Friday, June 25, 2010

Sekilas Perbedaan Dasar Politik Sekte-Sekte Syi'ah

Sekilas Perbedaan Prinsip Politik Sekte-sekte Syi'ah
oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
     Imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi Saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan.
     Dalam istilah Syi'ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan Sunni adalah (al-Khilafah), sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri,asah). Dalam pandangan politik Syi'ah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din) dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah.
     Oleh karena itu, Imam Ali merupakan pelanjut Nabi Saw. yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi Saw. (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab Saw. Oleh sebab itu, Syi'ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
     Di sisi lain Sunni menyerukan suksesi berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi dalam memilih kelayakan seorang pemimpin atau presiden.
     Yang menarik, terdapat golongan sy’iah yang merupakan bagian sekte Syi'ah yang moderat, yaitu Syi'ah zaidiyah. Sehingga sekte tersebut dikategorikan sebagai sekte yang paling dekat ke Sunni. Karena sekte ini dalam banyak hal tidak sependapat dengan Syi'ah pada umumnya. Mereka tidak setarakan posisi Imam seperti Nabi yang mempunyai sifat 'ismah (terpelihara dari dosa dan noda), dan Syi'ah Zaidiyah menganggap sama kedudukan semua manusia[1].
     Pada tulisan ini, penulis akan memaparkanSekilas tentang perbedaan antara faksi-faksi Syiah dalam masalah Politik (imamah), terutama Syiáh Zaidiyah, adapun asal-usul politiknya ditandai dengan beberapa hal berikut:
Pertama:
     Menurut Syi'ah Zaidiyah boleh mengangkat seorang pemimpin sekalipun ada yang lebih layak darinya. Akan tetapi ide ini bukan aturan umum dalam sekte Syi'ah Zaidiyah, sebab kalau dimutlakkan maka akan gugur konsep revolusi (al-Khuruj).
     Teori tersebut diperkenalkan oleh Imam Zaid dengan tujuan membenarkan legitimasi Khalifah Abu Bakar, dan menggugurkan gugatan orang yang mencelanya. Oleh karena itu, setelah masa Imam Zaid, maka para pengikutnya mengubah konsep tersebut dengan mewajibkan memilih seorang pemimpin yang paling layak dari sekian calon pemimpin.
     Dan menurut mereka ada empat kelayakan dan kredibilitas yang mesti ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu:
1.Memiliki keberanian untuk membela agama, dan tidak takut kepada siapapun kecuali Allah Swt.
2.Bersifat Zuhud di dunia ini dan hanya mengharapkan balasan akhirat semata.
3.Faham akan maslahat dan kepentingan rakyat dan agama.
4.Berjuang dengan pedang.
5.Barang siapa yang memiliki ciri khas diatas maka wajib didahulukan dan diangkat menjadi pemimpin umat [2].
Kedua:
     Pemimpin mesti dari keturunan Fatimah, baik dari garis keturunan Hasan ataupun Husein [3]. Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’ilyah hanya mengakui pemimpin yang berasal dari garis keturunan Husein saja [4]. Oleh karena itu pemimpin negara yang berasal dari keturunan Hasan tidak sah bagi keduanya.
     Tentunya ini masalah yang pelik dalam pemikiran politik Syi'ah, sehingga menjadi sengketa dan perseteruan utama antara mereka untuk merebut kekuasaan, dengan cara saling memfasikkan dan mengkafirkan satu sama lain hanya karena perbedaan garis keturunan ini.
     Namun pada kenyataannya, yang memotivasi Syi'ah Imamiyah dan Isma’iliyah untuk membatasi kelayakan pimpinan dari garis keturunan Husein saja disebabkan karena Imam Hasan mengundurkan diri dari suksesi yang terjadi antara dia dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam sukesesi tersebut, Imam Hasan menyerahkan bulat-bulat tongkat kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan tanpa dilakukan pemilihan.
     Karena peristiwa inilah yang menjadikan Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah tidak memberikan kesempatan kepada garis keturunan Imam Hasan untuk menjadi pemimpin. Dan dengan peristiwa ini pulalah Syi'ah Isma’ilyah memunculkan teori politik baru yang tidak dikenal sebelumnya oleh aliran Syi'ah lain, yaitu: Imam tetap (al-Imam al-Mustaqir) dan Imam sementara (al-Imam al-Mustauda’).
     Tujuan teori ini untuk menutupi kekosongan pimpinan dari garis keturunan Imam Ali ra. yang timbul akibat terdapat kecacatan pada urutan suksesi dalam serangkaian imam. Oleh karena itu, dalam asumsi Syi'ah Isma’iliyah Imam Hasan adalah imam sementara5 sebab ia melepaskan jabatannya.
Ketiga:
     Syi'ah Zaidiyah mayoritas berpendapat bahwa imam itu tidak suci (ma’shum) tidak seperti Nabi Saw yang memiliki sifat ma'shum. Dan ini berbeda dengan ideologi Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah yang menegaskan bahwa keseluruhan Imam-Imam Sy’iah suci (ma’shum) dari segala perbuatan dosa kecil ataupun besar, baik yang tersurat ataupun yang tersirat, sengaja atau tidak disengaja. Dan juga mereka harus terbebas dari kesalahan bahkan kelupaan dan kelalaian.
Keempat:
