu ajaran Syi’ah meng­akui adanya Imam pada setiap masa, yang tugasnya memecahkan segala persoalan umat, namun karena imam tersebut tidak muncul juga, maka di munculkanlah sistem wilayah al-Fakih .
     
      Berkaitan dengan teori Wilayah al-Faqih ini, sebenarnya syi’ah Imamiyah sendiri berbeda pendapat tentang kewujudan Wilayah al-Faqih dalam artian sebagian ulama syi’ah tidak mengakui keabsahan teori tersebut, mereka sangat loyal menunggu kehadiran imam ghaib, oleh karena itu ada hal yang menarik dicermati bahwa sebenarnya penubuhan konsep tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk kritikan terhadap konsep Imam al-Mahdi al-Muntadzar yang tak muncul-muncul sampai saat ini, sebab peranan Imam Ma’sum yang ghaib ini tidaklah mudah dan sangat esensial, yaitu: menegakkan hudud, memungut zakat, bahkan yang sangat bermasalah lagi kalau sebagian syi’ah Imamiyah merasa tidak wajib melaksanakan shalat karena ketidak hadiran imam al-Ghaib al-Muntadzar. Jadi hal inilah yang dikhawatirkan oleh Imam Khumaini sehingga membela mati-matian konsep wilayah Faqih dalam bebagai buku karyanya khususnya “al-Hukumah al-Islamiyah”.

Bagaimana pandangan Bapak tentang Syi’ah berdasarkan penelitiannya sampai saat ini ?

      Pada tahun 1987, muncul seorang in­telektual syi’ah dari Annajaf al-Asyraf di Iraq, yaitu Prof. DR. Musa al-Musawi, yang mengarang buku yang berjudul “Asy-syi’ah wa at-Tashih “, ala kulli hal, dalam bukunya ter­sebut beliau melakukan intropeksi kedalam tubuh syi’ah tentang beberapa permasalahan akidah Syi’ah, dan dia menekankan bahwa segala penyimpangan dan kekeliruan ulama Syi’ah dahulu hendaknya tidak di publikasikan lagi sekarang. Terutama ketika dia menyoroti kitab karya al-Majlisi (Biharul Anwar), yang ter­diri dari 110 jilid (ada juga tercetak dalam 40 jilid), menurutnya, kitab tersebut mem­buat umat Islam semakin terpisah dan ter­pecah, karena banyak dari isi kitab tersebut men­ceritakan khurafat, kisah, mu’jizat dan keramat para Imam, yang tidak dapat dilogikakan. Dan di da­lam kitab itu juga terdapat cacian dan maki­an terhadap Khulafa ar-Rasyidin. Dan ketika kitab tersebut akan dicetak ulang, pemimpin Syi’ah (Marja’ ad-Dini) Imam at-Thabaa Thaba’i ketika itu menghimbau kepada percetakan un­tuk menghilangkan segala penyimpangan yang ber­sumber dari riwayat-riwayat yang tidak dapat diakui kebenarannya dalam kitab tersebut. Himbauan ini me­rupakan bukti yang kongkrit yang meng­indikasikan betapa banyaknya penyelewangan yang dilakukan dan dibuat-buat oleh ulama Syi’ah dahulu.
     
     Pada kesimpulannya Syi’ah Imamiyah me­rupakan Syi’ah yang paling moderat diantara go­longan Syi’ah lainnya, dan lebih dekat de­ngan aliran Mu’tazilah dalam masalah akidah, ke­cuali masalah Imamah, oleh karena itu salah satu tokoh Mu’tazilah Qadli Abdul Jabbar di­kenal sangat gencar membantah konsep Imamah Syi’ah terutama dalam karyannya “al-Mughni” dan “Tastbit Dalail an-Nubuwwah”.
   
      Syi’ah Isma’liyah dianggap keluar dari go­longan Islam, dalam artian mereka telah kafir. Se­bagaimana yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah ataupun Ulama Syi’ah Zaidiyah sen­diri, statemen tersebut bisa dilihat dalam karya para ulama Azzaidiyyah, seperti : Ibnu Hamzah al-‘Alawi dalam bukunya “Misykat al-Anwar“’, Imam ad-Dailami dalam bukunya “Aqaid Aali Muhammad”. Dan golongan Isma’ili­yyah ini paling banyak mengadopsi filsafat Yunani khususnya Plato, dan banyak ter­pengaruh dengan agama-agama Persia kuno, seperti : Zaradist, Manie dll .
    
      Adapun Syi’ah Zaidiyah, merupakan ongan yang terdekat dengan Ahlu Sunnah, dan perbedaan mereka dengan Ahlu Sunnah dalam bidang akidah hanya pada dua hal; Pertama, loyalitasnya kepada aqidah Mu’tazilah, dan Kedua, pada permasalahan Imamah.[red]

Wednesday, July 14, 2010

CONTEMPORARY RELIGIOUS DISCOURSE (3) في ضوء الخطاب الديني المعاصر

القسم الثالث
نظرية الهِرمِنِيُوطِيقِية الغربية
Teory of Hermeneutic
الدكتور/ كمال الدين نور الدين مرجوني
الهرمنيوطيقا مصطلح قديم بدأ استعماله في دوائر الدراسات اللاهوتية ليشير إلى مجموعة القواعد والمعايير التي يجب أن يتبعها المفسر لفهم النص الديني الكتاب المقدس. يشير المصطلح إلى نظرية التفسير ويعود قدم المصطلح للدلالة على هذا المعنى إلى عام 1654م وما زال مستمرًا حتى اليوم خاصة في الأوساط البروتستانتية. وقد اتسع مفهوم المصطلح في تطبيقاته الحديثة، وانتقل من مجال علم اللاهوت إلى دوائر أكثر اتسـاعًا تشمل كافة العلوم الإنسانية؛ كالتاريخ وعلم الاجتماع والأنثروبولوجى وفلسفة الجمال والنقد الأدبي والفلوكلور.
يقول الدكتور عبدالوهاب المسيري عن الهرمنيوطيقا: "هي مشتقة من الكلمة اليونانية (Hermeneuin) بمعني يُفسِّر أو يوضِّح -من علم اللاهوت- حيث كان يقصد بها ذلك الجزء من الدراسات اللاهوتية المعني بتأويل النصوص الدينية بطريقة خيالية ورمزية تبعد عن المعنى الحرفي المباشر، وتحاول اكتشاف المعاني الحقيقية والخفية وراء النصوص المقدسة-التي هي هنا الكتاب المقدس-" والقضية الأساسية التي تتناولها الهرمنيوطيقا بالدرس هي معضلة تفسير النص بشكل عام، سواء كان هذا النص نصًا تاريخيًا، أم نصًا دينيًا من علماء الهرمنيوطيقا المفكر الألمانى شلير ماخر (1843م) و ويلهلم ديلش (1833 – 1911م) و مارتن هيدجر و جادامر.
وأوضح "بول ريكور" الفيلسوف الفرنسي معنى الهرمنيوطيقيا:"فن كشف الخطاب في الأثر الأدبي" ( )، وقد عوّل بور ريكور كثيرا على "التفسير الرمزي"، وهو ما سيعتبر أساسا تقوم عليه الهرمنيوطيقا ، إذ يعتبر ريكور "الرمز" وسيطا شفافا ينم عما وراءه من معنى ، ومعنى ذلك أن يقول القائل شيئا وهو يعني شيئا آخر في آن واحد، وبغير أن تتعطل الدلالة الأولى وهو ما يسمى "بالوظيفة الأليغورية" للغة بالمعنى الحرفي للكلمة. وهذه الطريقة لجأ إليها "بولتمان" في تحطيمه للأسطورة الدينية في العقد القديم، والكشف عن المعاني العقلية التي تكشف عنها هذه الأساطير، وهي الطريقة نفسها التي يحاول الخطاب العلماني عموما وأركون خصوصا أن يطبقها على النص القرآني، والأساطير المراد تحطيمها هي كل مالا يقبله العقل العلماني من أمور الغيب ( ) .
كما تعني تقليديا " فن تأويل النصوص المقدسة الإلهية أو النصوص الدنيوية البشرية، وهي كذلك مساوية للتفسير أو للفلولوجيا بما هي تفسير حرفي أو نحوي وصرفي لغوي لبيان معاني الألفاظ والجمل والنصوص، وهذا ما يعرف بالتفسير اللفظي" ( ) .
وأما المبادئ الأساسية للقراءة الهرمنيوطيقية الغربية – كما أوردها الدكتور أحمد الطعان – فهي على النحو الآتي ( ) :
- أولا: انعدام البراءة في القراءة (وكل قراءة هي إساءة قراءة).
إنها في الحقيقة فكرة ترتبط بموقف فلسفي يسيطر على العقل الغربي وهو اليأس من تحصيل اليقين، مما جعل المعرفة كلها ذات طبيعة افتراضية، فهي دائما يانتظار التعديل والتغيير، وانهارت مقولة المعرفة الموضوعية أو المعرفة اليقينية ، بهذ الشكل تصبح القراءة عملية تغيير للحقيقة، وليست نقلا أو تفسيرا لها. ويقول (ديمان) صاحب فكرة إساءة القراءة: "إنني أعني بإساءة القراءة الجيدة نص ينتج نصا آخر يمكن اعتباره هو الآخر مثيرا للإهتمام، نصا يولد نصوصا أخرى" ( ) .
