Tuesday, January 5, 2010

TIPE INSAN SEJAHTERA DAN BERJAYA DI SISI ALLAH


Drs. KH. Nurdin Marjuni
Pembina Yayasan Wahba "an-Nur"
Ma'had Syawarifiyyah Jakarta
        Setiap suatu kemenangan dan kejayaan mempunyai jalan dan trik-trik tersendiri untuk meraih dan mencapainya. Dalam agama kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat dapat digapai oleh insan-insan berikut ini:
1. al-‘Abid (Yang Tekun Beribadah).
        Dalam bahasa arab ‘Abid berasal dari kata “abida”, yang artinya “menyembah atau mengabdi”. Oleh karena itu ‘Abid kedudukannya dalam bahasa arab sebagai pelaku (subject) diartikan: “orang yang menyembah atau mengabdikan diri kepada Tuhannya”. Syeikh Muhammad Amin al-Kurdy mendifinisakan ‘Abid dengan mengatakan:
( اَلْعَابِدُ هُوَ الْمُتَجَرِّدُ لِلْعِبَادَةِ الَّذِي لاَ شُغْلَ لَهُ غَيْرَهَا أَصْلاً ، لَوْ تَرَكَ الْعِبَادَةَ لَجَلَس بَطْلاً ، فَالْأَنْسَبُ لَهُ أَنْ يَسْتَغْرِقَ أَكْثَرَ أَوْقَاتِهِ فِي الْعِبَادَةِ وَمَجْلِسِ الذِّكْرِ )
Artinya:
        “’Abid ialah seorang hamba yang hanya betul-betul tekun beribadah tanpa disibukkan oleh yang lainnya. Jika sekiranya ia melalaikan suatu ibadah niscaya duduknya dianggap sia-sia belaka. Oleh karena itu seorang ‘Abid sebaiknya ia menghabiskan waktu-waktunya (yang luang) dalam beribadah dan berzikir saja” .
        Zikir merupakan amalan ibadah untuk mengingat Allah SWT. Dan zikir itu merupakan taman surga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
( ثُمَّ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا ، قَالَ : وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ : حَلَقُ الذِّكْرِ )
Artinya:
        “Jika kamu melewati taman surga, maka petiklah buahnya. Anas bertanya: apakah taman surga itu? Rasulullah menjawab: taman surga adalah majlis zikir”.
        Dalam riwayat lain diterangkan bahwa yang dimaksud dengan riyadul jannah adalah mesjid. Sebagaimana yang diriwatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda:
( إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ : اَلْمَسَاجِدُ ، قُلْتُ وَمَا الرَتْعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُوَاللهُ أَكْبَرُ )
Artinya:
        “Jika kamu melewati taman surga, maka petiklah buahnya. Lalu saya bertanya: apakah taman surga itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: taman surga itu adalah mesjid-mesjid Allah. Saya bertanya lagi apakah ar-Rat’u itu? Beliau menjawab: ia adalah ucapan kalimat: Maha suci Allah , segala Puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Ia Maha Besar”.
        Seorang hamba yang menyerahkan diri kepada Allah dengan jalan menyembah-Nya atau mengabdikan diri kepada-Nya berarti ia mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga ia mema’rifati sang Pencipta. Hal ini nampak ketika Ruwain bin Ahmad ditanya tentang kewajiban pertama bagi seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Ia menjawab: “Ma’rifatullah”, maksudnya mengenali Allah, mengenali kebesaran dan kekuasaan-Nya, rasa pengasih dan penyayang-Nya. Anjuran Islam untuk beribadah, menyembah atau mengabdikan diri kepada Allah disebutkan dalam surah adz-Dzaariyaat ayat 56:  (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونْ) - الذاريات : 56 - .
Artinya:
        “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
        Makna kata dari " لِيَعْبُدُونَ " , sebagaimana yang disinyalir oleh Ibnu Abbas adalah " لِيَعْرِفُوْنَ ", yang artinya: supaya mereka mengetahui-Ku atau mengenal-Ku. Dengan demikian, makud ayat tersebut adalah “makrifat”. Sebab tidaklah mungkin seorang menyembah sesuatu tanpa ia mengenali terlebih dahulu apa yang ia akan sembah. Dalam pepatah populer yang sering kita dengar dikatakan bahwa tak kenal maka tak sayang.
        Hafizd bin Ahmad Hakamy mendifinisikan ibadah dengan berkata:
( اَلْعِبَادَةُ هِيَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَفْعَالَ وَالْأَقْوَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ وَالْبَرَاءَةِ مِمَّا يُنَافِي ذَلِِِكَ وَيُضَادُهُ )
Artinya:
        “Ibadah adalah segala pekerjaan yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa perbuatan dan perkataan, lahir atau batin, serta bersih dari apa yang bertentangan dengannya” .
        Ibadah itu sendiri bernilai bila memenuhi dua unsur, yaitu: " كَمَالُ الْحُبِّ ", maksudnya, cinta yang sempurna lagi mendalam terhadap Allah SWT, dan " كَمَالُ الذُّلِّ " artinya, cinta yang penuh dengan kerendahan diri terhadap Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Anbiyaa ayat 90:
(إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ) - الأنبياء : 90 - .