     Syi'ah Zaidiyah mensyaratkan keabsahan seorang imam melalui revolusi (al-Khuruj) atau boleh kita istilahkan “revolusi pedang”. Revolusi ini melambangkan perjuangan politik Syi'ah Zaidiyah dengan ketegaran dan ketegasan serta penuh keterbukaan. Berbeda dengan aliran Syi'ah lain, - seperti Imamiyah dan Ismaíliyah- di mana perjuangan mereka dengan cara tersembunyi dan terselubung, atau dikenal dengan konsep (Taqiyyah).
     Dengan sistem revolusi ini, Syiáh Zaidiyah tidak menjadikan Imam Ali bin al-Husein alias Zainal Abidin masuk dalam rangkaian Imam. Sementara Syiáh Imamiyah dan Ismaílyah menjadikan Ali bin al-Hesein sebagai bagian dari silsilah imam mereka.
     Konsep revolusi ini telah dirumuskan oleh pendiri Zaidiyah yaitu Imam Zaid, dan sekaligus diaplikasikan dalam kepemimpinannya sendiri untuk memberontak terhadap ketidakadiklan yang berlaku.
     Maka ia melancarkan revolusi politik terhadap pengusasa ketika itu, meskipun tindakan revolusi tersebut tidak mendapatkan support dari pihak keluarganya, seperti saudara kandungnya Muhammad Baqir, dan Muhammad bin al-Hanafiah.
     Kedua-duanya menasehati Imam Zaid mengenai bahaya yang akan dihadapinya bila ia meneruskan revolusi tersebut. Namun ia menolak nasehat tersebut, dan pergi ke luar untuk memberikan contoh kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.
     Tindakan ini mendapatkan reaksi berat dari Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismíliyah. Lalu mereka mengkritisi segala bentuk tindakan revolusi yang dilakukan oleh para pengikut Imam Zaid setelah kematiannya.
     Dapat dilihat, bahwa sikap revolusioner yang dilakukan oleh golongan Syiáh Zaidiyah dengan sendirinya menunjukkan bahwa seorang pemimpin atau kepala negara bukannya orang yang suci (Ma’shum) dan layak dikultuskan, yang tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Sementara bagi Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismaíliyah malah sebaliknya, Imam adalah simbol kesucian (Ma’shum).
     Maka sistem politik dan pemerintahan mereka dikenal dengan sistem Teokratis. Dan sistem ini telah dikenal sejak zaman mesir kuno, Yunani dan Rumania. Di mana seorang pemimpin negara dimata rakyat meruapakan simbol agama dan dunia sekaligus. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan dibungkus dengan keagamaan yang terpatri dalam diri seorang raja.
     Ia dijadikan sebagai kekuasaan absolut yang tidak boleh dipertanyakan dalam bentuk apa pun. Tidak peduli apakah raja tersebut berlaku adil ataupun tidak. Apakah dia bijak,baik atau jahat. Kesemuanya tidak menjadi masalah, sebab keputusan yang dibuatnya menurut asumsi mereka adalah keputusan Ilahi semata.
     Dan konsep tersebut diadopsi oleh beberapa sistem pemerintahan yang mengaku diri Islam, dalam istilah yang dikenal dengan sistem “Teokrasi”. Padahal agama Islam sendiri tidak demikian sistemnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوْحَى إِلَيَّ أنََمَا إَلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِيْنَ
Yang artinya:
     Katakanlah:"Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya"), -Fushshilat: 6-
     Namun sangat disayangkan, penetrasi sistem Teokrasi ini lebih dalam daripada penetrasi sistem agama Islam.
Kelima:
     Syiáh Zaidiyah membolehkan adanya dua pemimpin utama dalam masa dan waktu yang sama. Hal ini dibolehkan karena sesuai dengan keperluan zaman. Yaitu meluasnya daerah kekuasaan Islam yang terbentang ketika itu dari wilayah Samarqand sampai Spanyol dan selatan Prancis. Dan pandangan ini berlawanan dengan Syiáh Imamiyah dan Syiáh Isma’ilyah. Karena mereka hanya membolehkan adanya satu Imam dalam setiap masa.
     Dari uraian diatas nampak jelas keunikan sistem politik Syiáh Zaidiyah dibandingkan aliran Syiáh imamiyah dan Syi'ah Ismaíliyah. Di mana pengangkatan seorang Imam dilakukan dengan jalan suksesi, yang dalam era politik sekarang dikenal dengan sistem “demokrasi”, yang dilandaskan atas konsep revolusi (al-Khuruj). Hal ini yang memotivasi Syíah Zaidiyah menolak “Taqiyyah,” yaitu perinsip perjuangan politik Syiáh Imamiyah dan Syi’’ah Ismaíliyah yang terselubung dan sembunyi.
     Tercatat dalam sejarah politik Islam, Syiáh dari berbagai aliran dan sektenya selalu menjadi partai oposisi, akan tetapi metode yang digunakan oleh masing-masing aliran tersebut bervariasi antara satu sama lain. Syi'ah Zaidiyah memilih oposisi dengan caranya sendiri, yaitu dengan secara nyata dan terang. Namun aliran Syiáh Imamiyah dan Syiáh isma'iliyah lebih memilih berjuang secara rahasia melalui konsepnya “at-Taqiyyah”.
Catatan:
[1] Imam Yahya bin Hamzah al-‘Alawi, al-Ifham Liafidat al-Bathiniyah at-Thugam, hal: 60.
[2] DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, al-Firaq as-Syi’iayyah Wa Ushuluha as-Siyasiyah, hal: 3. Universiti Sains Islam Malaysia. 2009.
[3] Abu al-Qasim Muhammad al-Hautsi, al-Mau’idhah al-Hasnah, hal: 104. Muhammad bin Hasan ad-Daylami, Qawa’id ‘Aqaaid Aali Muhammad, hal: 49.
[4] Al-Qadhi an-Nu’man, Da’aim al-Islam, 1/37-38. ad-Da’i Ali Bin Walid, Damighu al-Bathil, 2/18. ad-Da’i Idris ‘Imaduddin, Kitab Zahru al-Ma’ani, hal: 183.
[5] Imam sementara dalam istilah syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dinamakan: (al-Imam al-Mustauda’), sedangkan imam tetap adaalah (Imam al-Mustaqir).
Eramuslim,Sabtu, 26/06/2010 07:26 WIB