فهذا معناه تأويل على التأويل الذي يقوم على البحث عن الباطن، ومن الباطن إلى الباطني، أي أن النص يتطور إلى عدة نصوص أخرى كما فعل ذلك المذهب الباطني ( ). وقد استخدم (فرويد) في التعامل مع النصوص الدينية على البحث عن الباطن أولا، كسلاح تشكيكي ضد الوعي المزيف، وحل رموز النفس ( ) .
- ثانيا: موت المؤلف.
لكي يصل القارئ إلى معشوقه "النص" لابد من موت المؤلف، وعندئذ تنقطع الصلة بين النص وقائله، فتصبح اللغة هي التي تتكلم وليس المؤلف، فيقتل (رولان بارت) المؤلف ليستأثر هو بحب معشوقه النص، وينتصر القارئ على المؤلف، ويخلو الجو للعاشق لكي يمارس حبه مع محبوبه ( ). ومن هنا فإن موت الكاتب هو الثمن الذي تتطلبه ولادة القارئ" ( ) .
- ثالثا: خرافة القصدية.
إن المقاصد التي يريدها العلمانيون هنا ليست مقاصد الله عز وجل قائل النص ومنزله، وليس مقاصد النص منطوقا أو مفهوما، وإنما المقاصد هنا هي مقاصد القارئ للنص ، فهم كقراء يسهمون في إنتاج دلالة النص. فيصبج النص خاضعا لصنع القارئ ، يقرأ بطريقة تجعل المؤلف غائبا على كافة المستويات( ). وبذلك يصبح القرّاء أحرارا في قراءة النص لهم أن يفعلوا به ما يشاؤون، ولهم أن يتجاهلوا قصد المؤلف، وأن يقوّلوا النّص ما يريدون. وإن الناسخ أو القارئ حين يخلف المؤلف، لا يجد في نفسه انفعالات ولا بشائر ولا مشاعر ولا انطباعات ، ولكنه يجد هذا القاموس الهائل فينهل منه كتابة لا تعرف أي توقف ( ) . أما نية المؤلف فلا يجب استحضارها إطلاقا ، والبحث عنها وهم ( ) . هكذا تتحول علاقة النص بصاحبه إلى علاقة ناسخ ومنسوخ أي أن دور المؤلف كان مجرد أن نسخ النص بيده أو قاله بلسانه ( ) .
- رابعا : لا نهائية المعنى.
إن النص أصبح إشارات ودوال حرة لا تقيدها حدود المعاني المعجمية ، وأصبح للنص فعالية قرائية إبداعية تعتمد على الطاقة التخييلية للإشارة في تلاقي بواعثها مع بواعث ذهي المتلقي، وأصبح القارئ المدرب هو صانع النص ، والقراءة تغدو عملا إبداعيا كإنشاء النص، لأن النص جنين يحبث عن أب يتبناه ، وما ذلك الأب إلا القارئ المدرب ( ). وإن كلمة دون توقف تعني أنه ليس هناك معنى للنص، لأن المعنى لا يستقر، وحضور المعنى غير قابل للتحقيق أبدا ، لأنه يكون قد بات في حالة إرجاء دائم كما يقول دريدا ( ). وفي هذا يقول هارتمان : "إن من حق القارئ العنيد أن يجد في النص ما يصبو إليه" ( ) .
- خامسا : التناص.
التناص نقيض للنص ، وهو علاقة النص أو الكلمة بالقارئ وبالنصوص الأخرى، وهذا يعني أن كل نص صدى لنص آخر ( ). لأن كل كلمة في النص سبق استخدامها وهكذا إلى ما لانهاية ( ) . إذن فإن النص على ليس ذاتا مستقلة أو مادة موحدة، ولكنه سلسلة من العلاقات مع نصوص أخرى، ومقتطفات أخرى، يحتوي على كم هائل من الأفكار والمعتقدات والإرجاعات التي لا تتآلف ، تشكلت من نصوص سابقة، وتسهم في تشكيل نصوص لاحقة ( ) .
- سادسا : الفراغات.
يُعدّ (ميشال) أو من اخترع هذه النظرية، فقال: "إن وراء كل بداية مظهرية يمكن دائما وباستمرار أصل خفي، بلغ من الخفاء والعمق حدا يصعب معه علينا تملكه وإكام القبضة عليه، حتى أننا لننساق رغما عنا عبر وهم سذاجة التسلسل التاريخي والزماني للأحداث نحو نقطة تتباعد بشكل محدود نحو نقطة لم يعرف لها التاريخ مكانا ولا زمنا، أي نقطة لن تكون سوى فراغ ... إن كل خطاب ظاهر ينطلق سرا وخفية من شيء ما تم قوله، وهذا "الما سبق قوله" ليس مجرد جملة تم التلفظ بها، أو مجرد نص سيقت كتابته ، بل هو شيء "لم يُقل أبدا"، إنه خطاب بلا نص، وصوت هامس همس النسمة، ثم التلفظ به في هذا الصمت شبه المطبق ... فالخطاب الظاهر ليس في نهاية المطاف سوى الحضور المانع لما لا يقوله، وهذا "الما لا يقال" هو باطن يُلَغَّم ومن الداخل كل ما يقال" ( ) . ويعني بهذا القول أن للقارئ حر مطلق في تقويل النص وإنطاقه، فيقول ما يريده من القول.
- سابعا: الرمزية.
هي إشارات رمزية إلى معانٍ أخرى بعيدة عن حرفية النص، وقد برز هذا الاتجاه في أوروبا في عصر التنوير وما سبقه وتبناه رموز هذا العصر من أمثال سبينوزا (1632 ـ 1677) الذي قام بتأويل أهم العقائد المسيحية الكاثوليكية على أساس رمزي، فقيامة المسيح بعد الموت لم تكن –بنظره- جسدية وإنما رمزية أو روحية، وتجسد الله في المسيح هو على سبيل الرمز أيضاً، وقل الأمر عينه بشأن القربان المقدس الذي يفترض أن جسم المسيح ودمه موجودان في الخبز والخمر الذي يعطيه الكاهن للمصلين في نهاية القداس ( ) .
والجدير بالإشارة إلى أن القضية الأساسية التي تتناولها "الهرمنيوطيقا" هي تفسير النص بشكل عام، سواء كان هذا النص نصًا تاريخيًا، أم نصًا دينيًا . وقد استخدم الغربيون العلمانيون هذا التأويل "الهرمنبوطيقا" لتفسير النصوص الدينية بالاعتماد على:
- اللسانيات.
وهي علم يدرس اللغة، ويحاول جعل البحث اللغوي معتمداً على التجريب تماماً كالبحث التطبيقي في العلوم الحسيّة البحتة، وهو على كل حال نشأ في ظروف تمدد المنهجية الوضعية الغربية وبسط نفوذها على العلوم الإنسانية لإخضاعها لمنطق الحس، (بالرغم من مفارقتها له)، ولذلك فإن هذا العلم (اللسانيات) علم يقوم على أرضية فلسفية وابستمولوجية (أصول معرفية) وضعية، وهو بذلك ليس علماً حيادياً، مما يجعل . استعماله محفوفًا بالمخاطر خصوصاً إذا كان موضوع تطبيقه القرآن الكريم. في كل الأحوال فإن اللسانيات علم يهدف إلى اكتشاف القوانين التي تحكم اللغة واستعمالاتها، وينزع إلى البحث عن القوانين التي تحكم لغات العالم جميعها في وقت واحد، وهو من هذه الجهة جديد كل الجدة.
وقد اكتسبت اللسانيات سمعة سيئة جداً في الأوساط العلمية الإسلامية؛ إذ اقترنت مع التوجهات العلمانية والتوليفات الأيديولوجية لدلالات القرآن الكريم. وهنا تبدو المفارقة، فبينما كان الاستشراق ينحو نحو الموضوعية والحيادية باستخدامه للبحث اللساني، كان الدارسون العرب يستخدمونه لتأكيد صحة اعتقاداتهم العلمانية لا لغاية البحث العلمي ( ) .
ومن هنا ، تقوم اللسانيات على اعتبار اللغة مجموعة مصطلحات أو علامات ارتضاها المجتمع حتى يتيح للأفراد أن يمارسوا قدرتهم على التخاطب ( ) . فالعرف أو الاصطلاح هو الذي يقر للعلامة بدلالتها، لأنه ما من دال إلا وكان يمكن استبداله بدال آخر ( ) .
- المنهج التاريخاني .
المنهج التاريخاني الذي يعتبر أن تفسير النص يجب أن يكون مرهوناً بتاريخه، ويجب أن يكون ساكناً هناك لحظة ميلاده، فلا يمكن فصل أي نص عن تاريخه. هذا المنهج يصدر عن نزعة مادية وضعية لا تؤمن بأن الأديان هي من صنع الله تعالى، ويعتبرها إنشاء إنسانيًّا، وذلك لأن الإنسان يتحكم به التاريخ بشكل كامل، والله مطلق منزه عن ذلك.