Artinya:
         “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami”.
        Dalam konteks ini, an-Nabaji menghimpun definisi ibadah dengan mengatakan:
( أَصْلُ الْعِبَادَةِ فِي ثَلاَثَةِ أَشْيَاءٍ : لاَ تَرُدُّ مِنْ أَحْكَامِهِ شَيْئًا ، وَلاَ تُدَخِّرُ عَنْهُ شَيْئًا ، وَلاَ يَسْمَعُكَ غَيْرَهُ حَاجَةً )
Artinya:
        “Dasar ibadah itu ada tiga hal, yaitu: kamu tidak menolak atau membantah sedikitpun dari hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah SWT, kamu tidak menyimpan atau melalaikan hukum-hukum tersebut, dan kamu tidak meminta bantuan selain-Nya” .
         Untuk diterimanya sebuah amal ibadah, ahli tafsir Ibnu Katsir mensyaratkan ada dua hal, yaitu: amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran agama. Ia berdalil dengan hadits Rasulullah saw.: ( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ )
Artinya:
         “Barang siapa yang melakukan sebuah amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan tersebut tidak diterima disisi Allah SWT”
          Berdasarkan hadits diatas, Ibnu Katsir berpendapat dan memberikan penegasan dengan berkata:
( فَإِنَّ لِلْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ شَرْطَيْنِ ، أَحَدُهُمَا : أَنْ يَكُوْنَ خَالِصًا ِللهِ وَحْدَهُ ، وَالآخَرُ أَنْ يَكُوْنَ صَوَاًبا مُوَافِقًا لِلشَّرِيْعَةِ ، فَمَتَى كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًالَمْ يُتَقَبَّلْ )
Artinya:
          “Sesungguhnya amal ibadah yang diterima disisi Allah SWT mempunyai dua persyaratan, pertama: hendaknya dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah SWT, kedua: hendaknya amalan itu sesuai dengan tuntunan syari’at agama. Oleh karena itu, jika amal perbuatan dilakukan dengan keikhlasan semata dan tidak sesuai dengan ajaran agama maka amalan tersebut tidak diterima disisi-Nya” .
          Masalah keikhlasan beramal diterangkan pula dalam surah al-Baqarah ayat 112:
( بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْـدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ) - البقرة :112 - .
Artinya:
           “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
          Dengan demikian, hendaknya segala amal ibadah yang dilakukan mengandung keikhlasan yang tinggi, tidak dibumbui dengan riya atau ingin dipuji orang lain, sebab riya merupakan lawan keikhlasan. Oleh karena itu seorang sufi yang bernama Junaid menegaskan bahwa keikhlasan itu adalah segala amal perbuatan yang semata-mata dikerjakan karena Allah SWT .
2- ‘Alim Ulama.
         Kata ‘alim ulama merupakan kata majemuk yang artinya: orang-orang yang beriilmu pengetahuan. Kata ulama bila tidak dihubungkan dengan kata lain maka ia meliputi segala bidang keilmuan baik ilmu sains atau agama. Namun bila dikaitkan dengan kata lain seperti: “ulama fikih”, artinya orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum islam, dan “ulama hadits”, artinya mereka yang mendalam pemahamannya tentang hadits-hadits Nabi. Dan “ulama kalam”, maksudnya ulama yang spesialis dalam masalah-masalah aqidah islam dll.
         Akan tetapi bila dicermati, nampaknya istilah alim ulama hanya terbatas pada bidang keilmuan islam saja. Adapun dalam bidang keilmuan umum atau sains terminologi yang dipakai di Indonesia adalah ilmuwan, seperti halnya orang yang ahli dalam masalah-masalah atom, pertanian, perikanan dll, mereka disebut sebagai ilmuwan pada bidangnya masing-masing, dan bukan dikatakan alim ulama.
         Syekh Muhammad Amin al-Kurdy, mendifinisikan alim ulama dengan mengatakan:
( اَلْعَالِمُ هُوَ الَّذِي يَنْتَفِعُ النَّاسُ بِعِلْمِهِ فِي فَتْوَى أَوْ تَدْرِيْسٍ أَوْ تَصْنِيْفٍ ، فَإِنْ أَمْكَنَهُ اسْتِغْرَاقُ الْأَوْقَاتِ فِي ذَلِكَ فَهُوَ أَفْضَلُ مَا يَشْتَغِلُ بِهِ بَعْدَ الْمَكْتُوْبَاتِ وَرَوَاتِبِهَا . وَالْمُرَادُ بِالْعِلْمِ الْمُقَدِّمِ عَلَى الْعِبَادَةِ اَلْعِلْمُ الَّذِي يُرَغِّبُ النَّاسَ فِي الآخِرَةِ وَيُزَهِّدُهُمْ فِي الدُّنْيَا أَوْيُعِيْنُهُمْ عَلَى سُلُوْكِ طَرِيْقِ الآخِرَةِ دُوْنَ الْعُلُوْمِ الَّتِي تَزِيْدُ بِهَا الرَّغْبَةُ فِي الْمَالِ وَالْجَاهِ وَقَبُوْلِ الْخَلْقِ )
Artinya:
          “Orang alim adalah orang yang dimanfaatkan ilmunya oleh manusia melalui fatwa, pengajaran dan karangan. Jika ia dapat memanfaatkan waktunya dalam hal-hal diatas, maka nilainya jauh lebih baik daripada melaksanakan ibadah-ibadah sunnah. Dan yang dimaksudkan mendahulukan ilmu pengetahuan daripada ibadah adalah ilmu yang mendorong manusia untuk keselamatannya di akhirat kelak dan menuntun mereka untuk berjiwa zuhud didunia, atau mengarahkan mereka dengan baik kejalan menuju akhirat, dan bukan ilmu yang mendorong dan mengarahkan orang untuk mencari harta kekayaan dan jabata,n serta melayani sesamanya”.