Thursday, June 24, 2010

مسائل الإعتقاد عند الإمام القرطبي


مسائل الإعتقاد عند الإمام القرطبي
تأليف: كمال الدين نور الدين مرجونى تاريخ النشر: 01/01/2006
سعر السوق: 9.00$

الناشر: مؤسسة العلياء للنشر والتوزيع ،الفاهرة جمهرية مصر العربية
سعرنا: 9$
النوع: غلاف عادي، حجم: 24×17، عدد الصفحات: 432 صفحة الطبعة: 1 مجلدات: 1
اللغة: عربي
نبذة النيل والفرات:
تميز العلماء العرب والمسلمون فى الحضارة الإسلامية بالإلمام كل واحد فيهم بعدد من التخصصات والمجالات وعدم الإقتصار على جانب أو تخصص واحد. وهذا ليس قاصراً على علوم الدين فقط وما يتفرع منها، وإنما يمتد إلى علوم الدنيا أيضاً. و فى نطاق العلوم الدينية إشتهر القرطبى فى العالم الإسلاميى كمفسر وففيه، وقد قتلت كتبه وتفاسيره مرجعاً للمفسرين والفقهاء حتى الآن، فاحتل مكانة متميزة بين علماء المسلمين.
وهذه الدراسة التى قدمها الدكتور "كمال الدين نور الدين مرجونى" تتناول هذه الشخصية ولكن هذه المرة ليست فى مجال الفقه والتفسير، وإنما فى العقيدة.. فقد أخذ المؤلف على عاتقه فى هذه الدراسة. مهمة تبين العقيدة لدى "القرطبى" والتى أودعها فى مؤلفاته عن الألوهية والربوبية والقضاء والقدر وغيرها من قضايا العقيدة وموضوعاتها وقد جاءت الدراسة فى تمهيد وثلاثة فصول تناولت حياة وعلم القرطبي وعقيدته.
jumlah halaman:432.
     Buku ini asalnya thesis Master pada jurusan Filsafat Islam, fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo th 2001. dengan nilai: Mumtaz, di bawah bimbingan Prof.DR. Sayyid Rizq al-Hajar. di publish oleh Muassasah al-'Alya, Kairo, Mesir 6/2006. ISBN: 149-69-200-6. Perpustakaan Nasional Mesir.
     Buku ini telah dikoleksi oleh beberapa perpustakaan dan universitas Barat & Amerika, diantaranya:
مسائل الاعتقاد عند الامام القرطبي (ت: 671 ه) /
Masāʼil al-iʻtiqād ʻinda al-Imām al-Qurṭubī (t: 671 H)
Author: مرجوني، كمال الدين نور الدين. تأليف كمال الدين نور الدين مرجوني. ; Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn Marjūnī
Publisher: مؤسسة العلياء للنشر والتوزيع، ʻĀbdīn, al-Qāhirah : Muʼassasat al-ʻAlyāʼ lil-Nashr wa-al-Tawzīʻ, 2006.
Edition/Format: Book : Arabic : al-Ṭabʻah 1View all editions and formats
- University of Yale, New Haven
Masāʼil al-iʻtiqād ʻinda al-Imām al-Qurṭubī (t: 671 H) /
by Marjūnī, Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn. Published 2006
Call Number: BP80 Q827 M37 2006
Located: SML, Near East Collection
 - University of Kyoto, Japan
Publications "In Search of Sustainable Humanosphere: A New Paradigm for Humanity, Biosphere and HOME > 図書部会_リスト > 西アジアアラビア語図書リスト西アジアアラビア語図書リスト VOL.. TITLE,AUTH,PUB.YEAR ID NO. NO ===Contents===本拠点のめざすもの  大学院教育  (フィールド・ステーション)
مسائل الاعتقاد عند الإمام القرطبي / تأليف كمال الدين نور الدين مرجوني. -- الطبعة 1. -- مؤسسة العلياء, 2006. 200003761448 184
 - University of Pennsylvania, Philadelphia
Relevance:
Author: Marjūnī, Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn.
مرجوني، كمال الدين نور الدين.
Title: Masāʼil al-iʻtiqād ʻinda al-Imām al-Qurṭubī / taʼlīf Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn Marjūnī.
مسائل الاعتقاد عند الإمام القرطبي / تأليف كمال الدين نور الدين مرجوني.
Edition: al-Ṭabʻah 1. 
Publisher: ʻĀbidīn, al-Qāhirah : Muʼassasat al-ʻAlyāʼ, 2006.
عابدين، القاهرة : مؤسسة العلياء، 2006.
432 p. ; 24 cm.
LC Subject(s): Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad, d. 1273.
Islam --Doctrines.
Scholars, Muslim --Spain --Biography.
Location: Van Pelt Library
Call Number: BP80.Q73 M373 2006
Status: Available, check location
- University of California
Author Marjūnī, Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn.
مرجوني، كمال الدين نور الدين.
Title Masāʼil al-iʻtiqād ʻinda al-Imām al-Qurṭubī (t: 671 H) / taʼlīf Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn Marjūnī.
مسائل الاعتقاد عند الامام القرطبي ‫(‬ت: 671 ه‫)‬ / تأليف كمال الدين نور الدين مرجوني.
Imprint ʻĀbdīn, al-Qāhirah : Muʼassasat al-ʻAlyāʼ lil-Nashr wa-al-Tawzīʻ, 2006.
عابدين، القاهرة : مؤسسة العلياء للنشر والتوزيع، 2006.
Permanent link for this record: http://oskicat.berkeley.edu:80/record=b17684814~S1
Location Call No. Status
NRLF (UCB) BP80.Q827 M37 2006 AVAILABLE
Edition al-Ṭabʻah 1.
الطبعة 1.
Description 432 p. ; 24 cm.
Note Originally presented as the author's thesis (M.A.)--Kullīyat Dār al-ʻUlūm, Jāmiʻat al-Qāhirah.
Originally presented as the author's thesis ‫(‬M.A.‫)‬--كلية دار العلوم, جامعة القاهرة.
Bibliography Includes bibliographical references (p. 407-425).
Subject Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad, d. 1273.
قرطبي، محمد بن أحمد، d. 1273.
Muslim scholars -- Biography -- Spain -- Andalusia -- Muslim scholars -- Biography.
Koranic scholars -- Spain -- Andalusia -- Biography.
Islam -- Doctrines -- Early works to 1800.
- Al-Kindi, the library's catalog of the Dominican Institute For Oriental Studies. Cairo, Egypt.
Al-Kindi, the library's catalog of the Dominican Institute For Oriental Studies.
BIBLIOGRAPHIC RECORD ISBD UNIMARC Add to Cart
Type Language materials, printed ; Monograph
Call Number(s) 9-730/7-15
Proper Title مسائل الاعتقاد عند الإمام القرطبي (671هـ) / تأليف كمال الدين نور الدين مرجوني
Authority(ies) Author :
مرجوني (كمال الدين نور الدين)
Bibliographic antecedent :
القرطبي (671\1273) (شمس الدين) (أبو عبد الله) محمد بن أحمد بن أبي بكر الأنصاري الخزرجي الأندلسي
Language(s) Language of text : Arabic
Address القاهرة : مؤسسة العلياء للنشر والتوزيع
Country of Publisher : Egypt
Date Greg. : 2006 = Heg. : 1427
Description 1 vol., 432 p. ; 24 cm.
Bibliography, Index
Subject(s) Arabism and Islam > Muslim Theology (al-Kalām) > 7th/13th Century > Other Authors
IDEO-NOT-113895- Created : 03/02/2009 - Modified : 02/03/2009
- University of Maryland
Flagship Institution of the University System of Maryland

University of Maryland, College Park, MD 20742, USA 301.405.1000
Copyright 2008 University of Maryland
Ditemukan dalam Google Search Engine:
Marjūnī, Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn
Dapat dibeli online:
http://www.neelwafurat.com/itempage.aspx?id=egb105741-5105493&search=books

Wednesday, June 23, 2010

موقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها


السعر:10 $
» إضافة إلى السلة
» كتب لنفس المؤلف
» كتب بنفس الموضوع
ردمك: I2-7451-6255-1
عنوان الكتاب: موقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها
المؤلف: كمال الدين نور الدين مرجوني ،الدكتور
الموضوع: دراسات إسلامية
نوع التجليد: كرتونيه
نوع الورق: ابيض
عدد الصفحات: 480
القياس: cm 17×24
الوزن: Kg.0.86
عدد ألوان الطباعة: لون واحد
تاريخ الإصدار: I2009-10-17
رقم فسح المملكة العربية السعودية:0
كتاب يشتمل دراسة عن موقف الزيدية من فلسفة الباطنية وعقائدها ، وقد تناول موقف الزيدية من نظرية التعليم عند الباطنية وموقف الزيدية من نظرية المثل والممثول عند الباطنية وموقف الزيدية من نظرية التأويل عند الباطنية وموقف الزيدية من تأثر الباطنية .بالاديان المغايرة وغير ذلك
Universtiy of California
Preview this item Preview this item
Chat with a librarian More like this
Subjects
Batinites.
Zaydīyah -- Relations -- Batinites.
Batinites -- Relations -- Zaydīyah.
Similar Itemsموقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها /
Mawqif al-Zaydīyat wa-ahl al-Sunnah min al-ʻaqīdah al-Ismāʻīlīyah wa-falsafatihā
Author: مرجوني، كمال الدين نور الدين. تليف كمال الدين نور الدين مرجوني. ; Kamāl al-Dīn Nūr al-Dīn Marjūnī
Publisher: دار الكتب العلمية، Bayrūt : Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2009.
Edition/Format: Book : Arabic : al-Ṭabʻah 1

