Wednesday, December 14, 2011

AJARAN SESAT DALAM ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM


AJARAN SESAT DALAM ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
PROLOG:
     Belakangan ini muncul beberapa ajaran dan aliran sesat di tengah masyarakat dan komunitas islam. Dan tak henti-hentinya kita mendengar adanya komuniti ajaran sesat di dalam berita, akhbar, siaran, majalah dan media masa lainnya, yang tentunya ajaran tersebut sangat meresahkan dan membimbangkan serta mengganggu proses kehidupan agama. Bukan saja di negara-negara Asean seperti Malaysia dan Indonesia, bahkan ajaran sesat ini banyak dijumpai di negara-negara Arab, sehingga timbul beberapa pertanyaan apakah ajaran-ajaran yang muncul saat ini merupakan kontinuitas daripada ajaran-ajaran sesat yang sudah ada sebelumnya atau merupakan ajaran baru yang tiada hubungan dengan ajaran-ajaran sesat dalam aliran teologi islam. Inilah yang melatar belakangi penulisan artikel ini, dengan tujuan untuk mengkaji dan melacak sejarah ajaran-ajaran sesat yang tercatat dalam kitab-kitab klasik.
     Untuk sistematika penulisan dan sesuai dengan tema di atas, maka penulis akan mencoba memaparkan sejarah ideologi sesat dari perspektif teologi Islam, dan akan membaginya kepada dua permasalahan di bawah ini:
- Definisi ajaran sesat.
- Ajaran-ajaran sesat dalam aliran teologi Islam dan pengaruhnya pada masa kontemporer.

DEFINISI AJARAN SESAT
     Ajaran adalah sebuah aqidah dan ideologi, atau sering disebut kepercayaan. Dari segi etimologi ”Aqidah” berasal dari perkataan arab: “Aqada, Ya’qidu, ‘Aqdan”, yang artinya mengikat. Oleh karena itu Aqidah diartikan sebagai “ikatan kokoh dan pegangan kuat”. Dikatakan demikian, karena aqidah tidak menerima keragu-raguan. Dan dalam agama Islam, aqidah itu dalam bentuk keyakinan dan bukan dalam amalan atau perbuatan. Seperti seseorang berkeyakinan tentang keberadaan Allah Swt, dan diutusnya seorang Nabi dan Rasul. Bentuk plural daripada Aqidah adalah (Aqaa`id) . Dengan demikian, Aqidah itu adalah suatu ajaran yang diyakini oleh seseorang dengan penuh keyakinan, samada keyakinan itu baik ataupun buruk.
     Adapun dari segi terminologi, aqidah bermakna: “perkara-perkara yang dibenarkan dan diakui sepenuhnya oleh hati manusia, dan merasa tenang dengan keyakinan tersebut, oleh karena itu tidak timbul sama sekali keraguan dalam hatinya”.
     Aqidah Islam adalah keimanan dan kepercayaan yang penuh dan mantap terhadap Allah, Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul-Rasul, Hari kiamat, Qadha dan Qadar (takdir ilahi), percaya sepenuh hati terhadap kejadian-kejadian di alam ghaib serta pokok-pokok ajaran agama, dan tunduk terhadap perintah dan segala keputusan yang ditetapkan oleh Allah, juga mengikuti ajaran agama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
     Dalam bahasa arab, terdapat beberapa penamaan tentang ajaran-ajaran sesat, diantaranya: “al-’Aqaa`id az-Zaighah”, ”al-’Aqaa`id al-Munharifah”, dan “al-‘Aqaa`id ad-Dhalaalah”. Dan kesemuanya bermaksudkan ajaran sesat, yaitu segala ajaran atau amalan yang dianggap sebagai ajaran Islam, namun pada hakikat dan intinya berlawanan dan tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah. Dan istilah “ad-Dhalaalah” sendiri sering digunakan Ibnu Hazam dalam kitabnya “al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal” , terutama ketika mengkritisi pandangan-pandangan Syi’ah dan Mu’tazilah.
     Sementara para ulama nusantara, memberikan pengertian yang sama tentang ajaran sesat sebagai: “Sebarang ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam atau orang-orang bukan Islam yang mendakwa bahawa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam, atau berdasarkan kepada ajaran Islam; sedangkan pada hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa itu bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Sunnah, serta bertentangan dengan ajaran ahli Sunnah Wal Jamaah” .
     Perlu diungkapkan di sini bahwa ajaran sesat sebenarnya sangat erat dengan masalah bid’ah, sebab bid’ah itu sendiri memiliki makna dan haluan kepada kesesatan. Dan definisi bid’ah adalah sebagi berikut:
     Bid'ah menurut etimologi, berasal dari kata "bada'a" yang berarti menciptakan sesuatu yang baru, Abda'tu Assyai': menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan kata “Abda'a, Ibtada'a dan Tabadda'a” berarti mendatangkan sesuatu yang baru. Dan kata Badi' adalah bermakna hal-hal baru yang aneh . Sesuatu yang baru tidak selamanya berarti baru secara mutlak melainkan hasil dari pembaharuan dan pengembangan apa-apa yang telah ada sebelumnya yang ditampilkan dalam bentuk dan gaya atau style yang baru.