حاول البعض بناءً على مقولة "المنهج التاريخاني" إلصاق النص بالتاريخ لتسويغ التخلي عنه الآن، وبالرغم من أن محمد أركون المفكر الجزائري كان سباقاً منذ الثمانينيات إلى هذا المنهج، فقد اشتهر به نصر حامد أبو زيد بسبب قضية طلاق زوجته في المحاكم المصرية بتهمة الارتداد عن الدين، بسبب اعتناقه لهذه الفكرة في منتصف التسعينيات. وبينما كان محمد أركون يصدر عن عقيدة علمانية ليبرالية، كان نصر حامد أبو زيد يصدر عن عقيدة ماركسية. وفي كلا الحالتين كان يراد من المنهج التاريخي تأمين انسلاخ جماعي للمسلمين من كتابهم الكريم، من أجل تسليمهم للوضعيَّة، والدخول في الحداثة الغربية المادية بحسن نيّة وبسوئها ( ) . وتعني تاريخية النص عند العلمانيين ارتباط النص بواقعه وظروفه التي تنزل فيها إلى درجة اعتبرت أسباب النزول تساوي التاريخية وتعبر عن حقيقتها ومعناها ( ) . فالتاريخ في رأيهم هو الذي أسقط كثيرا من الأحكام ، ومن أقوال العلمانيين في قضية التارخية: " فتعاليم القرآن المقدسة مرتبطة بظروف تاريخية " ( ) . "أي ارتباطه بالواقع السياسي الاجتماعي الثقافي الذي أنتجه أو على الأقل الذي تحرك فيه " ( ) . "والعقائد الإسلامية وصياغتها ذات طابع تاريخي" ( ) . "والنص القرآني أتى ليجيب عن مشكلات بشرية ينتمي إلى زمن تاريخي معين، وحقل جغرافي محدّد " ( ) . ولا يتسنى حسن فهمه دون تنزيله في ظروفه التاريخية التي تشكل داخلها ( ) . فالقرآن إذن خطاب تاريخي ... لا يتضمن معنى مفارقا جوهريا ثابتا ( ). والرسالة القرآنية موجهة إلى أناس بأعيانهم في القرن السابع، وتتضمن ظواهر ميثية تتناسب مع ثقافة ذلك العص مثل الجنة، وإبليس، والشياطين، والملائكة، والطوفان، وعمر نوح، وهي ظواهر بعيدة اليوم عن التصورات الحديثة ( ) .
ويعتبر أركون من أقدم الذين تحدثوا عن تاريخية القرآن بشكل واضح وصريح ومباشر ، ففي مؤتمر عقد في بارس سنة 1974م قال في ردوده على المناقشات التي أثارها بحثه "أريد لقراءتي هذه أن تطرح مشكلة لم تطرح عمليا قط بهذا الشكل من قبل الفكر الإسلامي ألا وهي تاريخية القرآن، وتاريخية ارتباطه بلحظة زمنية وتاريخية معينة، حيث كان العقل يمارس آليته وعمله بطريقة محددة ( ) . ومن أمثلة التاريخية في الشريعة الإسلامية هي الأحوال العارضة للبشرية والمتغيرة ، فإذا ذهبت ذهبت أحكامها معها، وليس في ذلك ما يضير الإسلام، مثل العبيد والإمامء وتعدد الزوجات ، مما لا يمكن اعتباره جزءا من الإسلام ( ) . فكانت المرأة في الجاهلية متاعا يورث، ثم أعطاها الإسلام نصف الرجل في حالات وسوّى بينهما في حالات كثيرة، ولم يقرر الإسلام نزول ميراث المرأة عن الرجل كأصل من أصوله التي لا يتخطاها، والمرأة اليوم بتأثير العصر وروحه أصبحت تسير جنبا إلى جنب مع الرجل في كل المجالات والأحوال، وأصبحت تزاحمه في كل التخصصات، ولذلك أن الإسلام في جوهره لا يمانع في تقرير هذه المساواة من كامل وجوهها متى انتهت أسباب التفوق ، وتفورت الوسائل الموجبة ( ) . وفي قضية الحجاب أنهم اعتبروا ستر الوجه عادة فارسية تسربت إلى المجتمع الإسلامي ( ) . وأن نزع الحجاب ما هو إلا إعادة للمجتمع إلى المجتمع المتحضر الذي كان في عهد النبي  والذي هو مثيل للمجتمع الأوربي المعاصر ( ) .
ويرى أركون أنه بالتاريخية سنتخلص من العنف المسمى بالجهاد الأصغر ( ) . ويعني بالعنف هو قوله تعالى:  قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ  -التوبة: 29- . وقوله تعالى :  فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوْهُمْ  -التوبة: 5- . وهذه الآية آية السيف تقع بين تيارين: الحرفيين الذين يقتلون بها، والليبراليين المحرجين منها في المحافل الدولية التي تدعو لحقوق الإنسان، وسبب الإحراج أنهم ينكرون أو يجهلون تاريخية القرآن ( ) . وينكرون أن هذه الآيات ليست إلا تعبيرا عن البنية الفكرية للفضاء العقلي القروسطي ( ) . ولذلك فيه متناقضة مع حقوق الإنسان، وتولد الانغلاق العقائدي ( ) . ولو فهمنا ذلك -أي أدركنا التاريخية- فإن النص أي سورة التوبة لا يمكن بعد ذلك أن تكون مرجعية أو تأسيسية، لماذا ؟ لأنها "تأرخنت" ( ) .
وعلى أية حال، فإن أسباب النزول في رأيهم يجب قصرها في الآيات التي نزلت بها.
وأما الهدف الأساسي للهرمنيوطيقا هو: "أن يعاد فهم النصوص وتأويلها بنفي المفاهيم التاريخية الاجتماعية الأصلية وإحلال المفاهيم المعاصرة الأكثر إنسانية وتقدمًا ، مع ثبات مضمون النص. إن الألفاظ القديمة لا تزال حية مستعملة لكنها اكتسبت دلالات مجازية" ( ) . ومن هنا يدّعي الدكتور نصر أبو زيد أن "الهرمنيوطيقا الغربي" صالح لتفسير النصوص الدينية من القرآن الكريم والسنة النبوية، فلا نحتاج إلى أداوت ومناهج إسلامية أخرى -كعلم أصول الفقه ، والتفسير، والتأويل وغيرها- في فهم قضايا الدينية ، يقول نصر أبو زيد: "وتعد الهرمنيوطيقا الجدلية عند جادامر بعد تعديلها من خلال منظور جدلي مادي، نقطة بدء أصيلة للنظر إلى علاقة المفسر بالنص لا في النصوص الأدبية ونظرية الأدب فحسب، بل في إعادة النظر في تراثنا الديني حول تفسير القرآن منذ أقدم عصوره وحتى الآن" ( ) . ومن ثم فإنه يطالب بالتحرر من سلطة "النصوص" وأولها "القرآن الكريم" الذي قال عنه: "القرآن هو النص الأول والمركزي في الثقافة" ( ) . لقد صار القرآن هو "نص" بألف ولام العهد ( ) . هو النص المهيمن والمسيطر في الثقافة ( ). فالنص نفسه - القرآن - يؤسس ذاته دينًا وتراثًا في الوقت نفسه ( ) .
ويرى نصر أبو زيد ضرورة التحرر من النصوص القرآنية لأنها نص جامد ثابت المعنى والدلالة( )، فقال : "وقد آن أوان المراجعة والانتقال إلى مرحلة التحرر لا من سلطة النصوص وحدها، بل من كل سلطة تعوق مسيرة الإنسان في عالمنا، علينا أن نقوم بهذا الآن وفورًا قبل أن يجرفنا الطوفان"( ) . وذلك في رأيه أن القرآن منتج ثقافي فيقول: "إن النص في حقيقته وجوهره منتج ثقافي" ( ) . ويضيف قائلا: "إن القول بأن النص منتج ثقافي يكون في هذه الحالة قضية بديهية لا تحتاج إلى إثبات" ( ) . ويقول:" الأوضاع والظروف التي أنتجت النص "( ).
وقد أكد هذا الرأي الدكتور على حرب العلماني إذ ذهب إلى أن أصحاب الفكر الحر من أمثال أركون، أدونيس، أبو زيد من نقاد الوحي والشريعة واعتبروهم من أهل التذكرة، وذوي البصيرة أي ذوي الألباب ( ) . وذهب إلى أن الهدف الأساسي لمشروع التنوير عند نصر حامد أبو زيد هو " النقد والتحليل، خطاب الوحي، بجعله مادة لمعرفة نقدية عقلانية ، شأنه بذلك شأن أي خطاب بشرى وأي إنتاج معرفي ... مستلهمًا موقف طه حسين الذي اعتبره أبو زيد الفدائي الأول في مقاومته للنظرة التقديسية إلى النصوص الدينية ( ) . وأضاف بأن كتاب "مفهوم النص" لأبي زيد في حقيقته كتاب النقد للنصوص الدينية لما يتناول فيه القرآن وعلومه تناولاً تحليليًا نقديًا ... أجل إنها لجرأة بالغة أن يتعامل باحثنا مع النص القرآني بوصفه منتجًا ثقافيًا، أنتجه واقع بشري تاريخي( ). وإعجاز القرآن ليس مجرد كونه ينطوي على تشريع أو تسنين ، وإنما كونه ينفتح على كل معنى بحيث يمكن أن تتمرأى فيه كل الذوات وأن تُقرأ فيه مختلف العقائد والشرائع ( ) . ويقول حسن حنفي : "إن النقل وحده لا يثبت شيئا، وقال الله وقال الرسول لا يعتبر حجة" ( ) . " ولقد خسرنا الآن بالرجوع إلى النص الخام ، وفي اعتمادنا على قال الله ، وقال الرسول ... وأصبحنا أسرى النصوص " ( ) . وادّعى نصر أبو زيد بأن: "فهم النص لا يبدأ من قراءة النص، وإنما يبدأ من خلفية القارئ ، وثقافته ، والدوال المكونة لهذه الثقافة ، وآفاقه المعرفية وبين النص" ( ). وأضاف بأن: "اعتماد حل المشكلات على مرجعية النصوص الإسلامية من شأنه أن يؤدى إلى إهدار حق المواطن بالنسبة لغير المسلمين" ( ).