          Kelebihan seorang ulama atas seorang ‘abid dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw.:
( وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمْرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ )
Artinya:
           “Keutamaan orang berilmu pengetahuan (alim) atas orang yang hanya menyembah tanpa pengetahuan (abid) bagaikan mulianya bulan purnama di malam hari atas segala bintang-bintang dilangit” .
          Dalam agama, seorang ulama mempunyai derajat yang tinggi disisi Allah SWT disamping keimanan yang kuat, sehingga ia melebih derajat orang mukmin biasa yang tidak berilmu pengetahuan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Mujaadalah ayat 11:
 يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ  - المجادلة : 11 - .
Artinya:
           “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
         Ketinggian derajat orang yang berilmu pengetahuan ditegaskan pula oleh Ibnu Abbas dengan mengatakan:
( لِلْعُلَمَاءِ دَرَجَاتٌ فَوْقَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِسَبْعُمِائَةِ دَرَجَةٍ ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ مَسِيْرَةُ خَمْسَمِائَةِ عَامٍ )
Artinya:
         “Ulama mempunyai derajat yang lebih atas orang-orang mukmin biasa dengan tujuh ratus tingkatan, dan jarak antara dua derajat melalui lima ratus tahun perjalanan”.
         Bagaimana tidak demikian, bukankah ulama itu sebagai pewaris para nabi. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah sendiri dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas: (الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ)
Artinya:
          “Ulama sebagai pewaris para Nabi” .
          Dalam hadits lain diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ali bin Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:  (اَلْعُلَمَاءُ مَصَابِيْحُ الْأَرْضِ ، وَخُلَفَاءُ الْأَنْبِيَاءِ وَوَرَثَتِي وَوَرَثَهُ الْأَنْبِيَاءُ)
Artinya:
          “Para ulama itu adalah sebagai pelita dipermukaan bumi ini, dan sebagai pengganti para nabi, dan mereka sebagai pewaris saya, dan sebagai pewaris para nabi” .
           Perlu dicatat disini, bahwa mengganti tugas Nabi maksudnya menyampaikan kebenaran-kebenaran agama kepada umat manusia, bukannya menggantikan pangkat Nabi itu sendiri yang merupakan utusan Allah SWT. Jadi utusan Ilahi hanyalah para Nabi dan Rasul, adapun ulama hanya sekedar menyampaikan pesan-pesan Rasul yang benar dan hak, mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan mencegah perbuatan keji dan terlarang, inilah merupakan tugas para ulama yang dimandatkan oleh Nabi dan Rasul kepada mereka. Dengan demikian dapat dikatakan alangkah agung dan mulianya menjadi pewaris para Nabi, sebab keberadaan mereka ditengah-tengah masyarakat sangat dibutuhkan untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus. Dan mengingat pentingnya keberadaan ulama dalam suatu masyarakat sampai ada perkataan menarik yang terucap dari mulut al-Hasan: ( لَوْلاَ الْعُلَمَاءُ لَصَارَ النَّاسُ مِثْلَ الْبَهَائِمِ )
Artinya:
“Sekiranya tidak ada ulama, niscaya manusia menjadi seperti binatang” .
           Perkataan tersebut benar sekali. Sebab bisa dibayangkan jika tidak ada ulama yang memperkenalkan hukum agama, niscaya pelanggaran dianggap remeh oleh manusia, perbuatan maksiat akan merajalela. Akibat tidak adanya pengetahuan tentang larangan atau anjuran agama, mereka tidak dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang sejauh manakah tutur kata yang diucapkan oleh ulama yang layak atau wajib diikuti?.