     Dari segi terminologi, para ulama berselisih faham tentang konsep Bid’ah, yaitu:
Pertama:
     Imam Nawawi memperluas pemahaman bid’ah. Menurutnya, bid’ah adalah segala sesuatu yang belum dan tidak pernah wujud serta terjadi pada zaman Nabi saw. Dan dia berpendapat bahwa bid’ah terbagi kepada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah . Pengertian dan pembagian ini telah disuarakan sebelumnya oleh salah seorang ulama mazhab Syafi’i imam Izzuddin bin Abdul as-Salam. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw adalah Bid'ah. Dan menurut pendapatnya bid’ah itu terbagi kepada lima bagian, yaitu: Bid'ah Wajibah (Wajib), Bid'ah Muharramah (Haram), Bid'ah Makruhah (Makruh), Bid'ah Mandubah (Sunnah) dan Bid'ah Mubahah (boleh). Dan untuk mengetahuinya, maka bid’ah tersebut haruslah diukur berdasarkan Syari’at. Apabila bid'ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at berarti bid'ah itu wajib, apabila termasuk ke dalam perbuatan yang diharamkan berarti haram, dan seterusnya .
     Dalam kitab Manaqib Assyafi'i, menurut riwayat Baihaqi, Imam Syafi'i berkata: “Segala hal baru (bid'ah) ada dua macam, pertama: bid'ah yang bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma' inilah bid'ah Dhalaalah (sesat). Kedua: Apa-apa yang baru (bid'ah) yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Quran maupun as-Sunnah, atsar dan Ijma', maka hal itu tidak tercela.
     Dalam nada yang sama Ibnu Atsir mengatakan: “Bid'ah itu terbagi menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Jika bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya maka bid'ah itu termasuk golongan sesat dan tercela, namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianjurkan oleh agama maka bid'ah itu tergolong kedalam bid'ah yang terpuji. Bahkan menurut beliau, bid'ah hasanah pada dasarnya adalah sunnah” .
Kedua:
     Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali dalam penjelasannya tentang pengertian bid’ah, adalah: hal-hal yang baru dan tidak mempunyai dasar dalam dalil syari’at. Adapun jika bid'ah itu sesuai dengan syara' berarti ia tidak digolongkan sebagai Bid'ah meskipun secara etimologi bermaknakan bid'ah . Pengertian ini menunjukkan artian yang sempit terhadap bid’ah. Sebab baginya, bid’ah adalah perihal baru yang tercela saja, maka dari itu tidak ada penamaan-penamaan bid’ah (hasanah, sayyi`ah, wajib, makruh dll) seperti pengertian di atas. Jadi yang dikategorikan sebagai bid’ah adalah perkara yang haram saja.
     Pada hakikatnya, kedua pandangan di atas tidak kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. Sebab tujuannya sama, yaitu bahwa bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada landasan dalam syari’at. Dan yang membedakan hanyalah bagaimana cara untuk membuat gambaran bahwa bid’ah yang tercela adalah perbuatan atau amalan yang tidak berdasarkan kepada syari’at, dan tidak sesuai dengan nilai dan ajaran agama. Di samping itu, perkara yang dilakukan mendatangkan mudharat dalam kehidupan agama. Itulah yang dimaksud dengan hadis Rasul saw. "Kullu Bid'atin Dhalaalah", atau semua bid’ah sesat. Jadi kesimpulannya, tidak semua bid'ah itu dilarang atau diharamkan, yang dilarang adalah bid'ah yang bertentangan dengan agama .
     Adapun argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan sayyiah, adalah sebagi berikut:

1) Rasulullah saw. bersabda:
(من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أوزارهم شيئا)
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik dalam Islam, maka ia sendiri akan mendapatkan pahalanya dan pahala dari orang yang melakukan kebaikan itu setelahnya, tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka. Begitu juga, barang siapa yang membuat perkara buruk, maka ia sendiri akan memperoleh balasannya serta balasan orang yang melakukan keburukan itu setelahnya, tanpa sama sekali dikurangi dosa-dosa orang-orang tersebut”.
     Senada dengan hadits di atas, Rasulullah saw bersabda:
(من سن سنة حسنة فله أجره و أجر من عمل بها إلى يوم القيامة، ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها إلى يوم القيامة).
Artinya: “Barang siapa yang membuat perkara baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukan perkara baik itu sampai hari kiamat, dan barang siapa membuat perkara buruk, maka ia akan mendapatkan balasannya dan balasan orang yang melakukan perkara buruk itu sampai hari kiamat”.
     Masih banyak lagi hadits yang senada dan seirama dengan hadits-hadits yang telah dipaparkan diatas, dan kesemuanya menunjukkan tentang adanya pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi`ah.
2) Ibnu Umar menamakan shalat Dhuha secara berjamaah di mesjid dengan nama Bid'ah, padahal hal itu merupakan perbuatan yang terpuji. Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: saya dan 'Urwah bin Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di kamar Aisyah ra., sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang tersebut, dan beliau menjawab "Bid'ah".
3) Perkataan Umar ra. tentang shalat tarawih secara berjamaah di mesjid pada bulan ramadhan:"نعمة البدعة هذه ", diriwayatkan dari Abdurahman bin Abdu al-Qari, ia berkata: Suatu malam pada bulan ramadhan, saya keluar bersama Umar bin al-Khattab ra. ke mesjid di mana orang-orang terpecah dan terbagi-bagi dalam melaksanakan shalat tarawih sendiri-sendiri, Umar ra. berkata:"saya melihat jika orang-orang tersebut dikumpulkan dibelakang seorang imam pastilah sangat indah". Maka beliaupun menyuruh Ubay bin Ka'ab untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah. Pada malam yang lain ketika saya keluar kembali bersama Umar ra., orang-orang telah shalat tarawih secara berjamaah di mesjid, maka umar ra. pun berkata:"Ni'mat al-bid’ati hazihi".