ومن هنا استعان العلمانيون بنظرية "الهرمنيوطيقية الغربية" في بيان وشرح معاني القرآن وبخاصة فيما يتعلق بالقضايا الأخروية ومسائل الغيب، ثم في النهاية رأوا أنها أسطورة بحت، ذلك لأن القرآن في منظورهم ذو بنية أسطورية، ويموه ويعمي ويستر الحقائق ، ولا يمكن الوصول إلى حقيقته بعد موت جيل الصحابة -كما صرح بذلك أركون- ( ) . فينقل نصر أبو زيد -وغيره من العلمانيين- هذه النظرية، ليقوم بنفس الغاية التي توصّل إليها هؤلاء الملاحدة مع الكتب اليهودية والمسيحية، وبدل أن يكتفوا بإظهار أساطير القوم، الأساطير التي أظهرها الإسلام من قبلهم، أقبل نيتشه مثلاً وأعلن "أن الله قد مات" وقال ماركس بأن الحياة مادة ولا إله. وغير ذلك من خرافات وترهات الماديين الماركسيين. وبهذه الأدوات حاول "أبو زيد" أن يتعامل مع القرآن وبهذه العيون الغربية التي كلما وجدت - أو قرأت أو سمعت - اسم الله اشمأزت منه، اشمأزت منه قلوب الذين كفروا، واعتبرته رمزًا لا يقول شيئًا ولا يعنى شيئًا إنما هو حقيقة زائفة أو نافدة نطل منها على معان مناقضة لحقيقتها تمامًا.
بهذه الموازين المادية التي تنفي وجود الله وتلغي عالم الغيب لصالح عالم الحس انتهج نصر أبو زيد طريقًا في تحليل القرآن وتفسيره أي بأفق الماركسية والمادية الجدلية والهرمنيوطيقا الجدلية. بهذه الموازين نظر إلى القرآن وآياته وإلى التفسير والمعاني المستنبطة منه، ويؤكد على ذلك بقوله:"وتعد الهرمنيوطيقا الجدلية عند جادامر بعد تعديلها من خلال منظور جدلي مادي، نقطة بدء أصلية للنظر إلى علاقة المفسر بالنص لا في النصوص الأدبية، ونظرية الأدب فحسب، بل في إعادة النظر في تراثنا الديني حول تفسير القرآن منذ أقدم عصوره وحتى الآن؛ لنرى كيف اختلفت الرؤى، ومدى تاثير كل عصر -من خلال ظروفه- للنص القرآني" ( ) .
إنه يجعل هذه الأدوات الإلحادية هي نقطة الانطلاق لتأويلاتها، فينزع عن القرآن مضمونة باعتبار أن مضمون القرآن أسطوري غيبي، ويعطيه دلالات ومضامين أخرى يزعم أنها الوعي بالتاريخ والعالم والنصوص. يقول عن وعيه الجديد إنه: "وعي ينقل الثقافة ، كما نقل المواطن من حالة إلى حالة، ومن مرحلة "الوعي الديني الغيبي الأسطوري" إلى مرحلة "الوعي العلمي"( ).
وهو هنا يعطي للنظرية المادية التي تنكر الله سبحانه وتعالى وترفض الوحي، يعطيها صفة العلمية والهيمنة على القرآن. ويريد أن ينقل الثقافة الإسلامية والحقائق الإسلامية إلى حالة أخرى مغايرة لها تمامًا، حالة الوعي الماركسي والفرويدي اللعين، والذي أدى في عالم الغرب إلى فصل الإنسان عن ربه وخالقه ومبدعه في نفس الوقت الذي أنزله إلى مرتبة الحيوان –دارون (Charles Robert Darwin)- وحلل نفسيته بأنها حيوان أشد ولوغًا في الجنس من الحيوان.
إن هذا الوعي العلمي المتطرف في حكمه على الدين أدى إلى خلل كبير: "إن التصور الغربي للإنسان يشتمل على خلل أساسيين: الخلل الأول هو اعتبار أن الإنسان هو ذلك الحيوان الدارويني المتطور ، الذي قدمته نظرية دارون في القرن الماضي، وما تزال تغذيه في كثير من مجالات الدراسة، والدراسات الاجتماعية بصفة خاصة، والخلل الثاني هو دراسة الإنسان بمعزل عن خالقه الذي أنشأه وأخرجه إلى الوجود" ( ) .
من بعض المفاهيم العلمانية التي قدّمها نصر أبو زيد:
- يرى أن عذاب القبر ونعيمه ومشاهد القيامة والسير على الصراط ... إلى آخر ذلك كله من تصورات أسطورية ( ). فهو إذن ينفي حقائق القرآن ويجعلها أسطورية.
- يدّعى أن أساس الوحي ليس هو التنزيل السماوي، وأنه ليس تبليغ رسول الله  إلى الناس وحيًا من الله وإنما أساسه هو ما كان يعتقده العربي من إمكانية الاتصال بين البشر والجن- وقد قال بأن هذه الإمكانية أسطورية كما سيأتي بعد قليل، بالإضافة إلى حضور وبروز ظاهرتي الشعر والكهانة في المعرفي/ التاريخي عند العرب وارتباطهما بالجن: "لقد كان ارتباط ظاهرتي (الشعر والكهانة) بالجن في العقل العربي وما ارتبط بهما من اعتقاد العربي بإمكانية الاتصال بين البشر والجن هو الأساس الثقافي لظاهرة الوحي الديني ذاتها" ( ) .
- يرى أن الوحي ظاهرة في الثقافة، وأن الثقافة إفراز ونتائج التطورات المادية والبنى الاقتصادية والاجتماعية. فظاهرة النص ، وظاهرة الوحي ، وظاهرة النبوة ، والظاهرة الدينية -وهى أوصاف نصر أبو زيد- نتاج البيئة، والنبوة عنده ليست ظاهر فوقية مفارقة ( ) . وإنما هي فاعلية خلاقة لم تتجاوز الآفاق المعرفية للجماعة التاريخية، وهى آفاق تحكمها طبيعة البنى الاقتصادية والاجتماعية لهذه الجماعة»( ) . فظاهرة الوحي - بحسب وصفه للوحي وزعمه عنه - لم تكن غريبة عن الرسول فهو: "كان يعانى دون شك إحساسًا طاغيًا بالإهمال والضياع" ( ) . ولأنه - بحسب زعم نصر أبو زيد- لم يكن يعزل نفسه عن الواقع ولا عن استخدام إمكانياته وتطويرها لصالحه وما يدعو إليه فقد كرر في النص القرآني ، الذي يبدأ بـ (اقرأ باسم ربك الذي خلق) الفعل "خلق" ليعوض عن إحساسه بالإهمال الذي لقيه من المجتمع وليختلق له ربا. يقول: "ولا شك أن إحساس محمد الذي تتوجه إليه هذه الرسالة - بأن ربه هو الذي خلق، يتصاعد بذاته وبقيمته وأهميته، ويداوي إحساس اليتم والفقر في أعماقه. ولأن محمدًا لا يعزل نفسه من الواقع وعن إنسان مجتمعه فإن النص يكرر الفعل (خلق) كاشفًا لمحمد عن تساؤلاته عن الإنسان" ( ). إن المتحدث إلى محمد بالوحي ليس غريبًا عنه ( ) .
هكذا جعل نصر أبو زيد "النص" من إنتاج محمد  الذي لا يعزل نفسه عن الواقع ولذلك، ولسبب إحساسه بالفقر واليتم، كرر الفعل (خلق) في هذه السورة مرات ليشعر بأن له كفيلاً وعائلاً ووكيلاً. فمشروعه هو وضع التصورات الماركسية والمضامين المادية الجدلية وتفسيراتها للحياة والكون والإنسان والوحي والنبوة والغيب والعقيدة في المعنى القرآني فيصير القرآن ماركسيًا ينطق باسم ماركس وفلاسفة المادية الجدلية والهرمنيوطيقا "نظرية تفسير مادية" فيغير بذلك المفاهيم الرئيسة للقرآن، ويلغي المعاني الحقيقية للسور والآيات، ويطمس الحقائق الدينية التي رسخها القرآن وبينتها السنة . وهو لا يفعل في معركته مع الإسلام وتاريخه وعلمائه المحدثين والقدامى إلا ما يفعله الماركسيون العرب إحياء للموقف اللينيني الذي وظف التراث في الصراع الأيديولوجي ، فلينين -كما يقول جورج طرابيشي- هو أول من دعا إلى التعاطي مع التراث بمنهج البضع والبتر من خلال مناقشاته في مطلع القرن مع الشيوعيون الروس ... فلينين ... لم يكن يهمه من التراث حقيقته التاريخية، بل قابليته للتوظيف في الصراع الأيديولوجي( ) .إنه منهج الإسقاط الأيديولوجي ، الذي يستخدم القرآن للأيديولوجية المسبقة، يقول طرابيشي - العلماني- : "منهج الإسقاط الأيديولوجي يتنطع أكثر من الفهم أو عدم الفهم، فهو ينصب نفسه جراحًا يريد إخضاع التراث لعملية جراحية ليستأصل منه ما يعتقد أنه أورامه الخبيثة، وتراءى لنا، من وجهة نظر تاريخية، أن قصب السبق في مداورة المنهج البضعي أو البتري يعود إلى المثقفين والباحثين الملتزمين بالرؤية الماركسية للعالم " ( ) .هذه خبرة طرابيشي من داخل الماركسية يقول عن نفسه: "فلقد كان لكاتب هذه السطور ، هو أيضًا طور ماركسي في تطوره الفكري" ( ) . ولا يعنى ضبط طرابيشي هؤلاء الماركسيين متلبسين بالتلاعب بالتراث أنه معنا داخل الأسوار فهو أولا نصراني ثم ماركسي ثم أخيرًا فرويدي فاحش.يقول أبو زيد: "فالواقع أولاً والواقع ثانيًا ، والواقع أخيرًا " ( ) .