           Tutur kata ulama wajib diikuti selama sesuai dengan yang digariskan agama. Ucapan dan perbuatannya sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Rasulullah saw.. Ulama yang demikian menjadi tauladan (uswatunhasanah) ditengah masyarakat dan patut dicontoh, sebab hal itu merupakan bimbingan menuju akhirat. Sebagaimana ketegasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir:
( لاَ تَجْلِسُوْا مَعَ كُلِّ عَالِمٍ إِلاَّ عَالِماً يَدْعُوْكُمْ مِنْ خَمْسٍ إِلَى خَمْسٍ : مِنَ الشَّكِّ إِلَى الْيَقِيْنِ ، وَمِنَ الْعَدَاوَةِ إِلَى النَّصِيْحَةِ ، وَمِنَ الْكِبْرِ إِلَى التَّوَاضُعِ ، وَمِنَ الرِّيَاءِ إِلَى الْإِخْلاَصِ ، وَمِنَ الرَّغْبَةِ إِلَى الرَّهْبَة ِ- الزُّهْدِ )
Artinya:
          “Janganlah kamu sekalian berguru kepada seorang alim ulama, kecuali ia mengajakmu dari lima perkara ke lima perkara lain, yaitu: dari keraguan-raguan kepada keyakinan tauhid, dari permusuhan kepada nasehat perdamaian, dari kesombongan diri kepada kerendahan hati, dari sifat riya atau ingin dipuji dalam beramal kepada keikhlasan hati, dan dari ketamakan kepada kesederhanaan “ .
          Ulama yang memiliki sifat-sifat diatas merupakan ulama yang taat kepada Allah SWT, dan sepatutnya diikuti. Sebab dialah ulama yang takut kepada Tuhan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Fatir ayat 28:  إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ  - فاطر : 28 - .
Artinya:
           “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”.
          Al-Khalil bin Ahmad membagi tingkat dan jenis manusia dari segi pengetahuannya kepada empat hal, ia berkata:
1) رَجُلٌ يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي ، فَذَلِكَ عَالِمٌ فَاسْئَلُوْهُ .
2) وَرَجُلٌ يَدْرِي وَلاَ يَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي ، فَذَلِكَ نَاسٍ فَذَكِّرُوْهُ .
3) وَرَجُلٌ لاَ يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ لاَ يَدْرِي ، فَذَلِكَ مُسْتَرْشِدٌ فاَرْشِدُوْهُ .
4) وَرَجُلٌ لاَ يَدْرِي وَلاَ يَدْرِي أَنَّهُ لاَ يَدْرِي ، فَذَلِكَ جَاهِلٌ فَارْفُضُوْهُ .
Artinya:
1) Orang yang berilmu, dan ia sadar kalau dirinya berilmu, ia adalah orang alim, maka bertanyalah padanya.
2) Orang yang berilmu, dan ia tidak sadar kalau dirinya berilmu, ia adalah pelupa, maka ingatkalan dia.
3) Orang yang tidak berilmu, dan ia sadar kalau dirinya tidak berilmu, ia adalah orang yang butuh bimbingan, maka bimbinglah dia.
4) Orang yang tidak berilmu, dan tidak sadar kalau dirinya tidak berilmu, ia adalah orang bodoh, maka jauhilah dia .
2-Muta’allim (Orang Yang Gemar Ilmu).
Kata muta’allim adalah isim fa’il (subjet) dari kata kerja (fi’il) ta’allama, artinya belajar. Jadi muta’allim artinya orang yang menuntut ilmu.
           Syeikh Muhammad Amin al-Kurdy memberikan sebuah definisi tentang al-muta’allim:
( وَالْمُتَعَلِّمُ هُوَ الْقَاصِدُ بِالتَّعَلُّمِ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى ، فَاشْتِغَالُهُ بِالتَّعَلُّمِ أَفْضَلُ مِنِ اشْتِغَالِهِ بِالْأَذْكَارِ وَالنَّوَافِلِ الْمُطْلَقَةِ )
Artinya:
            “Orang yang menuntut ilmu adalah orang yang belajar ikhlas karena Allah SWT semata-mata. Maka kesibukannya dalam belajar lebih baik daripada sibuk berzikir dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah” .
           Menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Ayat yang pertama turun dimulai seruan untuk membaca atau belajar. Firman Allah SWT dalam surah al-‘Alaq ayat 1:
(اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ) - العلق : 1 - .
Artinya:
           “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”.
           Rasulullah saw. menegaskan tentang wajibnya menuntut ilmu bagi setiap muslim dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.: ( طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ )
Artinya:
             “Menuntut ilmu itu adalah fardhu bagi setiap muslim” .
             Namun para ulama berbeda pendapat tentang object ilmu agama yang wajib dituntut oleh muslim. Hal itu dikarenakan adanya sifat fanatik “ta’assub” dimana masing-masing mereka mendahulukan disiplin ilmu yang dituntut dan dipelajarinya. Seperti di bawah ini:
a. Para Fuqaha (pakar hukum Islam) berpendapat bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang berkaitan dengan fiqhi (hukum islam). Sebab dengan ilmu tersebut dapat diketahui antara yang halal dan yang haram.
b. Para mufassirin (pakar tafsir) dan muhadditsin (pakar hadits) mengklaim bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah al-kitab (Qur’an) atau as-Sunnah (hadits), alasannya ilmu tersebut dapat memberikan pemahaman terhadap semua ilmu keislaman.
c. Para Sufiyyun (pakar tasawwuf) berasumsi bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu tasawwuf yang mengajarkan tentang etika, keikhlasan dan penyakit-penyakit jiwa.
d. Para Mutakallimun (pakar aqidah) mewajibkan seseorang untuk menuntut ilmu yang berkaitan dengan tauhid, kenabian, akhirat yang dikenal dengan “ilmu kalam”.