     Oleh karena itu, Mayoritas ulama dari berbagai mazhab, seperti Izzuddin bin Abdu Assalam dari mazhab syafi’i, an-Nawawi dan abu Syamah dari mazhab maliki, al-Qarafi dan az-Zarqani dari mazhab Hanafi, Ibnu Abidin dari mazhab Hambali, Ibn Al Jauzi serta Ibnu Hazam dari mazhab ad-Dzahiriah, kesemuanya sependapat bahwa bid'ah itu terbagi menjadi dua bahagian, yaitu : bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
     Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran sesat terkait erat dengan “bid’ah” dalam agama Islam. Dan memiliki tiga kriteria, yaitu: membuat hal baru, menciptakan permasalahan dalam agama, dan bertentangan dengan syari'at Islam.
     Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya ajaran-ajaran sesat, di antaranya:
-   Politisasi Agama.
- Unsur kesengajaan, alias mempunyai niat jahat untuk menghancurkan sendi-sendi agama sehingga melakukan ”sabotage”.
-  Keliru dalam memahami konsep agama atau metode istinbat, seperti kurangnya pengetahuain tentang kaedah-kaedah dalam berbagai disiplin ilmu Islam, ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir dan ilmu hadits. Sebagaimana yang terjadi dalam syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Imamiyah, mereka tidak membedakan ayat muhkamat dan mutasyabihat, oleh karena itu seluruh ayat al-Qur’an bagi mereka dapat dita’wilkan sesuai pemahaman dan tuntutan mazhab mereka.
-   Menganggap al-Qur’an memiliki dua makna: makna lahir dan makna batin.
-   Berlebih-lebihan dalam beragama, sehingga menimbulkan sifat ta’assub. Oleh karena itu Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa bid’ah-bid’ah yang ditimbulkan oleh golongan Khawarij bukanlah karena mengingkari agama atau menolak kebenaran agama, tetapi karena kebodohan dan kesesatan dalam memakrifati makna-makna al-Qur’an.
AJARAN SESAT DALAM ALIRAN TEOLOGI ISLAM & PENGARUHNYA TERHADAP MASA KONTEMPORER
     Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Di samping posisi beliau sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga menduduki jabatan sebagai pemimpin Negara, sehingga ketika beliau wafat komuniti masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka pada saat itu. Selanjutnya, muncul persoalan ‘Khilafah’, yaitu soal pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai kepala Negara. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad saw., dan diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman r.a. timbul pertikaian di antara sesama umat Islam yang mengakibatkan berlakunya peristiwa pembunuhan Usman bin Affan, khalifah yang ketiga.
     Peristiwa pembunuhan Usman menimbulkan munculnya perseteruan antara Mua’wiyah dan Ali, di mana pihak Mu’awiyah menuduh pihak Ali sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga berlanjut dalam memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Mu’awiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.
     Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.
    Hal ini menandakan bahwa persoalan teologis dalam Islam berawal dari masalah politik, sehingga memberikan pengaruh dan kesan besar terhadap perpecahan umat Islam, bahkan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan social masyarakat. Dan terkadang masyarakat itu sendiri ikut langsung terlibat di dalam ranah politik, sehingga berbagai kalangan dan tingkatan sosial di masyarakat bersaing untuk menjadikan pilihan politiknya berkuasa.
     Dalam perkembangan seterusnya, masalah politik meningkat menjadi masalah teologi . Dan peningkatan ini bersifat negatif, sebab membuat percampuran antara politik dan ideologi yang semestinya harus dipisahkan. Efek yang timbul dan nyata dari perkembangan tersebut adalah antara sesama penganut agama Islam saling menyalahkan dan menyesatkan, bahkan mengkafirkan, keadaan ini membuahkan hasil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab aqidah (ideologi) yang tadinya murni, dan bertujuan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang, mengembangkan persaudaraan Islam (Ukhwah al-Islamiyah), akibat pengaruh politik justru menjadi sebaliknya. Keimanan menjadi rapuh, ketaqwaan semakin melemah, tali persaudaraan menjadi terputus, akibat berbagai masalah serta problema yang dimunculkan oleh keadaan yang tidak dapat dibendung.
     Sebagai contoh yang nyata, peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi tekanan penguasa kepada beliau untuk mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluq, namun dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan komitmen yang tinggi dalam hati Imam Ahmad bin Hambal maka pada akhirnya aqidah kaum muslimin terselamatkan mereka dari tekanan dan pemaksaan penguasa yang menanamkan ideologi Mu’tazilah. Dan yang menarik perhatian adalah ketika ada seseorang yang berkata kepadanya: “Semoga Allah menghidupkan engkau di atas Islam”, maka beliau menjawab : “dan sunnah.” Ia berucap seperti itu karena ia mengerti bahwa umat Islam telah berpecah dalam berbagai firqah, sekte dan kelompok. Maka ia melengkapi doanya dengan kata: “dan sunnah.” Yang maksudnya, ia dihidupkan di atas Islam dan sunnah yang tidak dicampuri oleh berbagai macam bid’ah, termasuk di dalamnya politik.
    Inilah contoh yang jelas ketika politik dan aqidah dicampuradukkan dan dipolitikkan. Dan dari sini dapat dikatakan jika tidak terjadi perpecahan politik di kalangan umat Islam niscaya kesatuan dan persatuan akan tercapai.
     Namun perlu diingat bahwa ajaran sesat atau penyelewengan akidah ini bukanlah suatu masalah dan problema baru, melainkan telah muncul sejak sebelum wafat Nabi Muhammad saw., di mana telah lahir beberapa orang mengaku dirinya sebagai Nabi selepas Rasulullah saw., mereka menyebarkan ajaran-ajarannya kepada umat Islam pada masa itu, seperti yang tercatat dalam sejarah Islam, yaitu seorang yang bernama Musailamah dan kemudian diberi gelaran sebagai al-Kazzab, Thalhah al-Asady dari Kabilah Bani Asad, dan al-Aswad al-Anusi di Yaman.