Dapat dibeli melalui online:
- نيل وفرات
http://www.neelwafurat.com/itempage.aspx?id=lbb188508-157476&search=books
- سوق العرب
 http://www.souqalarab.com/Products/4152--.aspx

Tuesday, June 22, 2010

Anugerah Karya Buku Terbaik (Sains Sosial) USIM 2009

حائز على جائزة أحسن كتاب بجامعة العلوم الإسلامية الماليزية
Putra Indonesia Raih Anugerah Buku Karya Terbaik di Malaysia
Selasa, 22/06/2010 14:04 WIB
     Satu lagi seorang anak bangsa menorehkan kebanggan di luar negeri, DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni yang merupakan dosen pada Universiti Sains Islam Malaysia berhasil meraih penghargaan atas karya bukunya.
     Anugerah Kecemerlangan dan Inovasi USIM Tahun 2010 yang telah diadakan pada 15 Juni baru-baru ini. Sejumlah 94 orang pegawai USIM (Dosen & Administrasi) dianugerahkan dalam peringkat Pengabdian Cemerlang, di samping sejumlah 61 orang pula menerima Anugerah dalam peringkat Pengabdian Terpuji.
     Selain itu sebanyak 10 anugerah khusus telah diberikan, seperti Anugerah Sumbangsih, Anugerah Penerbitan, Anugerah Penyelidikan, Anugerah Khidmat Masyarakat, Anugerah Kualiti Rektor dan Anugerah Pengurusan Maklumat.
     Salah satu dari 10 anugerah Khusus diraih oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, asal Indonesia, dengan menerima penghargaan khas dalam dunia penerbitan untuk kategori buku terbaik (Sains Sosial) 2009, adapun judul buku tersebut adalah:
موقف الزيدية وأهل السنة من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها
“POLEMIK AQIDAH FALSAFAH – ZAIDIYAH VS BATHINIYAH VS AHLU SUNNAH-”. Buku ini telah diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut – Lebanon, 10/2009, dengan tebal halaman: 480 halaman.
Sinopsis Buku
Aliran-aliran syi’ah saling berbeda pandangan dalam perincian ideologi, namun kesemuanya bersepakat bahwa Imam Ali r.a. adalah orang yang paling berhak menjadi pemimpin negara setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Aliran Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’iliyah merupakan tiga aliran syi’ah yang paling menonjol, paling besar, dan paling banyak memiliki pengikut dibandingkan dengan aliran-aliran syi’ah yang lainnya.
     Akan tetapi ketiga golongan syi’ah yang terbesar ini saling menyalahkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan antara satu aliran dengan aliran yang lain, yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam aqidah, terutama lagi perbedaan pandangan dalam permasalahan politik.
     Dan di antara semua aliran syi’ah, maka syi’ah Isma’iliyah merupakan aliran yang paling banyak dikecam dan dikeritik oleh umat Islam dari berbagai aliran pemikiran, baik dari golongan Ahlu Sunnah mahupun dari golongan Syi’ah lain, sebab aqidah mereka keluar daripada aqidah Islam.
     Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah secara terang-terangan mengatakan bahwa Syi’ah Isma’iliyah dari sisi luar menampakkan keislaman, tapi pada hakikatnya dalam hati mereka menyembunyikan kekufuran yang nyata, bahkan mereka dianggap tidak menganut syariat agama apapun.
     Buku ini membahas tentang pergolakan antara syi’ah Zaidiyah dengan syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, di samping syi’ah Imamiyah dari berbagai sisi pemikiran, yaitu: Aqidah, Falsafah, dan Politik.
     Keistimewaan buku ini adalah membahas mengenai pemikiran kebatinan dari perspektif syi’ah yang tergolong sebagai salah satu ideologi pemikiran yang paling berbahaya, yang dapat mengancam keutuhan agama islam dari semenjak zaman dahulu sampai sekarang, sebab pemikiran kebatinan ini tidak mempunyai dasar ataupun akar agama.
     ga melalui pembahasan dalam buku ini kita dapat mengetahui mengenai kedekatan aliran syi’ah Zaidiyah dengan pemikiran Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah pada beberapa permasalahan agama, baik dari segi aqidah, falsafah dan politik.
Sumber: eramuslim.com

Thursday, June 17, 2010

Majlis Anugerah Kecemerlangan dan Inovasi USIM - 2010

     Majlis Anugerah Kecemerlangan dan Inovasi USIM - 2009
Scan Dari Buku Album Anugerah USIM - 2009 
     Bandar Baru Nilai, 15 Jun 2010 - Tahniah diucapkan kepada penerima-penerima anugerah di Majlis Anugerah Kecemerlangan dan Inovasi USIM Tahun 2009 yang telah diadakan pada 15 Jun baru-baru ini. Seramai 94 orang kakitangan USIM dianugerahkan Perkhidmatan Cemerlang manakala seramai 61 orang pula menerima Anugerah Terpuji.
Sesudah Acara, Foto Bersama Peraih Anugerah dengan Rektor USIM
     Selain itu sebanyak 10 anugerah Isimewah telah diberikan sepertiAnugerah Sumbangsih,Anugerah Penerbitan,Anugerah Penyelidikan,Anugerah Penyelidikan, Anugerah Khidmat Masyarakat, Anugerah Kualiti Naib Canselor dan Anugerah Pengurusan Maklumat. Majlis tersebut diadakan bersempena sambutan Hari Inovasi Bersama Pelanggan peringkat universiti yang turut dimeriahkan dengan pelbagai aktiviti yang melibatkan seluruh warga kampus. Uniknya pada tahun ini, satu Anugerah Perkhidmatan Cemerlang Istimewa yang julung-julung kalinya diberikan dan bakal menerima hadiah berupa pakej umrah.
Dalam Ruang Acara
    Pada kali ini turut diadakan pelancaran USIM Online yang merupakan laman web televisyen interaktif yang menyalurkan pelbagai maklumat dan program universiti untuk semua pelajar dan kakitangan USIM. Laman web tersebut mengandungi lima segmen iaitu Buletin, Wawancara, Santapan Rohani, USIM Web TV dan Biar Buku Bicara. Pelancaran USIM Online ini menjadikan USIM muncul sebagai Institut Pengajian Tinggi Awam (IPTA) pertama mempunyai laman web televisyen interaktif
Bersama:
- Tans Sri DR. Yusof Noor (Ketua Lembaga Pengarah USIM, Mantan Menteri Perusahaan Awam (Perindustrian) 1990-1995, Mantan Wakil Rektor UKM)
- Prof. Dato'. DR. Muhammad Muda. (Rektor USIM)
     Selain itu turut diadakan penyerahan sijil MS ISO 9001:2008 dan MS 1900:2005 (Sistem Pengurusan Kualiti Mengikut Perspektif Islam ) kepada Jabatan Pembangunan dan Pengurusan Kualiti. Jabatan Pembangunan dan Pengurusan Fasiliti (JPPF) telah berjaya memperolehi pengiktirafan pensijilan daripada pihak SIRIM berkuatkuasa mulai 26 Mac 2010 dalam ISO 9001:2008 Penyediaan Khidmat Perancangan dan Pengurusan Projek Fizikal dan MS 1900:2005 Penyediaan Khidmat Perancangan dan Pengurusan Projek Fizikal Mengikut Perspektif Islam. Pengiktirafan ini menjadikan USIM sebagai satu-satunya universiti pertama yang berjaya menerima pensijilan tersebut.
     Majlis telah dirasmikan oleh Y.Bhg. Tan Sri Dr. Mohamad Yusof Hj. Md Noor, Pengerusi LPU USIM. Dalam ucapannya beliau merakamkan setinggi-tinggi penghargaan dan tahniah kepada semua penerima anugerah pada tahun ini. Beliau berharap agar penghargaan yang diberi akan menjana motivasi dan menjadi suntikan semangat kepada seluruh warga USIM untuk terus bertekad cemerlang dan berdedikasi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab.
Laporan dari:
Siti Maizatul Akmar Ismail
Pembantu Wartawan
Unit Komunikasi Korpo
Universiti Sains Islam Malaysia
Piagam Anugerah Buku Terbaik 2009
Piagam Anugerah Perkhidmatan Cemerlang 2009