           Pada hakikatnya ilmu yang seharusnya wajib dituntut oleh insan muslim dari sekian banyaknya disiplin ilmu diatas adalah yang terakhir yaitu ilmu kalam, dimana ilmu ini menjelaskan tentang ketuhanan, kenabian dan keakhiratan yang secara global ilmu tersebut mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan Sang Pencipta jagad alam ini.
           Melihat pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi diri manusia, banyak ulama yang terlambat menikah atau tidak menikah sama sekali karena saking asyiknya mengkaji ilmu. Seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang menikah tatkala berumur lebih dari empat puluh tahun. Sementara syeikh Ibnu Taimiyah, Imam at-Thabari dan banyak lagi ulama yang lainnya tidak menikah sampai akhir hayatnya.
           Tolak ukur benar atau salahnya suatu perkataan dan perbuatan dinilai dari seberapa tinggi ilmu yang didapati seseorang. Dalam hal ini as-Sarraj berkata:
( إِنَّ الْعِلْمَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ )
Artinya:
            “Ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan” .
            Di lain tempat Imam Hasan al-Bashri menegaskan tentang peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang. Ia berpendapat bahwa orang yang bekerja tanpa dibarengi ilmu bagaikan orang yang berjalan ditengah malam bukan pada jalanan. Ia berkata:
( اَلْعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّائِرِ عَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ )
Artinya:
             “Orang yang melakukan perbuatan tanpa ilmu pengetahuan, seperti halnya orang yang berjalan ditengah malam tanpa melalui jalanan” .
            Ulama salaf tak ketinggalan memberikan sebuah pandangan tentang pentingnya ilmu pengetahuan bagi setiap insan: ( إِنَّ حَاجَةَ الْمَرْءِ إِلَى الْعِلْمِ أَشَدُّ مِنْ حَاجَتِهِ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ )
Artinya:
           “Sesungguhnya kebutuhan seorang manusia terhadap ilmu lebih banyak daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman” .
           Suatu keistimewaan khusus bagi orang yang menuntut ilmu, ia akan didampingi oleh para malaikat. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Shafwan bin ‘Assal: ( إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ )
Artinya:
           “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu karena keridhaannya terhadap ilmu yang dituntut” .
           Imam  al-Khattabi menjelaskan maksud dari hadits diatas dengan tiga makna yaitu:
1- Para malaikat membentangkan sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu.
2- Para malaikat berlaku tawadhu’ dan hormat terhadap orang yang menuntut ilmu.
3- Para malaikat turun dan menghampiri para penuntut ilmu di majlis-majlis pertemuan ilmu.
          Imam Sufyan at-Tsauri menegaskan akan kemuliaan ilmu di atas ibadah yang selain ibadah yang fardhu, ia berkata: ( لَيْسَ عَمَلٌ بَعْدَ الْفَرَائِضِ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ )
Artinya:
          “Tiada pekerjaan yang lebih utama setelah melaksanakan ibadah fardhu melainkan menuntut ilmu” .
            Hal keutamaan menuntut ilmu ditegaskan oleh Ka’bul Akhbar, dengan perkataannya:
( لَوْ أَنَّ ثَوَابَ مَجْلِسِ الْعُلَمَاءِ بَداَ لِلنَّاسِ ، لاَقْتَتَلُوْا عَلَيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ كُلَّ ذِي إِمَارَةٍ إِمَارَتَهُ ، وَكُلَّ ذِي سُوْقٍ سُوْقَهُ )
Artinya:
           “Seandainya pahala menuntut ilmu dalam suatu tempat pertemuan ilmu diketahui manusia, miscaya mereka saling membunuh untuk meraih ilmu tersebut, sampai mereka akan rela meninggalkan tiap tahta kekuasaan dan usaha yang mereka miliki” .
            Masih banyak lagi keistimewaan dan keuatamaan yang akan didapat oleh sang penuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu itu sendiri memang lebih layak dilakukan daripada pengamalan ibadah sunnah. Atha bin Abi Rabbah menjelaskan keutamaannya dengan perkataan:
( حُضُوْرُ مَجْلِسِ الْعِلْمِ يُكَفِّرُ سَبْعِيْنَ مَجْلِسًا مِنْ مَجَالِسِ اللَّغْوِ وَاللَّعْبِ )
Artinya:
            “Menghadiri suatu majlis ilmu dapat menghapus tujuh puluh majlis hiburan dan permainan (yang tidak bermanfaat)” .