     Berikut ini penulis akan paparkan beberapa kesesetan-kesesatan yang terdapat dalam beberapa aliran teologi Islam, Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah:

Golongan Syi’ah
    Imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah kepada berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw. ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah Syi'ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan Sunni adalah (al-Khilafah), sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri’asah).
     Dalam pandangan politik Syi'ah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), di mana keimanan seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw. yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw. (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw., oleh sebab itu, syi'ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
     Antara kesesatan syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah adalah:

- al-Qur’an.
     Dalam pandangan mereka al-Qur’an yang dipegang oleh Ahlu Sunnah (Mushaf Utsmani) tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits syi’ah, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini: ” dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata :”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“ . Pada tempat lain, dari riwayat yang sama, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu”. Abu Bashir berkata: ‘apakah mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al- Qur’an kalian” . Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan bahwa al-Qur’an yang ada disisi Ahlu Sunnah telah mengalami perubahan besar dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan .
- Sahabat.
     Golongan-golongan syi’ah saling berbeda pendapat dalam mendifinisikan sahabat. Menurut syi’ah Zaidiyah sahabat adalah: ”Kaum Muhajirin dan Anshar atau siapa saja dari sahabat yang dekat dan menimbah ilmu dari Rasulullah saw” .
     Adapun syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah mengatakan bahwa sahabat adalah siapa saja dari mereka yang menyokong Imam Ali bin Abi Thalib .Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah serta diikuti oleh Garudiyah dari golongan Syi’ah Zaidiyah , kesemuanya bersepakat menyesatkan dan mengkafirkan para sahabat Rasulullah saw. Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi” . Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian ia menyebutkan surat Ali Imran ayat 144” . Dan yang disayangkan oleh Ahlu Sunnah adalah tuduhan mereka bahwa ‘Aisyah dan para istri lainnya sebagai pelacur. Unsur pelecehan ini terdapat dalam kitab syi’ah Imamiyah, yaitu ”Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal”, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah .
     Reaksi Ahlu Sunnah berbeda-beda dalam menyikapi Syi’ah dalam hal ini. Imam Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmiah dan Rafidhiah, atau di belakang Yahudi dan Nashara (maksudnya tidak boleh). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak boleh dijadikan sebagai saksi dalam perkara, dan tidak dimakan sembelihan mereka” . Dengan tegas imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam” . Sikap ini dipertegas lagi oleh imam Abu Zur’ah ar-Razi: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq, yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan al-Qur’an dan Sunnah adalah para shahabat . Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan al-Qur’an dan Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah” .
- Imam Ma’sum.
     Golongan Syiah Imamiyah dan Isma’iliyah berpendapat bahwa seorang imam harus melebihi umat manusia dalam segala keutamaan, seperti ilmu pengetahuan, kepahlawan, keimanan, ketakwaan dan amal saleh, dan dia harus memiliki ilmu yang sempurna tentang hukum-hukum Allah . Sebab jika tidak demikian; dan kedudukan ini dipikulkan atau diamanahkan kepada orang yang setingkat di bawah orang yang memiliki kesempurnaan, yaitu inferior lebih diutamakan ketimbang superior, maka perbuatan ini adalah perbuatan keliru menurut hukum akal dan bertentangan dengan Keadilan Ilahi. Oleh karena itu, tidak ada orang inferior yang akan menerima imamah dari Allah swt. bilamana hadir seorang yang lebih superior daripada dia. Oleh karena itu imam bagi mereka levelnya sama dengan Nabi dalam kema’suman, yaitu keterjagaan diri dari dosa, noda dan salah . Jika imam tidak ma’sum maka ia akan dapat dengan mudah terjebak dalam kesalahan, dan juga berpotensi untuk melakukan hal-hal yang tidak layak dilakukkan, seperti, berbohong dan berdusta.
     Aqidah ismah ini merupakan sebuah pengkultusan dan pensucian terhadap pribadi manusia yang tidak ada dasarnya dalam agama, sebab yang berhak dikultuskan dan ma’sum hanyalah baginda Rasulullah saw .
Golongan Khawarij
     Kelompok Khawarij merupakan aliran teologi pertama yang muncul dalam dunia Islam. Khawarij muncul setelah peristiwa peperangan Shiffin antara tentara Ali dengan Mu’awiyah. Khawarij merupakan pendukung tentara Ali ketika terjadinya perang pada bulan Safar tahun 37 H. dalam peristiwa itu banyak tentara di kedua belah pihak yang gugur. Ketika Ali hampir memperoleh kejayaan dan kemenangan, Amr ibn al-Ash yang berada di barisan Mu’awiyah mengangkat mushaf untuk mengadakan perdamaian. Maka peperangan ketika itu dihentikan sementara dan diadakan tahkim (arbitrase) antara kedua belah pihak. Dalam tahkim ini pihak Ali diwakilkan oleh Abu Musa al Asy’ari yang dipecundangi oleh siasat Amr yang mewakili Mu’awiyah. Arbitrase ini menghasilkan keputusan yang timpang, Ali diturunkan dari jabatan dan Mu’awiyah naik menjadi khalifah. Kejadian ini menimbulkan krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang kebanyakan dari Bani Tamim. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil perundingan tersebut dengan menyatakan “Laa hukma illallah”. Ali pun memberi komentar terhadap ucapan tersebut dengan mengatakan: ”Kata-kata haq yang dimaksudkan itu sebenarnya bathil, sebab mereka tidak ingin adanya pemimpin”.