مما سبق يتبين لنا أن استخدام الهرمنيوطيقية الغربية لدى المفكرين العلمانيين العرب هدفهم لتقويض قداسة القرآن الكريم . ومن هنا نستطيع القول بأن عملهم لا يمت للتأويل المعتبر شرعا بأي صلة، بل هو من قبيل تحريف النصوص والتلاعب بها، وبيان ذلك -كما سبق- أن التأويل في اصطلاح أهل العلم يراد به صرف اللفظ عن ظاهره لدليل صحيح من كتاب أو سنة، أما صرفه عن ظاهره لا لدليل، فهذا لا يسمى تأويلا، وإنما تلاعب بنصوص القرآن والسنة. فأولوا كثيرا من آيات القرآن، وأحاديث النبي  على النحو الذي فعله الباطنية قديما. وقالوا بتقسيم الشريعة إلى الظاهر والباطن. ولم يكن التشابه والتوافق بين الباطنية والعلمانية منحصرا في التأويل وتقسيم النصوص إلى الظاهر والباطن فحسب، بل تداخل أكثر من هذا، حيث اتفقت آراء الباطنية مع العلمانيين في كثير من المسائل الدينية وبخاصة في مسألة السمعيات.
وعلى أية حال، فإن التأويل العلماني الموسوم بـ "الهرمنيوطيقية الغربية" لا أصل له من لغة أو عقل، أو دين، وهو في الحقيقة محاولة لتغيير أصول الإسلام والإيمان ودعوة إلى التحلل والإباحة. والله أعلم بالصواب.
______________________________________________________________

CONTEMPORARY RELIGIOUS DISCOURSE (2) في ضوء الخطاب الديني المعاصر

القسم الثاني
التأويل والخطاب الديني المعاصر
Religious discourse & Ta’wil
الدكتور/ كمال الدين نور الدين مرجوني
ظهرت قضية التأويل في الفكر الاسلامى المعاصر إثر ظهور قضية الدكتور نصر أبو زيد، فأصبح التأويل حينذاك قضية ثقافية عامة، وفي نفس الوقت تعد إشكالية التأويل إحدى القضايا الهامة في مجال الدراسات الفلسفية خاصة الفلسفة الدينية، فالتأويل مسألة خطيرة لأنها تتصل ببحث الجوانب الدقيقة في القضايا الدينية. ومن هنا يجدر لنا التوضيح عن معنى التأويل، والعلاقة بين التأويل والإسلام والمسلمين، وتاريخ التأويل لدى المسلمين والفرق الاسلامية.
تعريف التأويل بمعناه اللغوي :
بعد التتبع والرجوع إلى المعاجم اللغوية القديمة للوقوف على أصل الاستعمال اللغوي لكلمة "تأويل" عند العرب، يتبين أن استعمالها كان يدور على معنيين فقط هما:
1) الرجوع، والمآل، والعاقبة، والعود، والمصير، والحقيقة.
2) التفسير، والبيان.
ونورد فيما يلي ما قاله علماء اللغة في معنى التأويل.
المعنى الأول: الرجوع، والمآل، والعاقبة، والمصير، والحقيقة: ففي معاجم اللغة التي ألفت قبل نهاية القرن الرابع الهجري مثل:
- كتاب (تهذيب اللغة) للأزهري، نجده يقول: "الأول الرجوع ، وقد آل يؤول أولا ، وعن الأصمعي آل القطران يؤول إذا خير – أي : تغير - ، قال : وآل مآله يؤوله إيالة إذا أصلحه وساسه ، ويقال : طبخت النبيذ حتى آل إلى الثلث أو الربع أي رجع " ( ). وهكذا نرى أن هذه المادة (أول) عند الأزهري في كل استعمالاتها تفيد معنى الرجوع والعود.
- وفي معجم مقاييس اللغة لابن فارس: "يقال أو الحكم إلى أهله، أي : رجعه، ورده إليهم، وآل جسم الرجل، إذا نحف، أي يرجع إلى تلك الحال. ومن هذا الباب: تأويل الكلام وهو عاقبته، وما يؤول إليه، وذلك قوله تعالى:  هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ  - الأعراف: 53 -. يقول: ما يؤول إليه في وقت بعثهم ونشورهم" ( ) .
- وفي جمهرة اللغة: "ويقال: آل الرجل عن الشيء، إذا ارتد عنه" ( ) .
- وفي الصحاح: "آل: أي: رجع، يقال: طبخت الشراب فآل إلى قدر كذا وكذا، أي أرجع "( ).
وعن المعنى الثاني : التفسير والبيان.
ورد في تهذيب اللغة: "التأويل والتفسير واحد، ألت الشيء، جمعته وأصلحته، فكأن التأويل، جمع معان مشكلة بلفظ واضح لا إشكال فيه. التأول والتأويل: تفسير الكلام الذي يختلف معانيه، ولا يصح إلا ببيان غير لفظه" ( ) .
يتضح مما سبق أن المعاجم اللغوية القديمة قد اتفقت على استعمال لفظ التأويل في المعنيين السابقين فقط، وعليهما درجت استعمالات السلف، ومن أقوى ما يدل على ذلك استعمال الرسول صلى الله عليه وسلم لكمة التأويل في هذين المعنيين فقط.
ومن استعماله التأويل بالمعنى الأول : المرجع، والمصير، والحقيقة: قوله في بيان قوله تعالى :  قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ  – الأنعام: 65 -، عندما سئل عن معناها: (أما إنها كائنة ولم يأت تأويلها بعد) ( ) .
ومن استعمال رسول  ذلك بالمعنى الثاني: التفسير والبيان، ما ورد في دعائه لابن عباس رضي الله عنهما، حيث قال عليه الصلاة والسلام: (اللهم فقهه في الدين ، وعلمه التأويل) ( ) . ولما نزل قوله تعالى:  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ  – آل عمران: 7 – . قال ابن عباس رضي الله عنهما: "أنا ممن يعلم تأويله"، والمراد بقول ابن عباس السابق يعني به: أنه يعلم تفسيره وبيانه، وكل ما ورد عن ابن عباس من أنه يعلم تأويل القرآن فيجب حمله على معنى التفسير والبيان، ولا يجوز القول بأنه يعلم حقائق تأويل القرآن الخارجية، لأن ذلك من الغيوب التي استأثره الله بعلمها ( ).
فالتأويل الذي قصده ابن عباس والذي دعا به الرسول له، وأخبرنا ابن عباس عن علمه به، هو معرفة معاني الآيات القرآنية التي نقلت عنه.
تعريف التأويل بمعناه الاصطلاحي
وقد ظهرت لكلمة التأويل معنى ثالث في عصور متأخرة لم يكن معروفا في عصر الصحابة والتابعين وتابعيهم ، فلم يظهر إلا متأخرا لدى الفرق الكلامية، والفلاسفة، والصوفية وعلماء الأصول، والبلاغيين.
فقد أطلق المتأخرون معنى للتأويل غير المعنيين السابقين، فقالوا: "التأويل هو صرف اللفظ عن المعنى الراجح إلى المعنى المرجوح لدليل يقترن به" ( ) .
وفي نفس التعريف السابق يقول الإمام الشوكاني (تـ1250هـ): " هو صرف الكلام عن ظاهره إلى معنى يحتمله، أو حمل الظاهر على المحتمل المرجوح " ( ). ويظهر من هذا أن كل متأول يحتاج إلى بيان احتمال اللفظ لما حمله عليه ثم إلى دليل صارف له ( ) .
وهذا هو التأويل الذي يتكلمون عليه في أصول الفقه ومسائل الخلاف، فإذا قال: هذا النص مؤول أو محمول، قال له الآخر: هذا تأويل. وهذا ما يدلنا على أن هذا المعنى للتأويل ظهر في جو بعيد عن المجال اللغوي، خاصة لغة العرب المتقدمة، التي نبهت في استخدامها للتأويل على أنه من آل يوول إذا عاد ورجع، ومنه المآل والمرجع.
ولهذا يؤكد الدكتور الجَلَيَنْدْ على أن التأويل بمعناه الثالث أو الأخير لم يرد في المعاجم المتقدّمة، وإنما ورد في لسان العرب وتاج العروس، وكلاهما من نتاج العصور المتأخّرة عن عصور الرواية والاستشهاد والاحتجاج ( ).
ومن الضرورة الإشارة هنا ، إلى أن مجال التأويل في المفهوم العام عند العلماء كما سبق ذكره ، كله يدور حول المتشابهات، وعلى الرغم من قلة هذه المتشابهات ، فقد اختلف العلماء فيها ( ) . وقد تكلم العلماء في تأويل المتشابهات للرد على المجسمة والمشبهة . ولذلك ، فلا يتطرق التأويل بشيء إلى المحكمات. يقول الله  :  هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا  - سورة ال عمران : 7 -. فيدل ذلك على أن التفسير خاص بالآيات المحكمات لتفصيل مجملها وشرح غامضها، والتأويل ينصب على المتشابهات لبيان دلالتها الصحيحة ( ) . ويذكر الإمام فخر الدين الرازي أن: " جميع فرق الإسلام مقرون بأنه لا بد من التأويل في بعض ظواهر القرآن والأخبار " ( ) . وهذا البعض هو: المتشابه الذي تكلم فيه العلماء مجتهدين، وهم يعلمون أن اليقين الذي هو الصواب، لا يعلمه إلا الله، وذلك مثل المشكلات التي اختلف المتأولون في تأويلها، وتكلم من تكلم على ما أداه الاجتهاد إليه ( ) .