3- al-Muhtarif (Pekerja Yang Profesinonal)
            Al-muhtarif adalah orang yang mempunyai usaha atau kerja. Menurut syeikh Muhammad Amin al-Kurdy yang dimaksud dengan muhtarif adalah sebagaimana petikan teks berikut:
( اَلْمُحْتَرِفُ هُوَ الّذِي يَحْتَاجُ الْكَسْبَ لِعِيَالِهِ ، لَيْسَ لَهُ أَنْ يُضَيِّعَ الْعِيَالَ وَيَسْتَغْرِقَ الْأَوْقَاتَ فِي الْعِبَادَةِ ، بَلْ وِرْدُهُ فِي وَقْتِ الصِّنَاعَةِ وَحُضُوْرِ السُّوْقِ وَالْإِشْتِغَالِ بِالْكَسْبِ ، وَلَكِنْ أَنْ لاَ يَنْسَى ذِكْرَ اللهِ فِي صِنَاعَتِهِ بِقَلْبِهِ ، بَلْ يُوَاظِبُ عَلَى التَّسْبِيْحَاتِ فِي الْأَذْكَارِ ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُمْكِنُ أَنْ يَجْتَمِعَ مَعَ الْعَمَلِ وَلاَ يَفُوْتُهُ ، وَمَتَى فَرَغَ مِنْ تَحْصِيْلِ كِفَايَتِهِ يَعُوْدُ إِلَى الْعِبَادَةِ )
Artinya:
           “Yang dimaksud orang yang bekerja ialah orang yang mencari nafkah untuk keluarganya dan sama sekali tidak mentelantarkannya. Dan ia tidak berlarut-larut dalam beribadah, melainkan ia berwirid ketika bekerja, atau mendatangi pasar dan selalu tetap dalam usaha. Dan yang penting, ia senantiasa mengingat Allah dalam hatinya ketika ia bekerja. Jadi yang penting adalah ia tidak melupakan Allah ketika bekerja. Bahkan ia bertasbih, berzikir, membaca qur’an. Sebab hal itu bisa dilakukan sambil bekerja dan tidak akan ada yang dikorbankan. Dan bila selesai usahanya maka ia kembali melakukan ibadah” .
            Dalam hadits Rasulullah dijelaskan, orang mukmin yang giat berusaha untuk menutupi kebutuhan keluarganya sudah barang tentu disayang dan dicintai Allah SWT, sebagaimana riwayat Ibnu Umar:  ( إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ )
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT menyangi orang mukmin yang bekerja secara profesional” .
            Dengan demikian, tiada artinya orang yang fisiknya sehat namun tidak bekerja keras untuk mencari nafkah demi keluarganya. Para nabi saja bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, seperti Nabi Ibrahim as. yang bekerja sebagai pedagang sandang. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Rasulullah saw. melewati para pedangan sandang, maka beliau bersabda: ( اِلْزَمُوْا تِجَارَتَكُمْ ، فَإِنَّ أَبآكُمْ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَزَّازًا )
Artinya:
            “Konsekwenlah kamu sekalian pada pekerjaanmu masing-masing, sesungguhnya bapak kamu Ibrahim as. seorang pedagan sandang” .
             Begitu halnya Nabi Zakariya as., profesinya adalah sebagai tukang kayu .
           Berdasarkan atas niat dan pemanfaatan daripada hasil usaha yang diperoleh seseorang, Ahli Tasawwuf membagi ke dalam empat tingkatan:
1) مِنْهُمْ مَنْ يَرَى الرِّزْقَ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَمِنَ الْكَسْبِ ، فَهُوَ مُشْرِكٌ .
2) وَمِنْهُمْ مَنْ يَرَى الرِّزْقَ مِنَ اللهِ تَعَالَى لاَ يَدْرِي أَيُعْطِيْهِ أَمْ لاَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ شَاكٍ .
3) وَمِنْهُمْ مَنْ يَرَى الرِّزْقَ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَلاَ يُؤَدِّيْ حَقَّهُ وَيَعْصِي اللهَ تَعَالَى فَهُوَ فَاسِقٌ .
4) وَمِنْهُمْ مَنْ يَرَى الرِّزْقَ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَيَرَى الْكَسْبَ سَبَبًا وَأَخْرَجَ حَقَّهُ وَلاَ يَعْصِي اللهَ تَعَالَى لِأَجْلِ الْكَسْبِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُخْلِصٌ .
Artinya:
1) Ia meyakini bahwa rezki yang diperolehnya berasal dari Allah dan dari dirinya sendiri, berarti orang tersebut menduakan Allah SWT (musyrik).
2) Ia meyakini bahwa bahwa rezki yang diperolehnya berasal dari Allah SWT dan ia tidak tahu dinafkahkan sebagian harta tersebut atau tidak, berarti orang tersebut adalah orang munafik dan bimbang.
3) Ia meyakini bahwa rezki yang diperolehnya berasal dari Allah SWT dan ia tidak sama sekali menafkahkan sebagian hartanya serta mendurhakai Allah SWT, berarti orang tersebut adalah orang fasiq.
4) Ia meyakini bahwa rezki yang diperolehnya berasal dari Allah SWT, usahanya hanyalah penyebab saja, ia nafkahkan sebagian hartanya, dan ia tidak mendurhakai Allah demi usahanya, berarti orang tersebut adalah orang mukmin yang ikhlas hatinya .