Monday, June 14, 2010

SEMINAR OF GRADUATE STUDENTS MA & PH.D USIM 2010

PIAGAM PENGHARGAAN SEBAGAI DEWAN HAKIM
PENILAI PAPER BERBAHASA ARAB

Foto, Ahmed at-Thir, asal negara libya, adalah peserta seminar student Ph.D.USIM 2010 (Spesialisasi Politik Islam), dan student tsb di bawah bimbingan saya, dan sudah berjalan -+ 2h, saat ini sedang tashih risalah, judul desertasinya:
 حقوق الإنسان السياسية بين الإسلام والمواثيق الدولية وتطبيقاتها في ليبيا
""دراسة مقارنة في الفلسفة السياسية""
Hak-hak politik antara Islam dan konvensi internasional serta aplikasinya di Libya
"Kajian Komparatif Ideologi Politik"

Foto bersama dewan hakim penilai (paper berbahasa Arab) posisi tengah Prof. DR. Adil Al-Ghirani dari Libya, beliau mewakili fakultas Qur'an & Sunnah sebagai hakim penilai, dan yang lainnya adalah student Pasca Sarjana USIM dari Yaman,Maroco,Libya,Saudi,Mesir,Oman dan Maldive.

Sunday, June 13, 2010

(1) Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi

Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi (1)