     Sekelompok orang yang membangkang tadi lalu berkumpul menuju Haruraa, suatu tempat yang tidak jauh dari Kufah, dan kemudian mereka sepakat membai’at Abdullah bin Wahb Ar Rasibi sebagai pemimpin mereka. Dari sinilah muncul istilah golongan Khawarij.
     Dalam perkembangan selanjutnya, Khawarij berpecah-pecah ke beberapa kelompok dan aliran. Walaupun Khawarij berpecah , mayoritas dari mereka tetap memiliki pandangan sama dalam tiga hal:
Pertama: Persamaan pandangan mengenai politik dalam memilih pemimpin. Mereka sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari etnik, ras, kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi. Hal ini disyaratkan sebab tiada kemuliaan bagi seseorang yang beriman kecuali ketaqwaannya .Dan apabila seorang pemimpin berlaku zalim dan menyimpang daripada amanah rakyat, maka wajib diturunkan dan diperangi bersama .
Kedua: Khilafah (kepemimpinan) harus mengikuti sistim permusyawaratan (syuraa).
     Kedua prinsip ini tentunya mengingatkan kita pada sistem demokrasi sekarang, dimana pemilihan pemimpin ditentukan oleh rakyat atau dengan cara pilihan raya. Dan hal ini membuktikan bahwa Islam lebih dahulu mengenal sistem demokrasi.
Ketiga: Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada para rasul-Nya, medirikan sholat, berpuasa dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna lalu ia melakukan dosa besar, maka orang tersebut menurut anggapan Khawarij telah kafir .
Berikut ini uraian tentang sebagian kesesatan golongan-golongan Khawarij:
al-Azaariqah:
     Sekte ini didirikan oleh Nafi’ bin Azraq, dan merupakan sekte Khawarij yang terbesar dan yang paling banyak memiliki pengikut. Aliran ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan Irak dan Iran. Mereka mengkafirkan imam Ali, Aisyah dan para sahabat lainnya, termasuk Usman, Thalhah, Zabir, dan Abdullah bin Abbas. Terdapat beberapa pandangan yang menyesatkan dalam sekte ini, seperti: tidak mengakui hukuman rajam terhadap pezina , pelaku ma’siat hukumnya kafir syirik, dan kalau mati sebelum bertaubat maka seluruh amalan baiknya ditolak dan akan ditempatkan dalam Neraka Jahannam serta kekal selama-lamanya . Aliran ini juga dikenal senang mengkafirkan orang lain, di mana terdapat beberapa kriteria yang mereka sepakati tentang seseorang yang dimasukkan dalam kategori musyrik atau kafir, yaitu:
a. Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan azariqah.
b. Orang yang sepaham tetapi tidak mau berhijrah ke kalangan mereka.
     Berdasarkan prinsip ini, pengikut Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Dan selain daerah itu dinilai sebagai kawasan kafir (Dar al-Kufr).
an-Najdat:
     Pendiri firqah ini adalah Najdah bin Uwaimir, dari Bani Hanifah, penguasa daerah Yamamah dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrim. Oleh karena itu pengikut Najdat memandang Nafi’ dan pengikutnya telah kafir. Dari pernyataan pengkafiran ini, sebenarnya Najdatpun kelompok ekstrim. Terlebih lagi pemahaman Najdat bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan kekal dalam neraka. Sementara pengikut Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Kelompok ini berasumsi bahwa untuk mengukur suatu dosa apakah itu dosa besar ataukah kecil dilihat dari apakah pelakunya berbuat demikian karena ketagihan atau tidak, bertekad atau tidak. Seperti perbuatan berdusta, kalau pelakunya berterusan dan bertekad untuk berdusta, maka berdusta baginya dosa besar dan dapat dihukum kafir, sedangkan jika seorang berzina, mencuri, minum khamar namun dia tidak bertekad dalam melakukan perbuatan tersebut, maka ia tetap seorang mu’min bukan musyrik. Bagi mereka, berketerusan dalam dosa kecil menjadikan seseorang itu syirik. Dan mereka menggugurkan hukuman had kepada peminum khamar .
     Selanjutnya sekte ini mengalami juga perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.
Al-Ajaridah:
    Pendirian golongan ini dipelopori oleh Abdul Karim bin Ajrad. Dibandingkan dengan Azariqah, pandangan-pandangan kaum Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengatakan surah Yusuf bukan bagian dari surah al-Qur’an, surah tersebut hanyalah sebuah kisah yang disisipkan dalam al-Qur’an, alasannya, mustahil dalam al-Qur’an terdapat kisah percintaan. Dan mereka tidak sefaham dengan Azariqah yang mewajibkan seseorang berhijrah dari tempat dan wilayah mereka. Mereka tidak boleh merampas harta dalam peperangan, kecuali harta orang yang mati terbunuh. Dan mereka tidak menganggap musyrik anak-anak yang masih kecil, atau dengan kata lain tidak ada dosa turunan bagi anak yang dilahirkan dari orang tua yang kafir .
As-Safariyah:
     Ziad ibn Asfar merupakan pendiri golongan ini. Dan bila dicermati, sebenarnya pemahaman golongan ini sepaham dengan pandangan Azariqah, namun lebih lembut dan lunak. Dalam masalah pengkafiran atau terminologi “Kufur” mereka berpendapat bahwa istilah tersebut memiliki dan mengandung dua arti, yaitu: kufur ni’mat dan kufur syirik. Bagi pandangan mereka taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir bila terancam keamanan dirinya.
al-Yazidiyah:
     Golongan ini ditubuhkan oleh Yazid bin Anisah. Di antara pandangannya adalah: Allah swt akan mengutus seorang rasul dari kalangan ‘Ajam (non Arab), dan akan dibekali sebuah kitab sebagaimana kitab yang diberikan kepada Rasul yang sebelumnya. Dan penurunan wahyu akan turun sekaligus, serentak dan utuh dalam satu kitab, yang bertujuan untuk menghapus syari’at Islam. Di samping itu, mereka berasumsi bahwa segala jenis perbuatan dosa kecil atau besar merupakan syirik .