          Di tempat lain, Abul Laits memberikan cara agar harta selalu terjaga kebersihannya melalui lima perkara, yaitu:
1) أَنْ لاَ يُؤَخّرِ َشَيْئًا مِنْ فَرَائِضِ اللهِ تَعَالَى لِأَجْلِ الْكَسْبِ وَلاَ يُدْخِلَ النَّقْصَ فِيْهَا .
2) لاَ يُؤْذِي أَحَدًا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى لِأَجْلِ الْكَسْبِ .
3) أَنْ يَقْصُدَ بِكَسْبِهِ اسْتِعْفَافًا لِنَفْسِهِ وَلِعِيَالِهِ وَلاَ يَقْصُدَ بِهِ الْجَمْعَ وَالْكَثْرَةَ .
4) أَنْ لاَ يُجْهِدَ نَفْسَهُ فِي الْكَسْبِ جِدًا .
5) أَنْ لاَ يَرَى رِزْقَهُ مِنَ الْكَسْبِ وَيَرَى الرِّزْقَ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَالْكَسْبَ سَبَبًا .
Artinya:
1) Jangan menunda-nunda ibadah fardhu atau menguranginya demi usaha yang dilakukan.
2) Jangan menyakiti seorang hamba Allah SWT demi usaha yang dilakukan.
3) Tujuan dan niat usahanya adalah untuk memenuhi kebetuhan diri dan keluarganya, dan bukan bertujuan menumpuk harta semata.
4) Jangan terlalu memaksa tenaganya untuk usaha.
5) Yakin bahwa rezki yang diperolehnya berasal dari Allah SWT, adapun usaha yang dilakukan hanyalah penyebab saja .
4- al-Waaliy (Umara).
           Maksud daripada al-Waaliy (umara) adalah penguasa atan pemerintah pada suatu negara, daerah, desa dll. Dalam hal ini syeikh Muahammad Amin al-Kurdy memberikan penjelasan secara umum tentang arti wali dan tugasnya:
( اَلْوَالِي مِثْلُ الْإِمَامِ وَالْقَاضِيْ ، وُكِّلَ مَشْغوْلُ مَصَـالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ ، قِيَامُهُ بِحَاجَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَغْرَاضُهُمْ عَلَى وِفْقِ الشَّرْعِ وَقَصْدِ الْإِخْلاَصِ ، أَفْضَلُ مِنِ اشْتِغَالِهِ بِالْأَرْوَادِ ، فَحَقُّهُ أَنْ يَشْتَغِلَ بِحُقُوْقِ النَّاسِ نَهَارًا وَيَقْتَصِرُ عَلَى الْمَكْتُوْبَاتِ وَرَاوَاتِبُهَا وَيُقِيْمُ الْأَوْرَادَ لَيْلاً )
Artinya:
            “Wali kedudukannya seperti imam dan hakim yang diberikan kepercayaan untuk mengurus segala kemaslahatan dan kebutuhan umat Islam sesuai dengan ajaran syari’at serta ikhlas melaksanakan tugasnya karena Allah SWT. Dan pekerjaannya lebih mulia dibanding berzikir. Ia melakukan tugasnya disiang hari, dan mengerjakan kewajiban, rawatib serta wirid di malam hari” .
           Dengan demikian, wali sama kedudukannya dengan imam dan hakim dalam suatu pemerintahan. Dan yang mengangkatnya adalah khalifah. Sebagaiaman yang dijelaskan oleh Abdul Qadim Zullum:
(اَلْوَالِي هُوَ الشَّخْصُ الَّذِي يُعِيْنُهُ الْخَلِيْفَةُ حَاكِمًا عَلَى وِلاَيَةٍ مِنْ وِلاَيَاتِ دَوْلَةِ الْخِلاَفَةِ وَأَمِيْرًا عَلَيْهَ)
Artinya:
            “Wali adalah orang yang diangkat oleh khalifah untuk menjadi hakim penguasa dan pemimpin dalam satu wilayah pada negara khilafah Islamiyah” .
            Pada dasarnya, untuk setiap wilayah dalam negara khilafah islamiyah diangkat seorang pemimpin, sebagaimana Rasulullah saw. mengangkat Mu’adz bin Jabal di Yaman, Ziyad bin Labid di wilayah Hadramaut, dan Abu Musa al-Asy’ari di wilayah Zabid dan ‘Adan.
           Dalam konteks dan struktur pemerintahan negara kita, khalifah dapat disamakan dengan presiden, dan wali itu adalah gubernur dalam tingkat profinsi, dan sebagai walikota dalam tingkat wilayah profinsi, dan sebagi bupati dalam tingkat daerah.
          Adapun persyaratan untuk menjadi wali sama halnya dengan persyaratan khalifah, yaitu: Laki-laki, merdeka, muslim, baligh, berakal, jujur bertanggung jawab, bertaqwa dan teguh pendirian .
5- Manusia Yang Teguh Imannya.