Minggu, 30/05/2010 14:07 WIB
Oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
     Sebelum berbicara mengenai pandangan imam al-Qurthubi terhadap ilmu kalam (Teologi Islam), maka alangkah baiknya jika saya paparkan terlebih dahulu tentang definisi ilmu kalam, agar kita dapat memiliki gambaran mengenainya walaupun hanya secara global.
Definisi ilmu kalam:
     Ada beberapa definisi ilmu kalam yang sebagiannya kami sebutkan diantaranya:
     Dalam kitab al-Mawaaqif karangan al-Iiji(1), dia sebutkan bahwa definisi ilmu kalam adalah: “ ilmu yang mampu mengukuhkan akidah agama dengan mendatangkan berbagai hujjah dan menolak tuduhan. Dan yang dimaksud dengan akidah adalah apa yang dituju oleh keyakinan tanpa mengikut sertakan amal perbuatan, dan agama yang dinisbahkan kepada agama Muhammad saw(2).
     Sedangkan filosof Islam al-Farabi mendefinisikannya sebagai, “ kekuatan yang membuat manusia mampu untuk membela berbagai pendapat dan perbuatan yang spesifik yang telah dijelaskan oleh Sang pembuat agama (Allah), dan menolak segala pandangan yang bertentangan dengannya”(3).
     Kedua definisi ini menarik perhatian bahwa al-Iiji dan al-Farabi telah menjadikan ilmu kalam sebagai pembela atau penolong akidah islam tanpa membedakan antara berbagai aliran yang ada di dalam islam. Dan di sisi yang lain, kita mendapati Ibnu Khaldun membatasi definisi ilmu kalam hanya sekedar sebagai pembela akidah berdasarkan keyakinan ulama salaf dan ahli sunnah, dengan tanpa mengikut sertakan aliran kalam yang lainnya, seperti mu’tazilah dll.
     Dia berkata, “ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai hujjah mengenai akidah keimanan dengan dalil aqli, dan menjawab para pembuat bid’ah dalam akidah yang menyimpang dari aliran ulama salaf dan ahli sunnah”(4).
      Definisinya ini sependapat dengan definisi imam al-Ghazali yang berbunyi, “ sesungguhnya yang dituju oleh ilmu kalam adalah menjaga akidah ahli sunnah, dan memeliharanya dari pengrusakan yang dilakukan oleh para pembuat bid’ah”(5).
     Dari berbagai definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip dasar ilmu kalam adalah untuk menjaga dan memperkuat akidah dengan cara mengemukakan berbagai dalil aqliah (logika), bukannya untuk menciptakan atau menubuhkan akidah dalam hati orang mu`min.
     Maka tugas ilmu kalam adalah menjelaskan akidah dan menopangnya dengan berbagai dalil logika, serta membedakannya dari berbagai akidah lain yang menyimpang dari agama. Di samping itu bertujuan untuk menjawab tuduhan yang dimunculkan oleh penganut agama bukan islam.
Pendapat mereka ini dapat dibagi kepada dua kelompok:
Yang pertama:
     Sebagian ulama berpendapat haram hukumnya menggeluti ilmu kalam. Ini adalah pendapat Ibnu Qutaibah, al-Khaththabi, empat imam mazhab (Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali), serta beberapa ulama yang lainnya. Menurut golongan ini, dalil bagi pengharaman menggeluti ilmu kalam adalah:
1- Beberapa ayat al-Qur,an dan hadits Nabi saw. Dan di antara ayat-ayat al-Qur`an yang menunjukkan pelarangan untuk melakukan perdebatan dan pertengkaran dalam perkara agama serta larut dalam perkara yang samar adalah firman-Nya swt:
((هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ، فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِه)ِ) – آل عمران : 7 –.
     “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya”. (Ali Imran: 7).
Firman Allah:
((مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا)) – غافر :4 –.
     Yang artinya: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”. (al-Mu`min: 4).
Firman Allah:
((يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ)) – النساء : 59 –
     Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah”. (an-Nisaa`: 59).
      Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa beliau bersabda,
(( تَفَكَّرُوْا فِي آلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِي ذَاتِهِ فَتَهْلَكُوْا ))
     Yang artinya, “ berfikirlah kalian mengenai berbagai kenikmatan Allah, dan janganlah kalian berfikir mengenai dzat-Nya karena kalian akan binasa”(6),(7).
2- Para sahabat tidak pernah menggeluti ilmu ini meskipun mereka adalah orang-orang yang paling tahu mengenai agama ini. Karena para sahabat faham dengan apa yang dituntut oleh keimanan yang berupa kepercayaan yang mutlak, serta penerimaan yang sempurna terhadap semua teks-eks al-Qur`an mengenai akidah yang diturunkan dari sisi Allah, atau hadits-hadits yang datang dari Rasulullah saw. tanpa mengajukan berbagai pertanyaan yang mengandung kecurigaan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai sifat Allah yang mengandung unsur kesamaran,kelalaian dan ta`wil.
     Pengarang Syarhu al-‘Aqidati ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-Barr bertanya-tanya, “ bagaimana orang yang tidak menerima al-Kitab dan sunnah dapat berbicara mengenai dasar agama, sedangkan dia hanya menerimanya dari perkataan si Fulan. Jika dia mengklaim bahwa dia mengambilnya dari Kitab Allah, sedangkan dia tidak menerima penafsiran Kitab Allah dari hadits-hadits Rasulullah saw., juga tidak mau melihatnya, juga tidak mau mengambil apa yang dikatakan oleh para sahabat dan para tabiin, yang disampaikan kepada kita oleh orang-orang yang dapat dipercaya”(8).
     Imam asy-Syafii juga berkata, “ semua ilmu yang selain al-Qur`an tidak berguna, kecuali ilmu hadits dan fikih, yaitu suatu ilmu yang di dalamnya ada perkataan, yang diberitahukan kepada kami. Sedangkan ilmu yang selain itu adalah bisikan setan”(9).
     Imam Syafii mencela ilmu kalam. Bahkan dia menjadikan orang yang mempelajari ilmu kalam sebagai orang yang melakukan dosa yang paling besar. Dia berkata, “ masih lebih baik seorang hamba yang bertemu Allah Azza Wa Jalla dengan membawa semua dosa yang selain dosa kemusyrikan kepada Allah dari pada dia menemui-Nya dengan membawa ilmu kalam”. Maka menurut pendapatnya ilmu kalam menempati posisi setelah kemusyrikan dari segi besar dan beratnya dosa.
     Imam asy-Syafii memiliki prasangka yang negatif terhadap ilmu kalam, serta terhadap keburukan hasilnya. Maka dia berkata untuk memperingatkan manusia agar jangan mempelajarinya, “ seandainya manusia mengetahui berbagai hawa nafsu yang terdapat di dalam ilmu kalam, niscaya mereka berlari menghindarinya bagaikan larinya mereka untuk menghindari singa”.
     Dia juga memberikan fatwa agar memukuli orang yang menggeluti ilmu kalam dengan cambuk. Lalu orang tersebut dibawa keliling di berbagai kabilah dan suku. Dan dia katakan, “ini adalah balasan orang yang meninggalkan al-Kitab dan sunnah dan mempelajari ilmu kalam”(10).
     Ini adalah sekelumit perkataan dan dalil yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat haram menggeluti ilmu kalam.
Catatan kaki:
[1] Dia adalah Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghaffar bin Ahmad al-Iiji, yang dijuluki dengan nama ‘Adhaduddin, yang merupakan seorang ulama yang ikut andil dalam ilmu-ilmu logika, al-Maa’ani dan bayan, nahwu, dan fikih. Dia dilahirkan di Iij, tempat yang berada di sekitar Syiraz pada tahun 680 H, dan meninggal dunia di dalam penjara yang terletak dekat dengan tempat kelahirannya Iij, pada tahun 756 H. Di antara kitab karangannya adalah, al-Mawaaqif Fi Ilmi al-Kalam, ar-Risaalatu al-‘Adhudiyyah Fi al-Wadh’i, lih, Thabaqaatu asy-Syaafi’iyyah al-Kubraa, as-Subki: 10/46, al-Badru ath-Thaali’, asy-Syaukani: 1/326, ad-Duraru al-Kaaminah, Ibnu Hajar: 3/110.
[2] Kitab al-Mawaaqif, al-Iiji, hlm 31, Dar al-Jail, Beirut, cet 1, 1997, editor: Dr. Abdurrrahman Umairah.
[3] Ihshaa`u al-‘Uiluum, editor: Dr. Utsman Amin, hlm 131.
[4] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm 458, Dar al-Qalam, Beirut, cet 5, 1984 M
[5] al-Munqidz Min adh-Dhalaal, al-Ghazali, hlm 13, editor: Sa’ad Karim al-Faqqi.
[6] HR. al-Haitsami dalam Majma’u az-Zawaa`id: 1/81, juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Awsath. Dalam sanad hadits ini terdapat Waazi’ bib Naafi’ yang periwayatannya ditinggalkan.
[7] Al-Bayaadhi, al-Isyaaraat, hlm 20.
[8] Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah: 1/221, Mu`assasah ar-Risalah, Beirut, cet 11, 1997 M, editor: Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Syu’aib al-Naa`uth.
[9] Lih, Syarhu al-‘Aqiddati ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-‘Izz: 1/18, Thabaqaatu as-Subki: 1/297, Shawnu al-Manthiq Wa al-Kalaam, as-Suyuthi, hlm 147.
[10] Ihyaa`u Uluumi ad-Diin, Abu Hamid alp-Ghazali: 1/95, Dar al-Ma’rifah Li ath-Thibaa`ah Wa an-Nasyr, Beirut.

(2) Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi

Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi (2)