Al-Maimuniyah:
     Didirikan oleh Maimun al-Ajradi. Golongan ini juga berpadangan sama dengan Ajaridah yang mengingkari surah Yusuf sebagai bagian daripada surah-surah al-Qur’an, sebab kisah percintaan tidak mungkin dikisahkan Allah swt dalam kitab suciNya. Golongan ini membolehkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Alasan yang dikemukakan pemimpin aliran ini adalah, bahwa al-Qur’an tidak menyebut wanita-wanita tersebut dalam kelompok wanita yang haram dinikahi. Hal ini terjadi karena pemimpin mereka berasal dari bangsa Majusi yang membolehkan perkawinan jenis ini.
Al-Ibadhiyah:
     Golongan ini diprakarsai oleh Abdullah bin Ibadh at Tamimiy, muncul pada tahun 686 H. Di negara Oman penyebutannya diawali dengan huruf (A) menjadi ”Abadhiyah”, sedangkan di Afrika Timur huruf awalnya (I) ”Ibadhiyah”. Golongan Ibadhiyah merupakan golongan Khawarij yang moderat dan dekat dengan Ahlu Sunnah, oleh karena itu beberapa ulama dari Ibadhiyah menafikan diri daripada Khawarij . Dan golongan ini merupakan golongan Khawarij yang masih wujud dan eksis di Jazirah Arab terutama di negara Oman. Bahkan mayoritas muslim dan keluarga penguasa dalam kesultanan Oman adalah Ibadhiyah. golongan ini juag dapat ditemui di Yaman, jazirah Arab Maghribi seperti Libiya, Tunisia dan Al-Jaza’ir. Namun golongan ini juga berpecah kepada beberapa kelompok-kelompok yang ajarannnya dipenuhi dengan nada ekstrim, di antaranya:
- an-Nakariyah:
     pendiri utamanya adalah Ibnu Fandin. Mereka mengharamkan shalat jum’at dibelakang pemimpin yang zalim. Sesungguhnya Allah memerintahkan perkara wajib dan bukan perkara sunnah. Menampar seseorang, melihat seseorang dengan nafsu syahwat, berciuman, dan memasuki tandas tanpa memakai sarung kesemuanya merupakan perbuatan dosa kecil.
-  An-Nafatsiyah: golongan ini diketuai oleh Farj Nashr al-Nufusi. Ajaran yang dipromosikan oleh golongan ini adalah: pengingkaran terhadap khutbah jum’at sebab ia sesuatu yang bid’ah.
- As-Sakakiyah: Pemimpin golongan ini adalah Abdullah as-Sakakiyah. Kesesatan golongan ini sangat tinggi sehingga golongan Ibadhiyah lainnya mengeluarkan dari sekte Ibadhiyah dan mengkafirkan mereka. Di antara ajaran sesat yang menonjol pada as-Sakakiyah adalah: mereka mengingkari semua sumber hukum kecuali al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan hadits, ijma’ dan qiyas. Sebab hukum hanya datang daripada al-Qur’an. Bagi mereka, shalat jamaah dan azan adalah bid’ah.
 - Al-Fatsiyyah: golongan ini didirikan oleh Abu Sulaiman bin Ya’qub bin Aflah. Ajaran mereka adalah, zakat hanya wajib ditunaikan untuk famili (kerabat) saja. Mereka menganggap peluh orang yang sedang junub dan haid adalah najis .
Golongan Mu’tazilah
     Asal kata mu’tazilah adalah: ”i’tazala, ya’tazilu” artinya memisahkan diri. Term mu’tazilah merupakan isim fa’il, maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H) . Golongan ini muncul pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
      Golongan ini merupakan golongan terpenting dalam aliran teologi Islam. Ciri utama aliran teologi ini adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil logika dibanding dalil syara’, dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Sebab bagi mereka akal adalah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Golongan Muktazilah berkembang di kalangan golongan intelek pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Dalam perjalanan selanjutnya, kedudukan Muktazilah semakin kuat dan tangguh setelah Khalifah al-Ma'mun menjadikannya sebagai ideologi atau mazhab rasmi negara ketika itu. Dan pada zaman itulah golongan Muktazilah memaksakan pandangan-pandangan keagamaannya, terutama dalam masalah Khalqul Qur’an (penciptaan al-Qur’an) yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa dan tragedi (Mihnah), yaitu pemahaman bahwa al-Quran itu makhluk Allah (Hudutsul Qur’an), jadi tidak qadim. Jika al-Quran dikatakan qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah) .
      Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang banyak menimbulkan kontroversi. Terkadang diidentikkan sebagai aliran sesat dan cenderung merusak tatanan agama Islam, sehingga dapat dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun tidak dapat dinafikan bahwa aliran Mu’tazilah memiliki kontribusi besar dalam pembinaan dan pengembangan pemikiran di dunia Islam. Oleh karena, Mu’tazilah dari sisi ini dianggap sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya.
     Sejalan dengan judul artikel ini yaitu ajaran sesat, maka penulis akan menuqil beberapa kesesatan-kesesatan yang terdapat dalam ajaran Mu’tazilah yang tercermin pada berbagai kelompok Mu’tazilah :
- an-Nadzamiyah.
     Pendiri aliran ini adalah Ibrahim bin Yasar bin Hani an-Nazdamiyah. Di antara pandangannya adalah: Allah swt tidak mampu menambah atau mengurangi azab bagi penghuni neraka. Dan Allah juga tidak mampu menambah atau mengurangi nikmat penghuni surga. Menolak Qiyas dan Ijma. Dan al-Qur’an bukan mu’jizat.