          Maksudnya ialah muslim yang penuh keyakinannya akan ke-Esaan Allah SWT. Dimana hati nuranimya hanya diisi dengan ketauhidan, dn sedikitpun tidak ada keragu-raguan akan ke-Esaan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak berbuat syirik atau menduakan Sang Pencipta langit dan bumi. Dalam hal ini, syeikh Muhammad Amin al-Kurdy menggambarkan karakter keyakinan orang tersebut, seperti dibawah ini:
( وَهُمُوْمُهُ هَمٌّ وَاحِدٌ ، فَلاَ يُحِبُّ إِلاَّ اللهَ ، وَلاَ يَخَافُ إِلاَّ مِنْهُ ، وَلاَ يَتَوَقَّعُ الرِّزْقَ مِنْ غَيْرِهِ ، فَمَنِ ارْتَفَعَ دَرَجَتُهُ إِلَى هَذِهِ الدَّرَجَةِ لَمْ يَفَْتَقِرْ إِلَى تَنْوِيْعِ الْأَوْرَادِ وَاخْتِلاَفِهَا ، بَلْ وِرْدُهُ بَعْدَ الْمَكْتُوْبَاتِ وَرَوَاتِبُهَا وَاحِدٌ ، وَهُوَ حُضُوْرِ الْقَلْبِ مَعَ اللهِ تَعَالَى فِي كُلِّ حَالٍ )
Artinya:
           “Perhatiannya hanya terfokus kepada Allah SWT semata-mata, tidak mencintai sesuatu kecuali karena-Nya, tidak takut kecuali dengan-Nya, tidak mengharapkan rizqi daripada selain-Nya. Dan barang siapa yang mencapai tingkatan tersebut, maka ia tidak perlu lagi memperbanyak bentuk dan macam-macam wiridan. Bahkan wiridnya hanya satu macam saja setelah melaksanakan ibadah wajib dan rawatib, yaitu hatinya selalu erat dengan Allah SWT dalam segala keadaaan” .
            Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menjaga keyakinannya terhadap Allah SWT, dengan jalan selalu ingat akan ke-Esaan dan kebesaran-Nya di manapun tempat ia berada, dan bersaksi bahwa Allah itu pemula bagi segala sesuatu (Azali). Hanya Allah yang memberikan atau menolak sesuatu, kemudaratan atau kemaslahatan, sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli tasawwuf:
( شَهَادَةُ الْمُؤْمِنِ يَقِيْنًا أَنَّ اللهَ تَعَالَى هُوَ الْأَوَّلُ فِي كُلِّ شَيْءٍ ، وَأَقْرَبُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ، وَهُوَ الْمُعْطِي الْمَانِعُ ، لاَ مُعْطِي وَلاَ مَانِعَ وَلاَ ضَارَّ وَلاَ نَافِعَ إِلاَّ هُوَ )
Artinya:
           “Seorang mukmin yang bertauhid adalah mukmin yang mengakui sepenuhnya bahwa Allah adalah permulaan segala sesuatu didunia ini, lebih dekat dari segalanya, Maha pemberi dan penolak, sebab tidak ada yang dapat memberikan sesuatu atau menolak, memberikan mudarat atau manfaat kecuali Allah SWT” .
           Perlu diketahui bahwa amal saleh dan ibadah yang diperbuat oleh seorang hamba mempunyai nilai atau manfaat yang besar. Yaitu dapat memperbaiki dan mencemerlangkan hati nurani atau jiwa raga manusia. Namun tidak akan terwujud kecuali dengan konsisten (istiqamah) dengan amalan-amalan tersebut. Dengan kata lain, harus tekun dan kontinyu beramal saleh. Sebab orang yang biasa melakukan ibadah dan amal saleh lalu terputus dan meninggalkannya sama sekali, maka ia akan mendapatkan kutukan Allah SWT. Dalam hal ini ahli Sufi mengatakan: ( مَنْ تَعَوَّدَ ِللهِ عِبَادَةً ، فَتَرَكَهَا مَلاَلَةً مَقَتَهُ اللهُ )
Artinya:
            “Barang siapa yang membiasakan diri beribadah, kemudian ia tinggalkan karena bosan, maka Allah SWT mengutuk orang tersebut” .
            Oleh karena itu, ibadah dan amalan-amalan saleh yang paling baik adalah dilakukan secara terus menerus, tidak terputus ditengah jalan, meskipun jumlahnya sedikit tapi kalau ditekuni maka hal itu membuahkan hasil. Sesuai dengan riwayat ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda: ( أَحَبُّ الْأَعْمَالِ أَدْوَمُهَا إِلَى اللهِ وَإِنْ قَلَّ )
Artinya:
             “Amal perbuatan yang paling disukai disisi Allah adalah yang dikerjakan secara terus menerus” .
            Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kejayaan seseorang di sisi Allah Swt tergantung keikhlasan, keseriusan dan ketekunannya dalam beribadah ataupun bekerja serta selalu berbuat kebaikan dan kebajikan.
Wallahu A’lam.
Jakarta







0 komentar:

Post a Comment