Senin, 07/06/2010 10:09 WIB
Oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Kedua:
     Beberapa orang ulama berpendapat lain bahwa boleh mempelajari ilmu kalam. Bahkan mereka menggalakkan kajian-kajian teologi, seperti Ibnu ‘Asaakir, al-Bayaadhi, dan al-Ghazali, dan yang lainnya.
     Argumentasi yang mereka paparkan bagi dibolehkannya mempelajari ilmu kalam adalah sebagai berikut:
1) Sesungguhnya berbagai dalil yang diajukan oleh pemilik pendapat yang pertama tadi bukan bersifat umum. Yang dilarang dalam ayat dan hadits adalah melakukan perdebatan dan pertengkaran yang tidak mendatangkan manfaat. Sedangkan perdebatan untuk menampakkan wajah kebenaran dari yang salah tidak dilarang.
     Imam Al-Bayaadhi berkata, sedangkan perdebatan untuk menampakkan kebenaran tidak dibenci. Bahkan ini adalah yang diperintahkan dalam firman-Nya”
((وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ)) – النحل : 125 – “
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (an-Nahl: 125)(1).
     Pada tempat lain, Imam al-Ghazali menjelaskan esensi ilmu kalam, dan ia tegaskan bahwa: “ sesungguhnya tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahli sunnah, serta memeliharanya dari pencemaran yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Allah telah memberikan akidah yang berisikan kebenaran melalui lisan Rasul-Nya saw. yang sesuai untuk agama dan dunia mereka.
     Sebagaimana Dia berikan pengetahuan al-Qur`an kepadanya, maka setan juga melemparkan berbagai perkara yang bertentangan dengan sunnah dalam rasa keragu-raguan para pembuat bid’ah. Dan hampir saja mereka rusak akidah yang benar dari penganutnya. Maka Allah ta’ala membuat sekelompok mutakallimin, dan Dia gerakkan hati mereka untuk membela hadits dengan perkataan yang tersusun, yang menyingkap tipuan ahli bid’ah yang suka membuat-buat perkara yang bertentangan dengan sunnah Nabi saw., oleh karena itu lahirlah ilmu kalam dan penggelutnya”(2).
2) Sesungguhnya para sahabat tidak menggeluti ilmu ini. Dan mereka hanya cukup menyibukkan diri mereka dengan apa yang ada di dalam Kitab dan sunnah; karena berlaku sombong, memancing keragu-raguan, menutupi kebenaran dengan kesamaran yang dipakaikan dengan pakaian kebenaran dalam akidah tidak menjadi suatu fenomena pada saat itu.
     Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan ilmu ini; untuk dijadikan taruhan dan diperdebatkan dengan dalil logika untuk mengukuhkan akidah. Dan salah seorang ahli ilmu kalam telah mengisyaratkan perkataan ini yang kononnya dinisbahkan kepada Abu Hanifah r.a.,” sesungguhnya para sahabat Rasulullah saw. tidak memasuki ilmu ini, karena perumpamaan mereka bagaikan perumpamaan kaum yang tidak ada musuh di hadapan mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan senjata.
     Sedangkan kami telah dicoba dengan orang yang membuat keragu-raguan terhadap kami. Maka yang dapat kami lakukan hanyalah mengetahui orang yang salah dan yang benar dari kami, dan jangan sampai kita salahkan diri kita”(3).
     Kelompok ini menilai bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang memiliki martabat yang paling tinggi di antara ilmu-ilmu yang lainnya. Karena ilmu ini membahas berbagai perkara yang sangat umum dan tinggi. Dan ilmu ini juga memiliki tujuan yang sangat luas dan mulia dengan memiliki berbagai dalil yang dapat diterima oleh logika.
     Dan dalil logika ini didukung oleh dalil naql yang merupakan dalil yang sangat dapat dipercaya. Dan ini adalah arah kemuliaan ilmu yang tidak dapat ditandingi. Oleh karena itu, ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia(4).
     Al-Alusi sebagai pakar tafsir memadang sangat perlunya mempergunakan hujjah yang bersifat logika dalam memperkuat akidah, sebagaimana yang dia jelaskan dalam penafsirannya untuk firman Allah taala,
((وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ)) – البقرة : 165 –
     Yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (al-Baqarah: 165).
     Dia berkata, “ayat ini merupakan legalitas dalil dengan menggunakan dalil logika, serta peringatan terhadap kemuliaan ilmu kalam, dan keutamaan orang yang menggelutinya. Dan barangkali juga memberikan isyarat kepada kemuliaan disiplin ilmu ini. Dan firman-Nya yang berbunyi, “ dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah”, merupakan sebuah penjelasan bagi kondisi orang-orang musyrik setelah penjelasan berbagai dalil yang menunjukki ketauhidan-Nya”(5).
     Imam al-Ghazali memandang bahwa ilmu kalam terkadang memberikan manfaat, dan terkadang memberikan kerusakan. Maka ilmu kalam memberikan manfaat manakala dipergunakan secara benar, yaitu ketika tengah menjawab berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh musuh-musuh agama. Sedangkan ketika dia mengobarkan berbagai tuduhan maka dia datangkan kemudharatan yang tidak ada gunanya sama sekali.
     Namun meskipun demikian, Imam al-Ghazali tidak lupa mengingatkan kita tentang adanya sisi negatif daripada ilmu kalam. Beliau berkata: “ Sesungguhnya di dalam ilmu kalam ada manfaat dan ada mudharat. Dia bermanfaat dalam kondisi halal, ataupun sunat, ataupun wajib, sesuai yang dituntut oleh kondisi.
     Dan dia memberikan kemudharatan ketika dia munculkan kemudharatan, dan tempatnya adalah haram. Sedangkan kemudharatannya adalah memunculkan keragu-raguan, menggoyahkan akidah, dan menghilangkannya dari kepastian”(6). (Bersambung)
Catatan kaki :
[1] Isyaaraat, al-Bayaadhi, hlm 36.
[2] Al-Munqidz Min adh-Dhalaal, hlm 13.
[3] Isyaaraat, al-Bayaadhi, hlm 22.
[4] Li, al-Mawaaqif, al-Iiji, hlm 41.
[5] Tafsiir Ruuhu al-Ma’aani: 2/66, Dar Ihyaa Turats al-Arabi, tanpa tahun.
[6] Qawaa`idu al-‘Aqaa`idi, al-Ghazali, hlm 99, ‘Aalam al-Kutub, Beirut, cet 2, 1085 M. Editor: Musa bin Nashr.
Sumber:eramuslim.com 