     Mayoriti ulama Mu’tazilah, Abu Huzdail, Jubaa’i, Iskafi, dan Ja’far bin Harb, mengkafirkan an-Nadzam .
- al-Khabitiyah & al-Hadtsiyah.
     Khatbithiyyah didirikan oleh Ahmad ibn Khabith, sedangkan al-Hadtsiyah didirikan oleh al-Fadhl al-Hadtsi yang merupakan pengikut an-Nadzamiyah. Mereka menganut faham reinkarnasi (tanasukh al-arwah), yaitu kepercayaan bahwa roh mayat seseorang akan memasuki tubuh manusia yang masih hidup dengan cara penjelmaan ke dalam diri. Dalam masalah memandang Allah di akhirat (ru’yatullah), mereka mempunyai penafsiran yang berbeda dengan aliran Mu’tazilah, yaitu pandangan yang dimaksud adalah pandangan terhadap Akal Pertama (al-Aqlu al-Awwal), yaitu wujud pertama yang diciptakan oleh Allah, ini merupakan akal aktif, yang dari bentuknya beremanasi wujud-wujud yang ada. Bagi mereka akal inilah yang akan muncul di hari kiamat, dan dialah yang dapat dilihat dan dipandang oleh mata manusia, jadi Allah swt tak dapat dilihat oleh hamba-Nya, sebab wujud Allah tak berjisim, maka mustahil dilihat oleh penglihatan manusia .
- al-Bisyriyah.
     Aliran ini didirikan oleh Bisyri bin al-Mu’tamir. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah swt tidak menciptkan warna, rasa, penciuman, dan persepsi indera lainnya seperti, kekuatan, kelemahan, kebutaan mata, ketulian telinga, kebisuan mulut, keberanian, kesehatan, penyakit dll, semua hal di atas dihasilkan sendiri oleh manusia secara tabi’at
- al-Murdariyah.
     Al-Murdariyah dipelopori oleh ’Isa ibn Shubaih yang dikenal dengan Abu Musa Al-Murdar, wafat sekitar (226 Hijriah). Beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Abu Hudzail, an-Nadzam dan Bisyri al-Mu’tamir sepakat mengkafirkan pendiri aliran ini, sebab terdapat beberapa kesesatan, yaitu: Allah swt. bisa saja berdusta dan berlaku tidak adil, dan sekiranya Dia berdusta atau melakukan sebuah ketidakadilan, maka Dia akan menjadi Tuhan yang berdusta dan tidak adil. Manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an, baik dari segi gaya penulisan, tata bahasa, dan kefasihan balaghah .
- at-Tsumamiyah.
     Aliran ini diketuai oleh Tsumamah ibn Asyras al-Numairi. Mereka berpendapat bahwa semua orang-orang kafir, musyrik, majusi, Yahudi, Nashrani, binatang, burung dan anak-anak kaum Muslimin di akhirat akan dijadikan tanah, oleh karena itu mereka tidak masuk ke dalam surga atau neraka, sebab sudah menjadi tanah. Barang siapa yang belum mengenal sempurna wujud Allah swt. maka tiada pembebanan baginya baik dari suruhan atau larangan. Oleh karena itu, hakikat perbuatan maksiat adalah seseorang yang sudah mengenal Allah, kemudian dia durhaka atau mengingkari-Nya .
- Al-Hisyamiyah.
     Pemimpin golongan ini adalah Hisyam bin Amru Al-futi. Ia mengingkari bahwa Allah swt yang menyatukan hati orang-orang beriman. Bahkan mengatakan bahwa yang menyatukan hati orang-orang beriman itu adalah mereka sendiri dengan usaha (ikhtiyar) mereka. Surga dan neraka belum diciptakan saat ini, sebab tidak ada faedahnya.
- Al-Jahidziyah.
     Jahidziyah didirikan oleh Amru bin bahr abu Utsman al-Jahiz. Terkenal sebagai pembela Mu’tazilah yang unggul. Di antara pandangannya adalah, hamba tidak memiliki perbuatan, yang ia dimiliki hanya keinginan saja, sebab segala perbuatan terjadi dengan tabi’at, bukan hasil pilihan, oleh karena Allah tidak memasukkan seseorang ke dalam Neraka, tapi neraka dengan sifat dan tabiatnya memasukkan penghuninya sendiri.
     Inilah sebahagian dari beberapa ajaran sesat yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam, baik kesesatan yang berkaitan dengan aqidah ataupun yang berkaitan dengan amalan. Dan ajaran tersebut memberikan pengaruh dan kesan kepada ajaran-ajaran sesat di masa kontemporer. Bersambung . . .
_________________________________________________________________
Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, 4/86-87. Ibnu Mandzur, 9/309.
Lihat: 3/79, 87. 4/162, 171. Cairo, Maktabah al-Khanji.
Ibnu Manzdur, Lisan al-Arab, 8/6, Bairut, Darul Shadir.
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 394.
Izzuddin bin Abdul Salam, Qawa’idu Alahkam fi Mashalihi al-Anam hal:204
Ibnu Atsir, Annihayah hal:80.
Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami' Al ulum wa Alhikam hal:223.
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, hal:248.
Disebutkan dalam Encyclopedia Britannica bahwa golongan Syi’ah (sebagai pendukung imam Ali), pada awalnya merupakan partai politik (Harakah as-Siyasiyyah) kemudian berkembang menjadi gerakan Islam (Harakah al-Islamiyah). (vol.20) (Chicago، William Benton، 1968) p.393. gerakan Islam inilah yang dikenali kemudian sebagai “al-Firaq al-Islamiyah”, “al-Firaq al-Kalamiyah” dan “at-Tayyarat al-Kalamiyah”, dan berbagai ragam istilah lainnya.
Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah)
Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
Al-Qasim bin Muhammad, al-Jawab al-Mukhtar, hal 50. Muhammad bin al-Hadi, Kitab al-Ushul, hal 46. As-Sayyid Yahya Abd Karim al-Fudhail, 2003. Man Hum az-Zaidiyah, hal 32, Shan’ah-Yaman, Muassasah al-Imam Zaid bin Ali at-Thaqafiyyah.
Lihat rincinannya: Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni, hal 343, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, 2009. Bairut-Libanon, Darul Kutub al-Ilmiyah.
Mayoritas Syi’ah Zaidiyah tidak mengakafirkan para sahabat Rasulullah, oleh karena pandangan sekelompok syi’ah Zaidiyah seperti Garudiyah merupakan perbuatan bid’ah dalam mazhab Zaidiyah dan tidak diakui keabsahannya oleh ulama-ualam Zaidiyah. Bahkan golongan Zaidiyah lain seperti as-Shalihiyah dan as-Sulaimaniyah mengkafirkan Garudiyah akibat pandangannya tentang pengkafiran para sahabat. Pernyataan ini dapat dilihat dalam kitab-kitab mu’tabar Zaidiyah: al-Haruni, ar-Risalah al-Kafiyah, hal 175. Yahya bin Hamzah al-‘Alawi, Aqdu al-Laali fi ar-Rad ala Abi Hamid al-Ghazali, hal 176.
Kitab al-Kafi, 8/248.
Rijalul Kisysyi, hal 12-13.
Ath-Thusi, Kitab khtiyar Ma’rifatir Rijal, hal. 57-60.
Bukhari, Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal 125.
Al-Khallal, as-Sunnah, 1/493.
Al-Baghadadi, al-Kifayah, hal. 49.
Kamaluddin Nurdin, 2009, al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Syiyasiyyah wa Mauqif Ahli Sunnah minha, hal 187, USIM, Malaysia.
As-Sayyid Muhsin al-Amili, ad-Durrutsamin, hal 23, Iraq-Najf, Matba’ah al-Adab.
Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 3/174.
Azaariqah, Najdaat, Yazidiyah, Shafariyah, Ajaridah, Maimuniyah dan Ibadhiyah. Untuk lebih jelasnya penjelasan sejarah kemunculan firqah ini, sila rujuk buku penulis: Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuriha, hal 72-90.
Al-Mas’udi, Muruj ad-Zahab, 2/402.
Kamaluddin Nurdin, Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuruha, hal 73.
Ibadhiyah merupakan salah satu golongan Khawarij tidak berpandangan demikian, melainkan mengikut pandangan Mu’tazilah, yaitu orang terssebut dihukum sebagai Fasiq.
Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 83. al-Khayyath, al-Intishar, hal 140.
Al-Juwaini, Al-Irsyad, 385-386.
Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 83.
Al-Asy’ari, Maqaalat al-Islamiyyin, 1/177.
Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 244. al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/183.
Perlu disebutkan disini, penamaan Yazidiyah dalam sejarah teologi Islam ada dua: Yazidiyah Khawarij (Yazidiyah Maghrib) dan Yazidiyah Adawiyah (Yazidiyah Masyriq) yang dikenal dengan penamaan “Ubbad as-Syaithan” (penyembah syaitan). Menurut sejarawan teologi Islam al-Asyari, al-Baghdadi, as-Syahratani dll, mengatakan pandangan-pandangan di atas merupakan pandangan Yazidiyah Khawarij, namun hasil kajian dan perbandingan, ulama kontemporer berpendapat lain dan menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Yazidiyah Adawiyah yang bukan berasal dari golongan Khawarij, kebanyakan pemeluk golongan ini berasal dari bangsa Kurdi. Dr. Abdul Fattah Fuad, al-Firaq al-Islamiyah wa Ushuluha al-Imaniyah, 2/69.
Shalih Bajiah, 1396, al-Ibadhiyah bi al-Jarid, hal 2, Tunis, Darul Busalamah.
Ali Yahya Muammar, al-Ibadhiyah baina al-Firaq al-Islamiyah, hal 253.
Kamaluddin Nurdin, Nasy’at al-Firaq wa Tathawwuruha, hal 87.
Al-Mality, at-Tanbih wa ar-Rad, hal 43. ad-Dimsyiqi, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu’tazilah, hal 5.
Ad-Zahabi, Sayr A’Laamin Nubala, 9/339.
Al-Baghadadi berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah berpecah kepada 20 aliran, sedangkan as-Syahrastani menjadikannya 12 aliran. Al-Baghadadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 5. as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/46. sekalipun mereka berpecah-pecah namun mereka sepakat dalam lima prinsip (al-Ushul al-Khamsah), yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan ancaman, kedudukan diantara 2 kedudukan, dan amar makruf nahi munkar. Ulama Mu’tazilah sepakat apabila seseorang tidak mengakui salah satu dari 5 prinsip di atas, maka orang tersebut tidak layak dikatakan sebagai kelompok penganut aliran Mu’tazilah.
Al-Baghadadi, al-Farq baina al-firaq, hal 131-133.
As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/68.
As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/82.
As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/61.
Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal 173. As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, 1/69.
Al-Isfarayani, at-Tabshir fi Umur ad-Din, hal 72.
Al-Isfarayani, at-Tabshir fi Umur ad-Din, hal 76, 77.
hal 18.
hal 20.
hal 91.
hal 112.


0 komentar:

Post a Comment