وعلى هذا، فإن التأويل العقلي لبعض نصوص معينة من الآيات المتشابهات والسنة النبوية ، قضية أقرّها بعض المذاهب الكلامية عامة وبخاصة المعتزلة والمتكلمون من الأشاعرة، وأما السلف فقد جنح بعضهم إلى التأويل، حيث فسروا معنى " المعية " في الآيتين من قوله :  أَلَمْ تَرَى أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا  - سورة المجالدة : 7 -. وقوله :  هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنْ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ  - سورة الحديد: 4-. بأنها معية العلم لا معية الذات ، لأن الله  افتتح الآيتين بالعلم بهم وختمها به، فدل على أنه أراد العلم بهم وبأعمالهم ، لا أنه نفسه في كل مكان معهم ( ) .
والجدير بالإشارة هنا أن التأويل يحتاج إلى دليل، ويجب على المتأول للنص ما يلي:
1) أن يبين احتمال اللفظ للمعنى الذي ادعاه.
2) وأن يذكر الدليل الموجب للصرف عن المعنى الظاهر، وهذا هو التأويل الذي يتنازع فيه الناس في مسائل الصفات ( ) .
وروي الترمذي عن ابن عباس عن النبي  قال: « اتقوا الحديث عني إلا ما علمتم ، فمن كذب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ، ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار » ( ). والمراد بهذا كما يرى الإمام القرطبي أن ا النهي يحمل على أحد وجهين:
- الوجه الأول: أن يكون له في الشيء رأي ، وإليه ميل من طبعه وهواه، فيتأول القرآن على وفق رأيه وهواه، ليحتج على تصحيح غرضه ، ولولم يكن له ذلك الرأي والهوى لكان لا يلوح له من القرآن ذلك المعنى. وهذا النوع يكون تارة مع العلم الذي يحتج ببعض آيات القرآن على تصحيح بدعته، وهو يعلم أن ليس المراد بالآية ذلك ، ولكن مقصوده أن يُلبِّس على خصمه. وتارة يكونو مع الجهل، وذلك إذا كانت الآية محتملة فيميل فهمه إلى الوجه الذي يوافق غرضه، ويرجح ذلك الجانب برأيه وهواه ، فيكون قد فسره برأيه. وتارة يكون له غرض صحيح ، فيطلب له دليلا من القرآن ويستدل عليه بما يعلم أنه ما أريد به ، كمن يدعو إلى مجاهدة القلب القاسي ، فيقول : قال الله تعالى : اذْهَبْ إِلَىَ فِرْعَوْنَ إِنّهُ طَغَىَ - طه : 24 - ويشير إلى قلبه، ويومئ إلى أنه المراد بفرعون، وهذا الجنس قد يستعمله بعض الوعاظ في المقاصد الصحيحة، تحسينا للكلام وترغيبا للمستمع ، وهو ممنوع، لأنه قياس في اللغة، وذلك غير جائز.
- الوجه الثاني: أن يتسارع إلى تفسير القرآن بظاهر العربية، من غير استظهار بالسماع والنقل فيما يتعلق بغرائب القرآن وما فيه من الألفاظ المبهمة والمبدلة، وما فيه من الاختصار، والحذف، والإضمار، والتقديم والتأخير، فمن لم يحكم ظاهر التفسير وبادر إلى استنباط المعاني بمجرد فهم العربية كثر غلطه، ودخل في زمرة من فسر القرآن بالرأي. وكذا إذا ورد شيء من خبر الرسول  وكان موهوما في العقل، فالعمل بالخبر رغم توهم العقل فيه، ولا يجوز التأويل فيه، أو إذا ورد عنه  وثبت عنه نصّ في شيء لا يحتمل التأويل كان الوقوف عنده ( ) .
ومن هنا كان التأويل الذي يذهب إليه العلماء هو التأويل الناهض على هدى اللغة ومنطق العقل، وموافقة الشرع. وليس التأويل العلماني الذي فسر كثيرا من آيات القرآن على النحو من التأويل الباطني المعروف لدى الشيعة وخاصة الشيعة الإسماعيلية الباطنية ( ).

CONTEMPORARY RELIGIOUS DISCOURSE (1) في ضوء الخطاب الديني المعاصر


 القسم الأول
الخطاب الديني وضرورة التجديد
Religious discourse and the need for renewal
الدكتور/ كمال الدين نور الدين مرجوني
المقدمة:
إن الغاية الأساسية من هذا البحث، هي إثارة إشكالية التأويل والهرمنيوطيقا في الفلسفة المعاصرة -غير الإسلامية-، وتحليل مظاهرها وملابساتها، ودراسة أهم مصادرها النظرية.
وتهدف هذه الدراسة إلى استكشاف وتوضيح الإشكالية التي تقع على فلسفة الدين في عصرنا المعاصر، وهي اشكالية التأويل الإسلامي والهرمنيوطيقا الغربي، علما بأن أصحاب الخطاب العلماني العربي وغيره من الإسلاميين، قد استعانوا بالهرمنيوطيقا واستخدموه في كثير من بحوثهم وكتاباتهم بدلا من نظرية "التأويل الإسلامي" المعروف والمشروع في الفكر الإسلامي. فأعطوا للهرمنيوطيقا مساحة كبيرة وواسعة. ظنا منهم أنه صالح لمعالجة قضايا الدين الإسلامي. وخير شاهد على ذلك ما كتبه عدد من المفكرين العلمانيين من أمثال: د. محمد أركون (تـ 9/2010م)، محمد أبو القاسم حاج محمد، د. محمد عابد الجابري (تـ 5/2010م) د. حسن حنفي، د. نصر حامد أبو زيد (تـ 7/2010م)، طيب تيزيني، على حرب وغيرهم ممن كتبوا كتابات وبحوث وتحدثوا عن الخطاب الإسلامي المعاصر. تحت مظلة "الهرمنيوطيقا" أو "القراءة المعاصرة" أو "نظرة عصرية" أو "التأويل الحديث" أو "المقاربة".
وتجدر الإشارة إلى أن العلمانيين استغلوا مفهوم التأويل وهو اسلامية المصدر والأساس لكونه مفهوما إسلاميا كمدخل إلى الهرمنيوطيقا، وذلك من أجل قراءة النص قراءة حديثة أو تنويرية أو تجديدية -كما يزعمون في الآونة الأخرية-، ففسروا كثيرا من آيات القرآن على النحو من التأويل الباطني المعروف لدى الشيعة وخاصة الشيعة الإسماعيلية، ولا شك أن للقرآن أسراره ولفتاته، وإيماءاته، وإيحاءاته، وهو بحر عظيم لا تنقذ كنوزه ولا تنقضي عجائبه، ولا ينتهي إعجازه، وكل ذلك مما يتسع له اللفظ ولا يخرج عن إطر المعنى العام، ولكن دعوى أولئك العلمانيين غريبة في هذا المقصد، وهي بعينه تأويلات باطنية -كما سيأتي بيانها- لا تتصل بمدلولات الألفاظ ولا بمفهومها، ولا بالسياق القرآني، بل هي مخالفة للنص القرآني تماما، هدفها هو البحث في كتاب الله عن أصل يؤيد شذوذهم، وغايتها الصد عن كتاب الله عز وجل.
ويهدف هذا البحث أيضا إلى التنبيه أن هذه القرآءة المعاصرة أو التأويل الهرمنيوطيقا الغربي قضية قديمة قدم نشأة الفرق الكلامية ، وهي في الحقيقة قراءة باطنية وتأويل باطني، فجوهر الدعوة هو هو، كما يتضح فيما بعد من هذا البحث أنهما متفقان في طريق التأويل وهو التأويل الخارج عن دلالات اللغة العربية والأصول الشرعية، ففي رأيهم أن آيات القرآن لا تفهم في سياقها، بل بحسب كونها رموزا، وليست مجرد دلائل لسانية بسيطة. وأن النصوص القرآنية دائمة قابلة للتفسير والتأويل مهما كان، حيث أن تلك النصوص لا تنتهي عند دلالة معينة، ولا تقف عند حد. ذلك لأن الأصل والأساس عندهم أولا وأخيرا هو التأويل، وهذا مخالف لما اتفق عليه العلماء والمذاهب والفرق الدينية الإسلامية، فهم يعتبرون التأويل ليس هو الأساس، ولا هو الأصل، ولا هو المبدأ، وإنما يكون التأويل عند تعذر الظاهر  . وعلى أية حال، أثارت أطروحات المفكرين  العلمانيين الكثير من الجدل في الأوساط الإسلامية.
ومن هناأمامنا إشكالية وأسئلة مطروحة تحتاج إلى جواب وبيان هي: هل الخطاب الديني محتاج إلى التجديد، وإذا كانت الإجابة نعم، فبأي وسيلة من هذين الوسيلتين: الأول: فهل التجديد عن طريق التأويل الإسلامي. أوالثاني: وهو عن طريق الهرمنيوطيقية الغربية. وبهذا اقتضت طبيعة هذا البحث أن يقع في ثلاثة أقسام:
- القسم الأول: الخطاب الديني وضرورة التجديد.