(3) Diskursus Teologi Islam Dalam Perspektif Imam al-Qurthubi

Diskursus Teologi Islam dalam Perspektif Imam Al-Qurthubi (3)
Minggu, 13/06/2010 09:03 WIB
Oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Sikap Imam al-Qurthubi Terhadap Ilmu kalam.
     Imam al-Qurthubi dalam hal ini tidak ketinggalan, ia berbicara tentang ulama kalam di berbagai kesempatan dalam pemaparan tafsirnya. Juga dalam berbagai ragam istilah kalam seperti: al-Jauhar (Substance) dan al-‘Ardh (Accident). Bagi Imam al-Qurthubi tidak adal masalah baginya untuk menggunakan istilah-istilah tersebut, sebab al-Qur’an dan sunnah sendiri tidak melarangnya, bahkan memberikan isyarat akan pemakaiannya.
     Imam al-Qurthubi merumuskan beberapa syarat bagi dibolehkannya mempelajari dan mendalami ilmu kalam, diantaranya:
1) Bertujuan membela akidah islam. Imam al-Qurthubi memandang bahwa orang-orang yang membela agama, dan membatalkan setiap tuduhan yang merusak dengan menggunakan berbagai terminologi teologi, maka sebenarnya dia menempati derajat atau posisi yang dekat dengan posisi para nabi. Dia berkata, “Barang siapa yang mempergunakan berbagai terminologi para teolog untuk memperjuangkan agama, maka perannya dekat dengan peran para nabi”(1).
2) Debat dan diskusi yang terjadi dalam ilmu kalam bertujuan untuk menampakkan kebenaran. Oleh karena itu imam al-Qurthubi membolehkan debat dan diskusi yang bertujuan untuk menampakkan kebenaran, serta mengajukan dalil bagi kebenaran.
     Dan ini adalah cara yang ditempuh oleh al-Qur`an dalam melakukan perdebatan untuk memberikan hidayat kepada orang-orang kafir, dan menekan orang-orang yang membangkang. Berbeda dengan perdebatan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikuasai oleh hawa nafsu, dan jenis perdebatan yang seperti ini adalah perdebatan yang batil.
     Imam al-Qurthubi mengisyaratkan hal ini dalam penafsirannya terhadap firman Allah taala:
(( مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا)) – غافر : 4 –
     Yang artinya: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”. (Ghaafir: 4).
     Dia berkata, “ Allah swt. mencap orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah sebagai orang kafir. Yang dimaksud adalah perdebatan dengan menggunakan kebatilan, dengan cara mempermasalahkannya, dan sengaja menggoyangkan kebenaran, serta mematikan cahaya Allah ta’ala.
     Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala: (( وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ)) – غافر: 5 – “. Yang artinya: “Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu”. (Ghaafir: 5).
     Sedangkan perdebatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan kesamaran ayat, mencari jalan keluarnya, menuntun para ilmuwan untuk menyimpulkan berbagai maknanya, serta menyanggah para pembuat bid’ah, adalah perbuatan jihad di jalan Allah yang paling besar” (2).
     Dia berkata, “ tidak boleh mengajarkan perdebatan dan hujjah kepada pembuat bid’ah yang dapat dia pergunakan untuk melakukan debat dengan orang-orang yang benar. Juga seseorang tidak boleh mengajarkan musuhnya hujjah yang dapat menyebabkan hartanya terpotong”(3).
3) Mempelajari ilmu kalam jangan sampai membuat orang mencela orang yang berpegang kepada atsar ulama salaf. Oleh karena itu Imam al-Qurthubi mencela para ekstrimis teolog yang mengklaim bahwa kebenaran berada dalam keyakinan teologi mereka, dan bahwa orang lain tidak mencapai kebenaran.
     Ia tegaskan hal tersebut dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: “ Sedangkan para teolog yang ekstrimis yang mencela jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin yang berpegang kepada atsar salaf, dan mendorong untuk mempelajari kitab-kitab teologi, bahkan mengklaim bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui ilmu kalam dan berbagai terminologinya, maka mereka itu menjadi orang-orang yang tercela”(4).
     Jika kita renungi berbagai perkataan serta sikap para penentang ilmu kalam secara umum, maka kita akan dapat berkata, sesungguhnya mereka lupa terhadap motivasi penciptaan ilmu kalam serta perkembangan pemikiran islam yang menyebabkan munculnya ilmu kalam, yang terdiri dari untuk memperkukuh akidah islam, membelanya, dan menjelaskannya dengan dalil logika.
     Sedangkan penggunaan berbagai terminologi teologi yang mereka lakukan merupakan salah satu tuntutan ilmu ini, demi memahami dan menafsirkan ilmu ini; karena setiap ilmu masing-masing memiliki terminologi khusus, seperti ilmu ushul fiqh, tafsir, hadits, dan yang lainnya.
     Berdasarkan hal ini, imam al-Qurthubi berpendapat boleh menggunakan berbagai terminologi teologi yang dapat membawa kepada pemahaman akidah islam yang benar. Terutama menggunakan terminologi yang memiliki berbagai makna di dalam al-Qur`an dan sunnah. Sedangkan perkataan yang bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah tidak dia perbolehkan.
     Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “majmu’ Fatawa” berkomentar mengenai hal ini: “Tidak makruh hukumnya berbicara dengan pakar yang mempunyai terminologi sendiri dengan menggunakan terminologi mereka dan bahasa mereka jika memang dibutuhkan dan maknanya benar. Yang dibenci oleh para imam adalah mempergunakannya tanpa dibutuhkan.
      Maka para ulama salaf dan para imam tidak membenci sebuah perkataan hanya karena di dalamnya terdapat berbagai terminologi yang lahir dari ilmu kalam, seperti kalimat al-jauhar, al-‘ardh, al-jisim, dan yang lainnya. Bahkan karena makna yang terkandung dalam ungkapan ini mengandung kebatilan dan keburukan – dalam dalil dan hukum –tidak menjadi sebab untuk dilarang penggunaannya”(5).
    Pengarang kitab Syarhu al-’Aqidah ath-Thahawaiyyah mengungkapkan perkataan yang mirip dengan perkataan imam al-Qurthubi yang baru kami paparkan, “Para ulama salaf tidak membenci orang yang berbicara dengan berbagai terminologi kalimat, seperti: al-jauhar, al-jisim, dan al-‘ardh, serta berbagai kalimat lain yang sejenisnya, hanya karena kalimat ini adalah terminologi yang baru yang mengandung makna yang benar.
      Akan tetapi, mereka membencinya karena ilmu ini mengandung berbagai perkara yang dusta yang bertentangan dengan kebenaran, juga bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Juga karena mukaddimahnya mencakup kebenaran dan kebatilan, berbagai pertengkaran dan perdebatan, banyak ucapan dan perkataan yang tidak jelas sumbernya. Juga dari berbagai kalimat ini lahir berbagai perkataan yang bertentangan dengan syari’at yang benar”(6).
      Pada kesempatan lain, Imam al-Qurthubi berpesan untuk tidak menyampaikan problematika ilmu kalam- yang bersifat intelektual- kepada masyarakat awam.
      Sebagaimana kata beliau ketika menjelaskan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi: “Berbicaralah kepada manusia apa yang dapat mereka fahami, apakah kalian suka jika mereka tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya”(7): Yang dimaksud oleh hadits ini adalah beberapa jenis ilmu, seperti ilmu kalam, atau ilmu yang pemahamannya tidak dapat dicerna oleh orang-orang awam imam al-Qurthubi menginterpretasikannya bahwa hadits tersebut mengandung istilah-istilah sebagian ilmu, seperti ilmu kalam, atau ilmu yang pemahamannya tidak merata di antara orang awam.
      Maka ditetapkan bagi seorang ulama untuk berbicara kepada orang awam mengenai apa yang dapat mereka pahami. Dan menempatkan setiap manusia pada posisinya masing-masing”(8).
      Dari perkataan imam al-Qurthubi tadi jelaslah bahwa dia tidak mengharamkan mendalami ilmu kalam, serta membolehkan penggunaan terminologinya, apalagi jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Bahkan ia sendiri menggunakan termminologi teologi tersebut dalam beberapa kitab karangannya seperti, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juga dalam kitabnya (al-Asna fi Syarh Asma Allah al-Husna) (9).
Catatan kaki :
[1] Al-Jaami’ Li-Ahkaami al-Qur`aan: 2/144.
[2] Al-Jaami’ Li-Ahkaami al-Qur`aan: 15/190, 191.
[3] Idem: 2/124.
[4] Idem: 2/144.
[5] Majmuu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah: 3/306, 307 dengan secara ringkas.
[6] Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-‘Izz: 1/20.
[7] HR. Bukhari dalam kitab Shahih-nya: 1/59, no 127.
[8] Al-Jaami’ Li-Ahkaami al-Qur`aan: 2/124.
[9] Untuk lebih jelasnya lihat: Masail al-I’tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Muassasah al-‘Alya, Cairo, 2006.
Sumber:eramuslim.com