Religious discourse and the need for renewal
- القسم الثاني: التأويل والخطاب الديني المعاصر.
Religious discourse & Ta’wil
- القسم الثالث: نظرية الهرمنيوطيقية الغربية.
Teory of Hermeneutic
القسم الأول
الخطاب الديني وضرورة التجديد
Religious discourse and the need for renewal
وقد كثر الكلام في الآونة الأخيرة عن ضرورة التجديد في الخطاب الديني أو إعادة النظر في الفكر الإسلامي المعاصر ، ودعت إلى ذلك شخصيات علمية عدة من المفكرين وأساتذة الجامعات العربية والإسلامية ، وتناولته مؤتمرات عدة ، ولم يتوقف مثل ذلك الحديث عند حد.
والجدير بالذكر أن الخطاب الديني مصطلح جديد وحديث الولادة، ذاع في العصر الحديث، وهو إصطلاح فلسفي، يقارب في الدلالة المقولةَ الفلسفية؛ فالخطاب الفلسفي لفلان ، هو منهاجه في التفكير والتصوّر وفي التعبير عن أفكاره وتصوراته، وهذا الخطاب يَتَعَارَضُ أو يَتَوَافَقُ مع الخطاب الفلسفي لفلان. وأول من أطلقه الغرب، ولم يُعرف هذا الاصطلاح من قبل في ثقافة المسلمين، بمعنى أنه ليس مصطلحا له وضع شرعي في الإسلام كالمصطلحات الشرعية الأخرى مثل الجهاد والخلافة والديار والخراج .... الخ، وإنما هو مصطلح جديد، اصطلح عليه أهل هذا الزمان. ومن هنا، يجب التفرقة بين الخطاب الديني والنص الديني، فالنص هو كل ما ثبت وروده عن الله سبحانه وتعالى وعن رسوله ، وهو فوق المحاسبة والاتهام. أما الخطاب الديني فهو ما يستنبطه ويفهمه ويفسره الفقهاء والعلماء من النص الديني أو من مصادر الاجتهاد.
ويتبادر إلى الذهن تصورا تجتمع فيه ثلاثة معان للتجديد:
1) إن الشيء المجدد قد كان في أول الأمر موجودًا وقائمًا وللناس به عهد.
2) إن هذا الشيء أتت عليه الأيام فأصابه البلى وصار قديمًا.
3) إن ذلك الشيء قد أعيد إلى مثل الحالة التي كان عليها قبل أن يبلى ويخلق.
ولقد استخدمت كلمة "جديد" -وليس لفظ التجديد- في القرآن الكريم بمعنى البعث والإحياء والإعادة -غالبًا للخلق-، وكذلك أشارت السنة النبوية لمفهوم التجديد من خلال المعاني السابقة المتصلة: الخلق- الضعف أو الموت- الإعادة والإحياء. ويعتبر حديث التجديد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله : "إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد دينها" (رواه أبو داود): من أهم الإشارات إلى مفهوم التجديد في السنة النبوية، وقد تعلقت بهذا الحديث مجموعة من الأفكار أهمها:
1) تجديد الدين أي فهم الدين: هو في حقيقته تجديد وإحياء وإصلاح لعلاقة المسلمين بالدين والتفاعل مع أصوله والاهتداء بهديه؛ لتحقيق العمارة الحضارية وتجديد حال المسلمين ولا يعني إطلاقا تبديلاً في الدين أو الشرع ذاته.
2) زمن التجديد: اعتبر بعض الباحثين أن الإشارة الواردة في الحديث عن زمن التجديد على رأس كل مائة إنما هي دلالة على حقيقة استمرارية عملية التجديد ، وتقارب زمانه بحيث يصبح عملية تواصل وتوريث.
3) المجدِّد: اجتهد العلماء في توصيف وتحديد المجدد على رأس كل مائة سنة ، لكن البعض يرى أن المجدد يقصد به الفرد أو الجماعة التي تحمل لواء التجديد في هذا العصر أو ذاك، ويجوز تفرقهم في البلاد، ويعرفهم ابن كثير بأنهم حملة العلم في كل عصر.
ومن هنا نفهم أن التجديد هو إعادة الشيء إلى أصله أو على مثل ما كان عليه، وبذلك فالحديث يقصد إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل قرن من الزمان من يعيد الأمة إلى مسارها الصحيح، ويبدد عنها الانحرافات والضلالات التي أصابت الأمة عبر قرن من الزمان، ومسار الأمة الصحيح إلى يوم القيامة هو كتاب الله عز وجل وسنة رسوله  قال الرسول  في حجة الوداع: «وقد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا أمرا بينا كتاب الله وسنة نبيه». وفي حديث آخر للرسول  عن العرباض بن سارية  قال: وعظنا رَسُول اللَّهِ  موعظة بليغة...، « فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ »، وعن عائشة رَضِيِ اللَّهُ عَنْها قالت قال رَسُول اللَّهِ : « مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ »( ) .
إذن، فمفهوم التجديد في الفكر الإسلامي: يعني الرجوع إلى الطريق الصحيح والنبع الصافي، أو العودة إلى الأصول وإحياءها في حياة الإنسان المسلم ؛ بما يمكن من إحياء ما اندرس ، وتقويم ما انحرف، ومواجهة الحوادث والوقائع المتجددة، من خلال فهمها وإعادة قراءتها تمثلاً للأمر الإلهي المستمر بالقراءة: "اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ" -العلق: 1- ( ) .
مما سبق يتضح أن مبدأ التجديد -منذ البداية- أمر يقبله الاسلام، وتنبأت به بعض الأحاديث وتحدثت عنه، وذكر بعض الدارسين والباحثين عدداً من رجال التجديد التي اعتبروها مجددة خلال القرون الماضية، فاعتبروا عمر بن عبدالعزيز مجدد القرن الهجري الثاني، والشافعي مجدد القرن الهجري الثالث.
ويبدو أن الأستاذ أمين الخولي هو أول من طرح مفهوم التجديد في الدين بمعنى الإصلاح والتغيير، وذلك في عام 1933 في مجلة الرسالة المصرية ( )، وقبله استخدم الإمام السيوطي مصطلح التجديد بمعني الاجتهاد. وارتبط المصطلح أيضا بمعنى الإحياء، كما في كتاب المفكر الهندي وحيد الدين خان "تجديد علوم الدين" وقبله الكتاب الشهير "إحياء علوم الدين" للإمام الغزالي. وحفلت الحياة الفكرية في القرن التاسع عشر وأوائل القرن العشرين بالرد على المستشرقين حول إمكانية التجديد في الدين وملاءمته لكل زمان ومكان ، وربما يكون كتاب عبد المتعال الصعيدي "المجددون في الإسلام" وكتاب محمد إقبال "تجديد الفكر الديني في الإسلام" من أهم ما يعبر عن هذه المرحلة .
ويقوم خطاب الإسلام على أساسين بينهما ارتباط وثيق وامتزاج وتلازم إلى حد عدم الانفصال، وهما مجتمعان يشكلان الخطاب الإسلامي.
أولاً : الوحي :
وهو المتمثل بنصوص القران الكريم ونصوص السنة النبوية، وما أرشد إليه من إجماع صحابة وقياس، وهي المصادر الأربعة التي تقوم عليها الثقافة الإسلامية ، وينتج عنها كل فكر إسلامي، وأول هذه المصادر هو:
1) الكتاب الكريم: (وهو القرآن المنزل علي سيدنا محمد ، وهو ما نقل إلينا بين دفتي المصحف بالأحرف السبعة نقلا متواترا)( ). وهو كلام الله عز وجل الأصل المقطوع به عند جميع المسلمين، وهو المصدر الأول للتشريع كما يقول الأصوليون، قال تعالى:  إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً  - الإسراء: 9 -.
2) السنة النبوية: وهي «كل ما صدر عن الرسول  من قول أو فعل أو تقرير». والسنة هي المصدر الثاني للتشريع والاستدلال بها كالاستدلال بالقران تماما لا فرق بينهما من ناحية الاحتجاج، قال الله تعالى:  فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً  - النساء :59 -، ويكون الرد بعد وفاة الرسول  بإتباع سنته من بعده، قال تعالى:  وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  - الحشر: 7 -، وعن المقداد بن معد يكرب عن الرسول  قال: « إني أوتيت الكتاب وما يعدله، يوشك شبعان على أريكته أن يقول: بيني وبينكم هذا الكتاب فما كان فيه من حلال أحللناه، وما كان فيه من حرام حرمناه، إلا وانه ليس كذلك » ( ) .
3) الإجماع: وهو إجماع الصحابة رضي الله عنهم، وهو حجة باتفاق لأنه قامت الأدلة القطعية على حجيته والخلاف وقع في حجة إجماع من بعدهم وهو الإجماع الوحيد الذي لم يختلف فيه الأصوليون وهو يكشف عن دليل لم يصل إلينا ( ) .
4) القياس: وهو إثبات مثل حكم معلوم في معلوم آخر لاشتراكهما في علة الحكم عند المثبت.
هذه هي المصادر المتفق عليها عند جمهور العلماء، وهي بمجموعها تشكل الأساس الأول الذي يقوم عليه الخطاب الإسلامي، وهناك مصادر أخرى مختلف عليها بين العلماء، مثل المصالح المرسلة، والاستحسان، وسد الذرائع، ومذهب الصحابي، وهذه تبقى شبه أدلة وما تفرع عنها بصحيح النظر يعتبر من الثقافة الإسلامية أيضا ويندرج تحت الخطاب الإسلامي( ) .
ثانياً : اللغة العربية:
وهي لغة الإسلام ووعاء أفكاره ومعارفه، وهي جزء جوهري في إعجاز القران، والقرآن لا يكون قرآنا إلا بها، ونحن متعبدون بلفظه، قال الله تعالى :  إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ  - الزخرف: 3 -، ولا يمكن الاجتهاد إلا بها، وهي شرط أساسي من شروط الاجتهاد، لأن النصوص الشرعية جاءت من عند الله بلفظها، ولهذا كان من الواجب أن تكون اللغة العربية هي التي يقوم عليها الخطاب الديني، ويجب مزجه باللغة العربية، لأنه بخصائصهما المشتركة تتولد طاقة عظيمة كفيلة بإنهاض المسلمين ، فالله سبحانه وتعالى اختار اللغة العربية وعاء للدين لما في اللغة العربية من مزايا وخصائص تمتاز بها عن اللغات الأخرى، والقرآن هو معجزة لرسولنا ، وهو دليل على صدق نبوته، وبالتالي هو دليل على صدق الإسلام، وإعجازه ليس مقصورا على العرب دون غيرهم، بل جاء التحدي للعالمين جميعا، قال الله تعالى:  قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا  - الإسراء: 88 - ، ونحن نعلم يقينا أن الإعجاز في القرآن في كيفية صياغة هذا الفكر الراقي بهذه اللغة العربية الراقية بنحو راق لا يرقى إليه ولا إلى شيء منه بشر ولا كل البشر، لذلك كانت اللغة العربية هي الأساس الثاني للخطاب الإسلامي، ولا يمكن أن يفهم هذا الخطاب إلا بلغته.
ومن ناحية أخرى، فإن اللغة العربية ارتبطت بشعائر الإسلام وعباداته وغدت جزءًا أساسيًّا من لغة المسلم اليوميَّة وفي حياة الأُمَّة الإسلاميَّة ؛ لأنَّها ملازمة للفرائض الإسلاميَّة؛ فقد أوجب الإسلام أن تكون إقامة الصلاة وتلاوة القرآن وترتيله، والأذان، ومناسك الحج والدعاء، وسائر الشعائر الدينيَّة، ونحو ذلك باللغة العربية، كما فرض على المسلمين في مختلف الأقطار والأمصار تعلم آي القرآن الكريم وحفظه وفهمه، والإكثار من تلاوته، ويتحتم على الإمام والواعظ إتقان العربية، لكي يفهم أحكام القرآن والسنَّة، ويحسن شرحها وتفسيرها، ومعروف أن أحكام القرآن وتعاليمه لايصح أن تؤخذ إلاَّ من نصه العربي، ولاتعد ترجمته إلى أيِّ لغة إلاَّ تفسيرًا لمعانيه، فلاتستنبط أحكامه منها.
ومن شروط المجدد كما يقول شارح سنن أبي داود: "المجدد لايكون إلا من كان عالما بالعلوم الدينية، ومع ذلك من كان عزمه وعمته آناء الليل والنهار إحياء السنن ونشرها ونصر صاحبها، وإماتة البدع ومحدثات الأمور ومحوها وكسر أهلها باللسان، أو تصنيف الكتب والتدريس، ومن لا يكون كذلك لا يكون مجددا البتة، وإن كان عالما بالعلوم، مشهورا بين الناس مرجعا لهم" ( ) .
ولو أتينا إلى العصر الحديث لوجدنا أن بعضاً من العلماء والمفكرين قد ساهموا في تجديد بعض نواحي الحياة العلمية الاسلامية، فرأينا بعض العلماء ساهم في تجديد بعض الأمور الفقية أو الفروع وبعضهم ساهم في تجديد علم أصول الفقه وبعضهم حاول إبراز الأحاديث الصحيحة وتمييزها عن الضعيفة من أمثال الزهاوي في العراق، والبيطار في سورية، ومحمد رشيد رضا في مصر، وعلاّل الفاسي في المغرب، وابن باديس في الجزائر، وابن عاشور في تونس وغيرهم. وكذلك لو جئنا إلى عصرنا الآن لوجدنا عددا من رجال الفكر والدعوة ، ونذكر على سبيل المثال لا الحصر ، الشيخ محمد الغزالي ، الشيخ متولي الشعراوي، د. محمد عمارة ، د. يوسف القرضاوي . فلكل هؤلاء دور بارز في تجديد الخطاب الإسلامي المعاصر ، واختاروا التـأويل كمنهج إسلامي لتجديد الخطاب الإسلامي والفكر الديني ، وأوضحوا للجميع بأن الدين الإسلامي دين وسطي لا إفراط فيه ولا تفريط، ولا غلو ولا تقصير. وأن تجديد الدين لا يعني تغييره أو تبديله لأن التجديد على هذا المعنى إلغاء الدين، وإنما يعني المحافظة عليه والعودة للمنابع وأصول الدين، وترك التقليد الفاسد القائم على الاتباع والمحاكاة على غير بصيرة. فالتجديد عملية إصلاحية محافظة، وليس عملية تخريبية متفلتة ( ) .
ومع كل هذا ، فقد ذهب بعض المفكرين المعاصرين إلى فكرة التجديد ولكن غير التجديد الذي ننشد إليه، حيث رفعوا شعار التأويل العلماني المعروف باسم "الهرمنيوطيقا"، وهو منهج التأويل الغربي لمعرفة حقيقة الدين. وممن تبنى هذا الرأي محمد أركون، محمد شحرور، محمد سعيد العشماوي، محمد عابد الجابري، حسن حنفي، نصر حامد أبو زيد وغيرهم، والذي يدفعهم إلى استخدام المنهج الغربي في التأويل أنهم يريدون تجديد الخطاب الإسلامي كالذي أحدثته الحضارة الغربية في الدين المسيحي من ناحيتي التنكر للآخرة والمقدس والتنكر للغيب. ونسوا أن الدين الإسلامي غير الدين المسيحي في المبدأ والمنهج والطريق والعمل، حيث جاء هذا التنكر في أوروبا نتيجة ظروف خاصة مرت بها الكنيسة الغربية، إذ تبين لأوروبا أن مقدس الآخرة مدنس كما في حال صكوك الغفران التي ثار عليها الراهب مارتن لوثر في المانيا، واعتبرها امتهاناً للدين والانسان، وتبين لأوروبا أن الغيب الذي تفرضه الكنيسة بخصوص انبساط الأرض وثباتها وأنها مركز الكون مناف للعلم، فكانت الحصيلة أنه لا بد من رفض هذا الغيب واعتماد العقل من أجل التوصل الى علم صحيح، والابتعاد عن سيطرة الكنيسة ودعاوى الكنيسة. ومن ثم فمعظم جمهور العلمانية في الغرب ترك الكنيسة؛ لأن الدولة هي التي أصبحت تمثل العلمانية تمثيلاً دقيقًا.
إن الحرص على تجديد مشابه لتجديد أوروبا، وقياس الحضارة الاسلامية على نموذج الحضارة الأوروبية هو الذي جعل بعض الدارسين لا يقبلون أي تجديد لأنه تجديد غير مشابه لتجديد أوروبا، ولأنه لم يلغ المقدس من مفردات الدين الاسلامي، ولأنه لم يلغ الغيب من عناصر الحياة الاسلامية، والذين يقولون بذلك يتناسون أن التاريخ الأوروبي غير التاريخ الاسلامي، فالتجديد الديني الذي عرفته أوروبا في عصر الأنوار جاء نتيجة سيطرة الكنيسة على الدين والثقافة والسياسة والفكر، وأدى ذلك الى أزمات وجودية هزت المجتمع الأوروبي، فكان لا بد من إبعاد السيطرة الكنسية عن الدين والثقافة والفكر والسياسة ، وكان لا بد من إطلاق العقل والثقافة من أجل مواجهة أوهام وخرافات الكنيسة، ولا بد من إنشاء المجتمع المدني من أجل مواجهة المجتمع الكنسي، ولا بد من بناء علوم دنيوية في مواجهة العلوم الدينية ، فالتاريخ الاسلامي لم يعرف كنيسة ولم يعرف سيطرة كنسية لذلك فإن التجديد الذي يجب أن يقوم به المسلمون يتطلب أن تكون له سيرورة مختلفة عن السيرورة الأوروبية، وليس بالضرورة أن يتم من خلال إلغاء المقدس، وإلغاء الوحي والغيب، بل يمكن أن يبقى الأمران ونزيد من تفعيل العقل ونزيد من مساحة البحث والاستقصاء والمعالجة، ومن ثم معالجة الأمور الخاصة بالفرد المسلم والمجتمع الاسلامي التي يطرحها الواقع الاسلامي مثل بروز الفردية وضعف الجانب الجماعي في كيان المجتمع، ومثل الافتقار النفسي، والسلبية في مواجهة الأحداث المحيطة ، وقلة التقويم لما يحدث حولنا.
وعلى أي حال، فإن تجديد الخطاب الديني الذي عناه الغرب، إنما هو تغيير وتبديل وتحريف في جوهر الإسلام، لأن الغرب يرى أن الإسلام يحمل مفاهيماً متميزة وخطابه يقوم على التمايز وعدم الاندماج والتمييع، وهو يحمل وجهة نظر خاصة، ويطرح نظاماً بديلا ًلكل الأنظمة الوضعية، وبذلك فهو يشكل تهديدا صريحا لمصالح الغرب، ولذا تعالت أصوات الساسة الغربيين بضرورة تطوير الخطاب الديني عبر صياغة جـديدة ترضي آمال الغرب .